POLITIK

Rocky Gerung: People Power Itu Bukan Orang Berkerumun Menjatuhkan Kekuasaan

Jakarta, FNN -  People power itu bukan orang berkerumun untuk menjatuhkan kekuasaan, tapi ada ide untuk menghasilkan kepemimpinan baru, ada ide untuk menghasilkan keadilan baru, yang sekarang keadilan itu transaksi blackmarket saja, black market of justice. Dan kepolisian itu selalu disorot dalam kerangka itu, ada black market di situ. Jadi bersihkan itu supaya betul-betul tokoh-tokoh yang muda sekarang atau ada generasi pemimpin baru di kepolisian, lepas dari stigma black market of justice.  Demikian paparan pengamat politik Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Ahad, 14 Agustus 2022.  Rocky juga menegaskan bahwa sejarah itu kadangkala tiba berdasarkan formulasi-formulasi yang tidak terduga. “Sekarang kita dapat satu momentum untuk betul-betul yang disebut sebagai polisi itu adalah pelayan publik, pelayan masyarakat, dan harus diterangkan bahwa polisi itu adalah sipil yang dipersenjatai,\" paparnya. Publik sekarang bahkan keinginan untuk cepat-cepat melihat hasil reformasi kepolisian itu yang harus didahulukan daripada putar-putar soal Sambo yang memang sudah ada proses hukumnya. “Jadi opini yang digiring ke satu isu dan isu itu betul-betul masuk dalam batin publik itu enggak mungkin dicegah,\' tegasnya. Berikut wawancara lengkapnya: Hersu: Oke, walaupun akhir pekan termyata kita tetap membahas topik Ferdy Sambo dan istrinya yang makin seru. Tapi, kita tidak akan masuk ke detil persoalan kriminalnya atau pidananya, tetapi impact-nya.  Nah, ini saya membaca KNPI katanya berencana akan mengajukan gugatan judicial review Undang-undang Kepolisian karena mereka melihat bahwa ini dampak dari undang-undang kepolisian yang begitu powerful. Kira-kira begitu. Dan ini juga ada teman kita yang menulis sebuah artikel Gede Sriana. Dia mengingatkan publik bahwa ternyata kalau publik bersatu, tidak terpecah dalam kelompok kadrun dan cebong, agenda-agenda yang lebih serius bisa selesai kita kawal, termasuk bagaimana kasus ini terbongkar karena menyatunya civil society. Saya kira ini topik yang menarik dan perlu kita dalami soal ini. RG: Betul, akhirnya orang berdiri pada kecemasan terhadap keadaan institusi-institusi reformasi kita: kepolisian, DPR, Mahkamah Konstitusi, KPK. Jadi, betul suatu pengamatan yang bagus dari Gede Sriana bahwa ada hal yang sebetulnya bisa diucapkan ulang, yaitu reformasi seluruh institusi. Itu intinya. Hal yang bagus dimulai dari kepolisian, supaya DPR juga mereformasi cara dia berpikir, MK begitu, KPK juga begitu. Semua reputasi yang kita buat dulu di awal reformasi, itu dimaksudkan untuk membuat bangsa ini teduh secara politik, supaya bisa menghasilkan kembali pertumbuhan ekonomi. Kalau dulu Pak Harto melakukan stabilisasi dan itu artinya ada kekuatan militer di belakang proses pembangunanisme develomentalisme pada waktu. Sekarang dalam era demokrasi mustinya institusi-institusi yang berfungsi, bukan lagi stabilisasi. Pak Jokowi seringkali juga agak kacau menganggap bahwa stabilitas penting. Bukan stabilitasnya yang penting, tapi profesionalitas dari institusi-institusi itu. Ini intinya kenapa KPK bagus, dia mendorong untuk reformasi dan rakyat memang melihat bahwa ini momentum untuk ya sudahlah soal pemilu gampanglah itu. Tetapi, kalau pemilu sendiri dilakukan dan dikawal oleh institusi-institusi yang rapuh itu artinya demokrasi tidak akan tumbuh. Bayangkan misalnya kita mau pemilu satu setengah tahun lagi dan kepolisian masih berantakan semacam ini, KPK masih mudah tebang pilih, Mahkamah Konstitusi tidak paham fungsi konstitusional yang diberikan pada dia, yaitu judicial activism. Jadi kalau Pemilu dibuat 2024 nanti dalam keadaan institusi-institusi demokrasi kita rapuh, itu akan menghasilkan juga pemimpin yang juga rapuh. Itu poinnya. Jadi kalau kita berpikir secara makroskopik, kita dapat poin bahwa ini adalah momentum yang disediakan sejarah untuk mengubah kembali atau menata ulang institusi-institusi utama dari demokrasi kita.  Hersu: Nah, kan kita tahu bahwa penataan ulang dari institusi-institusi kita itu berkaitan sebenarnya power game. Ini politisi, kita teringat dulu pada masa orde baru bagaimana TNI itu ditarik ke ranah politik itu sebenarnya karena kepentingan dari politisi, dalam hal ini tentu saja Pak Harto, ada faktor yang sering disebut oleh Doktor Salim Said sebagai faktor push dan pull, faktor daya tarik dan daya dorong internal TNI (ABRI waktu) untuk terlibat dalam day to day politik. Nah sekarang polisi juga begitu. Apa yang terjadi ini kita melihat bahwa oke kepolisian juga ditarik-tarik ke ranah politik dan ini juga mainan dari para politisi gitu. RG: Ya, itu tadi satu paket itu mereformasi kultur politik kita. Di zaman orde baru itu memang ada semangat dunia yang disebut developmentalism yang pasti menyeret tentara. Karena pada waktu itu pasca-komunisme tahun 60-an atau 70-an bahkan di tahun 70-an masih ada khmer merah segala macam sehingga ada kekhawatiran bahwa kalau tidak stabil negara-negara di Asia Tenggara itu bisa diatur pada domino efek dari komunisme di Asia Selatan. Tapi kemudian kita masuk dalam era yang betul-betul menganggap bahwa perselisihan ideologi selesai maka diperlukan reformasi. Pak Harto tentu tahu bahwa keadaan sudah berubah. Dan karena itu dia nggak paksa lagi untuk meneruskan jabatannya. Jadi memang sejarah itu kadangkala tiba berdasarkan formulasi-formulasi yang tidak terduga. Ini juga tidak terduga ada kasus Pak Sambo, lalu orang bongkar semua soal yang menyangkut kekacauan dalam institusi kepolisian. Tapi saya tahu ada banyak perwira yang betul-betul profesional, hanya mau belajar dan memahami kepolisian sebagai institusi yang membanggakan mereka. Mereka ini justru yang bisa