ALL CATEGORY

LBP Mundur dan Menyerahlah!

Kebohongan LBP bukan semata-mata ingin mempertahankan jabatannya dan mempertahankan jabatan Presiden Joko Widodo, tetapi ada misi besar dan beresiko besar sesuai perannya sebagai “Man of gate-nya China”. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih LUHUT Binsar Pandjaitan (LBP) mengaku capek mengurus negeri ini. Hal itu dilontarkannya ketika berbincang dengan Deddy Corbuzier, saat membahas tentang pihaknya yang memiliki big data soal sekitar 110 juta percakapan di media sosial yang mendukung wacana penundaan Pemilu 2024. LBP mengaku lelah dan capek juga mengurus negeri ini, jangan dipikir gampang. Memang berbeda big data sesuai pengakuannya dan big lies (kebohongan besar) dalam faktanya. Pengakuan memiliki big data wajar dan normal akan membuat lelah dan capai karena harus berhadapan dengan percakapan publik, apalagi masuk ke dunia maya, yang menuntut kebenaran datanya. Seseorang bisa berbohong kecil-kecilan dengan small data, tetapi kalau itu tidak akan bisa meyakinkan. Untuk lebih meyakinkan seseorang harus berbohong besar (big lies) dengan data besar (big data) - (How To Lie With Statistics). Big data yang digembar-gemborkan LBP indikasinya kuat bahwa klaim Luhut Binsar Pandjaitan dalam menyikapi Pemilu 2024, bahwa berisi 110 juta orang menghendaki penundaan Pemilu 2024, adalah bohong. Dalam percakapan dengan publik akhirnya benar harus berhadapan dengan data temuan Evello yang merupakan lembaga analitik data dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Data tersebut menyebut bahwa hanya 693.289 akun media sosial saja yang membahas tentang penundaan Pemilu 2024. Sementara jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 110 juta akun. Semua harus terlibat rasa capai dan lelah karena banyak sekali kebohongan data yang disampaikan pejabat negara tak terkecuali oleh Presiden, tanpa beban dan merasa bersalah disampaikan di alam yang terang benderang sedangkan rakyat tahu kalian semua sedang berbohong. Mungkin di luar kalkulasi politik LBP pernyataannya tiba-tiba menjadi magnet lahirnya gelombang demo di mana-mana. Menyeret bukan hanya soal big data tetapi rakyat membongkar banyak kebohongan rezim selama berkuasa. Pejabat negara biasanya berbohong sebagai bentuk perlindungan diri dan berbohong untuk menghindari masalah. Ini bentuk perlindungan diri atau self defence saat merasa terancam. Daripada bicara jujur akan muncul banyak masalah, lebih baik berbohong mengira bisa mengatasi masalahnya. Ini kebiasaan pejabat kita ingin mengatasi masalah melahirkan masalah baru yang lebih besar. Berbohong juga dilakukan dalam rangka untuk melindungi orang lain supaya terhindar dari hukuman, atau perasaan terluka. LBP sepertinya mendapatkan mandat yang di luar kemampuannya untuk mengamankan kekuasaan oligarki dan misi OBOR China.  Jika LBP tak berbohong soal dukungan data setuju Pilpres ditunda mungkin akan ada yang terluka. Bahkan, bisa merubah akan menjadi ancaman atas keselamatan dirinya. Ia lupa setelah berbohong justru memunculkan banyak luka dan mendatangkan bahaya yang lebih besar. Berbohong juga untuk mempertahankan kekuasaan memang harus dilakukan dan mungkin dianggap sebagai salah satu cara mudah untuk mendapatkan kekuasan rencana perpanjangan masa jabatan dan 3 periode untuk jabatan Presiden, dibandingkan cara lain, dengan terang-terangan memaksakan kehendak secara vulgar. Seperti selama ini banyak aturan dan UU yang dipaksakan melawan aspirasi rakyat. Terobsesi selama ini merasa jauh lebih mudah berbohong dalam berkuasanya daripada dengan cara melakukan kekerasan. Para peneliti juga percaya bahwa kebohongan dilakukan untuk memanipulasi orang lain demi mendapatkan yang diinginkan tanpa memerlukan kekerasan. Ketika berdialog dengan para mahasiswa UI, LBP menolak untuk membuka big data penundaan pemilu. LBP hanya bertahan dengan pertahanan klasiknya, jangan paksa saya untuk membuka big data-nya. Jelas, LBP tidak akan bisa membuka karena datanya indikasi kuat memang bohong. Kebohongan LBP bukan semata-mata ingin mempertahankan jabatannya dan mempertahankan jabatan Presiden Joko Widodo, tetapi ada misi besar dan beresiko besar sesuai perannya sebagai “Man of gate-nya China”. Konon pemerintah China akan menyeret atau membuat perhitungan dengan LBP jika sampai 3 periode atau perpanjangan masa jabatan presiden sampai gagal. Karena syarat untuk meneruskan program OBOR antara lain adalah perpanjangan masa jabatan dan/atau 3 periode. Suasana psikologis dalam kondisi terjepit biasa orang yang berbohong suka cepat-cepat bersumpah bahwa datanya ada dan benar. Salah satu ungkapan yang dinisbahkan kepada al-Muhasibi: Indikasi seseorang yang berbohong itu adalah murah bersumpah meski tidak dimintai sumpah. “Pejabat kita sumpah bersikap jujur dan benar itu sampah, jangankan takut dengan sumpah Tuhan saja sudah tidak ditakuti. Apa lebih takut dengan  Xi Jinping daripada takut kepada Tuhannya”. Kalau merasa lelah dan capai apalagi tugas yang diembanya sudah di luar kemampuannya dan membahayakan negara pilihannya mundur dari jabatan sebelum alam bertindak. Hanya saya mengira dia akan terus bertahan dengan segala resikonya. “Oye kalau tetap nekad lanjutkan”. (*)

Ada Apa di Balik Rusuh Papua dan Pindah Ibu Kota?

