ALL CATEGORY
Jokowi Menerjemahkan Secretary of Commerce menjadi Sekretaris Perdagangan, Rocky Gerung: Dia Tak Paham Adab Istilah Asing
Jakarta, FNN - Kedatangan Presiden Jokowi dalam ASEAN-US Special Summit 2022 di Washington mendapat perhatian masyarakat Indonesia. Tak heran jika semua gerak dan ucapan Jokowi diperhatikan oleh para tokoh dan masyarakat di Indonesia. Sebelumnya gerakan Jokowi setelah foto bersama para pemimpin negara ASEAN bersama Presiden Amerika Serikat, Joe Biden menjadi sorotan, kini sambutan Jokowi juga menjadi bahan koreksi yang mustinya tidak terjadi. Diketahui dalam video yang diedarkan Sekretariat Presiden, Jokowi menyebut Secretary of Commerce sebagai Sekretaris Perdagangan sebagaimana kutipan pidato ini: “Ya terima kasih kepada sekretaris perdagangan Amerika Serikat Ibu sekretaris Gina Raymondo dan juga duta besar dan bisnis council atas penyelenggaraan pertemuan yang sangat penting ini,” kata Presiden. Menanggapi kekeliruan translate tersebut, pengamat politik Rocky Gerung menyatakan bahwa untuk urusan remeh-temeh pun Jokowi terlihat lemah. “Iya itu, beliau juga terlihat enggak dibrief dengan baik, sehingga seolah-olah presiden enggak ngerti kebiasaan tata negara Amerika yang memakai istilah secretary untuk status menteri. Nanti, Sekretaris Luar Negeri, misalnya, padahal US Secretary of State adalah Menteri Luar Negeri, nanti dibilang Sekretaris Negara, itu kan lain. Jadi, hal-hal dasar seperti ini juga dilihat oleh dunia bahwa presiden kok tidak dibrief dengan baik untuk paham adab penggunaan istilah di Amerika Serikat,” kata Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Sabtu, 14 Mei 2022. Rocky menyarankan Kemenlu tidak reaktif yang hanya menimbulkan bantah-membantah yang tidak efektif. “Kemenlu gak usaha membantah. Koreksi saja bahwa yang dimaksud presiden adalah Menteri yang dalam tradisi Amerika disebut Secretary. Hal elementer ini menunjukkan betapa Pak Jokowi memang dalam posisi sangat lemah,” katanya. Lebih jauh Rocky menyarankan, dalam geopolitik global sebetulnya Presiden Jokowi harusnya datang ke situ dengan profil tinggi sebagai pemimpin ASEAN. “Tapi masalahnya Jokowi bukanlah pimpinan ASEAN. Secara ekonomi kita buruk sekali, secara politik kita enggak mampu untuk menunjukkan kehadiran secara kekuatan militer di Cina Selatan, misalnya,” tegasnya. Hal-hal seperti ini, kata Rocky yang menyebabkan bangsa Indonesia diremehkan di dunia internasional. “Itu yang menyebabkan orang melihat bangsa Indonesia, bangsa yang besar tapi kapasitasnya dalam politik internasional itu kecil sekali. Itu enggak enaknya sebetulnya, negara besar dianggap recehan dalam politik global,” pungkasnya. Tak hanya Rocky Gerung yang mengkritik bahasa Presiden Jokowi, politisi Partai Demokrat yang juga mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo juga turut melontarkan kritiknya. Melalui akun twitternya @KRMTRoySuryo2 mengkritik sambutan Presiden Jokowi di ASEAN-US Special Summit with Business Leaders pada Kamis, 12 Mei 2022. Pada potongan video yang diunggah akun media sosial Biro Pers media dan informasi sekretaris Presiden, Roy Suryo mengatakan bahwa Presiden Jokowi salah menyebut jabatan Gina Raimondo. \"Saat ini VIRAL Video Sambutan ini. Ya, Saya Obyektif saja, TIDAK SALAH menggunakannya, diatur di UU (Apalagi jika Kurang Fasih Bhs Inggris). Tetapi ini SALAH MENYEBUT: Gina Raimondo itu MENTERI Perdagangan,\" kritik Roy Suryo pada Sabtu, 14 Mei 2022. Roy Suryo pun mengoreksi bahwa jabatan Gina Raimondo adalah Menteri Perdagangan, bukan sekretaris. \"Meski bhs Inggrisnya \"Secretary of Commerce\",\" ujar Roy Suryo. Meski begitu, pada unggahan Youtube Sekretariat Presiden, sambutan Jokowi yang menggunakan Bahasa Indonesia tersebut mendapat apresiasi dari masyarakat. \"Indonesia bangsa yang besar. Orang dari luar negeri sebaiknya mempelajari bahasa Indonesia jika ingin memperoleh limpahan dari kebesaran bangsa Indonesia. Saya bangga dengan Bahasa!\" ujar warganet. (ida, sws)
Keragaman Itu Keberkahan yang Menantang
Jika ada rasa itu maka sesungguhnya kerjasama (partnership) bukan sesuatu yang mustahil. Di sìnilah manusia akan mampu membangun dunia secara bersama di tengah keragaman dan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation MASIH seputar interfaith dinner tahunan Florida Minggu lalu. Salah seorang pembicara ketika itu menekankan Urgensi diversitas (keragaman). Beliau bahkan menganalogikan keragaman itu bagaikan taman bunga yang indah karena ragam warna-warni di dalamnya. Pada sesi keynote speech saya menyetujui itu. Keragaman tidak saja indah. Tapi sejatinya menjadi sunnatullah (hukum atau aturan Allah) dalam cipta-Nya. Sekaligus menjadi salah satu ayat-Nya (tanda-tanda kebesaran-Nya) dalam penciptaan. “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah bahwa Dia menciptakan langit dan bumi. (Demikian pula pada) perbedaan lisan (bahasa) dan warna (kulit) kalian. Sungguh yang demikian adalah tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir” (Ar-Rum). Maka dengan sendirinya menolak eksistensi keragaman itu. Sesungguhnya tanpa disadari sekaligus menolak kekuasaan Tuhan. Mengingkari keragaman seolah mengingkari