dipromosikan. Kan nanti kita kesulitan juga kalau kita bubarkan semuanya terus siapa nantinya yang mengatasi kekacauan. Jadi mulai dari sekarang, mungkin Pak Listyo bikin semacam panitia pemantau potensi atau sebut saja reformasi jilid dua lembaga kepolisian. Nah itu memang mulai dari merevisi atau mereformasi minimal undang-undang tentang kepolisian. Tapi, setelah itu kemudian mental dari para politisi juga harus direformasi yang berupaya untuk memanfaatkan kepolisian sebagai peralatan politik. Itu buruknya. Kita masuk pada ide baru bahwa kesempatan ini justru memungkinkan perseberangan ideologi antara Kadrun dan Cebong bisa dihentikan supaya kita fokus pada penguatan institusi. Tetapi, saya masih melihat beberapa kecenderungan untuk favoritisme pada satu kelompok di dalam kepolisian dan itu beberapa potensi yang sebetulnya harus dihasilkan ulang itu kemudian tercegah oleh dari kelompok-kelompok ini, kelompok masyarakat sipil terutama, yang seolah-olah kehilangan akses pada kepolisian. Pada kita memang ingin supaya kepolisian itu tidak punya akses ke mana-mana selain yang berurusan dengan ketertiban. Jadi itu masyarakat sipil tidak boleh juga numpang pada kepolisian, apalagi masyarakat politik supaya betul-betul polisi itu tampil secara profesional. Itu pooinnya.  Hersu: Iya. Kalau kita belajar dari reformasi atau waktu itu disebutnya TNI atau ABRI, itu waktu back to basic. Itu kan juga ada faktor push dan pull. Faktor publik juga ada keinginan agar TNI tidak lagi menjadi alat kekuasaan dari penguasa dan juga tidak terlibat dalam day to day politik. Dari internal TNI kita kenal orang-orang seperti SBY, Agus Wijoyo, Agus Wirahadikusumah, dan teman-teman yang lain. Itu mereka yang terwesternisasi dan mereka melihat bahwa memang praktik-praktik dalam dunia demokrasi itu under skip in control. Dan tadi Anda melihat bahwa potensi yang sama juga ada di dalam kepolisian. RG:  Iya betul kita ingat pada waktu itu menemukan istilah back to basic saja itu supaya nggak ada back to barrak, kembali ke barak itu artinya seolah-olah tentara nggak punya fungsi lain selain pertahanan. Indonesia punya sejarah lain, yaitu tentara perjuangan, tentara rakyat. Karena itu dipilihlah kembali ke basic, bukan kembali ke barak. Kalau kembali ke barak itu betul-betul profesional tentara Amerika, tentara Barat. Jadi kita mau ingat kembali demikian juga soal kepolisian. Kepolisian itu dibentuk dalam upaya menggantikan polisi-polisi Belanda yang juga beroperasi mengintai rakyat secara polisional. Jadim betul bahwa reformasi TNI sudah berhasil dan di ujungnya masih ada semacam upaya partai politik untuk mempunyai akses pada beberapa tokoh TNI dalam pertandingan atau persaingan untuk jadi Panglima, demikian juga di kepolisian. Jadi, sekarang kita dapat satu momentum untuk betul-betul yang disebut sebagai polisi itu adalah pelayan publik, pelayan masyarakat, dan harus diterangkan bahwa polisi itu adalah sipil yang dipersenjatai. Jadi dasarnya dia adalah sipil. Bukan karena senjata maka orang takut, justru karena dia sipil orang hormati, orang hargai, maka diberi dia senjata. Kan itu dasarnya. Beda dengan tentara yang betul-betul peralatan utama dia adalah senjata. Polisi peralatan utamanya bukan senjata, tetapi bahasa. Itu bedanya. Kalau bahasa polisi sekarang mengancam atau seringkali terlihat arogan, itu juga bukan fungsi yang betul. Kita tahu bahwa beberapa sebut saja satu generasi di dalam yang berupaya untuk mengembalikan polisi pada citra yang sipil, tapi sekaligus berwibawa. Nah, kewibawaan itu yang diminta oleh publik, bukan polisi memperlengkapi senjatanya. Ada section-section khusus pada kepolisian yang memang harus kita persenjatai lengkap, tapi secara umum institusi itu institusi sipil.     Hersu: Nah, jadi ini sekarang kita dorong KNPI untuk menguji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, nanti orang skeptis lagi terhadap MK.  RG: Nah, itu bercampur semua. Kita minta Mahkamah Konstitusi untuk membuka pikirannya dan ada problem yang macam-macam, tapi justru kita lagi nggak percaya sama MK. Jadi, keadaan kita ada di dalam dilema itu. Tetapi dilema itu bisa kita atasi kalau ada kesepakatan masyarakat sipil untuk mendorong terus proses ini. Maka kalau Mahkamah Konstitusi mau keras kepala itu akan dianggap sebagai mahkamah dungu kalau nggak mau memperhatikan pikiran publik karena publik sekarang bahkan keinginan untuk cepat-cepat melihat hasil reformasi kepolisian itu yang harus didahulukan daripada putar-putar soal Sambo yang memang sudah ada proses hukumnya.  Hersu: Iya. Dan ini kita juga diingatkan betapa dahsyatnya potensi people power. Sebenarnya fenomena yang terjadi pada Ferdy Sambo ini sebetulnya fenomena people power juga. RG:  Ya, betul itu. Jadi opini yang digiring ke satu isu dan isu itu betul-betul masuk dalam batin publik itu enggak mungkin dicegah. Itu poinnya. Juga kemarin buruh. Buruh kemarin juga ada yang mengakui bahwa nggak akan terjadi ternyata Saudara Jumhur itu bisa memimpin mungkin sampai satu juta buruh karena di daerah-daerah juga ada gerakan. Jadi yang kita sebut sebagai people power itu datang dari kesepakatan batin rakyat. Dari cara ide diucapkan dalam bentuk protes, bukan menggiring manusia sebagai massa, tapi massa itu di dalamnya ada ide. Nah, people power itu bukan orang berkerumun untuk menjatuhkan kekuasaan, tapi ada ide untuk menghasilkan kepemimpinan baru, ada ide untuk menghasilkan keadilan baru, yang sekarang keadilan itu transaksi blackmarket saja, black market of justice. Dan kepolisian itu selalu disorot dalam kerangka itu, ada black market di situ. Jadi bersihkan itu supaya betul-betul tokoh-tokoh yang muda sekarang atau ada generasi pemimpin baru di kepolisian, lepas dari stigma black market of justice. (ida, sof)