Oleh Anton Permana - Direktur Executive Forum Musyawarah Majelis Bangsa Indonesia BANYAK yang bertanya dan belum puas dengan ulasan penulis terkait isu di atas. Yakni tentang rusuh Papua yang masih membara hingga saat ini, dengan gema gempita pindah ibu kota ke Kalimantan. Kenapa dua hal krusial ini bisa terjadi beriringan. Tidak mungkin insiden besar ini terjadi tanpa ada perencanaan ataupun aktor yang menggerakkan.  Untuk menjawab dua hal ini lebih spesifik, akhirnya penulis memutuskan mencoba membuat analisa lebih lanjut dan juga menukik lebih dalam, sebagai bentuk sharing informasi dan pengayaan pemahaman kita bersama, untuk Indonesia negeri tercinta.  Empat tahun yang lalu di awal masa pemerintahan Jokowi. Ketika penulis melakukan perjalanan dan mendampingi Wagub Sumbar ketika itu (Alm) Muslim Kasim. Penulis dikenalkan dengan seorang pria (penulis lupa namanya) warga keturunan asal Kalimantan yang ketika itu mengaku sebagai aktor utama yang menggerakkan dan merancang ‘cyber force’ tim Jokowi-Ahok di Pilkada Jakarta dan berlanjut ke Pilpres. Atau umum dikenal dengan sebutan Jasmev.  Singkat cerita. Percakapan kami ketika itu di Plaza Indonesia lantai 4, pria tersebut membuka I Pad nya yang memperlihatkan sebuah gambar animasi rancangan kota modern dengan design 4 dimensi yang begitu luar biasa. Sebuah design kota (meskipun belum sempurna ketika itu) sudah memperlihatkan sebuah tatanan kota metropolis yang moderen, hijau, artistik futuristik, lengkap dengan segala fasilitas digital, community centre, kondo apartemen, gedung pencakar langit, MRT, monorel, pelabuhan udara (dengan konsep aerotropolis), pelabuhan besar, jembatan-jembatan indah, serta sebuah Istana nan megah lengkap dengan bangunan perkantoran disekitarnya.  Karena penasaran dan takjub, penulis bertanya rancangan kota dimanakah itu?. Kemudian si pria sambil setengah ketawa menjawab, “ ini adalah konsep Jakarta kedua 10 tahun kedepan setelah Ahok jadi Presiden. Hahahaa... “. Meskipun kedengarannya setengah bercanda, tetapi obrolan hari itu cukup berkesan bagi penulis hingga hari ini, ternyata gambar animasi sebuah kota besar yang beredar banyak di sosial media hari ini tentang Kalimantan, boleh dikatakan mirip dengan gambar empat tahun yang lalu penulis lihat. Walaupun ketika itu si pria sudah mengatakan bahwa rencana Jakarta kedua itu akan dibangun di Kalimantan.  Ketika si pria berkata demikian, penulis jujur ketika itu kurang yakin dan percaya. Bahkan anggap angin lalu saja. Baru setelah presiden Jokowi mengumumkan secara terbuka bahwa akan memindahkan ibu kota ke Kalimantan barulah penulis ‘ngeh’ dengan apa yang dikatakan si pria warga keturunan tersebut.  Cuma yang akhirnya menjadi catatan penting bagi penulis adalah, berarti wacana pindah ibu kota ini dudah dirancang, dipersiapkan, sejak lama dengan demikian matang. Bukan kaleng-kaleng. Buktinya, Jokowi begitu percaya diri, optimis akan memindahkan ibu kota ditengah kerusakan ekonomi, tata kelola pemerintahan hari ini. Desakan hutang, defisit anggaran, BUMN bangkrut dan mau dicaplok China, seolah tak ada masalah dengan ini.  Yang menarik lagi, pengumuman pindah ibu kota pada tanggal 16 Agustus yang lalu, langsung disambut dengan insiden rusuh Papua yang berdarah-darah penuh anarkisme, jatuh korban jiwa dari aparat bahkan sampai ke depan istana negara.  Pada titik inilah, sebenarnya pokok bahasan judul di atas bisa kita cari benang merah untuk menganalisis apa motif dan orientasi dari dua kejadian besar dihari kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 74 tahun ini. Berikut hasil analisis penulis yang dikumpulkan dari beberapa sumber dan refrensi data terpercaya.  1. Pindah ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan adalah skenario besar dari China. Kenapa ? Karena Kalimantan mempunyai peran penting dan posisi strategis bagi program OBOR (One Belt One Road) sebagai pintu masuk China untuk menancapkan hegemoninya lebih dalam di kawasan Asia. Dan kalimantan secara geografis juga sangat dekat dari China, dan juga secara demografis (data kependudukan) komposisi warga keturunan china di Kalimantan cukup dominan dan kuat. Jadi Kalimantan memang sangat seksi dimata China dan wajib dikuasai.  2. Sesama kita ketahui. Ibu kota adalah ‘centre of gravity’ sebuah negara. Didalam peperangan militer, ibu kota adalah simbol penaklukan dari sebuah negara. Apabila ibu kota negara berhasil direbut dan ditaklukan, berarti itu akan sama dengan keberhasilan menaklukan dan menguasai negara.  Kondisi Jakarta yang begitu padat dan mengakar secara geokultural dan geografis (berada pada lingkar dalam pertahanan negara). Tentu akan sulit menembus dan menaklukan Jakarta yang begitu besar dan sudah berurat berakar dikuasai banyak negara (tidak saja Indonesia) lainnya berdasarkan kepentingannya masing-masing.  Di sinilah cerdiknya China. Trauma akan lengsernya Ahok dan gagalnya proyek reklamasi Jakarta dan Meikarta. Menjadikan China mempercepat agenda pemindahan Ibu kota Indonesia ke Kalimantan. Tujuannya apa? Kalau ibu kota dipindah, maka Jakarta akan lumpuh. kekhususannya pun akan dipreteli dan dicabut. Semua kendali negara dipindahlan ke tempat ibu kota baru yaitu di Kalimantan.  Nah apabila ibu kota baru sudah berdiri dan berjalan, maka secara otomatis ‘remote control’ negara Indonesia yang selama ini berada di Jakarta akan berpindah tangan ke Kalimantan. Dan ini sama artinya, semua kendali negara kita akan berpindah tangan ke Kalimantan. Secara paralel, seiring proses pembangunan ibu kota ini berjalan, China dengan mudah akan memobilisasi rakyatnya untuk masuk dan migrasi ke Kalimantan. Agar kemudian menjadi mayoritas dan menguasai mutlak Kalimantan secara penuh. Mulai dari fisik ekonomi, politik, dan komposisi jumlah penduduk seperti sejarah berdirinya Singapore dengan menyingkirkan pribumi melayu. Dan ini bukan hoax atau halusinasi karena fakta dan data ke arah itu sudah terbuka terang benderang.  3. Skenario peta jalan perpindahan ibu kota ini langsung terbaca oleh si adi kuasa Amerika bersama aliansinya. Kalau Kalimantan menjadi pintu masuk program OBOR China, Maka Papua adalah pintu masuk program TPP (Trans Pasific Partnership) Amerika dan aliansinya untuk membendung hegemoni China di Asia-Pasific. Papua sejak masa perang dunia pertama dan kedua pun sudah memiliki arti penting bagi Amerika.  Bahkan juga, secara kebijakan pertahanan, Amerika sudah menjalanka konsep US INDOPACOM, yaitu membentuk border aliansi segitiga India-Australia-Jepang untuk menghadapi China.  4. Jadi, perpindahan ibu kota ke Kalimantan ini sangat berdampak besar bagi masa depan Indonesia  diantara jepitan dua kekuatan besar (raksasa dunia). Perpindahan ibu kota ke Kalimantan adalah symbol kemenangan China atas Amerika dalam merebut dan menguasai Indonesia. Kalau ibu kota pindah ke Kalimantan yang notabonenya semua fasilitas, konsep, design, biaya, berasal dari China, maka Amerika bersama sekutunya akan gigit jari. Indonesia lepas dari kontrol dan hegemoni Amerika. Wajah Indonesia akan berganti menjadi Indochina. Indonesia yang selama ini ‘American Boy’ hanya tinggal sejarah dan cerita lama.  So pasti, dampak perpindahan Ibu kota ke Kalimantan, semua yang terkait penguasaan atas tanah, bumi, air, birokrasi, sumberdaya alam, aparatur, semua bergeser serta juga pindah berada dibawah kendali ibu kota baru ‘made in China’.  5. Melihat skenario ini, Amerika langsung memainkan skenario tandingan rusuh Papua untuk memecah konsentrasi, menjegal, rencana perpindahan ibu kota ke Kalimantan. Atau juga akan memutilasi Papua dari Indonesia dengan ancaman Papua merdeka, dan menjadi milik Amerika sebagai basis dan pintu masuk hegemoninya di kawasan Asia-Pasific. Karena pasti Amerika tidak akan rela ‘ladang’ suburnya selama ini akan diambil alih China. Karena sumber kekayaan alam Papua yang melimpah, serta letak grografis Papua yang tepat berada ditengah kawasan yang menghubungkan Amerika dengan Asia-Pasific-Australia.  6. Pihak Istana tentu sangat paham dan hati-hati dalam menghadapi manuver propaganda rusuh Papua yang begitu massive dan terencana ini. Makanya jangan heran, aparat Khususnya Polri, serta Istana seperti gagap menghadapi situasi ini. Bayangkan hanya dalam hitungan menit dan jam, rusuh anarkisme Papua begitu cepat meluas, massive bahkan sampai ke depan Istana dan Mabesad TNI mengibarkan bendera bintang kejora menuntut merdeka secara terbuka. Padahal kalau kita lihat antara perbandingan kekuatan TNI-Polri dengan perusuh Papua bukanlah apa-apanya.  