ALL CATEGORY

Ganjar Terpaksa, Prabowo Dipaksa, Anies Diminta

Oleh H. Zaharuddin Kasim - Mantan Aktivis Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Salam Kebangsaan Kita baru saja memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 78 Tahun. Tahun depan rencananya HUT RI Ke 79 akan dilaksanakan di Ibu Kota Negara IKN. Mungkinkah itu?  Waktu lah yang akan menjawabnya. Kita tunggu saja.  Kenapa saya singgung IKN? Menarik bagi saya, sejak awal hingga sekarang selalu jadi perbincangan publik. Yah sudah lah. IKN telah menjadi Undang- undang.  Pada Agustus 2024 nanti, Indonesia sudah punya Presiden baru hasil Pilpres bulan Februari. Definitifnya Presiden RI hasil Pilpres Februari 2024 dilantik bulan Oktober. Jadi pada bulan Agustus 2024 itu, presiden RI masih dijabat oleh Joko Widodo.  Siapa yang akan terpilih menjadi Presiden RI 2024 - 2029 mendatang? Ini yang ingin saya ulas pada tulisan kali ini.  PDIP telah mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai Capres mereka. Kita tidak tahu bagaimana cara penetapan Ganjar hingga terpilih. Yang jelas itu merupakan hak prerogatif dari Ketua Umum PDIP Megawati dalam menetapkan Capres dan Cawapres dari PDIP.  Gonjang-ganjing sebelum penetapan Ganjar sebagai Capres dari PDIP muncul di internal PDIP sendiri. Ada dua arus kekuatan waktu itu. Arus parlemen dan arus relawan.  Arus parlemen yang dimotori oleh Utut Hadianto lebih condong memajukan Puan Maharani sebagai Capres. Sementara para relawan berkehendak agar Ganjar maju sebagai Capres. Muncullah istilah dari kubu Parlemen Dewan Jenderal untuk mengawal Puan maju sebagai Capres. Tidak mau kalah, relawan pun membentuk Dewan Kopral untuk mengamankan Ganjar.  Terpaksakah penetapan Ganjar selaku Capres dari PDIP? Tampaknya iya, karena Ganjar diendors oleh Jokowi untuk maju sebagai Capres PDIP dan juga melihat hasil polling untuk Ganjar cukup bagus. Bisa jadi Megawati mengambil keputusan tidak terlepas dari hal hal itu. Walau pun beberapa kader dari PDIP meragukan kemampuan Ganjar. Trimedya Panjaitan misalnya, ia menggugat tidak ada prestasi Ganjar yang dapat dibanggakan selaku Gubernur Jawa Tengah selama dua periode.  Sekarang timbul ketidakharmonisan hubungan antara PDIP dengan Jokowi setelah Golkar dan PAN bergabung dengan Gerindra dan PKB. Perang dingin mulai muncul. Serangan terbuka yang dilancarkan Hasto selaku Sekjen PDIP ke Prabowo terkait dengan proyek Food Estete yang gagal dan merusak lingkungan. Ditambah lagi wajah Megawati yang tidak begitu enjoy saat disapa Jokowi di HUT RI di Istana Negara, serta tidak diundangnya Gibran saat acara koordinasi seluruh kepala daerah dari PDIP. Apa kata Gibran terhadap tidak diundangnya dia ke acara koordinasi kepala daerah dari PDIP? Gibran dengan santai berujar, \"Aku kan masih anak ingusan\". Prabowo selaku Menhan yang ditugaskan untuk Proyek Food Estate yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut. Kegagalan proyek Food Estate itu juga merupakan proyek yang dicanangkan oleh Jokowi Widodo. Jadi, Prabowo hanya menjalankan programnya Jokowi. Kenapa Probowo diserang?  Adakah kekesalan PDIP dengan Jokowi atas bergabungnya Golkar dan PAN ke Gerindra? Secara kasat mata itu dapat kita baca. Secara tidak langsung pula Jokowi bermain di dua kaki.  Ganjar dia dukung karena dari satu partai, sejatinya \"Jokowi lebih condong mendukung Prabowo\". Bisa jadi, Prabowo maju sebagai Capres dari Gerindra karena diminta/direstui Jokowi. Bisa jadi pula Prabowo merasa dipaksa. Realita yang ada saat ini demikian itu. Setelah masuknya Golkar dan PAN ke kubu Prabowo, posisi Prabowo untuk jadi RI 1 pada 2024 semakin terbuka luas.  Apa memang demikian itu?  PDIP merasa terganggu dengan manuver-manuver yang dilakukan oleh Jokowi. Jokowi dianggap berdiri di dua blok. Mendukung Ganjar namun lebih dekat kepada Prabowo.  Melalui serangan awal, PDIP mempersoalkan keberadaan proyek Food Estate. Suhu politik semakin memanas. PDIP mulai menjadi partai setengah oposisi. Apa yang dilakukan oleh Prabowo terhadap proyek Food Estate itu, adalah merupakan programnya Jokowi melalui skema pendanaan PSN. Sementara Jokowi adalah kadernya PDIP.  Bisa jadi beberapa waktu ke depan akan terjadi kegaduhan terhadap menuver Jokowi ke Prabowo. Bau tidak sedap sudah mulai tercium oleh publik. Pilpres 2024 mendatang tidak terelekkan akan terjadi pertarungan antara Megawati Vs Jokowi jika Jokowi masih bermain di dua kaki.  Bagaimana dengan Anies?  Menarik bagi saya untuk melihat kiprah Anies selama ini sebelum dia DIMINTA untuk maju sebagai Capres dari Partai Nasdem.  Saya bertemu Anies saat Jalan Sehat di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung beberapa waktu lalu. Saya tidak pernah bertemu secara  tatap muka face to face dengan Anies. Namun demikian, dengan Ayah Anies yaitu bapak Rasyid Baswedan saya pernah berjumpa ketika saya kuliah di Universitas Islam Indonesia. Pak Baswedan dosen di Fakultas Ekonomi dan saya mahasiswa s di Fakultas Teknik Sipil.  Kampus saya di Jalan Demangan Baru nomor 24, Yogyakarta sering juga digunakan oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi kuliah di kampus saya. Pak Baswedan memakai Honda Bebek sebagai alat transportasinya.  Ketika berpapasan di tempat parkir, saya menegur dan menyalami beliau. Di mata saya, beliau begitu ramah dan sederhana.  Sifat Anies  saya kira tidaklah jauh dari sifat ayahnya. Bukankah  pepatah mengatakan: \"Buah kelapa jatuh tidak akan jauh dari pohonnya\". Saya mengagumi Anies ketika dia selaku Rektor di Universitas Paramadina, Jakarta. Saya rasa, dia merupakan rektor termuda berprestasi pada institusi perguruan tinggi swasta. Saya lebih kaget dan kagum, ketika di tahun 2014 Anies selaku juru bicara Joko Widodo di kontestasi Pilpres. Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya, Anies menjawab sangat  lugas dan tegas.  Seterusnya kekaguman saya ketika Anies diminta Partai Gerindra untuk maju pada Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017. Dia begitu tenang, kasak-kusuknya pada kontestasi pilgub waktu itu biasa biasa saja. Hampir seluruh lembaga survei menempatkan Anies di urutan ke tiga di bawah Ahok, dan AHY.  Hasil akhir? Anies menjungkir balikan hasil survei yang ada. Anies menang pada pilkada DKI tersebut dengan angka yang sangat fantastis, yaitu 56 %. Kemudian Jakarta ditatanya dengan baik. Konektivitas transportasi ditata sedemikian rupa. Paru-paru kota berupa taman ditata dengan bagus. Pengendara sepeda diberi jalur kusus. Penyandang disabilitas diberi ruang kusus untuk leluasa bergerak. Sirkuit motor listrik dia bangun. Pertama di kawasan Asia Tenggara. Stadion sepak bola megah bertarap international yang merupakan ciri khas kota besar dunia, dihadirkannya. Kemacetan dan banjir dia kendalikan.  Hasilnya, warga DKI Jakarta memberi apresiasi atas kerja Anies selama 5 tahun memimpin Jakarta dengan tingkat kepuasan 83 %. Anies masuk dalam 3 besar bersama Ganjar, dan Andhika hasil pilihan peserta Rakernas Partai Nasdem. Atas pertimbangan matang dan melihat rekam jejak Anies memimpin DKI Jakarta selama 5 tahun, akhirnya di bulan Oktober 2022, atas permintaan Partai Nasdem, ketua umum Partai Nasdem Surya Paloh mengukuhkan Anies sebagai Capres dari Partai Nasdem. Gayung pun bersambut, PKS dan Partai Demokrat pun mendeklerasikan Anies sebagai Capres.  Rasanya 3 kandidat ini (Anies, Ganjar, dan Prabowo) akan berlaga pada Pilpres 2024 mendatang.  Sebagai capres Ganjar terpaksa, Prabowo dipaksa, dan Anies diminta. Dengan situasi gonjang-ganjing antara Jokowi dengan Megawati dan adanya serangan dari PDIP ke Prabowo implisit juga tertuju ke Jokowi. Posisi Anies akan semakin diuntungkan.  Salam akal sehat dari kota Bandung Lautan Api. (*)