eksistensi kekuasaan Allah SWT. Keragaman (diversity) itu memaknai adanya perbedaan-perbedaan. Sehingga jelas keliru dan tidak rasional ketika ada pihak-pihak tertentu yang ingin menyamakan segala hal. Satu di antaranya ingin menyamakan semua agama. Padahal agama-agama tersebut tidak mungkin sama. Semua agama memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar. Mereka yang mengaku pahlawan keragaman tapi di sisi lain ingin menyamakan (menyeragamkan) agama-agama mengalami “self paradox” (pribadi yang bertolak belakang). Jika semua agama dipandang sama/seragam berarti dengan sendirinya keragaman tidak lagi eksis. Oleh karenanya pemahaman tentang keragaman yang benar adalah tetap meyakini adanya Perbedaan bahkan seringkali bersifat mendasar di semua agama. Konsep Islam tentang Yesus (Isa AS) dan Kristen berbeda secara mendasar (prinsip). Maka Islam dan Kristen adalah dua bentuk keyakinan yang ragam (berbeda). Oleh karena keragaman adalah karunia (ciptaan, aturan, hukum, keputusan) Allah maka dengan sendirinya keragaman merupakan keberkahan (blessing) Allah dalam hidup manusia. Dengan keragaman manusia dapat memilih yang terbaik berdasarkan pikiran dan kebebasan kemanusiaannya. Sehingga agama itu berdasar pada pilihan dan personal. Agama tidak mungkin bisa dipaksakan karena bertentangan dengan tabiat dasar nanusia yang diberikan kebebasan oleh Tuhan. Islam dalam hal ini jelas dengan “Laa ikraaha fid diin” (tiada paksaan dalam agama). Pada sisi lain walaupun keragaman itu adalah keberkahan namun penuh dengan tantangannya. Saya menyebutnya dengan “a challenging blessing” atau keberkahan yang menantang. Dikatakan menantang karena walau bersifat alami dalam hidup manusia, bahkan menjadi sunnatullah, sering tidak disadari dan dengan mudah manusia mengoyaknya. Hal itu karena pada diri manusia ada tendensi egoisme yang tinggi. Di sìnilah sering kita lihat keragaman tidak membawa keberkahan (atau dalam bahasa agama Islam sebagai rahmah). Sebaliknya justeru menjadi jembatan perpecahan, permusuhan bahkan peperangan. Islam pun hadir dengan penawaran solusi. Saya mengistilahkan solusi ini dengan “nourishment” atau gizi keragaman. Itulah konsep “ta’aruf”. Seperti yang ditegaskan Al-Quran: “dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk lita’arafu atau saling mengenal”. Ta’aruf itu sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam dan luas, lebih dari terjemahan “saling mengenal”. Saling mengenal hanya langkah awal dari ta’aruf. Karena kata ini bermakna ‘urf misalnya yang berarti tradisi, kebiasaan, bahkan semua yang menjadikan orang lain dikenal dengannya. Dari saling mengenal akan tumbuh saling memahami (understanding). Pada tataran ini akan tumbuh sikap toleransi. Sebagai contoh saja. Saya tidak sepakat/tidak setuju dengan orang itu. Tapi saya paham kalau orang itu juga merasa benar dengan keyakinannya. Karenanya saya memahami sikap dan keputusannya. Pada tingkatan ini secara alami akan tumbuh rasa solidaritas dan kedekatan (compassion). Jika ada rasa itu maka sesungguhnya kerjasama (partnership) bukan sesuatu yang mustahil. Di sìnilah manusia akan mampu membangun dunia secara bersama di tengah keragaman dan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Sebenarnya lebih jauh lagi kerjasama itu harus ditingkatkan kepada saling membantu dan membela antara satu sama lain (defending for one another). Dunia kita adalah dunia global yang “deeply interconnected” (saling terkait). Satu contoh yang terasa di Amerika adalah bahwa “Islamophobia & Antisemitisme” adalah dua hal yang senyawa. Keduanya adalah bentuk kebencian kepada orang lain karena keyakinannya. Dalam dunia yang saling terkait keburukan yang menimpa seseorang itu adalah sejatinya keburukan yang menimpa semua orang. Perang Rusia-Ukraine saat ini berdampak pada semua manusia di semua penghujung dunia. Dan karenanya benar sebuah pernyataan yang mengatakan: “enough for evil to thrive when the good people say or do nothing” (cukuplah bagi kejahatan untuk merajalela ketika orang-orang baik diam atau tidak berbuat apa-apa”. Palestina mungkin menjadi contoh terdekat akhir-akhir ini. Para penguasa Muslim, khususnya Timur Tengah diam membisu bak tidak punya rasa melihat kekerasan-kekerasan yang menimpa saudara-saudaranya. What a tragedy! Jamaica City, 14 Mei 2022. (*)
Demo Mahasiswa dan Reproklamasi Republik
Waktunya telah tiba untuk menunjukkan sikap. Periksa hati nurani. Dengan jaminan konstitusi, ekspresikan perasaan di manapun berada dengan bergerak mereproklamasikan kembali kemerdekaan negeri yang sudah dikangkangi para oligarki ini. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts DEFORMASI kehidupan berbangsa dan bernegara selama lima tahun lebih terakhir terjadi semakin membahayakan Republik melalui pembuatan undang-undang dan tafsirnya yang semakin diabdikan bagi kepentingan oligarki, bukan publik. Oligarki semakin brutal merampas masa depan publik berusia produktif, terutama mahasiswa, sebagai komponen yang seharusnya paling tercerahkan itu. Oligarki hampir berhasil menumbangkan Republik menjadi semacam Romawi di tangan Nero. Pada saat sindrom profesionalisasi melanda kampus-kampus, demonstrasi dinilai sebagai tindakan yang close minded, dan tidak profesional, nyaris proses negara ini perlahan runtuh sebagai failed state luput dari perhatian mahasiswa. Template lulus tepat waktu, cum laude, lalu bekerja pada BUMN atau MNC dengan gaji besar dan tunjangan yang menggiurkan, sambil asyik masyuk di dunia maya benar-benar telah mengerdilkan mereka menjadi robot 2-dimensi dengan imajinasi dan visi yang menyedihkan serta dengan mudah remotely controlled. Sebagian lagi bermimpi menjadi Youtuber wannabes semacam DC. Sambil khusyu\' dalam pemberhalaan Science, Technology, Engineering and Maths (STEM), mahasiswa dan kampusnya makin mati rasa. Rasa dianggap fitur kompetensi yang buruk karena tidak rasional, sumber kecengengan, dan tidak profesional. Banyak yang tidak memahami bahwa pemujaan STEM, penelantaran liberal arts seperti seni dan sejarah adalah strategi kekuatan nekolim dan oligarki untuk menjongoskan bangsa ini. Bangsa ini perlahan tapi pasti menjadi buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan oligarki. Adalah rasa yang menggerakkan dan mengubah, bukan pikiran rasional. Adalah rasa merdeka sebagai pengalaman jiwa yang paling penting. Narasi Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka adalah narasi bak gonggongan srigala sementara kafilah penjongosan tetap berlalu. Rancangan dasar sistem pendidikan nasional yang didominasi oleh persekolahan massal tidak berubah sejak Orde Baru membuka kran investasi asing untuk program pembangunan ala Wijoyo Nitisastro dkk hingga hari ini. Persekolahan dan perkampusan kita masih tetap menjadi instrumen teknokratik untuk menyiapkan negeri ini sebagai bangsa buruh bagi kepentingan Dunia Pertama. Seharusnya, sistem pendidikan kita menjadi strategi budaya untuk mengenali dan mengembangan rasa, karsa dan cipta bagi bangsa ini untuk belajar merdeka. Di tengah kemerosotan demokrasi, desentralisasi dan pemberantasan korupsi, kita menghadapi sebuah prospek negara gagal karena mekanisme self-correction-nya lumpuh dibajak oleh oligarki. “Hukum Besi Sejarah” membuktikan, bahwa oligarki akan perlahan menjadi anarki. Oleh karena itu penting bagi gerakan mahasiswa untuk mencegah agar jangan sampai deformasi permanen kehidupan berbangsa dan bernegara oleh full-fledged oligarch terlanjur terjadi. Waktunya telah tiba untuk menunjukkan sikap. Periksa hati nurani. Dengan jaminan konstitusi, ekspresikan perasaan di manapun berada dengan bergerak mereproklamasikan kembali kemerdekaan negeri yang sudah dikangkangi para oligarki ini. Baiklah, perlu diingat bahwa jika Bung Karno dan Bung Hatta hanya kuliah melulu, keduanya tidak mungkin menjadi proklamator dan Republik ini tidak pernah ada. Bandar Lampung, 15 Mei 2022. (*)
Islamopobia Kini dan Akhir Zaman
\"Episode Islamophobia yang koheren dan direksional dengan evolusi ideologi manusia akan berakhir (The End of History). Syariat Islam akan kembali berdiri tegak, setegak-tegaknya. Pembentuk dan eksponen Islamophobia yang berdiri di belakang Dajjal terlaknat akan hancur, sehancur-hancurnya (The last Man).” Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. - Ketua Umum HRS Center Islamophobia merupakan hasil kerja ideologi politik global guna kepentingan hegemoni dan dominasi kaum anti Islam. Berbagai deskripsi memperlihatkan ekspresi kebencian terhadap Islam yang demikian overdosis. Islamophobia tidak akan pernah mengakui kebenaran absolut syariat Islam dengan universalitasnya. Pembentuk Islamophobia sesungguhnya sadar akan superioritas syariat Islam. Islamophobia dimaksudkan untuk mendiskreditkan umat Islam agar terjadi transformasi syariat Islam yang berujung inferori. Syariat Islam hendak dinegasikan dalam ekonomi politik global. Oleh karena itu transplantasi pikiran global ditanamkan ke dalam pikiran para komprador. Komprador inilah yang menjadi eksponen terdepan Islamophobia disuatu negara, termasuk Indonesia. Masifnya agitasi ditujukan guna membentuk pikiran secara salah di masyarakat. Eksponen terdepan Islamophobia menebar berita hoaks, provokasi yang didalamnya sarat dengan kebencian dan adu domba. Islam dilabelkan sebagai suatu ancaman terhadap kebebasan, kesetaraan, demokrasi, individualisme, hak asasi manusia, dan lain sebagainya. Islamophobia yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh global, regional maupun nasional. Kesemuanya itu saling berhubungan yang pada akhirnya membentuk titik ekuilibrum. Suatu kondisi terbentuknya pemufakatan jahat antara penerima manfaat (aktor global) dengan komprador Islamophobia. Pemufakatan jahat menunjuk pada tujuan menempatkan syariat Islam di bawah hukum positif. Kedaulatan Tuhan digantikan dengan kedaulatan rakyat yang dioperasionalkan secara semu, untuk tidak mengatakan palsu. Produk hukum semakin menimbulkan mudarat, para pejabat ingkar amanat dan rakyat menghamba pada korporat. Pada akhirnya aktor global mampu menjadikan negara merdeka sebagai negara satelit. Demikian itu memang telah direncanakan sejak lama guna sistem global dalam tatanan dunia baru (novus ordo secrolum). Pengendali sistem global ini tiada lain adalah Dajjal. Pastinya si “mata satu” ini akan muncul pasca al-Malhamah al-Kubro (Barat: Armageddon). Sudah