Namun yang terjadi sebaliknya. Korban nyawa dan pembakaranpun sudah merebak terjadi di Papua. Sorong, Manokrawi, Fak Fak, Wamena, Jayapura semua membara serentak bergerak menuntut merdeka. Anehnya lagi. Sudah jelas rusuh ini begitu radikal, anarkis, dan tuntutannya merdeka, Menkopolhukam Wiranto yang dulu juga menjabat Panglima ABRI ketika rusuh mei 1998, meminta aparat persuasif tanpa senjata. Apa yang terjadi kemudian, aparat tak bersenjata menghadapi perusuh pakai senjata ya habis dibantai dengan parang, panah dan tombak.  Jadi aneh juga kalau penanganan rusuh Papua rezim saat ini bagai putri malu alias macan jadi kucing. Sangat berbeda ketika memghadapi aksi 212 dan rusuh 21-23 mei pada Pilpres yang lalu. Negara kelihatan begitu ganas, perkasa, malah semena-mena terhadap ummat Islam yang datang membawa sajadah dan kopiah.  Ketimpangan dan perbedaan ini terjadi, karena negara pasti sudah tahu siapa aktor dan pemain dibelakang rusuh Papua.  Artinya. Rusuh papua tidak lebih bentuk perlawanan Amerika melalui proxy dan aliansinya di Papua terhadap manuver China yang mau pindahkan ibu kota ke Kalimantan.  Cuma yang kita sayangkan adalah sikap pemerintah hari ini yang tidak jelas alias pengecut.  Seharusnya, Indonesia pandai memainkan prinsip politik luar negeri negara kita yaitu “ Bebas dan aktif “. Sehingga tidak perlu terkungkung dibawah ketiak satu negara secara total.  Seharusnya, Indonesia bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menjadi peluang bargainning yang paling menguntungkan dari tarik menarik dua raksasa dunia ini. Bukan malah terjepit tak berdaya seperti sekarang ini.  Untuk itu penulis mempunyai beberapa pemikiran terhadap apa yang harus dilakukan Indonesia dalam menyikapi dua kejadian besar ini.  1. Ketika sudah berbicara kedaulatan. Apapun itu masalahnya, pemerintah harus berani dan tegas bersikap dan menyatakan bahwa aksi dan rusuh Papua itu adalah tindakan makar dan saparatisme. Dimana sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus memperlihatkan wibawanya sebagai sebuah bangsa yang besar dan terhormat. Caranya ; Stop komando operasi dari tangan Polri, dan serahkan penanganan rusuh Papua kepada TNI. Karena saparatisme adalah termasuk dalam dimensi pertahanan, maka ini sudah menjadi Tupoksinya TNI. Jangan paksakan lagi Polri dengan topeng bahasa klise KKSB (Kelompok Kriminal Bersenjata) untuk mengatasi hal ini. Polri itu ranahnya penegakan hukum, mengejar bandit (perampok) bukan melawan saparatisme bersenjata yang ingin merdeka dan buat negara.  2. Kalau sudah berbicara kedaulatan. Abaikan HAM yang menjadi standar ganda negara adi kuasa. NKRI harga mati mesti di implementasikan. Jangan cuma jadi slogan untuk gebuk PFI.  Penulis heran, seharusnya disaat Indonesia sekarang ini menjadi anggota tidak tetap PBB, Indonesia semestinya mempunyai posisi tawar yang kuat dalam menangkis isu HAM dalam penindakan rusuh Papua. Mainkan peran diplomasi luar negeri untuk meyakinkan bahwa Indonesia dalam rangka penegakan kedaulatan negaranya dari ancaman pemberontakan. Dan negara lain tidak bisa ikut campur apalagi mendikte urusan dalam negeri Indonesia.  3. Copot Panglima TNI, Kapolri, KaBIN, Menkopolhukam serta aparat terkait lainnya yang gagal meredam dan mengatasi rusuh Papua sampai meluas ke depan Istana. Insiden memalukan ini bisa terjadi berarti fungsi inteligent, TNI-Polri tidak berfungsi sama sekali. Atau ada yang sengaja memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan tertentu ?  Perlu penyegaran aparatur dan pucuk pimpinan TNI-Polri agar clear dari segala bentuk ‘titipan’ dan infiltrasi kepentingan luar.  4. Indonesia harus kembali kepada jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang mandiri dan berdaulat. Yaitu prinsip politik bebas aktif dan tegas terhadap negara manapun kalau itu terkait kedaulatan bangsa dan negara.  Indonesia adalah negara yang besar dan lahir dari tumpahan darah pejuang serta syuhada. Jadi Indonesia tak perlu lagi bertindak seperti pelayan atau calo dari kepentingan negara lain.  5. Menunda rencana perpindahan Ibu kota dan fokus penataan kembali kondisi sosial politik, ekonomi negara yang sudah hancur. Tidak ada sebaik memperkuat diri sendiri, berdikari, dari pada menggantungkan nasib bangsa ini kepada negara lain. Tak akan ada itu negara lain yang akan mensejeahterakan kita. Omong kosong itu semua. Semua pasti ada upeti dan imbalannya. Fakta sejarah Nusantara ini pernah berjaya karena berdikari. Seperti kejayaan masa Majapahit, Sriwijaya, dan fase kesulthanan kerajaan Islam.  Kenapa ini penting, karena secara prinsip hubungan Internasional, kondisi perebutan dua raksasa saat ini terhadap Indonesia akan bisa jadi peluang dan menaikkan posisi tawar Indonesia, kalau bangsa ini kuat dan mandiri. Tapi kalau kepemimpinan negara ini lemah dan banci, maka Indonesia akan jadi bancahan atau bulan-bulanan bangsa asing.  6. Para kelompok idealis, nasionalis, kalangan ulama dan aktifis Islam perlu mengantisipasi kondisi terburuk yang akan terjadi dengan menyiapkan segera skenario ke tiga diluar dari skenario dua raksasa dunia tersebut.  Inilah saatnya kita melihat siapa yang Indonesia sejati itu sebenarnya. Siapa yang memang setia, loyal, terhadap Indonesia secara faktanya. Dan siapa sejatinya kelompok yang munafik dan para pengkhianat negara sebenarnya.  Mana yang selama ini teriak NKRI harga mati, mengaku Pancasilais, anti radikalisme dan merah putih ? Semua bungkam membisu.  Artinya, rakyat mesti sadar bahwa jargon-jargon diatas hanyalah topeng dalam menutupi kebusukan mereka selama ini. Jargon jargon manis diatas hanyalah senjata untuk melampiaskan kedengkian, kebencian mereka kepada Islam sebagai penduduk mayoritas dinegeri ini. Islam yang selama ini difitnah radikal, jahat, anti NKRI, ehh malah hari ini Papua yang terang-terangan memborong tuduhan itu semuanya.  Pemerintah tidak bisa menganggap remeh atas insiden rusuh Papua ini. Khususnya bagi para aktifis 212. Papua yang gerakannya hanya segelintir itu saja, bisa begitu perkasa membantai aparat dengan panah dan parang bahkan didepan hidung Istana, markas besar TNI AD.  Bayangkan juga kalau pada masa aksi 212 atau pada masa demonstrasi 21-23 mei yang lalu ummat Islam juga melakukan hal yang sama? Pasti sudah bubar negara ini.  Artinya adalah. Semua pihak harus tobat dan sadar khususnya aparat negara. Kurang baik apalagi ummat Islam Indonesia. Bukan berarti ummat Islam tidak bisa bertindak seperti orang Papua. Tapi ummat Islam karena sangat cinta terhadap negeri ini dan tidak mau terjebak dalam adu domba antar sesama. Tapi kebaikan ini dibalas dengan perlakuan semena-mena dari rezim dan aparat.  Nah dengan kejadian rusuh Papua saat ini. Hati-hati, telah membuka mata hati dan pikiran para aktifis dan mujahid Islam atau jadi inspirasi besar. Bahwa yang tertanam dalam benak rakyat hari ini adalah, “ Kalau aksi itu damai dan baik-baik saja. Maka aparat akan semena-mena dengan tuduhan makar dan radikal. Tetapi kalau aksi itu radikal, anarkis, maka aparat yang akan minta maaf. Parahnya lagi, diskriminasi antara perlakuan kepada perusuh Papua dengan ummat Islam sangat jauh berbeda. Dan diskriminasi perlakuan ini sangat menyakitkan hati ummat Islam Indinesia. Mereka baru sadar, bahwa selama ini telah dibodoh-bodohi dengan penjara stigma bahasa anti toleransi, anti bhineka. Padahal semua itu hanyalah cara licik rezim hari ini membungkam dan melemahkan Islam secara sistematis “.  Untuk itu kembali kepada kesimpulan kita. Inilah saatnya bangsa Indonesia menyiapkan skenario ketiga untuk membebaskan Indonesia dari jepitan dua raksasa dunia ini.  Cukup rakyat yang jadi korban. Negara diobok-obok, kita diadu domba. Indonesia harus bangkit dari kondisi keterjajahan ini. Mari rakyat Indonesia bersatu padu, untuk mendesak pemerintah agar berani bertindak tegas, menumpas saparatisme Papua dengan tuntas. Karena kalau tidak, rusuh Papua bisa menjadi pemicu utama dari disintegrasi bangsa.  Selanjutnya masyarakat juga mendesak agar presiden serta legislatif untuk membatalkan wacana pindah Ibu kota ke Kalimantan. Karena ide ini hanyalah ibarat Indonesia memberikan lehernya kepada China. Stop jangan lagi jadi pengkhianat bangsa dengan menjadikan diri pelayan, penjilat, kepentingan China.  Mari kita kembalikan Indonesia sebagaimana amanah konstitusi kita yaitu, menjadi bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dibawah panji Pancasila. NKRI Harga Mati !. InsyaAllah.  Jakarta, 30 Agustus 2019.  (Penulis adalah Alumni Lemhannas PPRA LVIII Tahun 2018).  Dipost ulang, pada 21 April 2022.