New World Order Menghabisi Pancasila

Oleh Prihandoyo Kuswanto - Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila KETIKA UUD1945 diamandemen dan dipertuhankannya liberalisme dan kapitalisme maka Pancasila menjadi bualan para elit dan pemimpin negeri ini. Pancasila kemudian dikeramatkan dan tidak lagi menjadi ideologi bernegara sebab konsep Pancasila sebagai sistem kolektivisme dalam berbangsa dan bernegara ambyar diganti individualisme, liberalisme, kapitalisme. Kapitalisme merasuki semua otak para elit politik sebab tanpa uang tidak mungkin bisa masuk pada kelompok para komprador. Semua diukur dengan uang apa lagi detak politik yang ada hanya wani piro .semua serba dibandrol dengan uang. Kita tidak pernah lagi mendengar para elite berbicara konsep pendidikan dampak sosial seperti dulu kita sering baca kajian - kajian cerdas di LP3S, atau analisa pakar sosial seperti Prof Selo Sumarjan atau celotehan Mr Regen-nya Umar Kayam atau pikiran-pikiran Kunto Wibisono. Tidak lagi perna mendengar perdebatan Prof Emil Salim terhadap Analisa Dampak Lingkungan .akibat perambahan hutan ,bangsa ini sudah menjadi super dungu dan tidak mampu membangun peradabannya. Padahal bangsa ini adalah bangsa yang perna sebesar Majapahit dan Sriwijaya yang penuh dengan karakter sebagai bangsa yang besar. Pada 30 September 59 tahun silam di Gedung PBB, New York, Amerika Serikat terjadi peristiwa penting yang bukan saja dialami oleh Indonesia tetapi juga oleh dunia.  Pada hari itu, Presiden pertama Indonesia Ir. Sukarno atau yang biasa akrab disapa Bung Karno berkesempatan menyampaikan gagasan di depan para pemimpin-pemimpin negara di PBB. Pidato yang berjudul To Buid The World A New (Membangun Dunia Kembali) dengan durasi sekitar 90 menit itu telah menggemparkan dunia. Dan saat itulah Pancasila telah menjadi musuh  utama New World Order  dengan lantang Bung Karno mengatakan  \"To Build The World A New\". Dengan Pancasila sebagai dasar paradikmatika. Pidato ini menantang New World Order. Itu sebab nya Bung Karno ditarget digulingkan setelah Kennedy dibunuh, karena Bung Karno  beberapa kali dilakukan percobaan pembunuhan tetapi tidak berhasil  .rupanya melalui PKI dengan peristiwa G30S PKI berhasil menumbangkan Kekuasaan Soekarno. Setelah era Orla Pak Harto orang yang dimanfaatkan oleh mereka, tetapi rupanya pak Harto juga pinter. Dia nurut saat awal kekuasaannya, tetapi mulai sedikit mbalelo setelah Indonesia mulai kuat. Puncaknya pd 1996, saat pak Harto menolak skenario global yg dirancang World Bank, IMF dan AS. Maka tidak  ada jalan  lain, pak Harto juga harus dijatuhkan.  New World Order rupa nya tidak berhenti disitu mereka menggunakan perang pemikiran terhadap Pancasila yang mereka lakukan adalan mengacak acak UUD1945 melalui 4 kali amandemen yang Menganti sistem kolektivisme menjadi individualisme, liberalisme, kapitalisme. Mengubah sistem MPR menjadi Presidenseil Pancasila tidak lagi menjadi Ideologi negara sebab tidak mungkin Pancasila disandingkan dengan sistem Presidenseil yang basisnya individualisme dimana kekuasaan di perebutkan banyak banyakan suara ,kalah menang pertarungan . Cuplikan sidang BPUPKI Toean-toean dan njonja-njonja jang terhormat. Kita telah menentoekan di dalam sidang jang pcertama, bahwa kita menjetoedjoei kata keadilan sosial dalam preambule.  Keadilan sosial inilah protes kita jang maha hebat kepada dasar individualisme. Tidak dalam sidang jang pertama saja telah menjitir perkataan Jaures, jang menggambarkan salahnja liberalisme di zaman itoe, kesalahan demokrasi jang berdasarkan kepada liberalisme itoe. Tidakkah saja telah menjitir perkataan Jaures jang menjatakan, bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen mendjadi rapat radja-radja, di dalam liberalisme tiap-tiap wakil jang doedoek sebagai anggota di dalam parlemen berkoeasa seperti radja.  Kaoem boeroeh jang mendjadi wakil dalam parlemen poen berkoeasa sebagai radja, pada sa’at itoe poela dia adalah boedak belian daripada si madjikan, jang bisa melemparkan dia dari pekerdjaan, sehingga ia mendjadi orang miskin jang tidak poenja pekerdjaan.  Inilah konflik dalam kalboe liberalisme jang telah mendjelma dalam parlementaire demokrasinja bangsa2 Eropah dan Amerika. Toean-toean jang terhormat. Kita menghendaki keadilan sosial. Boeat apa grondwet menoeliskan, bahwa manoesianja boekan sadja mempoenjai hak kemerdekaan soeara, kemerdekaan hak memberi soeara, mengadakan persidangan dan berapat, djikalau misalnja tidak ada sociale rechtvaardigheid jang demikian itoe?  Boeat apa kita membikin grondwet, apa goenanja grondwet itoe kalau ia ta’dapat mengisi “droits de l’homme et du citoyen” itoe tidak bisa menghilangkan kelaparannja orang jang miskin jang hendak mati kelaparan.  Maka oleh karena itoe, djikalau kita betoel-betoel hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeloeargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong, faham keadilan sosial, enjahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanja. Toean-toean jang terhormat. Sebagai tadi poen soedah saja katakan, kita tidak boleh mempoenjai faham individualisme, maka djoestroe oleh karena itoelah kita menentoekan haloean politik kita, jaitoe haloean ke-Asia Timoer Rajaan.  Maka ideologie ke-Asia Timoer Raja-an ini kita masoekkan di dalam kenjataan kemerdekaan kita, di dalam pemboekaan daripada oendang-oendang dasar kita…….. Toean2 dan njonja2 jang terhormat.  Kita rantjangkan oendang-oendang dasar dengan kedaulatan rakjat, dan boekan kedaulatan individu.  Kedaulatan rakjat sekali lagi, dan boekan kedaulatan individu.  Inilah menoeroet faham panitia perantjang oendang-oendang dasar, satoe-satoenja djaminan bahwa bangsa Indonesia seloeroehnja akan selamat dikemoedian hari. Djikalau faham kita ini poen dipakai oleh bangsa-bangsa lain, itoe akan memberi djaminan akan perdamaian doenia jang kekal dan abadi. …………. Marilah kita menoendjoekkan keberanian kita dalam mendjoendjoeng hak kedaulatan bangsa kita, dan boekan sadja keberanian jang begitoe, tetapi djoega keberanian mereboet faham jang salah di dalam kalboe kita. Keberanian menoendjoekkan, bahwa kita tidak hanja membebek kepada tjontoh2 oendang2 dasar negara lain, tetapi memboeat sendiri oendang2 dasar jang baroe, jang berisi kefahaman keadilan jang menentang individualisme dan liberalisme; jang berdjiwa kekeloeargaan, dan ke-gotong-royongan. Keberanian jang demikian itoelah hendaknja bersemajam di dalam hati kita. Kita moengkin akan mati, entah oleh perboeatan apa, tetapi mati kita selaloe takdir Allah Soebhanahoewataala. Tetapi adalah satoe permintaah saja kepada kita sekalian. Djikalau nanti dalam zaman jang genting dan penoeh bahaja ini, djikalau kita dikoeboerkan dalam boemi Indonesia, hendaklah tertoelis di atas batoe nisan kita, perkataan jang boleh dibatja oleh anak-tjoetjoe kita, jaitoe perkataan: “Betoel dia mati, tetapi dia mati tidak sebagai pengetjoet Amandemen UUD1945 telah merubah pikiran para pendiri negeri ini dimana negara didasarkan atas kekeluargaan , kebersamaan, kolektivisme diganti dengan individualisme, liberalisme, kapitalisme. Pembukaan UUD 1945 itu adalah pokok pangkal dari perumusan pasal-pasal berturut-turut dalam 16 (enam belas) bab dan 37 pasal.  Ditambah dengan aturan peralihan yang terdiri dari 4 (empat) pasal dan aturan tambahan. Karena telah tercapai mufakat bahwa UUD 1945 didasarkan atas sistem kekeluargaan, maka segala pasal-pasal itu diselaraskan dengan sistem. Negara Indonesia bersifat kekeluargaan, tidak saja hidup kekeluargaan ke dalam, akan tetapi juga ke luar. Sehingga politik luar negeri Indonesia harus ditujukan kepada melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan segala bangsa, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi segala bangsa. Rupanya New World Order tidak berhenti mengacak ngacak UUD1945 dengan amandemen sekarang masuk menghabisi Pancasila melalui PDIP dengan mengganti Pancasila menjadi Trisila ,Ekasila,Gotong royong ,jika UU HIP di sah kan  maka habis sudah Pancasila dan kemenangan   New World Order. Apa elite di DPR tidak merasa berkhianat pada pendiri negeri ini dan bangsa Indonesia ??Tentu saja sejarah akan mencatat rekam jejak mereka .