demikian banyak para pakar menyampaikan hal demikian. Terkait dengan novus ordo secrolum yang dicirikan dengan globalisasi (liberalisasi ekonomi), maka kondisi saat ini menunjukkan bahwa kedaulatan negara semakin pudar. Peran negara telah tergantikan dengan actor nonstate. Oligarki ekonomi dan politik memiliki posisi dominan yang terhubung dengan kepentingan global. Sejalan dengan itu, peranan agama Islam semakin mendapatkan tekanan dengan menguatnya paham sekularisme. Di sisi lain persekusi dan kriminalisasi dilakukan klasterisasi. Penerapannya demikian terstruktur, sistemik dan masif. Klasterisasi hukum dimaksudkan terhadap pihak yang berseberangan dengan pemangku posisi dominan. Demikian itu semakin mengokohkan upaya penegasian syariat Islam. Untuk kepentingan itu eksponen terdepan Islamophobia menjalankan agenda global. Agenda global dimaksud adalah mencegah kebangkitan Islam. Tegasnya memutus peta jalan sistem pemerintahan yang dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin. Tidaklah heran, jika Islam selalu digambarkan sebagai ancaman lipat tiga: ancaman politik, ancaman peradaban, dan ancaman demografi. Kemudian memberikan stereotip yang menggeneralisasi seperti, \"Islam fanatik,\" \"Islam militan,\" \"Islam fundamentalis,\" “Islam teroris” dan seterusnya. Fukuyama dan Huntington pernah meramalkan Islam akan menjadi musuh bebuyutan Barat. Terlepas asumsi tersebut diterima atau tidak, namun yang jelas ada ketakutan (fobia) terhadap kebangkitan Islam kelak di akhir zaman. Kekhalifahan Islam di bawah komando Imam Mahdi akan menghancurkan kaum kafir dan zionis Israel. Dajjal akan dieksekusi oleh Nabi Isa as. Saat itulah terjadi benturan yang demikian dahsyat. Bukan benturan peradaban (Clash of Civilizations) sebagaimana dikatakan Huntington, akan tetapi puncak benturan antara yang haq dan bathil. Antara haq dengan bathil tidak akan mungkin bersatu. Dikatakan demikian oleh karena haq itu berpihak kepada Allah, sementara bathil berpihak kepada musuh-musuh Allah. Pada akhirnya episode Islamophobia yang koheren dan direksional dengan evolusi ideologi manusia akan berakhir (The End of History). Syariat Islam akan kembali berdiri tegak, setegak-tegaknya. Pembentuk dan eksponen Islamophobia yang berdiri di belakang Dajjal terlaknat akan hancur, sehancur-hancurnya (The last Man). Jakarta, 15 Mei 2022.
Kursus Penganten
Oleh Ridwan Saidi - Budayawan Hampir tak terpikir kalau Jepang menggelar kegiatan kursus penganten untuk gadis-gadis yang sudi. Yang pria tak dikursus, mungkin dianggapnya banyak lelaki yang telah berpengalaman. Sembarangan saja \'tu Jepang. Ternyata kursus banyak peminatnya. Kursus antara lain mengajarkan cara bikin kue dari bahan murah, misal kue Satu yang terbuat dari tepung terigu dan sedikit gula. Satu bukan one, dalam Betawi satu itu hatu, atau atu. Dua bukan two, tapi lebar. Tiga tinggi, bukan three. Betawi genre pemula menghitung four ampat. Dan bukan perempatan tapi prapatan. Prapatan Lima di Tanjung Priuk Kramat Tunggak. Prapatan Tuju di Tangerang. Ini simpang yang paling banyak. Penganten mesti kenal dapur. Memasak dengan kayu, belum ada kompor. Dapur disanding tomang. Tinggi rendah panas harus tahu, kalau panas tinggi kayu di di dapur yang menyala ditarik satu batang dan dipindahkan ke tomang. Kalau panas rendah tiup dapur dengan semprong. Dan kayu di tomang dikembalikan. Menggoreng dengan minyak kelapa, sangrai itu menggoreng dengan pasir. Yang disangrai biasanya biji2an, termasuk jambu médé. Perkawinan di jaman Jepang ramai saja. Keterangan ini saya dapat dari ex pengulu di Krukut jaman Jepang. Semangat calon penganten tidak kendor, kata dia. Hidup memang makin lama makin susah. Singkong ditambus saja, tidak digoreng. Kalau ditambus itu, singkong diselipkan di kayu bakar. Dewasa ini makin hari media mainstream dan sosmed makin ramai dengan berita dan ulasan tentang kesulitan hidup rakyat banyak. Masa\' iya sih kita balik ke jaman Jepang? Amit-amit. (RS)
Shireen Abu Aqleh Korban Kekejian Israel
Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SHIREEN adalah jurnalis perempuan Al Jazeera. Meski beridentitas \"Press\" artinya sebagai reporter, tetap saja ia ditembak mati oleh sniper Israel. Sebagaimana biasa, Israel menuduh bahwa Shireen ditembak Palestina. Tuduhan palsu tanpa bukti ini tentu idak ada yang mempercayainya bahkan mempertegas akan kelicikan dan kejahatan Zionis Israel. Shireen harus menjadi martir dunia untuk menghukum Israel. Shireen Abu Aqleh berkewarganegaraan ganda Palestina dan Amerika, tidak beragama Islam melainkan Protestan. Dibawa ke Katedral the Annunciation of the Virgin Yerusalem untuk kemudian dikuburkan di dekat makam ibunya. Warga Palestina mengiringi jenazah dengan kibaran bendera Palestina. Tentara Israel mengganggu pemakaman. Israel adalah bangsa dan negara yang terkutuk. Harus segera diusir dari tanah Palestina. Kemerdekaan adalah pilihan dan agenda dunia. Penjajahan dan kejahatan Israel tidak bisa terus dibiarkan. Indonesia mesti serius dan tulus dalam mendukung Palestina, tidak berstandar ganda atau coba-coba untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Di depan mata sebenarnya Israel