Harus Diungkap Aktor Intelektual Ekspor CPO

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN, Pemerhati Sosial-Politik KEJAKSAAN Agung (Kejakgung) menetapkan empat tersangka pelanggaran ekspor CPO. Ada seorang direktur jenderal (dirjen), dan tiga pejabat senior dari tiga raksasa sawit dan CPO. IWW (Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag), SMA (senior manager corporate affairs Permata Hijau Group), MPT (komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia), dan PT (general manager PT Musim Mas) diduga terlibat dalam konspirasi untuk mendapatkan izin ekspor CPO yang melanggar berbagai peraturan. Good job! Bisalah diapesiasi. Tapi, apakah cukup sampai di empat orang itu saja? Jelas sekali tak cukup. Jauh dari memadai. Kejaksaan jangan cuma menghibur publik. Seolah keempat orang itu saja yang membuat heboh minyak goreng se-Indonesia. Sudah lelah rakyat menonton sinetron aparat penegak hukum selama ini. Ekspor CPO yang melanggar ketentuan itu melibatkan nominal yang sangat besar. Belasan atau bahkan ratusan trililiun rupiah. Tidak mungkin sebatas dirjen, manajer umum atau komisaris saja. Sebab, pelanggaran ekspor itu telah menghasilkan keuntungan besar bagi banyak perusahaan. Dipastikan ada aktor-aktor intelektual yang membidaninya. Merekalah yang patut diduga memberikan gagasan cemerlang untuk meraup untung besar. Merekalah yang diduga memberikan otoritas kepada keempat tersangka yang dijerat Kejaksaan Agung itu. Jadi, Kejakgung seharusnya naik ke orbit yang lebih tinggi dari keempat tersangka tersebut. Telusurilah orbit yang lebih tinggi itu. Sebab, keempat tersangka yang diumumkan dengan serius oleh Jaksa Agung itu hanya pejabat teknis administratif saja. Mereka hanya pelaksana. Mereka hanya orang-orang yang menandatangani dokumen-dokumen yang terkait dengan ekspor ilegal CPO. Mereka hanya jururunding alias negosiator. Berhentilah menyuguhkan tayangan penghibur. Rakyat ingin melihat agar Kejakgung membongkar tuntas kasus ini. Hadirkan semua orang yang patut diduga terlibat. Jangan ada yang dilindungi.  Bukan hanya pemukulan, kerusuhan, penyiraman air keras, dan kejahatan-kejahatan serupa ini saja yang wajar diduga melibatkan para aktor intelektual. Para pelaku ekspor ilegal CPO itu pun mirip dengan berbagai posisi dalam pembuatan film. Ada “director” (sutradara), ada “producer” (penanggung jawab utama), ada “executive producer” (penanggung jawab khusus), ada “script writer” (penulis cerita), dll. Ada lagi “casting director” (yang mencari para pemeran yang tepat), dan sebagainya. Jadi, untuk membuat “film eskpor CPO” yang kemarin tampil sebagai “box office” dengan keuntungan siluman puluhan triliun itu, seharusnya melibatkan banyak awak (crew). Tidak mungkin dilakukan empat orang saja. Hari ini rakyat ingin melihat aktor intelektual kasus CPO dan kelangkaan minyak goreng. Carilah sutradaranya. Temukan dalangnya. Yang empat orang tersangka itu mungkin saja terlibat. Tetapi, jangan-jangan mereka hanya ‘crew’ biasa saja.[] Medan, 21 April 2022

Senja Kala Propaganda Islamophobia

Proyek Islamophobia telah terang benderang merusak tatanan kebangsaan. Bukan cuma membelah masyarakat secara politik. Tapi juga mempreteli kemewahan kita sebagai bangsa demokratis. Melanggar HAM. Oleh: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD-MPR RI PROPAGANDA Islamophobia perlahan terbenam. Semburan stereotipe dan stigma terhadap umat Islam memasuki fase senja kala. Islamophobia bergerak terbenam. Teregelincir di balik horizon kesadaran jika kampanye Islamophobia merupakan proyek gagal. Kontraproduktif dengan misi membangun peradaban dunia yang humanis dan bermartabat. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merespons serius situasi sosial yang menegangkan. Kebencian dan keterbelahan masyarakat terjadi di berbagai belahan dunia. Letupan-letupan kebencian rasial seperti api dalam sekam. Membakar harmoni kemanusiaan. Melalui Sidang Umum, PBB menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional Melawan Islamophobia. PBB menyerukan penguatan upaya internasional untuk mendukung dialog global yang mempromosikan budaya toleransi dan perdamaian, berlandaskan pada penghargaan terhadap HAM dan keberagaman beragama dan berkeyakinan. Efektivitas seruan ini memang masih tanda tanya. Pasalnya, Islamophobia telah menjadi proyek politik. Kampanye hitam menebar ketakutan terhadap umat Islam dinikmati di panggung kekuasaan. Preferensi politik salah satu pemicu maraknya Islamophobia yang satu sama lain bersenyawa dengan kebencian rasial. Di Amerika Serikat, ketegangan bermotif latar belakang suku, agama dan ras mendapatkan momentumnya di era Donald Trump. Secara promotif, Trump lantang menyerukan aksen aksen politik diskirminatif. Bahkan dilegitimasi melalui kebijakan publik. Tahun 2017 Trump melansir kebijakan Travel Ban. Melarang orang-orang dari enam negara Islam masuk ke AS. Tak sedikit warga AS bergembira dan merayakan hal itu sebagai kemenangan. Poling yang dilakukan oleh POLITICO dan Morning Consult misalnya, mengungkap jika sebanyak 57% responden menyatakan jika pelarangan warga dari enam negara Islam masuk ke AS merupakan kebijakan yang tepat. Temuan itu dikuatkan oleh poling Reuters dan Ipsos. Sebanyak 33% responden menyatakan merasa lebih aman dengan Travel Ban tersebut. Kebijakan imigrasi tersebut memang tidak secara spesifik disebut sebagai bentuk ekspresi politik pemerintahan Trump terhadap Islam. Namun pelarangan warga dari negara-negara Islam masuk ke AS sarat pesan Islamophobia. Sejalan dengan jargon-jargon kampanye Trump dan Partai Republik yang konservatif. Promosi Islamophobia dari negara yang katanya kiblat demokrasi dunia, berbuntut panjang. Gaung rasial dan Islamophobia berdegung ke seantero dunia. Jadi tunggangan politik populisme. Selain latar belakang politik, kampanye global mendiskreditkan Islam juga tumbuh subur dengan memboncengi isu kebebasan berpendapat dan berekspresi. Terutama di Eropa. Kebebasan berpendapat dan berekspresi ditumpahkan melalui aksi-aksi provokatif. Terlihat sangat tendensius. Bahkan berupaya memicu kegaduhan. Teranyar, di bulan April ini, pendiri gerakan Garis Keras di Swedia, Rasmus Paludan menyiarkan secara langsung video streaming membakar Alquran di berbagai kota di Swedia. Publik, khususnya umat Islam bereaksi. John L. Esposito dan Karen Armstrong, ilmuwan yang banyak menjadi advokat aspirasi Islam di Barat, menyebutkan bahwa Islamophobia salah satunya timbul sebagai respons terhadap fenomena gerakan revivalisme Islam. Merujuk pada kelompok yang membawa bendera purifikasi. Respons itu lahir dari konstruksi pemberitaan dan opini secara terus menerus. Media-media Barat membangun stereotip, bahwa muslim yang taat berarti radikal. Mereka yang menampakkan simbol-simbol keislaman dianggap gandrung melakukan kekerasan dan anti perdamaian. Stereotip seperti ini ditelan mentah-mentah oleh para petualang politik yang larut dalam proyek memerangi apa yang disebut oleh Anthony Bubalo dan Greg Fealy sebagai gerakan revivalisme Islam. Melihat perkembangan kontemporer, tesis tentang pemicu Islamophobia tampaknya perlu mendapatkan pengayaan. Pemicu Islamophobia perlu direvisi dan dilengkapi. Fenomena  memupuk Islamophobia dan dijajakan sebagai komoditas politik satu fragmen baru dalam etalase akademis yang menarik digali lebih dalam. Lucu dan ambivalen. Kelompok pengasong Islamophobia kerap membawa-bawa jargon perang terhadap politik identitas. Namun pada saat yang sama mereka menikmati dan berselancar memanfatkan isu-isu Islamophobia. Seni berbohong Paltering ini tampaknya digemari sebagai sajian komplementer fabrikasi distorsi informasi ala buzzer politik. Paltering yang dipopulerkan oleh John F. Kennedy School of Government merupakan satu bentuk penipuan berbasis cherry picking. Memilah informasi atau sebuah fakta untuk menyesatkan dan digunakan secara luas dalam negosiasi maupun propaganda. Dalam isu politik identitas, sekelompok petualang politik getol melawan aspirasi yang mereka labeli sebagai populisme Islam. Politik yang berwarna dianggap sebagai ancaman keberagaman  cuma lantaran corak Islam turut mengambil peran. Jika di internal kampanye Islamophobia diembuskan dengan narasi terorisme, radikalisme, fundamentalisme dan sederet jargon lainnya, maka di ekstrenal, kemasannya atas nama toleransi. Penyebaran Islamophobia menumpang pada isu kebinekaan dan keberagaman. Masyarakat Indonesia yang heterogen dan telah lama hidup rukun, tiba-tiba dibuat tegang. Dibelah oleh momok utopia kelompok intoleran. Sebuah metafora politik yang jahat, mereka ciptakan sendiri melalui propaganda dan opini-opini menyesatkan. Karena itu, Islamophobia tumbuh subur di Indonesia. Disambut suka cita. Kebencian pada simbol-simbol Islam bahkan dipelihara. Aneka konotasi mendiskreditkan digaungkan. Toa masjid dipermasalahkan. Budaya takbiran di malam lebaran yang sudah ada sejak zaman dahulu dihilangkan atas nama ketertiban. Istilah kadal gurun (kadrun) dipopulerkan. Labeling itu merujuk pada masyarakat muslim kritis yang menampakkan identitas keislaman. Baik melalui gaya berbusana (fashion) maupun kerangka berpikir (fikrah) namun memiliki pilihan politik berseberangan. Penyematan konotasi-konotasi negatif intens dilakukan seiring populisme kampanye Islamophobia yang seolah mendapatkan sambutan dari entitas masyarakat tertentu. Gejala tidak sehat semakin intens. Ruang-ruang publik disesaki ujaran kebencian. Media sosial jadi arena melontarkan stigma. Pelabelan (labeling) disematkan ke kepada orang atau kelompok-kelompok lain. Di saat yang sama, mengglorifikasi diri sebagai kelompok paling toleran, terbuka dan religius. Ada kelompok dan elit masyarakat tertentu yang diuntungkan secara politik dan ekonomi oleh proyek perang melawan terorisme, radikalisme dan segala komoditas turunannya. Sialnya, negara turut mengambil peran mengusung semangat Islamophobia. Pemerintah mengamini argumen-argumen yang menjual jargon anti radikalisme dan sederet dengung propaganda lainnya dengan memberi ruang kepada kelompok-kelompok tersebut. Pengistimewaan perlakuan secara hukum diobral. Beberapa buzzer yang getol mengasong Islamophobia dan bahkan disinyalir melanggar hukum, namun tidak diproses oleh aparat. Hal itu mengakumulasi perasaan tidak adil di hati maryarakat. Mereka menciptakan pengadilan dengan caranya sendiri. Di saat bersamaan, kelompok-kelompok kritis yang menampakkan simbol-simbol keislaman begitu cepat diproses secara hukum. Dua organisasi kemasyarakatan, HTI dan FPI bahkan dibubarkan tanpa melalui proses pengadilan. Secara teknis hanya dengan modal secarik argumen bahwa izin kedua ormas tersebut sudah kedaluarsa. Di luar itu, keduanya dianggap mengusung ideologi Islam yang bertentangan dan mengancam eksistensi negara. Tuduhan sumir dan prematur yang sayangnya tidak diuji di pengadilan. Pembubaran ormas secara serampangan akhirnya mempermalukan bangsa Indonesia. Dalam laporan berjudul \"2021 Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia” yang diterbitkan kedutaan Besar AS di Indonesia, disebutkan jika sejumlah lembaga HAM terkemuka menilai pemerintah tidak konsisten dalam penegakan HAM. Pembubaran dan pelarangan FPI merupakan potret ketidakadilan atas hak berserikat dan berekspresi. Kita bisa menerka. Spirit pembubaran FPI tersebut adalah Islamophobia. Proyek Islamophobia telah terang benderang merusak tatanan kebangsaan. Bukan cuma membelah masyarakat secara politik. Tapi juga mempreteli kemewahan kita sebagai bangsa demokratis. Melanggar HAM. Kumandang perang terhadap Islamophobia membawa secercah harapan. Jika seruan tersebut diimplementasikan secara konsekuen, maka kerusakan yang ditimbulkan oleh propaganda Islamophobia bisa mulai dipulihkan. Ketegangan, rasa curiga dan disharmoni bisa direstorasi. Kita rindu wajah ramah Indonesia. Wajah itu sudah cukup lama tertutup tabir propaganda buzzer. Benalu demokrasi yang kita harapkan terbenam bersama senja kala Islamophobia. (*)