Sinisme

Tulisan Rocky Rocky 2014 lalu, tetap relevan sampai kapanpun untuk merawat demokrasi, merawat bangsa ini. Oleh Rocky Gerung - Staf Pengajar Departemen Filsafat, FIB – UI POLITIK adalah gairah. Yaitu luapan energi untuk menghasilkan perubahan: bahwa \"sesuatu\" harus terjadi, agar sejarah bergerak. Fantasi mendekatkan ekspektasi pada urgensi, dan dalam gairah itulah politik menghidupkan harapan. Tetapi hari-hari ini, luapan itu justru tumpah menjadi arogansi intelektual untuk mengendalikan opini publik, semata-mata dengan dalil buta \"kebenaran mutlak\". Politik dalam kondisi pengendalian itu menjadi soal teknis semata-mata: ditampilkan dalam grafik lalu dirayakan sebagai \"kemenangan\". Dalam tema palsu \"politik nilai\", konfrontasi diselenggarakan seolah-olah sebagai \"duel etik\", dan kaum intelektual tampil sebagai pemuka-pemuka radikal. Di belakangnya pers berbaris rapih. Profesor versus profesor, budayawan versus budayawan. Editorial versus editorial.  Surveyor versus surveyor. Dalam gegap gempita itu, kritisisme berhenti. Kita atau mereka! Di sini atau di seberang! Doktrin \"sini-seberang\" inilah yang memalsukan politik nilai itu. Politik nilai memerlukan kritisisme sampai ke ujung rambut pengendali politik. Politik nilai menuntut kejujuran pers untuk membuka kamar terakhir, tempat  para \"narasumber utama\" berdiam. Inilah kamar-kamar kepentingan yang tak terlihat rakyat, tetapi yang sesungguhnya menentukan isi dan arah pemerintahan kelak. Politik memang mengandung cacat bawaan. Yaitu godaan manipulasi. Kekuasaan berwatak absolut itulah yang hendak dikontrol oleh demokrasi. Pada prinsip kontrol itu, demokrasi meluaskan partisipasi politik agar seluruh segi kekuasaan - ambisi, integritas, jejak- diuji ketat di forum publik. Itulah asas publisitas. Pers adalah pembuluh darah demokrasi yang bertugas mengedarkan publisitas demi menjaga kewarasan pendapat umum. Paralel dengan kerja pers adalah kerja akademisi dalam meluaskan akal kritis untuk selalu memberi sinisisme kepada kekuasaan. Sinisisme adalah enzim publik untuk mencegah politik tumbuh dalam eforia kembang api yang habis dibakar sesaat untuk kemudian gelap. Sinisisme bukan sikap apatis. Juga bukan sikap netral. Sinisisme adalah aktifitas kritik untuk mengingatkan demokrasi bahwa selalu ada jarak antara harapan dan para pembuatnya. Bahkan jarak antara pembuat dan para pengharap. Sinisisme tak berdiri netral di antara para pihak. Juga tak berdiri di kerumunan massa. Sinisisme berdiri di atas tribune, agar dapat melihat yang di dalam dan di luar arena. Pada akhirnya, seorang warga negara harus terpilih sebagai pemimpin negeri. Tetapi setelah itu, kita harus membenahi demokrasi yang porak-poranda ini. Kambing hitam selalu tersedia. Tapi demokrasi adalah kemarahan yang dilembagakan. Taruhan ini harus dibayar, juga oleh mereka yang menolak ke kotak suara, mereka yang telah melihat kekonyolan politik ini sejak awal. Tak adil memang, tapi kedewasaan memerlukan sedikit pengorbanan. Dengan itu kita bertumbuh sebagai bangsa yang bertenaga. Demokrasi memerlukan sinisisme agar ruang politik tak dihuni oleh doktrin. Tetapi hari-hari ini, sinisisme telah berubah jadi sekedar sikap sinis. Yaitu cibir-mencibir dalam dengki. Sinisisme memerlukan pikiran. Sinis cukup dengan cibiran. Demokrasi, jelas bukan itu. Depok, 21 Juli 2014