Peringatan HUT Ke-77 RI Berkonsep Sejarah Bangsa

Jakarta, FNN - Sekretariat Presiden mengungkapkan Peringatan HUT ke-77 Republik Indonesia mengusung konsep sejarah bangsa Indonesia yang dituangkan dalam dekorasi di kawasan Istana Merdeka, Jakarta.\"Konsepnya adalah kita menggali sejarah-sejarah bangsa Indonesia. Adanya kejayaan kita, kejayaan Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram kita gali, kita jadikan satu, termasuk menggali kebudayaan-kebudayaan yang ada zaman dulu,\" kata Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono saat ditemui di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu.Heru menjelaskan kejayaan kerajaan-kerajaan di Indonesia pada masa lampau menjadi inspirasi bagi konsep dan dekorasi untuk Peringatan Detik-Detik Proklamasi Memperingati HUT Ke-77 RI pada 17 Agustus 2022.Berbeda dengan dua tahun terakhir, Sekretariat Presiden akan menyelenggarakan rangkaian Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi dan Upacara Penurunan Bendera Merah Putih dengan kondisi seperti sebelum COVID-19.Salah satunya, yakni anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) akan diturunkan secara penuh sesuai formasi 17-8-45 pada dua sesi upacara tersebut.Kemudian, Istana juga menyelenggarakan kembali kirab atau arak-arakan Sang Saka Merah Putih dan Naskah Proklamasi dari Monumen Nasional menuju Istana Merdeka.\"Perbedaannya adalah ketika kirab itu Bendera Sang Saka Merah Putih dengan (naskah) Proklamasi kita letakkan, kemudian kita turunkan dari mimbar utama. Tahun-tahun lalu kan dari samping menuju mimbar utama,\" kata Heru.Adapun Bendera Merah Putih Pusaka nantinya tidak akan dikibarkan, begitu juga dengan Naskah Proklamasi yang disimpan dalam kotak khusus sehingga tidak diperkenankan kedua benda bersejarah tersebut untuk disentuh.Sementara itu, busana adat yang akan dikenakan Presiden Joko Widodo saat menjadi Inspektur Upacara masih dipilih. \"Sedang dipilih. Kandidat daerah belum tahu, masih ada tiga daerah,\" kata Heru.Istana pada hari ini (Minggu) masih melakukan gladi kotor kedua kali untuk persiapan rangkaian kegiatan Peringatan Detik-Detik Proklamasi Memperingati HUT Ke-77 RI pada Rabu, 17 Agustus 2022.Pada Senin (15/8), Istana akan melakukan gladi bersih untuk menyamakan waktu atraksi \"fly pass\" oleh TNI AU dengan Detik-Detik Proklamasi di Istana Merdeka. Kemudian pada sore harinya, Presiden dijadwalkan mengukuhkan anggota Paskibraka. (Ida/ANTARA)