Arkaeologi: Bang Puasa Menunggu Digantung

Oleh Ridwan Saidi - Budayawan Pada tahun 1707 VOC selesai bangun Stadhuis di lokasi yang sekarang disebut Kota Tua.  Stadhuis sebenarnya kantor Gouverneur Generaal VOC. Bangunan ini dilengkapi di lantai dasarnya dengan enam buah ruang untuk tahanan yang menunggu hukuman gantung. Photo atas tempat tahanan oleh Iwan Aswan. Luas lantai 2 x 3 meter. Tahanan kakinya dirantai dengan dilengkapi bandul besi. Makan dan minum di tempat, buang hajat small or big size juga di tempat. Yang pernah di tempat ini a.l: 1. Tahun 1821 Bang Puasa alamat Gg Mendung, Kwitang. Ia seorang guru silat. Polisi Belanda paksa Puasa mengaku membunuh Nyai Dasima. Sesungguhnya Samiun yang bunuh Dasima. 2. Tahun 1851 Oei Tambahsia. Ia dalangi pembunuhan seorang gadis nama Aria yang melawan untuk jadi wanita simpanan Oei. Dan Oei juga suka menyimpan istri orang. Hukuman gantung berakhir tahun 1869. Dapat dikatakan VOC tak banyak membangun gedung di Jakarta kecuali a.l Stadhuis itu. Bangunan kolonial banyak dibangun Perancis baik di Jakarta mau pun Bogor.  Belanda mengaku membangun istana Bogor dan Jakarta. Keduanya dibangun pada era Indie Batav Perncis 1800-1825 Itu dapat diciri dari gaya arsitekturnya yang Renaissance. Bahkan tempat penggantungan pun Belanda gunakan halaman gedung yang dibangun Daendels yang sekarang museum Seni Rupa. Walau dalam pemerintahan Daendels, anehnya tugas polisionil masih di tangan Belanda. Tradisi hukum gantung diawali dengan ucapan terhukum gantung, semacam farewel speech.  G. Francais,1856, orang yang menuturkan kisah Puasa dan Nyai Dasima, tentu dengan sentuhan novel. Jelang dihukum gantung tahun 1821 dikisahkah Puasa bicara depan penonton sbb:  \"Gué ini satu jago, ga ada adatnyé jago bunu perempuan, apelagi Dasima dipegangin ama Samiun, gue tinggal godot doank. Najis! Ga bakal gue bikin begitu. Emangnye Dasima kambing apah. Kejem amat lu orang padah ama orang asli. Tunggu lu pembalesan Tuhan\". Dasar claim Belanda atas istana Bogor karena kata mereka desain istana dibuat van Imhoff tahun 1774. Van Imhoff jadi Gubernur Jenderal Nederlandsch Indie tahun 1826, berarti usianya sudah 80-an. Sejarah itu logika, kalau tak logis bukan sejarah. Sejarah Indonesia versi Belanda penuh sesak dengan hoax. (*)