78 Tahun Merdeka, Pesta Korupsi dan Jogetan Istana

Oleh Abdullah Hehamahua - Mantan Komisioner KPK SAYA tidak pernah menghadiri upacara pengibaran Merah Putih di istana negara. Padahal, sebagai Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) selama empat tahun, saya selalu mendapat undangan dari Sekneg. Hal yang sama berlaku sewaktu delapan tahun menjadi Penasihat KPK. Hari itu, 16 Agustus 2023. Seorang tamu menegur sikapku ini. “Saya tidak mau jadi orang munafik,” jawabku.  Sebab, lanjutku: “kuingat jasa pahlawan nasional. Mulai dari Teuku Umar di belahan barat sampai Pattimura di penghujung timur Indonesia. Mereka menyabung nyawa untuk melawan penjajahan. Namun, kita sekarang saling menjajah. Ber-KKN- riya. Ada 14 menteri dan 70% Kepala Daerah ditangkap”  Pengibaran Merah Putih Alergi terhadap upacara pengibaran bendera? Tidak. Sebab, sewaktu di SMA, setiap Senin, dilakukan upacara pengibaran Merah Putih.  Saya tidak pernah bolos.  Alergi terhadap istana.? Tidak juga. Sebab, pertama kali kumasuki istana, tahun 1971. Saya dan peserta Pendidikan Pers IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) seluruh Indonesia, berangjasana ke istana. Itulah pertama kali kusalami Soeharto.   Kudatangi lagi istana negara ketika mengikuti pelantikanku sebagai Wakil Ketua KPKPN (2001) oleh presiden Gusdur. Selama 10 tahun SBY, saya sering hadir di istana negara, mengikuti pelantikan Pimpinan KPK dan Lembaga Negara lainnya. Namun, saya enggan hadir dalam upacara pengibaran Merah Putih, setiap 17 Agustus di istana negara. Penyebabnya, mungkin sangat pribadi. Penyebab pertama, mataku akan berkaca-kaca setiap menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebab, ketika menyanyikan lagu tersebut, pikiranku melayang ke seluruh pelosok negeri. Kubayangkan perjuangan Teuku Umar, Teungku Chik di Tiro, Panglima Polem dan Cut Nyak Dhien di Aceh. Ada Imam Bonjol di Sumatera Barat. Lalu  Fatahillah dan Diponegoro di Jawa. Ada pula Antasari serta Hasanuddin di Kalsel dan Makassar. Begitu pula Sultan Babullah serta Pattimura di Ternate dan Ambon.   Ada di antara mereka yang mati di tiang gantungan. Ada yang diasingkan ke daerah lain, jauh dari keluarga dan kampung halaman. Mereka semua mengorbankan waktu, pikiran, harta, keluarga, bahkan nyawa, demi membebaskan Indonesia dari penjajahan. Hari ini, kita sendiri yang undang penjajah, khususnya AS dan China. Mereka menguasai politik, hukum, dan ekonomi nasional. Bahkan, SDA kita, “dirampok.” Penyebab kedua, saya selalu berusaha untuk tidak menjadi orang munafik. Tidak mau menjadi orang yang berbeda di antara ucapan dan perbuatan. Sebab, setiap upacara pengibaran merah putih, dibacakan teks proklamasi. Di sinilah terlihat kemunafikan presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya. Sebab, teks proklamasi itu berbunyi:  “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”  Bagi orang dungu, teks proklamasi hanya dilihat sebagai rangkaian 27 perkataan. Orang cerdas, pasti menghayati filosofi yang berada di rangkaian kata-kata tersebut.   Presiden dan pejabat cerdas akan tahu, sejatinya teks proklamasi yang akan dibaca pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Mukadimah UUD 45. Namun, kondisi waktu itu sangat kritis. Apalagi, Soekarno kurang sehat. Olehnya, ditulislah teks baru yang sangat sederhana.  Bung Hatta mengimlakan redaksinya. Soekarno menuliskannya. Maknanya, dewasa ini, setiap membaca teks proklamasi, presiden, wakil presiden, para Menteri, Kepala Daerah, dan anggota legislative, bermuhasabah. Apakah tujuan kemerdekaan yang ada di Mukadimah UUD 45, sudah tercapai, kehilangan arah atau tergadai. Pengkhianatan Utama “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Inilah alinea pertama Mukadimah UUD 45. Bukankah Presiden, Wapres, Menteri, Kepala Daerah, anggota legislative dan Aparat Penegak Hukum (APH) melapor, mengintimidasi, bahkan menangkap dan memenjarakan rakyat yang menyuarakan aspirasi.? Bukankah pembunuhan 6 laskar FPI, 9 Pengunjukrasa di Bawaslu, dan sejumlah mahasiswa di seluruh Indonesia merupakan pengkhianatan terhadap Mukadimah UUD 45.? Bukankah penangkapan HRS, pengurus KAMI, ulama, dan aktivis merupakan pengkhianatan proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah pengkhianatan utama pemerintahan Jokowi. Penjajahan Modern “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Paragraf di atas adalah alinea keempat Mukadimah UUD 45. Isinya merupakan tujuan kemerdekaan: NKRI yang terlindungi eksistensinya, rakyat sejahtera, bangsa cerdas, dan Indonesia berperan dalam terciptanya ketertiban dunia.  Presiden, para Menteri, Kepala Daerah, dan anggota legislative, jujurlah. Jokowi menawarkan 34.000 hektar lahan di IKN untuk pengusaha China. Bahkan, bisa mendapat HGU selama 190 tahun. Padahal, UU menetapkan, maksimal 25 tahun. Dapat diperpanjang, maksimal 10 tahun.  Apakah Jokowi tidak pernah baca undang-undang.? Mungkin saja. Mungkin pula beliau baca, tapi kurang paham. Namun, bagaimana para Menteri dan anggota legislative, bergelar profesor dan doktor yang ijazahnya asli, membiarkan hal tersebut? Bukankah ia merupakan penjajahan modern? Joget bersama Utang dan Penderitaan Rakyat Putri Ariani, tuna netra. Beliau ekspresi nuraninya dalam lagu Rungkad yang didendangkan di istana merdeka. Hari itu, 17 Agustus 2023, tepat 78 tahun usia Indonesia. Tragisnya, presiden, wakil presiden, para Menteri, dan pejabat negara yang melek, tapi buta hati. Mereka berjoget di atas penderitaan orang lain seperti substansi lirik lagu yang dinyanyikan Putri.  “Rungkad,” lagu yang menggambarkan frustrasi luar biasa karena dikhianati. Mereka dikhianati orang yang dipercayai selama ini. Betapa tidak, Putri, orang tuanya dan 278 juta rakyat Indonesia, harus menanggung utang negara, Rp. 28 juta setiap orang karena ulah pemerintahan Jokowi. Tragis !!!, Presiden, orang Solo. Namun, beliau tidak mengerti bahasa Jawa dari lagu yang dinyanyikan Putri Ariani. Dahsyatnya, Putri, remaja tunanetra tapi tidak tunahati. Berbeda dengan presiden dan kabinetnya yang tunahati. (Depok, 18 Agustus 2023).