Angkat LaNyalla Jadi Dewan Pembina, FSKN Dukung DPD RI Perjuangkan RUU PPBAKN

Jakarta, FNN – Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) mengangkat Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, sebagai dewan pembina. Hal sekaligus dukungan konkret kepada DPD RI untuk memajukan kebudayaan Nusantara melalui Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pelestarian Budaya Adat Kerajaan Nusantara (PPBAKN). Dukungan disampaikan saat FKSN bersilaturahmi dengan LaNyalla, Kamis (11/8/2022).  Dalam kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator Bustami Zainuddin (Lampung) dan Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero. Dari FSKN, hadir Ketua Umum Brigjen Pol (Purn) Ahmad Aflus Mapparessa, Sekretaris Umum Rasich Hanif Radinal, Ketua Ad Hoc Prolegnas RUU Ichdar Kuneng Bau Massepe Anggota Ad Hoc Prolegnas RUU Muhamad Joni, Dewan Penasehat Teuku Rafly Pasya, Dewan Pakar Evi Oktavia dan Engkus K Anang Ketua Dept Humas Tengku Ryo. Ketua Kesekretariatan Ahmad Jazuli, serta para anggota DPP FSKN Connie Constantia, Bowo Widodo, Tengku M. Ravi dan Lucky Arimunandar. Ketua Umum FSKN yang juga Karaeng Turikale VIII Maros Sulawesi Selatan, Brigjen Pol (Purn) Ahmad Aflus Mapparessa menjelaskan, sebagai elemen bangsa, mereka juga berkeinginan untuk ikut serta memajukan bangsa ini.  “Kami ingin memberikan sumbangsih bagi negeri ini, salah satunya dengan mendorong pemajuan kebudayaan Nusantara,” kata Aflus pada pertemuan yang diselenggarakan di Gedung B Komplek Parlemen Senayan, Kamis (11/8/2022). Dikatakannya, ada beberapa pokok mengenai peran keraton dalam memajukan kebudayaan Nusantara. Pertama, keraton merupakan kawasan cagar budaya yang merupakan tempat warisan budaya benda dan warisan budaya tak benda. “Keraton juga merupakan pusat konservasi dan pelestarian nilai-nilai budaya. Keraton juga merupakan episentrum kebudayaan yang mendinamisasi kehidupan masyarakat,” kata Aflus.  Selain itu, Aflus menilai keraton juga merupakan kekayaan pengetahuan yang tersimpan dalam manuskrip, praktik kehidupan di lingkungan dan tradisi lisan masyarakat. “Keraton juga sebagai inspirasi penciptaan karya ilmiah dan karya budaya bagi seniman, budayawan, akademisi dan masyarakat,” kata Aflus. “Obyek pemajuan kebudayaan itu ada beberapa di antaranya tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat dan olahraga tradisional,” tambah Aflus. Menanggapi hal itu, Ketua DPD RI menegaskan jika lembaganya memang diberikan peran untuk menjaga dan memajukan kebudayaan nasional.  “Bagi kami, pelestarian warisan nusantara dan budaya luhur Nusantara sangat diperlukan sebagai bagian dari ciri dan karakter bangsa Indonesia, sekaligus sebagai filter bagi masuknya pengaruh negatif dari konsekuensi globalisasi tanpa batas yang terjadi saat dan di masa-masa mendatang,” kata LaNyalla. Senator asal Jawa Timur itu mengingatkan pemerintah agar memberi dukungan konkret untuk kemajuan budaya nasional karena merupakan amanat konstitusi yang mengikat negara, sebagaimana tercantum pada pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. “Amanat konstitusi itu mengikat semua elemen bangsa. Artinya pemerintah, baik daerah maupun pusat, dan seluruh aparatur negara harus memberikan dukungan nyata kepada pemajuan kebudayaan nasional, sebab bila tidak, itu berarti kita tidak menjalankan perintah konstitusi,” papar LaNyalla. Kebudayaan nasional menurut LaNyalla merupakan mozaik dari kebudayaan daerah yang lahir dari nilai-nilai adiluhung kerajaan dan kesultanan Nusantara. “Dukungan negara kepada kebudayaan nasional harus tercermin dan seiring dengan dukungan negara kepada keberadaan kerajaan dan kesultanan Nusantara sebagai penjaga marwah kebudayaan daerah serta kearifan lokal Nusantara,” tegas LaNyalla. Menurut LaNyalla, sumbangsih kerajaan Nusantara terhadap lahirnya Indonesia tidak bisa dihapus dalam sejarah. Kerajaan Nusantara telah melahirkan tradisi pemerintahan, penulisan, pendidikan, pengobatan, hingga tradisi kemiliteran di darat maupun di laut. Sementara dukungan materiil diberikan berupa bantuan uang, emas, tanah kerajaan dan bangunan untuk digunakan bagi kepentingan pendirian negara di awal kemerdekaan, bahkan hingga saat ini, sejumlah tanah dan aset kerajaan Nusantara masih dipergunakan untuk kepentingan pemerintah. “Indonesia menjadi negara besar karena lahir dari sebuah peradaban yang besar dan unggul, yaitu peradaban kerajaan dan kesultanan Nusantara yang mewariskan banyak tradisi, nilai-nilai luhur dan adiluhung kepada bangsa ini,” ulas LaNyalla. Dari semua itu, hal terpenting yang harus dilakukan adalah kembali kepada UUD 1945 naskah asli. Dengan kembali kepada UUD 1945 naskah asli, maka kebudayaan Nusantara akan terjaga dengan baik. “Saya meminta kepada FSKN untuk turut serta meresonansikan hal ini,” pinta LaNyalla. (Sof/LC)