Menggulingkan Pemerintah dengan Golok

Oleh M. Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan BERITA sensasi muncul di media yakni penangkapan kelompok NII di Sumbar yang katanya bervisi seperti NII Kartosuwiryo. Ditemukan senjata berupa golok diantara salah satu tersangka. Hebatnya kelompok ini katanya akan menggulingkan Pemerintah Jokowi sebelum 2024. Dengan bermodal visi, sebilah golok  dan usaha untuk mencari pandai besi.  Fadli Zon meragukan kelompok di Sumbar ini benar-benar ingin menggulingkan Pemerintahan Jokowi. \"Golok biasanya digunakan untuk mengambil kelapa dan berbuka puasa\",  selorohnya. Bukan hanya orang dewasa tetapi Densus 88 juga menyasar anak-anak. Keraguan itu lebih kuat ternyata yang berniat akan menggulingkan itu hanya satu orang.  Penangkapan kelompok NII ini bersamaan momen dengan maraknya aksi mahasiswa yang memprotes agenda penundaan Pemilu dan perpanjangan 3 periode. Ada pula aspirasi yang mendesak Presiden untuk mundur. Di tengah memanasnya tekanan pada Presiden Jokowi maka keterkaitan gerakan penggulingan oleh NII sepertinya dicoba untuk didekat-dekatkan.  Bila melihat sejarah penggulingan Pemerintahan dan agenda penggantian ideologi oleh PKI pada tahun 1926, 1948, dan terakhir 1965 maka \"penggulingan golok\" NII di Sumbar ini nampaknya lebih pada halusinasi daripada benar-benar aksi. PKI jauh lebih matang dan terkonsolidasi. Kesiapan kekuatan jauh lebih nyata.  Untuk agenda penggulingan, kekuatan riel jutaan massa PKI telah siap mendukung. Tentara disusupi dan berada di lingkaran Istana. Cakrabirawa menjadi pasukan penyusup yang solid. Belum  lagi Angkatan Udara. Aparat birokrasi yang terafiliasi PKI juga cukup banyak termasuk Menteri. Jadi kondisi seperti ini yang memang siap untuk melakukan penggulingan. Dan itupun ternyata dapat digagalkan.  Terlalu menyederhanakan dan memalukan jika sedemikian ketakutan atas puluhan orang NII yang baru diduga hendak melakukan teror, entah bagamaina caranya, dan hanya satu orang yang terkuak ingin menggulingkan Pemerintahan. Modal untuk itupun  hanya satu golok panjang. Densus 88 terlalu mahal untuk klaim murahan seperti ini.  Jika aksi mahasiswa atau elemen masyarakat lainnya mendesak Presiden untuk mengundurkan diri atau menyampaikan aspirasi ke DPR/MPR agar melakukan proses pemakzulan Presiden, maka hal itu sah-sah saja. Tak perlu ada penangkapan seperti terhadap kekuatan \"berlevel Kecamatan\" di Sumbar atas nama kelompok NII.  Aksi mahasiswa atau elemen masyarakat di atas tidak bisa di kualifikasi penggulingan yang bernama makar atau kudeta. Oleh karenanya Densus 88 tidak perlu terlalu cepat mengumbar ancaman \"penggulingan\" pada Pemerintahan Jokowi atas penangkapan mereka yang menamakan dirinya sebagai NII di Sumatera Barat.  OPM yang menjadi KKB dan Teroris di Papua saja Pemerintah ragu untuk bertindak padahal aksi kekerasan mereka nyata. Tentara dan masyarakat sipil banyak yang terbunuh sebagai korban dari kelompok separatis yang sebenarnya adalah \"upaya penggulingan\". Ini NII di  Sumbar yang belum terdengar ada kekerassn kerusuhan, atau pembunuhan  sudah diposisikan sebagai \"akan menggulingkan\".  Di masa Orde Baru munculnya kelompok seperti Komando Jihad, NII dan sejenisnya disinyalir sebagai buatan. Bahan untuk menciptakan hantu dan memecah belah umat Islam. Semoga saja dipopulerkan kembali NII, JI dan sejenisnya bukan mengambil oper pola Orde Baru dulu. Dengan tujuannya yang jelas adalah fitnah dan memecah belah.  Jadi menggulingkan Pemerintah dengan hanya bersenjatakan golok jelas absurd dan tidak nyambung...golok !  Bandung, 21 April 2022

Tsamara Amani Tinggalkan PSI, Rocky Gerung: Selamat Kembali ke Jalur Akal Sehat

Jakarta, FNN – Pengamat politik dan akademisi Rocky Gerung menyambut baik keluarnya Tsamara Amani dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). “Dia jeli melihat keadaan, terutama dia sebagai perempaun mengerti bahwa lebih baik melibatkan diri dalam isu-isu keadilan perempuan, karena kurang sekali analisis feminis terhadap kehidupan perempuan. Kalau soal minyak goreng sudah pasti yang pertama kali kena imbas kenaikan harga adalah kaum perempuan,”kata Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu, 20 April 2022.   Rocky menegaskan keputusan Tsamara keluar dari PSI bisa memberi warna lain dari kiprah perempuan Indonesia. “Sekali lagi kita siapkan generasi baru yang bisa menyiapkan Indonesia, karena sistem kepartaian kita memang buruk. PSI dari awal saya yang dorong, bagaimana ideologi solidaritas, bagaimana cara mengaktifkan milenial. Saya dulu bantu PSI karena saya anggap partai ini baik untuk anak muda,” paparnya. Rocky menegaskan peran suami Tsamara akan sangat membantu dalam mengembangkan pemikiran barunya. “Orang seperti Tsamara yang belajar antropologi pasti berdiskusi dengan suamiya yang profesor, berbicara tentang kemerdekaan berpikir, soal kesetaraan, dan lainnya. Itu keputusan yang baik. Apalagi Tsamara mengatakan, dia membutuhkan jalur lain yang tidak mungkin dia tempuh melalui partai politik,” tegasnya. Perihal keinginan Tsamara untuk keluar dari PSI sebetulnya sudah ia utarakan kepada Rocky dua tahun lalu, tepatnya awal pandemi sekitar Februari 2020. Ketika itu Rocky bertemu dengan Tsamara dan suaminya yang sedang berbulan madu di Amerika Serikat. Ajie, suami Tsamara adalah teman dekat Rocky. “Saya kenal cara berpikir Ajie suami Tsamara.  Ini orang-orang yang terbuka perspektifnya. Apalagi kalau sekarang ada kampanye Islamophopbia, dan PSI merupakan gerakan Islamophobia karena satu paket dengan pemikiran kawanan Cokro TV, maka momentumnya dapat, artinya menguntngkan Tsamara,” tegasnya. “Kesan saya Tsamara orang yang kritis, dia sampaikan mau belajar. Dan pasti suaminya setuju. Foto itu tidak ada urusannya dengan Tsamara, tetapi foto itu ada urusannya dengan cara saya mendeteksi kenapa Tsamara gelisah dengan keadaan politik,” kenangnya perihal foto dirinya bersama Tsamara dan suaminya yang beredar di medsos. Tsamara mengaku dirinya memerlukan jalur lain di luar PSI untuk  mengaktifkan pikiran politiknya terutama soal demokrasi dan jender. Di mana dia belajar soal ini di New York sudah 4 semester. “Itu pentingnya orang keluar sebentar dari Indoensa lalu balik lagi. Situsai yang kacau balau, butuh peralatan di luar partai. Selamat menempuh kembali jalur akal sehat,” kata Rocky. Perihal mengapa kini Rocky Gerung terkesan jauh dari PSI, padahal dia ikut mengawali pendiriannya, lantaran ia dihalangi oleh istana. “Pengaruh saya dihalangi lebih jauh oleh istana. Dan istana  punya uang banyak lalu mem-backup PSI.  Teman-teman saya akhirnya  memegalomania PSI seolah-olah  netral, padahal kita tahu bahwa akhirnya proposal-proposal bisnis yang beredar di meja PSI. Itu dugaan akademis saya,”paparnya. Rocky menyarankan Grace Natalie yang saat ini masih di PSI untuk lebih terbuka melihat keadaan. “Mungkin Grace Natalie bisa belajar dari percakapan publik yang dibuka Tony Foo bahwa ada variable yang sekarang menjadi faktor. Kalau kita bicara toleransi datang dari hati, bukan datang dari kalkulasi donasi,” pungkasnya. (ida, sws)  