Demokrasi Botol Plonga Plongo

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan ADALAH Presiden Jokowi sendiri yang menyatakan bahwa dirinya sering dihujat dengan berbagai sebutan di antaranya Jokowi itu bodoh, tolol dan plonga-plongo. Lucunya ungkapannya itu masuk dalam konten pidato kenegaraan 16 Agustus 2023. Jadilah ini sebagai pidato kenegaraan yang bodoh, tolol dan plonga-plongo itu. Tampaknya tidak lebih bermutu dibandingkan pidato bapak Lurah manapun di Indonesia. Tapi dimaklum bahwa memang Presiden memang bukan Lurah.  Kita buang sementara predikat-predikat yang dikeluhkan Pak Jokowi di atas. Yang menjadi persoalan adalah pidato kenegaraan kemarin tidak menyentuh apa yang menjadi perhatian publik mengenai harapan perbaikan pengelolaan negara ke depan baik soal hutang luar negeri, KKN, ketergantungan pada China, pemulihan kedaulatan rakyat, kegagalan proyek infrastruktur, penguatan TNI atau lainnya.  Terjadi kondisi paradoksal di negeri ini di satu sisi pidato kenegaraan 16 Agustus 2O23 tersebut adalah gambaran dari ketidakpantasan dan ketidakmampuan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, namun di sisi lain  fenomena politik yang ada menunjukkan bahwa partai politik dalam menata kehidupan politik ke depan masih begitu menghamba kepada Presiden Jokowi.  Akibatnya seperti semua tergantung sikap dan pemihakan kepada pak Lurah. Partai Gerindra menjadi \"juara\" dalam penghambaan. Golkar, PAN, PKB ikut serta. Nasdem termasuk \"plonga plongo\" Inkonsisten dalam perlawanan. PDIP bimbang dan ragu. Dikhianati tapi masih mencoba mengikat. PPP loncat-loncat. Hanya PKS dan Demokrat yang relatif mandiri. Tentu dimusuhi.  17 Agustus bukan hari kemerdekaan tetapi di bawah pemerintahan Jokowi menjadi hari penjajahan.  Pakaian adat Amangkurat I yang dikenakan Jokowi menjadi simbol kezaliman, kediktatoran dan pengkhianatan. Amangkurat I adalah kolaborator VOC, pembantai 5000 hingga 6000 ulama dan keluarganya.  Diwarnai joget-joget dan lagu \"rungkad\" kelak menjadi pertanda rakyat yang bahagia ketika Jokowi sang Amangkurat I \"rungkad\" runtuh dari kekuasaannya.  Jokowi yang tidak akan cawe-cawe dan Jokowi yang akan cawe-cawe itu ternyata orangnya sama. Sama-sama botol.  Kemerdekaan negara harus dimulai dengan memerdekakan negara dari Jokowi. Pilpres yang sehat adalah Pilpres yang merdeka, bukan terjajah atau tersandera. Untuk itu syarat mutlak bagi kesehatan Pilpres adalah Jokowi tidak ada.  Alasan hukum dan politik sudah cukup kuat untuk secara konstitusional memakzulkan Presiden Jokowi.  Pilpres tinggal 6 bulan lagi, beberapa pengamat menyatakan pesimistis bahwa Jokowi itu dapat berhenti atau dihentikan. Pengamat itu lupa bahwa dahulu Soekarno itu lumpuh dan jatuh oleh satu hari saja peristiwa 30 September. Ulah dan blunder PKI. Kekuatan Soekarno terkikis habis. Soeharto jaya dan tetap digjaya menjadi Presiden kembali pada 11 Maret 1998 akan tetapi tanggal 21 Mei 1998 Soeharto jatuh. Hanya dalam hitungan dua bulan sepuluh hari saja.  Waktu untuk perubahan adalah suatu keniscayaan. Terlalu banyak dosa politik Jokowi. Satu atau dua kasus dapat menjadi kejutan bagi momentum perubahan itu. Berhenti Jokowi tidak menunda Pemilu termasuk Pilpres. Yang pasti adalah Pemilu khususnya Pilpres akan terjamin lebih sehat dan demokratis  tanpa cawe-cawe dan ketergantungan pada Jokowi.  Indonesia tidak akan menjadi negara demokrasi botol plonga-plongo jika Jokowi dimakzulkan sebagai Presiden. Konstitusi mengatur kebaikan ketatanegaraan ke depan. Musibah bangsa atas hadirnya Jokowi harus segera diakhiri dan dilewati--Rungkad \"ambyar\" : Pancen//Kuakui kusalah  Terlalu percoyo mergo//Mung nyawang rupo Saiki aku wes sadar// Terlalu goblok mencintaimu Rungkad//Entek-Entekan Memang//Kuakui kusalah.  Terlalu percaya karena//hanya melihat wajah.  Sekarang aku sudah sadar//Terlalu goblok mencintaimu.  Ambyar//Habis-habisan. Ariani Putri memang buta, tetapi hatinya terbuka  menyanyikan lagu \"rungkad\" spesial untuk kita semua.  \"Terlalu percaya karena hanya melihat wajah. Sekarang aku sadar, terlalu goblok mencintaimu\".  Goblok mempercayai dan mendukungmu.  Bandung, 21 Agustus 2023.