telah menginjak-injak Indonesia dengan mendirikan Museum Holocaust di Minahasa. Negara zalim itu tengah berpura-pura menjadi korban dari kezaliman. Jika Indonesia sungguh-sungguh ingin membantu bangsa Palestina, maka segera tutup Museum Holocaust dan bongkar bangunan provokasi Zionis Israel tersebut. Jangan buka peluang Zionis untuk bergerilya di negeri Pancasila. Shireen adalah jurnalis senior yang telah 25 tahun bekerja untuk AlJazeera. Sebelum bergabung dengan Al Jazeera, Shireen bekerja pada the Voice of Palestine dan Radio Monte Carlo Perancis. Keluarga ibunya ada di New Jersey Amerika. Shireen adalah alumni Universitas Yarmouk di Yordania. Jika Indonesia dapat membangun Museum Perjuangan Palestina maka Shireen Abu Aqleh dan profilnya sebagai pejuang jurnalisme akan mengisi salah satu sudut tampilan Museum. Perjuangan Shireen diharapkan dapat menginspirasi generasi muda untuk selalu berjuang keras di berbagai bidang khususnya jurnalisme. Museum di samping menampilkan heroisme juga menampilkan kejahatan dan kekejaman Zionis Israel dalam dimensi kesejarahannya. Zionis itu curang, penipu, fitnah, rasialis, kejam, serta penginjak-injak HAM. Mungkin ada benarnya juga pernyataan bahwa Israel suatu saat harus dihapus dari peta dunia. Shireen dibunuh keji dan Israel telah melanggar pasal-pasal Konvensi Jenewa 1949. Melakukan kejahatan perang. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menganugerahi \"Bintang Yerusalem\" dan berjanji akan membawa kasus pembunuhan jurnalis ini ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag. Shireen Abu Aqleh adalah martir dunia dan bukti dari kesewenang-wenangan Pemerintahan kolonial Zionis Israel. Shireen adalah pahlawan jurnalisme. Bandung, 15 Mei 2022
Indonesia Sering Salah Memandang Perang Palestina - Israel
Jakarta, FNN - Jakarta, FNN - Perang dingin Israel-Palestina kembali memicu ketegangan baru beberapa negara Timur Tengah, termasuk Indonesia. Apalagi dengan tertembaknya jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh saat meliput penggerebekan oleh Israel Defense Forces di wilayah pendudukan Tepi Barat, Jenin. Pengamat politik Rocky Gerung menyebut, elite politik Indonesia kurang update jika melihat konflik antara Israel dan Palestina karena selalu yang dilihat soal agama. “Yang paradoks itu Indonesia, selalu dianggap bahwa Israel itu ada hubungannya dengan agama. Padahal ini sebetulnya politik kasar saja. Israel memang dari dulu kasar dalam politik, tapi orang Indonesia, ya itu karena informasi yang masuk ke Indonesia membuat bangsa ini juga terpecah dalam soal memandang Israel,” paparnya kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Sabtu, 15 Mei 2022. Menurut Rocky, kepentingan Amerika di Israel adalah mempertahankan hegemoni di kawasan Timur Tengah. “Tetapi, perilaku Israel yang menyerang Palestina dan sekarang ini lebih gila lagi, di mana jurnalis dibunuh oleh tentara Israel. Itu artinya ada pelanggaran di dalam yang disebut hukum perang,” paparnya. Kalaupun ada kekerasan di situ, kata Rocky mustinya petugas kesehatan, jurnalis, adalah pengamanan pertama. “Jadi ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh tentara Israel atau oleh pemerintah Israel, bukan oleh bangsa Israel dalam pengertian satu etnis. Ini kan konflik politik, dan itu yang musti kita bedakan supaya Indonesia juga riil mengutuk dan meminta supaya ada sanksi terhadap Israel walaupun dalam basa basi diplomasi pasti Amerika menganggap bahwa itu kejadian kecil. Dan itu bisa memicu ketegangan baru di Timur Tengah,” paparnya. Sekarang ini, kata Rocky politik Israel harus dibedakan antara Israel sebagai pemerintah, apalagi kalau yang berkuasa di situ adalah partai konservatif, itu akan berakibat parah. “Itu yang mesti kita belajar supaya kita melihat politik dunia itu sebagai isu kepentingan saja, nggak ada lain-lain di situ. Jadi jangan dikait-kaitkan lagi dengan agama segala macam,” paparnya. Rocky menegaskan orang sering menganggap bahwa Israel itu Kristen atau Nasrani atau Yahudi atau apa dan berseberangan dengan Palestina yang ada muslim, Arab. “Padahal, Palestina itu multikultural dan multi-agama. Jadi kemampuan kita untuk melihat politik dunia kadang dikacaukan oleh semacam semangat-semangat keagamaan. Itu memburuk cara kita menganalisis politik,” paparnya. Rocky menyayangkan para pemuka agama yang tidak bisa menjelaskan secara jelas kejadian di Palestina. “Ini bahayanya kalau kemampuan para pemuka masyarakat Indonesia tidak mampu membedakan antara politik Israel dan Palestina dan sejarah bangsa itu di dalam peradaban dunia yang memang didasarkan pada perebutan wilayah. Dan adalah hak dari bangsa Palestina untuk memiliki wilayahnya sendiri, tidak ada hubungannya dengan hak keagamaan di situ karena setiap warga negara setiap manusia itu musti punya jaminan bahwa dia punya tempat pemukiman yang aman,” paparnya. Uniknya, Israel selalu menganggap perluasan wilayah itu bagian dari semangat yudaisme dan semangat zionisme. Sementara sikap Amerika pasti dobel standar dan beberapa negara Arab juga ada double standar. “Beberapa negara teluk itu justru pro-Israel supaya bisa membeli senjata Amerika. Itulah politik. Bagian-bagian