Jaksa Agung Tetapkan Tersangka Mafia Migor, Ini Peringatan Ibu Mega untuk Jokowi

Jakarta, FNN – Perang dingin antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri tak bisa ditutup-tutupi lagi. Penetapan empat tersangka korupsi minyak goreng oleh Kejaksaan Agung Sanitiar Burhanuddin menunjukkan Megawati sedang mengirim sinyal kepada Jokowi. “Kita juga bisa lihat lebih jauh bahwa Jaksa Agung ini proksi dari PDIP. Jadi mungkin Ibu Mega sudah kesel ini “gue disindir-sindir nggak proemak-emak, disuruh rebus-rebus doang. Ini sekarang  saya mau tunjukkan bahwa saya juga tahu itu  yang jadi permainan minyak goreng sehingga saya terpaksa harus kukus rebus doing,” kata Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu, 20 April 2022. Rocky menegaskan bahwa Ibu Megawati sebetulnya ingin membantu emak-emak supaya emak-emak tahu bahwa kenapa Ibu Mega bicara tentang rebus-rebusan, karena memang minyak itu langka dan akhirnya Ibu Mega perintahkan. “Hai Pak Jaksa, Anda kan juga petugas partai, maka coba periksa dulu,” kata Rocky. Menurut Rocky, saat ini telah terjadi apa yang disebut sebagai enteprepower di dalam istana itu mulai berlangsung. Oleh karena itu masyarakat dituntut lebih jauh pertanggujawaban Pak Menteri Perdagangan. “Jangan sampai hanya pada Dirjen doang. Demikian juga pada Wilmar Komisaris doang yang dijadikan tersangka. Karena ini struktur ekonomi politik dari sawit itu melibatkan kekuasaan dan pebisnis,”paparnya. Rocky menegaskan jika bermain-main di dalam izin ekspor impor selalu ada kekuasaan yang lebih tinggi dari sekadar Dirjen. “Di korporasi juga begitu, ada kekuasaan yang lebih tinggi dari sekadar komisaris. Kita anggap ini pintu yang dibuka oleh Jaksa Agung sehingga orang mulai bertanya kenapa nggak KPK. Artinya, orang juga nggak percaya lagi KPK. Kalau KPK mungkin transaksinya berlipat-lipat di bawah meja. Jadi orang akhirnya balik pada Kejaksaan Agung,” tegasnya. Rocky menduga dalam dua hari ke depan akan ada bocoran-bocoran, semacam notulensi rapat, misalnya Pak Jokowi menyuruh Pak Menteri Perdagangan Muh Lutfi membereskan, tapi Lutfi ragu-ragu karena dia nggak tahu bocor atau tidak. “Jadi semua pembicaraan di istana itu pasti akan bocor karena itu untuk menunjukkan kebijakan minyak goreng itu sampai sekarang nggak bisa diatasi oleh pemerintah, sehingga harus ada yang dikorbankan, ditangkap,” paparnya. Namun Rocky melihat ada yang lebih berbahaya dari sekadar itu. Tapi Pak Jokowi mungkin tidak tahu bahwa Megawati bergerak sendiri lebih cepat. “Nanti Bu Mega akan minta Jaksa Agung bergerak lebih cepat lagi. Jadi kita juga mau tahu apa reaksi Pak Jokowi. Mau melindungi atau mau menganggap bahwa ini proses hukum biasa atau bingung sehingga datang dengan statemen yang lebih aneh lagi nanti,” tegasnya. Rocky menegaskan, selama berhari-hari, berminggu-minggu teater ini dipersiapkan.  Orang menginginkan agar dibuka pembicaraan-pembicaraan dalam sidang-sidang kabinet. Kalau keluar kira-kira harus ada yang dikorbankan. Kenapa bisikan menteri dari seorang Dirjen itu dianggap bisa membahayakan  kabinet?  Itu terbaca dari kegelisahan menteri perdagangan yang berminggu-minggu ke DPR cuma mengadu doang, ke publik nggak bisa, diuber emak-emak akhirnya dia kabur. Tampaknya sandiwara ini dipersiapkan lantaran Ibu Mega sudah tidak tahan. “Ya sudahlah, dari pada KPK atau polisi, saya juga punya peralatan, Kejaksaan Agung,” paparnya.   Rocky mengingatkan jika Ibu Mega pasang muka keras kepada istana, pasti ada impactnya. Ia selalu punya senjata rahasia. \"Diam-diam dia tahu apa yang namanya politik. Ini sentilannya memang agak berat. Lebih berbahaya lagi kalau dalam proses ini Jaksa Agung tidak kasih sinyal pada Presiden Jokowi bakal ada penangkapan. Mungkin Pak Jokowi akan panggil lagi dan bilang kalian kok nggak kasih tahu ada sinyal dari Bu Mega.\" pungkasnya. (sof, ida) 

Menhub Mengajak Masyarakat untuk Mudik Lebih Awal

Jakarta, FNN - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengajak masyarakat untuk mudik atau pulang kampung lebih awal guna menghindari penumpukan arus kendaraan mendekati hari lebaran.\"Kami mengajak warga untuk mudik lebih awal, mulai tanggal 23 (April),\" ujar Budi saat ditemui di sela-sela peluncuran Visi Berkelanjutan 50/30 Blue Bird di Jakarta, Rabu malam.Menhub menyampaikan, pihaknya bersama dengan Kakorlantas Polri dan juga Kementerian PUPR melakukan persiapan yang sangat detil untuk mudik lebaran kali ini.\"Bayangkan mudik kali ini naik 40 persen dibandingkan 2019. Kalau 40 persen itu tinggi sekali. Presiden khawatir, kami disuruh simulasi,\" kata Menhub.Simulasi tersebut dilakukan dengan berbagai rekayasa seperti aturan ganjil genap, one way, contra flow, dan truk berporos tiga tidak diperbolehkan melintas di jalan tol dan arteri.\"Dengan 40 persen kalau tingkat keberhasilan ganjil genap itu 30 persen sama dengan DKI, baru itu menjadi baik. Kalau tidak, itu fail. Tingkat kegagalan itu cukup tinggi,\" ujar Menhub.Oleh karena itu, pihaknya memprediksi apabila tidak ada kesadaran masyarakat untuk tidak bersama-sama mudik 29 dan 30 April 2022, maka akan terjadi kemacetan.\"Jadi jangan harap bisa ke Semarang itu 6 sampai 7 jam, bisa dua kali lipatnya,\" kata Menhub.Menhub mengatakan, imbauan untuk mudik lebih awal mulai terasa di masyarakat. Ia menceritakan dalam kunjungannya ke Madura, warga tampak sudah mulai melakukan mudik lebih cepat.\"Tinggal sekarang di darat, yang memang paling complicated. Terjadi di Palimanan, Jakarta sampai ke Semarang dan exercise-nya adalah di situ,\" ujar Menhub. (Sof/ANTARA)

Mengembalikan Tatanan Mula Republik Indonesia Berdasar UUD 1945 (2)