Dukung UUD 1945 Kembali ke Naskah Asli, Forum API Sampaikan Tujuh Sikap

Jakarta, FNN – Forum Alumni Perguruan Tinggi Indonesia (Forum API) mendukung upaya Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, agar bangsa ini kembali kepada UUD 1945 naskah asli untuk selanjutnya disempurnakan secara adendum. Ketua Umum Forum API, Akhmad Syarbini, menegaskan yang diperjuangkan LaNyalla bukan perjuangan pribadi. Namun gerakan rakyat untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli sebagai perjuangan mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. “Oleh karenanya, pada pertemuan ini saya akan bacakan pernyataan sikap kami secara resmi,” kata Akhmad Syarbini, saat menemui LaNyalla di Ruang Sriwijaya Gedung B Komplek Parlemen Senayan, Kamis (11/8/2022). Akhmad Syarbini juga membacakan pernyataan sikap resmi Forum API. Pertama, menyadari bahwasanya cengkraman oligarki di Indonesia telah merasuk dan merambah dalam berbagai bidang kehidupan baik ekonomi, sosial, politik, hukum, pemerintahan (eksekutif), bahkan yudikatif yang pada kenyataannya semakin menjauhkan dari bagi pencapaian cita-cita kemerdekaan RI. “Kedua, kekuasaan oligarki di Indonesia semakin menjadi ancaman nyata dan benar-benar telah menguasai sendi-sendi kehidupan rakyat dan sangat membahayakan eksistensi bangsa dan NKRI,” kata Akhmad Syarbini. Ketiga, kesadaran rakyat dan segenap komponen bangsa atas fenomena kekuasaan oligarki ini telah menjelma menjadi spirit dan gerakan perlawanan secara terbuka untuk membasmi oligarki dari muka Bumi Pertiwi Indonesia.  Keempat, Forum API bertekad dan beraksi mewujud-nyatakan gerakan perlawanan membasmi oligarki dari muka bumi Ibu Pertiwi Indonesia, sebagai bagian dari komponen bangsa yang mendasarkan kepada intelektualitas, pemikiran rasional akademik dan obyektif. Kelima, Forum API akan terus berjuang bersama rakyat dengan membangun aliansi dengan komponen bangsa lainnya untuk bersama-sama berjuang membasmi oligarki dengan keseluruhan kolaborator dan antek-anteknya dari Bumi Pertiwi Indonesia, demi tercapainya cita-cita kemerdekaan RI. Keenam, sebagai bagian dari komponen bangsa yang mendasarkan kepada intelektualitas, pemikiran rasional akademik dan obyektif serta berpegang kepada konstitusi dan nilai-nilai kebangsaan, maka Forum API menyatakan bahwa kami, alumni perguruan tinggi Indonesia yang bergabung di dalam Forum API menyatakan bahwa kembali kepada UUD 1945 asli merupakan perwujudan dari gerakan perlawanan membasmi oligarki di Indonesia sampai ke akar-akarnya untuk mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan RI 1945 yaitu kesejahteraan rakyat berkeadilan. Terakhir, Forum API mendukung Ketua DPD RI Bapak AA LaNyalla Mahmud Mattalitti sebagai tokoh bangsa yang telah benar-benar nyata menyuarakan perlawanan dan menunjukkan komitmen kuat untuk membasmi oligarki dan sejalan dengan platform perjuangan Forum API dalam rangka menggaungkan dan mensosialisasikan kembali kepada UUD 1945 naskah asli agar kesejahteraan rakyat sebagai cita-cita proklamasi kemerdekaan RI dapat terwujud sepenuhnya. Forum API berdiri pada tahun 2019. Salah satu tujuannya adalah menyudahi polarisasi bangsa yang tak perlu ada. Forum API ini terdiri dari 37 perguruan tinggi se-Indonesia.  Menanggapi hal itu, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan jika aspirasi Forum API akan ditindaklanjuti dengan pimpinan DPD RI dan Komite terkait. “Prinsipnya, kita sama dan satu gelombang,” tegas LaNyalla.  Ia menjelaskan, hingga kini dirinya telah berkeliling 34 provinsi dan lebih dari 300  kabupaten/kota se-Indonesia. “Fakta-fakta yang saya temukan, tentang kehidupan masyarakat secara langsung, jauh dari apa yang kita bayangkan,” ujar LaNyalla. Senator asal Jawa Timur itu menilai persoalan bangsa dan karut marutnya pengelolaan negeri ini terjadi sejak amandemen konstitusi pada tahun 1999-2002.  “Sejak saat itu muncul berbagai macam persoalan di negeri ini. Maka, saya menilai karut marut pengelolaan bangsa ini harus disudahi. Caranya adalah, benahi hulunya. Ketika hulunya diperbaiki, maka hilirnya juga mengikuti. Apa itu hulunya, adalah konstitusi bangsa kita,” papar LaNyalla. Oleh karenanya, LaNyalla menilai kita harus kembali kepada UUD 1945 naskah asli, untuk selanjutnya diperbaiki secara adendum. “Keributan yang ada di hilir itu karena hulunya rusak,” tegas LaNyalla. LaNyalla menegaskan akan memimpin sendiri gerakan pengembalian kedaulatan kembali kepada rakyat.  “Saya sudah mewakafkan diri saya untuk rakyat Indonesia. Karena saya sekarang sudah masuk dalam dunia politik kenegaraan,” tegas LaNyalla. LaNyalla sudah berkomitmen jika jabatan yang diembannya sebagai Ketua DPD RI akan digunakan sebaik-baiknya untuk menegakkan kebenaran, agar kesejahteraan rakyat sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa dapat tercapai.  “Yang kita sampaikan adalah kebenaran. Untuk apa kita takut ketika kita menyampaikan kebenaran. Kebenaran itu dapat disalahkan, tetapi kebenaran tak dapat dikalahkan,” tegas LaNyalla.  Menurutnya, yang terpenting dalam bersikap harus mengedepankan akal, pikir dan dzikir. “Saya sudah membuat peta jalan kembali kepada UUD 1945 naskah asli. Jadi, kalau ada yang tidak mau kembali kepada UUD 1945 naskah asli, artinya tidak mau kedaulatan ada di tangan rakyat,” kata LaNyalla. LaNyalla mengajak kepada Forum API untuk ikut meresonansikan kepada masyarakat agar kita dapat secepatnya kembali kepada UUD 1945 naskah asli. “Saya minta Forum API untuk ikut meresonansikan bahwa kita harus kembali kepada UUD 1945 naskah asli,” kata LaNyalla. Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator asal Lampung, Bustami Zainuddin, Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero serta Kabiro Setpim DPD RI, Sanherif Hutagaol.  Sedangkan Akhmad Syarbini didampingi Plt Sekretaris Jenderal Forum API, Asrianty Purwantini dan puluhan aktivis Forum API dari sejumlah perguruan tinggi. (Sof/LC)

Pemimpin Indonesia Harus Memiliki Kapasitas Tinggi

Jakarta, FNN - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan Indonesia memerlukan pemimpin yang memiliki kapasitas tinggi untuk menghadapi berbagai tantangan global.\"Saat ini masih terlalu jauh untuk berbicara politik 2024. Pekerjaan rumah kita masih besar dan tantangan juga masih banyak; yang jelas, pemimpin Indonesia ke depan harus memiliki kapasitas tinggi untuk menghadapi berbagai macam tantangan global,\" kata Moeldoko dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.Selain memiliki kapasitas tinggi, lanjutnya, sosok kepala negara Indonesia juga harus mampu adaptif terhadap perubahan dan berani mengambil risiko atas kebijakan yang diambil secara konstitusional.Selanjutnya, pemimpin Indonesia harus siap menghadapi kompleksitas dampak globalisasi dan siap merespons kejutan-kejutan yang akan terjadi akibat kemajuan teknologi.\"Selain harus memiliki kapasitas tinggi, pemimpin Indonesia ke depan harus siap dengan semua perubahan-perubahan,\" ujarnya.Dalam pertemuan dengan salah satu pimpinan media, mantan Panglima TNI itu juga berpesan agar media tidak terjebak dengan pemberitaan yang cepat tanpa mengedepankan kebenaran. Apalagi, saat ini sumber informasi bisa didapat dari siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. (Ida/ANTARA)

Termodinamika Politik Istilah Baru Peran Oposisi Sebagai Roda Penggerak Demokrasi