Mengingkari Ibu Pertiwi

Oleh Ichsanuddin Noorsy - Pengamat Ekonom Politik Indonesia  BANGSA Indonesia merugi jika elite politik melaksanakan Sidang MPR-RI untuk mengamandemen UUD 2002 dalam rangka menetapkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) setelah Pilpres Februari 2024. Penyebab utamanya adalah, pilpres yang berlangsung sejak 2004 hingga 2019 telah melahirkan bangsa terbelah (Ichsanuddin Noorsy, 2019). Hal ini dialami AS sejak lama, dan makin terasa sejak Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS ke 45. Februari 2017 Obama menyatakan kesediaannya menjadi jembatan berbagai elemen bangsa yang terbelah. Sebelum 2016, dengan sistem ekonomi politik berbasis individualis liberal dan pasar bebas, AS mengidap ketimpangan pendapatan (rasio Gini) dan ketimpangan rasialis pada level seperti kanker stadium empat, urai JE Stiglitz penerima nobel ekonomi merespons didudukinya Wall Street kota New York pada 17 September 2011 hingga 15 November 2011. Hingga saat ini “penyakit” itu tak tersembuhkan. Kritik sistem politik berbasis demokrasi liberal sebenarnya juga disampaikan Noam Chomsky dan Edward W Said. Mereka melihat, demokrasi liberal merupakan cara AS untuk melakukan penetrasi terhadap suatu negara. Kajian mereka diakui secara tidak langsung oleh Presiden AS ke 44 Barack Obama dalam pidato bertajuk A New Beginning di Kairo pada 4 Juni 2009 bahwa demokrasi liberal yang dipaksakan AS ke sepenjuru dunia -- seperti tertuang dalam dokumen National Security Strategy of USA 17 September 2002-- tidak kompatibel dengan nilai-nilai dan sistem negara bangsa lain. Maka saat kebijakan luar negeri AS tentang Arab Spring pada 2010 dilaksanakan, hasilnya adalah enam dari sembilan negara di jazirah Arab berantakan. Tidak lama kemudian, pada 2013 terbitlah buku William Blum berjudul America’s Deadliest Export: Democracy – The Truth about Foreign Policy and Everything Else. Di Indonesia keterbelahan itu makin menguat sejak SBY menjadi Presiden RI 2004-2014. Dikhotomi cebong-kampret sejak Joko Widodo berkuasa dan tumpulnya hukum ke atas dan ke pihak yang mendukung penguasa hingga kini memberi pesan, liberalisme politik dan surplus politisi-defisit negarawan telah memantik konflik masyarakat. Kerugian lainnya adalah, sulitnya mensinerjikan antara presiden yang dipilih secara liberal dengan PPHN yang diproduksi oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam lingkup keterpilihan dan keterwakilan, mungkin saja presiden terpilih melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat memenuhi sebagian partisipasi politik masyarakat. Namun patut dicatat, presiden terpilih itu diusulkan dan diusung oleh partai politik. Bagaimana dengan masyarakat luas lainnya yang merasa bahwa calon presiden terpilih itu bukan dan tidak merupakan aspirasi mereka sehingga tidak merasa terwakili. Saat yang sama bobot keterpilihan itu juga semu karena menyama-ratakan bobot suara berbagai lapisan masyarakat yang majemuk. Adalah tidak sama bobot suara profesor dengan mahasiswa, suara pilot dengan rata-rata pengemudi motor ojek, atau suara pemimpin dengan pesuruh. Kesetaraan suara dalam demokrasi liberal itu menjadi semu. Apalagi jika masyarakat memilih karena sogokan “merah” atau “biru”, atau dikenal dengan nomer piro wani piro (NPWP), maka hasilnya keterwakilan dan keterpilihan menjadi semu. Otoritas kewenangan politik yang ditampuk pun menjadi semu. Sementara dalam lingkup kerjasama dan keterikatan sosial, pemilu liberal telah membuahkan rusaknya kepercayaan sosial (social distrust), luruhnya ketertiban masyarakat (social disorder), dan pembangkangan sosial (social disobedient) atas etika dan moral (Ichsanuddin Noorsy, 2004). Gerakan pemakzulan oleh 100 tokoh dan propaganda people power oleh sejumlah orang menggambarkan telah bergesernya pembangkangan sosial menjadi pembangkangan politik. Bahkan merupakan wujud perlawanan politik. Benar bahwa pembangkangan itu adalah demokrasi, sebagaimana juga umpatan dungu dan bajingan tolol. Tapi hal itu mencerminkan kualitas kecerdasan emosional dan intelektual berpolitik meningkat, yang juga menyiratkan menurunnya kualitas kecerdasan spiritual. Di sana terlihat jelas bahwa pendidikan politik masyarakat tergiring bukan saja melalui pendengung (buzzer) dan influencer, industri riset (pembuat jajak pendapat), serta media massa arus utama, tapi juga melalui perilaku elite politik yang sulit diteladani. Cermin demokrasi liberal ini toh dikeluhkan Joko Widodo sebagai hilangnya kesantunan dan budi pekerti. Ironinya, keluhan ini tidak merujuk pada akar masalahnya: demokrasi liberal dan pola hidup individual materialis yang menegaskan kesuksesan diukur dengan tingginya tahta dan banyaknya harta. Alhasil pemilihan langsung presiden bertentangan dengan sila ke empat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Juga menihilkan sila ke dua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tanpa kita sadari, semua bermula dari amandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002. Dampaknya adalah Pancasila tinggal kata-kata. Maka pada saat seseorang merefleksikan dirinya sebagai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, hal itu bermakna ganda. Di satu sisi, Pancasila dipakai untuk membenarkan kebijakannya, di sisi lain dia menyadari bahwa terjadi pengebirian nilai-nilai dasar bangsa Indonesia. Pada titik ini, kerugian bangsa dan negara menjadi tidak terhitung jumlahnya. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang paling munafik. Bersumpah atas nama Allah SWT dan mengikrarkan untuk menjalankan Pancasila, namun dalam praktiknya bukan saja kita tinggalkan, kita pun mengkhianatinya. Kerugian yang tidak terhitung nilainya itu makin terasa saat kita mengkalkulasi, berapa biaya per pemilih pada setiap pemilu. Dengan memperhatikan angka partisipasi pemilih dan besarnya biaya pemiliu, maka pada 2004 biaya perpemilih mencapai Rp35.766. Pada pemilu 2009 berkisar Rp69.908, pemilu 2014 sekitar Rp115.187, dan pemilu 2019 menjadi Rp161.949. Jika pemilu serentak dilaksanakan pada 2024, biaya perpemilih adalah Rp419.907. Memperhatikan ucapan petinggi negara agar anggaran tidak boros, tentu menjadi penting bangsa Indonesia mengantisipasi krisis keuangan, pangan dan energi, mendesaknya kita mengatasi pengangguran dan kemiskian serta menurunkan angka rasio Gini. Sekaligus kita memperbaiki struktur anggaran agar keseimbangan primer yang negatif tidak membesar. Defisit anggaran pun tidak membengkak. Karenanya memilih Presiden di MPR memberi jalan keluar dari berbagai persoalan. Alasannya, komitmen pada Pancasila terpenuhi, perencanaan masa depan lebih baik, bangsa tidak terbelah, hemat anggaran, dan kevakuman aturan ketata negaraan dalam keadaan kegentingan yang memaksa teratasi. Atas dasar itu, kalau ada kalangan yang menolak pengembalian status dan kedudukan MPR-RI sebagai lembaga tertinggi negara yang memilih presiden dan menetapkan PPHN, maka patut diduga mereka adalah pengibar panji-panji liberal-materialis yang bertentangan dengan Pancasila dan semangat kejuangan para pejuang kemerdekaan. Mereka bukan saja tidak menghargai dan menghormati para pejuang, tapi sekaligus mengarahkan bangsa mengalami keterpecahan (disintegrasi), dan tetap dalam kungkungan sistem neoliberal. Selain ancaman serius itu, kemampuan menghadapi era turbulensi juga tidak memadai kecuali tunduk pada kemauan eksternal yang menggadaikan kedaulatan negara ini. Pasti ibu pertiwi bukan lagi menangis, namun sakit hati karena diingkari. Maka adalah layak MPR-RI bersidang sebelum Pemilu 2024.### DIY2008

Fahri Hamzah: Keputusan Dukung Prabowo di Pilpres 2024, Aspirasi Kader Partai Gelora se-Indonesia