Dengan uraian di atas marilah kita bersama-sama mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara, mempunyai rasa tangungjawab dan keinsyafan untuk mengembalikan tatanan mula NKRI sesuai dengan UUD 1945 yang asli. Oleh: Ir. Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Kajian Rumah Pancasila ADAPUN tudjuan Negara, tertjantum dalam Pembukaan, jang nasional (“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memadjukan kesedjahteraan umum dan mentjerdaskan kehidupan bangsa”), pendjelmaannya objektif adalah sebagai di bawah ini. Pertama-tama terkandung djuga dalam pendjelmaan daripada asas kerohanian dan asas politik Negara sebagaimana dimaksudkan di atas, karena kedua asas Negara itu memang dikehendaki untuk mewujudkan atau mentjapai tudjuan Negara. Lain daripada itu terutama untuk tudjuan Negara jang negatif, jaitu keselamatan bangsa dan Negara atau perdamaian, pendjelmaannja objektif terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 dalam Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (pasal 24 dan 25) dan Bab XII tentang Pertahanan Negara (pasal 30) serta kekuasaan Presiden dalam pasal 14 untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, dalam pasal 10 atas Angkatan Perag, dalam pasal 11 untuk menjatakan perang, membuat perdamaian dan perdjandjian dengan Negara lain, dan dalam  pasal 12 untuk menjatakan keadaan bahaja. Besar artinja telah dapat ditundjukkan tadi, bahwa Undang-undang Dasar 1945 sebenarnya merupakan pendjelamaan dari Pembukaan dan bagaimana pendjelmaan itu. Dapat dikatakan, bahwa hal ini kebanjakan masih belum diperhatikan, sampai sepertinya dapat ada pendapat, bahwa asas kerohanian Negara (Pantjasila) adalah kosong. Menurut pendjelasan resmi daripada Undang-undang Dasar 1945, termuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7, Pembukaan adalah “suasana kebatinannja (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar ………… (jang) tidak dapat dipahamkan, kalau hanja dibatja teksnja sadja”, dan bahwa “pokok-pokok pikiran (dalam Pembukaan) …. mewujudkan tjita-tjita Hukum (rechsidee) jang menguasai Hukum Dasar Negara, baik jang tertulis (Undang-undang Dasar) maupun Hukum jang tidak tertulis. Undang-undang Dasar mentjiptakan pokok-pokok pikiran jang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnja”. Jadi, jelas amandemen UUD 1945 merupakan tindakan yang menghilangkan penjelasan UUD 1945 merupakan tidakan kudeta agar generasi penerus tidak bisa mengerti tentang pokok-pokok pikiran yang ada di Pembukaan UUD 1945, menghilangkan suasana kebatinan dari UUD 1945 sehingga dengan dihilangkannya pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945 hilanglah cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar . Dengan demikian ada hubungan hierarchis dan organis antara Undang-undang Dasar 1945 dengan Pembukaan, ialah mempunjai kedudukan di bawah dan di dalam lingkungan Pembukaan. Dengan lain perkataan Undang-undang Dasar itu adalah merupakan isi daripada asas kerohanian Negara, asal politik Negara dan tudjuan Negara. Pantjasila tidak tinggal tjita-tjita dalam abstraktonja, tidak tinggal tjita-tjita dalam angan-angan, akan tetapi telah mempunjai bentuk dan isi jang formil dan materiil untuk mendjadi pedoman bagi hidup kenegaraan dan hukum Indonesia dalam konkretonja. Maka dari itu Undang-undang Dasar 1945 dengan Pembukaan merupakan kesatuan, jang berarti bahwa: Tafsir Undang-undang Dasar 1945 harus dilihat dari sudut Pembukaan; Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 dalam undang-undang harus mengingat dasar-dasar jang tertjantum dalam Pembukaan. Adapun interpretasi dan pelaksanaan undang-undang seharusnja dalam arti jang selengkapnya, ialah meliputi pula seluruh perundang-undangan di bawah undang-undang dan putusan-putusan administratif dari semua tingkat penguasa Negara, mulai dari Pemerintah Pusat sampai alat-alat perlengkapan Negara di daerah, Angkatan Perang, Pamong Pradja dan Polisi dan alat-alat perlengkapan Pemerintah Daerah, alat perlengkapannja. Semuanja harus dilihat dari sudut dasar-dasar jang terkandung dalam Pembukaan. Dengan demikian seluruh hidup kenegaraan dan (tata) tertib hukum Indonesia didasarkan atas, ditudjukan kepada dan diliputi oleh asas kerohanian, asas politik dan tudjuan Negara jang tertjantum dalam Pembukaan. Tidak ada jang diketjualikan, djuga dalam hal menentukan kebidjaksanaan haluan Negara, kebidjaksanaan hukum dan perundang-undangan, kebidjaksanaan pemerintahan, kebidjaksanaan kesedjahteraan, kebudajaan, kesusilaan dan keagamaan, kebidjaksanaan politik dalam dan luar negeri, kebidjaksanaan keselamatan, pertahanan dan keamanan Negara. Barang sekiranya di sinilah letaknja batas, bentuk dan isi daripada pengertian “nasional’, jang kita inginkan bersama sebagai sifat mutlak bagi kehidupan bangsa, Negara, hukum dan kebudayaan kita. Hal ini tidak boleh dilupakan pula bagi kehidupan politik (kepartaian) kita, baik dalam bidang dalam negeri maupun luar negeri. Sebagai bawaan daripada dasar kerakjatan dan dasar perikemanusiaan terdjelma dalam hak asaasi manusia sebagai individu dan machluk sosial kedua-duanya, maka kepartaian kita dan pemerintahan kita didasarkan atas dan diliputi oleh aliran agama dan aliran hidup, jang mempunjai djuga sifat universil dan atau internasional. Akan tetapi di dalam segala matjam kebidjaksanaan tersebut di atas sifat universil dan internasional itu seharusnja direalisasi dalam bentuk jang “nasional” itu agar supaja kehidupan bangsa, Negara, hukum dan kebudajaan kita adalah merupakan realisasi jang tjotjok dengan pribadi bangsa kita. Kesimpulan ini adalah timbul dengan djelas dan dengan sendirinja dari perdjalanan pikiran seperti berturut-turut diadjukan di atas. Dapat masih diterangkan lagi atas dasar prinsip ilmiah, ialah bahwa tjita-tjita, dan ideologi adalah tjita-tjita, untuk realisasinja dalan kenjataan membutuhkan suatu bentuk tertentu. Dalam pada itu halnja tidak demikian, bahwa suatu tjita-tjita hanja mempunjai satu bentuk realisasi tertentu atau tjita-tjita jang berlainan djuga bentuk realisasinja, akan tetapi suatu tjita-tjita mempunjai banyak kemungkinan bentuk untuk diwudjudkan dalam kenjataan, sedangkan tjita-tjita jang berlainan mungkin pula sama dalam bentuk realitasinja. Bagaimana dapat terdjadi, itu adalah bawaan dan pengaruh daripada perbedaan dan perubahan segala sesuatu di dunia, sepertinja keadaan, tempat, waktu, pribadi kemanusiaan baik dari orang-perseorangan maupun bersama, jang tergolong-golong dengan mempunjai keagamaan, kebudajaan, kebutuhan dan kepentingan jang berlainan. Tidak dengan sendirinja bentuk realisasi jang berlainan dari tjita-tjita satu atau serupa menimbulkan pertentangan, akan tetapi dapat berdampingan dalam harmoni keaneka-ragaman jang memperkaja. Inilah jang terutama mendjelma dalam hidup perseorangan. Sebaliknya kesamaan bentuk realitasi tjita-tjita jang berlainan tidak djarang terudjud, dan terutama dalam hidup bersama, dan djustru inilah jang memungkinkan terdjadinja golongan-golongan, terdjadinja masjarakat. Dapat pula masih dikemukakan suatu kenjataan dalam sedjarah bangsa Indonesia, jang menundjukkan pertemuan dan hidup berdampingan dalam keaneka-tunggalan pelbagai tjita-tjita jang berlainan, jang asli dan jang datang dari luar, dalam lapangan hidup jang pokok-pokok, kerohanian dan kedjasmanian, sepertinja dalam hal keagamaan, kedjiwaan, kebudajaan, kesusasteraan, kesenian, mata pentjaharian hidup. Telah terbukti dalam sedjarahnja itu, bahwa bangsa Indonesia memiliki kemampuan sintetis. Begitulah tjita-tjita kenegaraan dan hukum daripada Pembukaan dan bentuk realisasinja jang setjara ilmiah dapat digambarkan di atas, dapat didjelaskan dan dikuatkan atas dasar suatu prinsip ilmiah, jang sungguh terdjelma dalam hidup kemanusiaan, dan djuga oleh bukti sedjarah bangsa Indonesia sendiri dengan kemampuannja sintetis itu. Dengan segala sesuatu itu sebagai dasar dan pedoman, maka ada sjarat-sjarat mutlak keharusan, agar supaja perbedaan ideologi dalam hidup kepartaian kita dengan pengaruhnja dalam pemerintahan, sama saling menjesuaikan diri dalam pertemuan bentuk realisasi jang “nasional” itu, sebagaimana terdjelma dalam tjita-tjita  kenegaraan jang telah tetap terkandung dalam Pembukaan itu, dengan realisasinja jang dinamis. Dari uraian di atas harusnya bangsa dan elit ini sadar bahwa Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 telah dikudeta dengan diamandemen UUD 1945 sehingga tatanan kenegaraan tidak lagi mencerminkan perjanjian luhur bangsa Indonesia yang dituangkan pada pembukaan UUD 1945. Sekarang bisa disaksikan kebingungan-kebingungan yang terjadi terhadap ketatanegaraan, bagaimana Presiden mengangkat dirinya sendiri, di akhir masa jabatannya tidak perlu mempertangungjawabkan apa yang sudah dilakukan bahkan pembangunan tidak lagi dirancang oleh MPR dan seluruh anak bangsa yang tertuang di dalam GBHN, tetapi disandarkan pada negara China dengan proyek OBOR, apakah itu kepentingan negara bangsa? Apakah pindah Ibukota kepentingan Bangsa dan Negara? Begitu juga dengan puluhan UU yang dilahirkan untuk kepentingan Investor Asing, Aseng. Dengan uraian di atas marilah kita bersama-sama mempunyai kesadaran berbangsa dan bernegara, mempunyai rasa tangungjawab dan keinsyafan untuk mengembalikan tatanan mula NKRI sesuai dengan UUD 1945 yang asli. Jika tidak bangsa dan negara ini akan musnah, sebab hari ini NKRI bukan lagi yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 yang mempunyai asas kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, sudah diganti dengan dasar Liberal Kapitalisme. Kekuasaan diperebutkan banyak-banyakan suara. Dosa kolegtif bangsa ini bukan hanya pada pendiri bangsa tetapi dosa terbesar adalah pada masa depan anak cucu kita, bisa jadi perbuatan kita hari ini adalah dalam rangka membuat anak cucu kita sebagai jongos di negerinya sendiri kelak. (*)