itu yang seringkali jadi perdebatan di dalam negeri, karena nggak ada pengetahuan tentang apa yang kita sebut sebagai analisa politik ekonomi,” paparnya. Menurut Rocky lantara semata-mata karena kepentingan ekonomi dan ekspor senjata, maka Israel menjadi proksi dalam diplomasi antara negara-negara Arab. Yang ingin punya senjata dari Amerika terpaksa musti seolah-olah berbaik-baik dengan Israel. Itu diplomasinya begitu. “Ya, itu pertama kita musti tahu bahwa proksi-proksi Amerika di Asia Tenggara itu lagi dibujuk oleh Amerika supaya betul berhadapan dengan Cina. Tapi lebih dari itu yang lebih penting kita lihat apa hasilnya buat Indonesia secara ekonomi,” paparnya Janji Biden, kata Rocky hanya untuk memperkuat bidang pertahanan di Asia dalam berhadapan dengan Cina. Tetapi kita tidak tahu apa sebetulnya manfaat Indonesia secara ekonomi, karena kita tahu bahwa Indonesia kehabisan cash dan tentu Indonesia lebih menginginkan ada semacam bisnis yang ditanamkan oleh pemerintah Amerika di Indonesia. “Begitu yang lebih penting bagi Jokowi sebetulnya,” sarannya. Sementara bagi Amerika yang lebih penting adalah kepastian Indonesia dalam berhadapan dengan Cina. Itu intinya. Dan di sinilah mendua sebetulnya Indonesia mau anti-Cina tapi masih butuh bantuan Cina, sementara Amerika ini dapat kepastian,” tegasnya. Janji Amerika itu, kata Rocky bisa berlaku buat negara-negara ASEAN, tapi sebetulnya Indonesia dikecualikan dari situ. Lebih dari itu, kita tahu bahwa defisit di Amerika mendekati dua digit dan itu artinya konsolidasi dollar di situ akan menyebabkan Indonesia kehilangan kemampuan untuk memperoleh harga dollar yang berat karena harga dollar pasti akan naik kalau terjadi konsolidasi kekuangan di Amerika Serikat. “Jadi, kita tetap lihat pertemuan Washington itu sebagai sinyal bagi Indonesia supaya kasih semacam ketetapan apa mau jadi proksi China atau menjadi proksi Amerika,” paparnya. Sementara soal keuntungan ekonomi yang akan didapat Indonesia, Rocky menduga masih jauh Presiden Jokowi bisa bertemu dengan semua CEO di situ. Mereka melihat potensi di Indonesia sudah makin lama makin merosot. Karena mereka juga tahu statistik Indonesia bahwa daya beli rakyat Indonesia turun terus, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru merosot, utang luar negeri Indonesia jadi naik terus, dan kekacauan politik di dalam negeri justru itu yang dipantau oleh CEO Amerika yang melihat bahwa ini kabinet Pak Jokowi kok berantakan, sudah ada faksi-faksi tertentu dalam kabinet yang berupaya untuk memperlemah kebijakan pemerintah. “Kan itu yang dibaca oleh financial player dunia. Jadi, kita anggap itu basa-basi diplomatik saja,” pungkasnya. (ida, sws)
ICMI Harus Bisa Merebut Masa Depan
Serpong, FNN ---- Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) harus pro aktif dalam perubahan dan harus memiliki andil besar dalam merebut masa depan. Demikian dikatakan Ketua Umum ICMI Pusat, Prof. Dr. Arif Satria, ketika menjadi pembicara kunci pada acara Silaturahmi Kerja Daerah (Silakda) dan Halal Bi Halal ICMI Orda Tangerang Selatan, Jumat (13/5/2022), di Auditorium Universitas Pamulang (Unpam). \"Dalam menghadapi masa depan, setidaknya kita harus memiliki kemampuan merumuskan visi, kemampuan strategi yang fleksibel dan kemampuan eksekusi,\" kata Arif Satria yang juga Rektor Insitut Pertanian Bogor (IPB). Dalam kesempatan tersebut, Arif Satria menguraikan tema ICMI dan Tantangan Masa Depan Dalam Konteks Keummatan dan Kebangsaan. Saat ini, jelas Arif, kita menghadapi dan harus siap dengan perubahan, dimana masa depan itu dipenuhi dengan ketidakpastian. Namun cara terbaik meraih masa depan adalah dengan menciptakannya hari ini, dan kita harus andil dalam memprediksi masa depan serta harus menjadi bagian dari masa depan. Oleh karena itu, cara berpikir kita juga harus berpikir ke depan, dan jangan sering terjebak atau berada dalam cara berpikir masa lalu. ICMI Tangsel Gercep Silakda ini merupakan Silakda pertama setelah Kepengurusan ICMI Orda Tangsel periode 2021-2026 dilantik pada 9 April 2022. Silakda ini dirangkaikan juga dengan Halal Bi Halal, Dalam Anggaran Rumah Tangga ICMI disebutkan Silakda merupakan pertemuan atau forum komunikasi kekeluargaan untuk menyusun dan membahas pelaksanaan program kerja serta evaluasi berkala termasuk masalah koordinasi yang menyangkut kepentingan bersama atau kebijakan publik. Silakda dibuka secara langsung oleh Benyamin Davnie selaku Ketua ICMI Orda Tangsel yang saat ini juga menjabat sebagai Walikota Tangsel. Dalam sambutannya Benyamin Davnie menyampaikan bahwa dalam Silakda ini mengharapkan kepada seluruh bidang untuk mempersiapkan program kerjanya secara matang, terukur dan terkontrol, baik dari substansi maupun output dan outcomenya. Benyamin Davnie juga berharap ICMI Orda Tangsel pada periode ini dapat berkontribusi nyata dalam pembangunan Kota Tangsel, dengan tetap mengingatkan tiga Dimensi Khittah atau Wawasan dan Kebijakan Asasi ICMI, yaitu Dimensi Ke-Islaman, Dimensi Ke-Indonesiaan, dan Dimensi Ke-Cendekiawanan sebagai pegangan dalam merumuskan program kerja ICMI dan aktivitas pengurus ICMI. Dalam Silakda ini, Prof. Dr. Lili Romli selaku Ketua ICMI