JAKARTA, FNN - Pada Sabtu (19/8/2023), Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia di hadapan jajaran elite Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) telah meneguhkan hati dan menguatkan tekad untuk bersama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden (Capres) pada Pemilu 2024.  Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah dalam keterangan pers tertulisnya, Minggu (20/8/2023). Fahri menjelaskan bahwa keputusan Partai Gelora dalam mendukung Prabowo Subianto   adalah akumulasi dari aspirasi kader-kader di seluruh Nusantara, yang diwakili oleh pernyataan 38 DPW Partai Gelora di seluruh Provinsi di Indonesia.  \"Tekad telah bulat, hati telah mantap. Tali sudah di tambatkan, Mari songsong hari depan, berjuang bersama pada Pemilu 2024, demi menjemput masa depan Indonesia Superpower Baru Dunia,” kata Fahri Hamzah yang tak lupa menyampaikan terima kasihnya kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani serta jajaran partainya yang telah berkunjung ke Gelora Media Center (GMC) Partai Gelora pada Sabtu (19/8/2023). Terkait dukungan Partai Gelora ke Prabowo, Fahri mengatakan bahwa partainya sudah lama melakukan komunikasi dengan seluruh kader dan masyarakat untuk memberikan dukungannya terhadap Ketua Umum Gerindra yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) RI tersebut. Bahkan, Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 itu menyakini bahwa sudah saatnya Prabowo Subianto mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan. \"Kita harus percaya bahwa memang ini waktunya Pak Prabowo, tinggal komunikasi yang baik yang akan menyebabkan secara umum publik dan rakyat Indonesia bersepakat untuk bulat memilih Pak Prabowo kali ini sebagai Presiden Republik Indonesia,\" demikian Caleg dari Partai Gelora Indonesia untuk daerah pemilihan atau Dapil Nusa Tenggara I itu. Sebelumnya, Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik menerima Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani serta jajarannya di kantor Gelora Media Center di Jalan Patra Kuningan, Jakarta, Sabtu (19/8/2023). Kesempatan itu, Mahfuz menjelaskan bahwa pertemuan untuk membicarakan hal-hal lebih teknis tentang dukungan Partai Gelora Indonesia terhadap Prabowo Subianto sebagai Capres pada Pilpres 2024. “Selain kesamaan visi, Partai Gelora telah menjalin komunikasi dan kerja sama dengan Prabowo Subianto. Ini jadi pertimbangan kami mendukung Menteri Pertahan (Menhan). Bahkan, sudah saling kenal, sudah tahu cara kerja masing-masing sejak 2014 sebenarnya sampai sekarang,\" tambah Mahfuz. Dewan Pimpinan Nasional (DPN) juga sudah menerima rekomendasi 38 Dewan Pimpinan Wilayah yang mendukung Prabowo. Tepatnya, per 7 Agustus 2023, DPN Partai Gelora Indonesia telah menerima surat resmi dari 38 dewan pimpinan wilayah. Komunikasi dan koordinasi juga dengan 514 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di seluruh kota/kabupaten. Selanjutnya, seluruh DPW dan DPD ini telah konsolidasi mengkampanyekan Prabowo di akar rumput. (Ida)

Jokowi Tidak Bisa Dijatuhkan

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa ADA pihak yang ingin menjatuhkan Jokowi. Tidak hanya ingin, tapi yakin Jokowi akan jatuh. Keyakinan ini telah menambah semangat kelompok ini untuk berupaya menjatuhkan Jokowi. Sebuah keyakinan berbasis analisis politik. Keyakinan kedua, Jokowi dianggap sebagai pemimpin gagal. Rakyat semakin sengsara, maka menurut mereka Jokowi harus dijatuhkan.  Kelompok ini antusias mengungkap berbagai data dan memberi argumentasi yang sangat meyakinkan. Mulai dari soal masifnya korupsi, penegakan hukum yang bermasalah, nepotisme, otoritarianisme, dan seterusnya. Ini adalah keyakinan yang dibangun berbasis analisis moral. Menurut mereka, Jokowi tidak boleh berlanjut. Dua keyakinan yaitu keyakinan berbasis analisis politik dan keyakinan berbasis moral ini terus muncul. Sesuatu yang lumrah, normal dan biasa terjadi di setiap rezim. Siapapun rezimnya. Tidak ada rezim yang bisa lepas dari lahirnya kelompok yang akan menjatuhkannya.  Kelompok ini lahir oleh dua kepentingan. Kepentingan pragmaris dan kepentingan idealis. Kepentingan pragmatis terdiri dari mereka yang ingin berkuasa. Hanya segelintir elit yang yang memanfaatkan kekecewaan rakyat untuk jatuhkan kekuasaan. Bagi mereka, tidak ada cara lain untuk berkuasa kecuali kudeta. Ganti penguasa lama dengan diri mereka.  Sebagian besar yang bergabung di kelompok ini adalah mereka yang punya kepentingan moral. Mereka takut negara semakin rusak. Karena itu, menurut mereka, presiden harus diganti. Faktanya? Jokowi tidak jatuh. Setidaknya hingga hari ini. Prediksi saya, Jokowi tidak akan jatuh. Kecuali jika ada krisis ekonomi atau moneter. Soal ini harus melibatkan analisis geopolitik. Ekonomi global beberapa tahun belakangan ini memang memburuk, tapi masih bisa diatasi. Tulisan ini tidak ingin bicara soal benar-salah. Sebab, benar-salah dalam politik seringkali bersifat subyektif. Benar-salah bergantung kepada siapa yang menang. Kalau Jokowi sukses dijatuhkan, maka yang akan dianggap benar itu kelompok yang menjatuhkan. Kalau Jokowi tidak bisa dijatuhkan dan tetap bertahan, maka yang dianggap benar itu Jokowi. Secara prinsip, pemenang akan mendapatkan banyak dukungan. Kue kekuasaan tetap menjadi magnet rebutan. Di sinilah dukungan itu berdatangan. Bukan berarti upaya melakukan kudeta itu bebas nilai. Tidak. Pada akhirnya kebenaran obyektif akan terungkap. ini kedepan akan menjadi tugas sejarah untuk membongkar. Maksudnya, sejarahlah yang nanti akan membuka siapa yang benar dan siapa yang salah. Siapa pahlawan, siapa yang jadi pecundang. Butuh waktu bagi sejarah untuk membuktikan semua itu. Kembali ke obyek tulisan ini, bahwa Jokowi hampir pasti tidak bisa dijatuhkan. Sebab, belum terlihat adanya syarat politik yang terpenuhi untuk menjatuhkan Jokowi. Syarat itu adalah pertama, tidak ada isu besar yang bisa menjadi trigger untuk menjatuhkan Jokowi. Isu yang paling sensitif dan seksi adalah krisis ekonomi, isu agama dan masalah moral. Isu sensitif ini belum terlihat. Sementara isu korupsi, nepotisme, otoritarianisme dan sejenisnya tidak cukup kuat untuk menjadi trigger. Tingkat sensifitasnya melemah. Kedua, konflik internal. Umumnya, rezim jatuh karena dukungan internal rapuh. Konflik kepentingan di internal yang tidak selesai akan menggoyahkan kekuatan yang dimiliki penguasa. Di sini tampak kelihaian Jokowi. Jokowi cukup piawai dalam menjaga stabilitas kekuasaan. Caranya, ia disiplin dalam mendistribusikan kue kekuasaan. Semua kebagian. Loyalis Jokowi mendapat perhatian dan kepuasan. Di sinilah Jokowi memperoleh dukungan yang sangat kuat dan sangat militan. Infonya, sekitar 32 persen komisaris anak perusahaan BUMN diisi oleh relawan Jokowi. Ini membuktikan bahwa Jokowi adalah politisi yang disiplin dalam menjaga dan merapikan barisan. Kongkret. Pola inilah yang membuat loyalis Jokowi sangat militan dalam menjaga stabilitas kekuasaan. Dengan kekuatan ini, Jokowi kemudian punya modal untuk bersikap tegas, bahkan tidak segan menyingkirkan mereka yang dianggap tidak loyal. Faktor yang tidak kalah penting bagi Jokowi dalam menjaga stabilitas kekuasaannya adalah sikap realistisnya. Ketika lawan menguat, Jokowi tidak segan untuk berkompromi. Melakukan negosiasi. Win win solution. Kalau lawan lemah, anda tahu jawabannya. Beda Jokowi, beda Gus Dur. Gus Dur tidak bisa membuka ruang untuk berkompromi dengan hal-hal yang oleh Gus Dur dianggap prinsipil. Gus Dur adalah seorang idealis sekaligus moralis. Ini kelebihannya. Tetapi dalam konteks politik praktis, ini bisa dianggap sebagai kelemahan. Di dalam politik, berlaku bagi-bagi kekuasaan. Seringkali mengabaikan integritas dan kompetensi. Gus Dur itu ulama, seorang yang sangat idealis, dan sekaligus budayawan. Karena tidak mudah berkompromi, akhirnya kita menyaksikan Gus Dur dijatuhkan. Itu lantaran Gus Dur tidak membuka ruang untuk berkompromi terkait hal-hal yang dianggapnya prinsip. Tentu ada faktor lainnya juga. Jokowi seorang politisi tulen. Begitu juga umumnya para pemimpin dan elit politik kita. Mereka dituntut melakukan kompromi-kompromi dengan pihak manapun, terutama ketika lawan menguat. Dalam hal ini, Jokowi sangat piawai. Bisa berkompromi, terutama ketika terancam kondisinya. Jadi, dengan melihat pola Jokowi dalam berpolitik selama ini, sulit ada celah bagi lawan untuk menjatuhkan Jokowi. Bukan tidak mungkin, tapi sangat sulit. Terlebih, jadual pemilu sudah semakin dekat. Ini akan semakin mempersempit ruang untuk menjatuhkan Jokowi. Sebab, hampir semua partai pengusung capres-cawapres dan relawan pendukungnya tidak ingin pemilu tertunda. Jakarta, 19 Agustus 2023