Jakarta,  FNN - Menyambut ulang tahun kemerdekaan RI ke-77, portal berita Forum News Network (FNN) menggelar diskusi publik bertajuk \"Refleksi 77 Tahun Indonesia Merdeka Membangun Ekonomi, Politik & Hukum yang Beradab\" Kamis, 10 Agustus 2022 di aula Soho Pancoran, Jakarta Selatan. Acara yang dihadirkan secara hybrid itu dipandu oleh wartawan senior, Hersubeno Arief ini, dengan narasumber  antara lain Tamsil Linrung (anggota DPD-RI), Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi), Rocky Gerung (pengamat politik), Ahmad Yani (praktisi hukum), MS Ka\'ban (mantan Menteri Kehutanan) dan sebagai keynote speaker Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti melalui rekaman video. Rocky Gerung memberikan sebuah pandangan baru terkait oposisi (pihak yang berlawanan dengan pemerintah) bahwa oposisi itu diperlukan dalam pemerintahan yang sehat  Rocky menjelaskan bahwa, oposisi adalah salah satu pilar penting dalam menggerakan roda demokrasi. Oposisi berperan sebagai pihak penegur penguasa ketika dinilai \"kebablasan\" dalam menjalankan kepemerintahan.  \"Jadi oposisi itu semacam teguran terhadap kekuasaan, oposisi itu adalah interupsi terhadap kekuasaan,\" ujarnya Rocky juga menjelaskan bahwa adanya kesamaan antara oposisi dengan teori fisika termodinamika ke-2, dimana baik elemen panas maupun oposisi sama-sama memindahkan satu energi positif dari satu dimensi ke dimensi lain.  \"Jadi sekali lagi, kita mau mengucapkan \'oposisi\' karena hanya dengan cara itu kita bisa mentransfer energi kita pada masa depan, ber oposisi artinya kita menabung harapan untuk masa depan,\" ujarnya. Mantan pengajar filsafat di FIB Universitas Indonesia itu menambahkan bahwa karena adanya kesamaan antara fisika dengan politik, maka dapat kita sebut bahwa \"Oposisi\" adalah termodinamika dalam politik.  Diskusi ini dibuat dengan tujuan untuk mengingatkan kembali masyarakat terhadap perjalanan panjang bangsa Indonesia yang genap berumur 77 tahun sejak kemerdekaanya. (hab)

Rocky Gerung: Kejahatan Ekonomi-Politik Bisa Disembunyikan dari CCTV, namun Tidak Bisa dari Akal Sehat

Jakarta, FNN – Pengamat politik Rocky Gerung menegaskan bahwa bangsa ini belum merdeka secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, masih banyak orang miskin sedangkan secara politik bangsa ini belum merdeka dari jeratan presidential threshold 20 persen. “Kesimpulan saya adalah bahwa Indonesia tidak merdeka, baik secara ekonomi dan secara politik. Hal ini dikarenakan kejahatan ekonomi-politik dapat disembunyikan dari CCTV, namun tidak dapat disembunyikan dari kecerdasan akal,” katanya dalam diskusi publik bertemakan \"Refleksi 77 Tahun Indonesia Merdeka, Membangun Ekonomi, Politik, dan Hukum yang Beradab\" di aula Soho Pancoran, Jakarta Selatan yang digagas oleh portal berita Forum News Network (FNN) Rabu (10/08/22). Rocky juga mengaitkan permasalahan di istana dengan teori fisika thermodinamika. Dikatakan Rocky bahwa oposisi itu penting karena itu merupakan teguran atau interupsi terhadap kekuasaan. Selain Rocky, beberapa pembicara yang hadir antara lain H.A.A. LaNyalla Mahmud Mattalitti (Ketua DPD RI), Tamsil Linrung (anggota DPD RI), Rocky Gerung (pengamat politik), Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi), MS Kaban (manten Menteri Kehutanan), dan Ahmad Yani (praktisi hukum). Acara yang berlangsung selama 4 jam itu dipandu oleh dua wartawan senior FNN, Hersubeno Arief sebagai moderator dan Agi Betha sebagai MC.   \"Jadi, kalau hari ini kita melakukan refleksi 77 tahun Indonesia merdeka dengan tonggak Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi tidak nyambung lagi, karena negara proklamasi sudah bubar sejak tahun 2002 karena pergantian konstitusi yang dilakukan di tahun 1999 sampai 2002 telah memenuhi unsur-unsur pembubaran negara Proklamasi 17 Agustus 1945 karena telah menghilangkan nilai perjanjian luhur bangsa Indonesia,\" ujar LaNyalla dalam pidato yang disampaikan secara daring sebagai topik pembahasan pada diskusi publik ini. Tamsil Linrung menanggapi refleksi 77 tahun Indonesia berdasarkan relevansi tujuan bernegara yang terlampir pada mukadimah UUD 1945. Tamsil menyoroti ketidaksetaraan kehidupan masyarakat dengan isi tujuan negara dengan merefleksikannya melalui kondisi masyarakat Indonesia. Selain itu, faktor lainnya datang dari pengaruh oligarki yang mana ditempatkan pada masa keemasan di negara ini. Tamsil juga menyampaikan adanya harapan terjadi reformasi ketika suatu konstitusi kebablasan saat menangani permasalahan. Sementara praktisi hukum Ahmad Yani, menyinggung dari sisi hukum bahwa adanya kontradiksi dalam batang tubuh UU mengenai liberalisasi yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar UUD negara Indonesia. Yani juga menyentil soal konstruksi lembaga negara dan produk undang-undang yang perlu dikaji ulang. Dalam kesempatan ini, Yani juga mengharapkan agar struktur institusi dapat ditata ulang sehingga berbagai permasalahan yang sedang dihadapi, seperti kasus FS, KM50, dan Djoko Tjandra dapat diselesaikan oleh institusi yang terlibat sesuai dengan prosedurnya. Mantan Menteri Kehutanan MS Kaban merujuk pada pendapat LaNyalla dan Yani bahwa batang tubuh UU yang berubah, sedangkan pembukaan adalah tekad niat negara Indonesia. Kaban mengaitkan pada persoalan sejarah orde baru hingga masa reformasi. Keunggulan partai-partai yang tidak reformis sehingga terjadi perubahan UUD yang tidak sesuai dengan mekanisme. Kaban juga mempertanyakan pertanggungjawaban presiden dan berpesan agar masyarakat memahami keadaan politik di Indonesia, terutama generasi muda. “Enak banget jadi presiden sekarang, tidak ada pertanggungjawaban di akhir jabatan,” katanya heran. Dari sudut pandang ekonomi, Ichsanuddin Noorsy membahas kecemasan masyarakat. Kecemasan yang berkaitan dengan ekonomi itu dibagi menjadi periode masa Soekarno hingga tahun 1998 dan masa Habibie sampai Joko Widodo. Kesimpulan yang disampaikan adalah Indonesia belum merdeka. Dalam bahasannya, masyarakat harus dapat menerima 5-I, yaitu dapat menerima invasi, intervensi, infiltrasi, interferensi, dan tidak perlu takut untuk intimidasi. Ichsanuddin juga membahas utang yang dimiliki di setiap periode kepresidenan yang berdampak pada masalah struktural. Diskusi publik berlangsung selama hampir 4 jam dan ditutup dengan sesi tanya jawab dari peserta diskusi. Pertanyaan dijawab oleh setiap pembicara dari masing-masing perspektif. Di kesempatan terakhir, moderator berharap dengan diselenggarakan diskusi ini, segala materi yang disampaikan dapat bermanfaat bagi seluruh peserta yang hadir. Acara dimulai sekitar pukul 14:30 hingga 17.30 WIB dan juga disiarkan secara daring melalui kanal Youtube FNN TV. (oct)