Orwil Banten memberikan sambutan dan mengapresiasi gerak cepat Orda Tangsel dalam melaksanakan Silakda, tidak lama setelah pelantikan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2022. Dalam sambutannya, Lili Romli menekankan agar program yang dirumuskan dapat disinergikan secara optimal dengan pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lainnya dengan tetap mengedepankan nilai-nilai dan khittah ke-ICMI-an. Lili Romli juga menegaskan agar program kerja dipastikan memiliki manfaat bagi masyarakat secara umum, karena kecendekiawanan itu bukan hanya karena ilmunya melainkan sejauhmana tingkat kepeduliannya kepada lingkungan dan masyarakatnya. Sementara Dr (HC) Darsono sebagai ketua Yayasan Sasmita Jaya dan salah satu Dewan Penasehat ICMI Orda Tangsel menyampaikan kebahagiaannya, karena kampus Unpam menjadi tempat Silakda ICMI. Darsono mengharapkan agar ICMI dapat memahami betul kebutuhan masyarakat sebagai rujukan dalam merumuskan program kerjanya. Darsono juga menceritakan bahwa Unpam ini kampus dengan biaya murah namun bukan murahan, karena melihat banyak masyarakat tidak mampu kuliah yang disebabkan mahalnya biaya pendidikan. sampai disini, Unpam hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah agar bisa tetap kuliah dan sukses dalam hidupnya. (TG)
Oligarki Merampas Masa Depan Mahasiswa
Pada saat segelintir oligarki menguasai lahan berjuta hektar untuk sawit dan tambang serta perumahan, dan jutaan keluarga muda mengais kavling sempit 100 m2 di pinggiran kota-kota, kini terpulang pada mahasiswa sebagai agen perubahan apakah ketimpangan ruang ini masuk akal sehat mereka. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, @Rosyid College of Arts SEJAK Reformasi 1998, akibat amandemen serampangan atas UUD 45, telah terjadi deformasi besar-besaran atas kehidupan berbangsa dan bernegara. Alih-alih tiga agenda reformasi yaitu demokratisasi, desentralisasi, dan pemberantasan korupsi, makin terwujud, agenda itu justru makin jauh panggang dari api. Demokrasi liberal telah menyebabkan biaya politik yang makin tinggi sehingga menyebabkan perselingkuhan elit poltik dengan para taipan. Bangsa ini justru makin menjadi jongos dan negara semakin kehilangan kedaulatan tertimbun hutang yang makin menggunung. Tujuan bernegara telah dibajak oleh oligarki politik dan ekonomi. Pembajakan tersebut terjadi justru saat bangsa ini sedang dianugerahi bonus demografi di mana masyarakat kita didominasi oleh golongan warga berusia produktif yaitu pemuda, termasuk mahasiswa. Banyak mahasiswa sebagai pemuda terdidik tidak menyadari bahwa masa depan mereka telah digadaikan oleh para oligarki ini melalui serangkaian maladministrasi publik, yaitu praktek pembuatan regulasi dan penafsirannya bukan untuk kepentingan publik pemuda, tapi untuk kepentingan oligarki. Kesalahan kebijakan merespons pandemi, manipulasi sejarah, dan juga sistem pendidikan yang hanya menjadi instrumen penjongosan, telah menyebabkan significant learning loss yang berpotensi mengubah bonus demografi tersebut menjadi bom demografi. Paparan internet yang berlebihan, dan kecanduannya telah menyebabkan kehilangan pengalaman ruang 3-dimensi dan waktu pada para pemuda kita. Padahal pengalaman seperti itu sangat penting dalam pendidikan bermakna yang memerdekakan. Menyusutkan ruang dari 3 dimensi menjadi 2 dimensi adalah perampasan kemerdekaan sebagai ruang eskpresi. Pada saat kita masih gagap untuk meninggalkan paradigma schooling ke paradigma learning, digitalisasi kehidupan atau 2-dimensionalisasi telah mengasingkan mereka dari kenyataan sebagai pengalaman ruang-waktu yang diperlukan dalam belajar untuk merdeka sebagai papan lontar leadership mereka kelak. Sebagai pemimpin masa depan, pemuda perlu terpapar dengan banyak pengalaman dalam proses belajar mereka untuk making sense of their rich experiences. Pengalaman yang penuh tantangan fisik dan mental serta spiritual akan menjadi bekal penting sebagai pemimpin. Seiring dengan itu, mereka juga perlu relating with peoples untuk membentuk personal branding mereka. Setelah itu mereka perlu visioning, yaitu membangun imajinasi yang bisa ditawarkan sebagai mimpi bersama bangsanya. Yang terakhir yaitu mereka harus memulai innovating, bekerja keras untuk mewujudkan visinya tersebut. Adalah HOS Tjokroaminoto yang memancing Soekarno, Muso, dan Kartosoewirjo untuk membangun visi Indonesia merdeka. Sementara itu, para oligarki akan sibuk memastikan bahwa para mahasiswa disibukkan oleh agenda-agenda pragmatis jangka pendek seperti lulus tepat waktu dengan predikat cum laude, lalu menjadi profesional di sebuah BUMN atau multi-national corporations dengan gaji dan tunjangan yang mentereng. Sebuah visi dangkal yang tidak keliru tapi menyedihkan. Dosen-dosen pun sibuk memastikan mahasiswa dengan tugas-tugas akademik yang makin mengasingkan mereka dari masyarakat di sekitar mereka. Oleh Ben Anderson, ini disebut sindrom profesionaliasi kampus sebagai persiapan mental untuk patuh bekerja bagi kepentingan para majikan pemilik modal. Pada saat segelintir oligarki menguasai lahan berjuta hektar untuk sawit dan tambang serta perumahan, dan jutaan keluarga muda mengais kavling sempit 100 m2 di pinggiran kota-kota, kini terpulang pada mahasiswa sebagai agen perubahan apakah ketimpangan ruang ini masuk akal sehat mereka. Apakah mereka sanggup keluar dari mimpi 2 dimensi mereka, dan template kehidupan pragmatis sebagai profesional yang bekerja dengan tekun bagi para oligarki? Atau menjadi manusia merdeka yang mengambil tanggungjawab memerdekakan bangsanya? (*)