Refleksi 77 Tahun Kemerdekaan RI, Inilah Masa Keemasan Oligarki

Jakarta, FNN –  Bangsa Indonesia seharusnya menikmati kemerdekaan secara nyata. Merdeka dari kebodohan, kesengsaraan, kemiskinan, dan cengkeraman oligarki. Peran tinggi yang menjadikan kesenjangan sosial merajalela disebabkan oleh kekuasaan oligarki. Maka, kita harus kembali serius mengenai ketatanegaraan kita. Demikian disampaikan anggota DPD RI 2019-2024 mewakili Sulawesi Selatan, Drs. H Tamsil Linrung saat menjadi narasumber dalam acara diskusi publik dengan tema ‘Refleksi  77 Tahun Indonesia Merdeka Membangun Ekonomi, Politik, dan Hukum yang Beradab,’ yang digagas Forum News  Network (FNN) di aula Soho Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (10/08). “Kita harus serius mengenai kajian ketatanegaraan kita, UUD sekarang bukan 1945 tetapi 2002, karena itu kalau kita mau melakukan refleksi 77 tahun Indonesia, apa yang selama ini dikawal FNN tidak relavan, karena isi dari mukadimah UUD RI 1945 salah satunya membahas mengenai ‘mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap masyarakat dan tumpah darah Indonesia, mensejahterahkan masyarakat umum. Namun, faktanya semua ini kita semakin jauh dari lapangan, survei membuktikan kesenjangan,” tegasnya. Tamsil merasa prihatin lantaran adanya ketidaksetaraan politik dan bagaimana kehidupan masyarakat semakin jauh dari sejahtera, serta angka kemiskinan semakin bertambah. Ada kondisi di mana masyarakat masih banyak yang kelaparan, mereka hanya mengkonsumsi nasi dan garam, lalu ada beberapa aktivitas masyarakat yang tidak menghasilkan. Sungguh sangat menyedihkan apabila berpendidikan tinggi tetapi tidak punya pekerjaan, ini merupakan tujuan awal untuk mengembalikan makna bernegara. Problem hari ini lanjut Tamsil adalah masalah kekuasaan oligarki yang sangat kuat. Pemimpin Indonesia kehausan jabatan. Semua berada di bawah cengkraman oligarki. Negeri ini terlalu memanjakan dan menempatkan oligarki. Maka, masa keemasan tumbuh subur di Indonesia di tahun ini juga. “Tema yang dicanangkan yaitu mengenai Ekonomi, Politik, dan Hukum yang menjadi fokus dan berada dalam lingkup DPD RI, adalah untuk mengembalikan kedaulatan ke masyarakat,” jelasnya. Menurut Tamsil, ketidaksesuaian juga berdampak pada kondisi saat ini, yang mencanangkan pemilu. Pada dasarnya, spirit dari tonggak reformasi dahulu menggaungkan bahwa presiden tidak lebih dari tiga periode. Merujuk pada Putusan MK sebelum proglegnas DPD RI memprioritaskan apa yang menjadi bahasan UU RI Tahun 2017 Pasal 222, mengenai Presidential Threshold yang kalau dirangkai UUD 1945 Pasal 6A Ayat (2) mengenai paket-paket calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Kedua pasal tersebut, kata Tamsil benar-benar tidak sejalan. Karena kondisi krisis kepemimpinan (Pemilu) menjadi penghambat kedaulatan yaitu adanya angka 25% mandat partai atau gabungan partai. Sudah saatnya kepemimpinan kembali mengambil dasar-dasar nilai keutamaan yang ada pada UUD 1945 dengan addendum. Tamsil dan DPD RI mengajak masyarakat terus mengawal apa yang seharusnya makna dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Acara ini dilaksanakan oleh portal berita Forum News Netwotk (FNN) pada Rabu, 10 Agustus 2022, bertempat di Gedung Soho lt. 9, Jl. MT Haryono, Pancoran, Tebet, Jakarta Selatan. Acara berlangsung mulai dari pukul 13.00 hingga 17.00 dengan pembicara kunci AA LaNyalla Mahmud Mattaliti (Ketua DPD RI), Tamsil Linrung (Ketua Kelompok DPD untuk MPR RI), Rocky Gerung (pengamat politik),  Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi), mantan Menteri Kehutanan MS Kaban, dan Ahmad Yani (praktisi hukum). Acara ini dipandu  oleh wartawan senior FNN Harsubeno Arief. (ind)

Refleksi 77 Tahun Kemerdekaan Indonesia, LaNyalla: Tujuan Bernegara Sudah Dihapus Total Sejak 2002