Konten LGBT dan Pembiaran Negara
Masyarakat memang harus mengasah kewaspadaan sosialnya. Namun, negara tentu tidak boleh lepas tangan dan berlindung di balik jargon demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok (Ketua Fraksi) DPD di MPR RI MESKI Deddy Corbuzier telah menghapus konten Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di channel YouTube miliknya, namun Deddy tetap merasa heran. “Gua minta maaf, tapi salah gua di mana?” kira-kira begitu kata Deddy, terkesan bingung. Deddy mungkin tidak sendiri. Kebingungan yang sama juga dialami sejumlah anak bangsa. Fakta bahwa LGBT ada dan nyata di sekitar kita itu tidak bisa dihindari. Fakta ini tentu tidak harus dikubur dalam-dalam. Tapi, juga tidak untuk dikampanyekan. Yang terbaik adalah mencari jalan keluar bagi perilaku penyimpangan seksual ini. Dalam video Deddy, kesan kampanye itu ada. Di sanalah letak kekeliruannya. Herannya, pemerintah seolah tidak bisa berbuat banyak. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, misalnya, menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi sehingga (pemerintah) tidak memiliki wewenang untuk melarang Deddy Corbuzier menampilkan konten LGBT di podcast-nya. Senada dengan itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan, blokir dan take down dilakukan apabila terjadi pelanggaran yang tidak sejalan dengan peraturan. Menurut Menkominfo, yang ingin dilakukan adalah agar inovator atau konten kreator melakukan yang bermanfaat, yang baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memenuhi syarat-syarat kultural dan religius masyarakat. Pertanyaannya, pada bagian mana tayangan LGBT memenuhi syarat-syarat kultural dan religiusitas masyarakat? Dari perspektif agama, LGBT adalah haram. Tidak ada toleransi, dan tidak boleh ada permufakatan baru yang memberi celah, walau sebesar biji zarrah. Titik! Dari sudut pandang kehidupan berbangsa dan bernegara pun demikian. Kita punya jimat kebangsaan bernama Pancasila, falsafah hidup bangsa. LGBT yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila seharusnya tidak memiliki ruang untuk berkembang melalui kampanye, langsung atau tidak langsung. Bahwa mereka ada di sekitar kita justru adalah untuk dirangkul dan diberi pemahaman yang baik. Itulah tugas negara. Mengapa? Karena hubungan sesama jenis jelas melanggar sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Pun dengan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tak ada adab dalam hubungan sesama jenis. Yang ada, hubungan itu justru menihilkan sisi kemanusia kita, menjadi lebih rendah ketimbang binatang. Sebab, binatang saja tak ada yang berhubungan sesama jenis. Pancasila selalu kita akui sumber dari segala sumber hukum. Maka konstitusi dan hukum positif yang berlaku di Indonesia seharusnya tidak berseberangan dengan Pancasila, atas nama demokrasi sekali pun. Sayangnya, hukum positif di Indonesia yang mengatur soal LGBT, belum diramu secara tegas. Itulah kekosongan hukum yang harus ditambal. Inilah pekerjaan rumah kita! Indonesia memang negara demokrasi (berkedaulatan rakyat). Tapi, Indonesia juga adalah negara nomokrasi (berkedaulatan hukum), yang meniscayakan hukum, mengawal pelaksanaan demokrasi dengan proporsi yang tepat. Di tengah pekik slogan demokrasi yang begitu membahana, nyatanya tidak sedikit suara kritis rakyat yang dibungkam, dihalang-halangi atau ditekan. Tapi, dengan pekik slogan yang sama, pemerintah seperti enggan mengatur tentang LGBT. Lalu, apakah kita biarkan LGBT tumbuh dan mekar begitu saja? Apakah konten-konten (yang cenderung mengampanyekan LGBT) dibiarkan meski bertentangan dengan norma, nilai-nilai dan falsafah hidup bangsa? Negara tidak boleh melakukan pembiaran. Hak mereka sebagai warga negara harus dilindungi, namun negara berkewajiban pula melindungi warga negara lain dari kampanye terselubung perilaku menyimpang. Oleh karena itu negara tidak boleh abai terhadap gejala maraknya konten-konten LGBT yang berpotensi mengekspos dan mengembangkan perilakunya kepada masyarakat umum. Konstitusi memberikan amanah yang begitu mulia kepada pemerintah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh sebab itu, mindset Pemerintah (dan kita semua) seharusnya berangkat dari sudut pandang pemeliharaan generasi dan regenerasi bangsa. Pembiaran konten-konten LGBT adalah kejahatan yang mengancam pemuliaan generasi dan regenerasi bangsa. Juga sekaligus melawan kodrat kita sebagai manusia. Masyarakat memang harus mengasah kewaspadaan sosialnya. Namun, negara tentu tidak boleh lepas tangan dan berlindung di balik jargon demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Pemerintah memiliki kewajiban menjaga nilai-nilai dan standar moral yang selama ini kita pertahankan dengan baik, bukan malah sibuk memikirkan pelanggengan kekuasaannya. (*)