Jakarta, FNN – Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk memberikan dukungan kepada negara dan bangsa ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satunya dengan mengajak masyarakat untuk mengetahui isu-isu dan situasi dalam negara serta memikirkan dan bertindak mencari  solusinya. Sebagai bentuk kepedulian atas kondisi bengsa yang semakin memprihatinkan, Forum News Network menyelenggarakan diskusi publik dalam rangka memperingati HUT RI  ke-77 yang berjudul \"Refleksi 77 Tahun Indonesia Merdeka, Membangun Ekonomi, Politik dan Hukum yang Beradab\". Acara ini dilaksanakan pada Rabu, 10 Agustus 2022, bertempat di Gedung Soho lt. 9, Jl. MT Haryono, Pancoran, Tebet, Jakarta Selatan. Acara berlangsung mulai dari pukul 13.00 hingga 17.00 dengan pembicara kunci AA LaNyalla Mahmud Mattaliti (Ketua DPD RI), Tamsil Linrung (Ketua Kelompok DPD untuk MPR RI), Rocky Gerung (pengamat politik),  Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi), Ahmad Yani (praktisi hukum) dan MS Kaban (mantan Menteri Kehutanan). Acara ini dipandu oleh Harsubeno Arief, selaku Dewan Redaksi FNN. Sebagai pembicara kunci dalam acara , LaNyalla mengatakan bahwa bangsa Indonesia sudah tidak bisa merefleksikan kemerdekaan dengan uji cita-cita dan tujuan bangsa. \"Karena sangat jelas cita-cita dan tujuan nasional yang terdapat di dalam Pembukaan serta Pancasila sudah tidak nyambung lagi dengan isi pasal-pasal di dalam konstitusi itu,\" papar LaNyalla. \"Lebih parah lagi naskah penjelasan undang-undang Dasar 1945 yang sangat terang benderang untuk menjelaskan bagaimana mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional negara ini resmi dihapus total sejak tahun 2002,\" tambahnya. Hal itu bermula pada 13 November 1998 Tap MPR XVIII/MPR/1998 telah mencabut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai materi pendidikan ideologi yang diterapkan melalui penataran P4 dengan pertimbangan karena Materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Dengan tegas LaNyalla mengatakan bahwa sumber masalah yang terjadi lantaran terjadinya amandemen UUD 1945 yang ugal-ugalan. \"Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena penghilangan Pancasila sebagai identitas konstitusi dilakukan secara malu-malu tapi mau atau malu-malu kucing, sehingga kita menjadi bangsa yang memalukan karena terhina untuk selalu meminta-minta pinjaman dan utang,\" tegasnya. Di akhir pernyataannya, LaNyalla berdoa untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, juga mengajak untuk selalu bersatu. \"Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar dengan cara addendum sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm agar Indonesia kembali dengan sistemnya sendiri,\" ucapnya sambil terisak menahan kesedihan. Tujuan digelarnya acara ini, untuk mengingatkan kembali kepada rakyat tentang keadaan Indonesia sejak kemerdekaan hingga kini. Selain itu juga untuk mengingatkan bahwa Indonesia sekarang sedang berada dalam kondisi kritis, serta membuka wadah aspirasi bagi masyarakat. (fik)

Ichsanuddin Noorsy: Ada Tiga Hal yang Menandai Indonesia Belum Merdeka

Jakarta, FNN – Menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-77, masyarakat antusias memasang bendera dan umbul-umbul. Sesungguhnya jika ditelaah lebih dalam, tujuh puluh tujuh tahun Indonesia dilahirkan, akan tetapi Indonesia masih belum merdeka. \"Saya mulai dengan cerita era Soekarno. Sebenarnya Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949 itu adalah asal muasal Indonesia dijajah. Jadi, setelah merdeka, habis-habisan bertahan, aksi militer satu, aksi militer dua. Maka sejak KMB 27 Desember 1949 melahirkan Republik Indonesia Serikat (RIS) maka sesungguhnya hingga saat ini Indonesia masih belum merdeka,\" kata pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy dalam diskusi publik \'Refleksi 77 Tahun Indonesia Merdeka Membangun Ekonomi, Politik, dan Hukum yang Beradab\' yang diselenggarakan oleh Forum News Network (FNN) di aula lantai 9 Soho Pancoran, Jakarta Selatan (10/8/22). Dalam pandangan Ichsan – panggilan akrabnya -  bahwa ada tiga hal yang menandai Indonesia belum merdeka. \"Pertama adalah Indonesia ingin tetap tertib mempertahankan birokrasi di perusahaan-perusahaan asing. Yang kedua, Indonesia diminta untuk mematuhi ketentuan ekonomi dan keuangan yang ditetapkan oleh IMF. Dan yang menarik adalah ketiga, bahwa Indonesia diminta untuk melunasi utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 4,5 miliar gulden. Padahal utang itu dibuat dalam rangka Belanda menyerang Indonesia,\" paprnya. Ichsan mengartikan ketiga hal itu sebagai bentuk penundukan dan penerimaan terhadap invasi, intervensi, infiltrasi, interferensi, dan intimidasi. Dalam upaya melawan penjajahan tersebut, mantan anggota DPR RI tersebut mengatakan bahwa Soekarno membatalkan perjanjian KMB pada 1956. \"Padahal KMB adalah salah satu wujud intervensi, invasi, infiltrasi, interferensi, dan intimidasi, dibatalkan oleh Soekarno. Apa artinya? Soekarno tidak ingin membayar utang yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, Soekarno tidak mau menjadi anggota IMF, dan Soekarno tidak ingin perusahaan-perusahaan Belanda mengeruk habis harta. Maka dilakukanlah nasionalisasi,\" jelas Ichsanuddin. Faktor ekonomi yang begitu disoroti oleh Ichsanuddin Noorsy menjadi faktor yang sangat menentukan masa depan. Bahkan Ichsanuddin memaparkan kemungkinan terjadi atau tidaknya sebuah krisis ekonomi. Dan pada akhir pernyataan, Ichsanuddin yang pernah menjadi wartawan itu mengajak untuk menjalankan visi dan misi bangsa Indonesia. \"Kita kembali ke dalam visi dan misi Indonesia. Visi Indonesia adalah Indonesia yang bebas, merdeka, berdaulat, adil, dan makmur, alinea kedua Undang-undang Dasar. Dan misinya adalah aliena keempat,\" pungkasnya. Selain Ichasnuddin Noorsy, pembicara yang hadir dalam diskusi tersebut antara lain anggota DPD RI, Tamsil Linrung, mantan Menteri Kehutnana MS Kaban, dan pengamat politik Rocky Gerung, praktisi hukum Ahmad Yani dengan moderator Hersubeno Arief, wartawan senior FNN. Ketua DPD RI, LaNyalla Mattalitti hadir dalam bentuk rekaman video menyampaikan keynote speaknya. Di ujung pidatonya, LaNyalla tampak ingin menangis menahan kesedihan dan kekecwaaan yang mendalam menyaksikan perjalanan bangsa Indonesia. (rac)