Partai Gerindra Lamar Partai Gelora Ajak Besanan Dukung Prabowo Subianto di Pilpres 2024

JAKARTA, FNN  - Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) memberikan tempat spesial kepada Partai Gelombang Rakyat (Gelora) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Partai Gerindra melamar Partai Gelora, mengajak berbesanan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres). \"Kedatangan kami kesini mau ngelamar Partai Gelora. Kalau kami di Betawi, ibaratnya itu kita ngajak berbesanan. Jadi kami mewakili Partai Gerindra untuk meminta Gelora bersama-sama untuk berjuang memenangkan Pak Prabowo sebagai calon presiden di 2024,\" kata Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra di Jakarta, Sabtu (19/8/2023). Hal itu disampaikan Muzani saat melakukan silaturahmi ke Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Partai Gelora, bertempat di Gelora Media Centre Partai Gelora, Kuningan, Jakarta. Dalam silaturahmi membawa rombongan pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra berjumlah 16 orang. Dari rombongan itu, tampak Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Bidang OKK Prasetyo Hadi, Wakil Bendahara Umum Dimas Sahatrio, Ketua DPD DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, Anggota DPR Novi Wijayanti, Mohamad Hekal Bawazier, Martina, dan Suir Syam, serta pengurus DPP Partai Gerindra lainnya. Rombongan Muzani tersebut, diterima oleh Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik, Bendahara Umum Ahmad Rilyadi, Ketua Bidang  Bangter I Syahfan Badi Sampurno dan Ketua Bidang Banter III Ahmad Zaenudin. Lalu, Ketua Bidang Banter IV, Rofi\' Munawar, Ketua Bidang Narasi Dadi Krismatono, Ketua Bidang Perempuan Ratih Sanggarwati, Bacaleg DPR RI Dapil Jabar V Hisan Anis Matta dan lain-lain. Menurut Muzani, Partai Gerindra dan Partai Gelora memiliki chemistry yang sama sejak Pilpres 2014 dan 2019, dimana ketika itu, para personal Partai Gelora masih di partai lama. \"Jadi kami merasa hubungan baik ini, sudah terjalin sejak embrio kelahiran partai ini dari 2024. Bahkan Bang Irel (Ahmad Rilyadi), Bang Fahri Hamzah itu teman diskusi kami sebelum reformasi. Jadi kami ingin menghidupkan kembali emosi dan semangat di tahun 2014 dan 2019 di tahun 2024,\" katanya. Muzani menambahkan, Partai Gerindra merasa terhormat mendapatkan sambutan yang luar biasa dari Partai Gelora, tidak hanya di pusat, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia. \"Kami dapat laporan, sahabat Gelora mendatangi kantor kami di berbagai daerah menyampaikan dukungan kepada Pak Prabowo. Saya merasa masuk ke kantor ini (GMC, red), seperti kantor sendiri. Dan semua yang disini juga sahabat lama saya. Dan terus terang, kami datang kesini, ini rombongan terbanyak kami, dalam sejarah kami silaturahmi dengan partai politik. Karena memang minat dan semangat untuk datang di kantor Partai Gelora,\" katanya.  Muzani mengatakan, silaturahmi kali ini untuk membicarakan final pematangan teknis deklarasi dukungan Partai Gelora ke Prabowo, termasuk waktu dan tempat deklarasi, karena komunikasi intens sudah lama dilakukan. \"Apalagi ada kesamaan pandangan dan persepsi tentang Indonesia masa depan antara Partai Gelora dan Partai Gerindra. Dengan adanya kesamaan tersebut, kian memudahkan komunikasi,\"  ujarnya.  Muzani mengungkapkan, Ketua Partai Gerindra yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat ini tengah melakukan kunjungan kerja ke Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta juga diketahui sedang di Eropa. \"Alhamdulilah kita sudah mencocokkan beberapa alternatif tanggal dan tempat untuk kita jadikan sebagai rencana hajatan untuk Partai Gelora mendeklarasikan calon presiden yang kami usung Haji Prabowo Subianto. Tapi mungkin Insya Allah akhir Agustus,\" katanya. Menanggapi silahturahmi ini, Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik mengatakan, pertemuan ini merupakan pertemuan lanjutan. Ia mengatakan, Partai Gelora dan Partai Gerindra sudah melakukan pertemuan sejak Maret 2023 untuk membicarakan dukungan kepada Prabowo di 2024.  \"Pertemuan ini memang bukan pertemuan perdana karena komunikasi antara kami, terutama unsur-unsur pimpinan di Partai Gelora dengan pimpinan di Gerindra ini sudah lama terbangun sejak 2014 sebenarnya. Begitu pula tahun 2019. Dalam konteks pemilu 2024, kami juga sebenarnya sudah melakukan komunikasi cukup intens sejak Maret 2023,\" kata Sidik. Berdasarkan pertemuan intens tersebut, maka kata Mahfuz, Partai Gelora secara bulat memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto di Pilpres 2024.  Yakni dari tingkat DPN (Pusat), Dewan Pimpinan Wilayah (Provinsi) dan Dewan Pimpinan Daerah (Kabupaten/Kota) dalam bentuk surat dukungan. Tidak hanya itu, DPW dan DPD Partai Gelora diberbagai daerah juga mendatangi pengurus Partai Gerindra di daerah untuk menyampaikan dukungan serupa. \"Sesuai dengan arahan ketua umum Anis Matta, kami sudah mengkonsolidasikan 38 Dewan Pimpinan Provinsi Partai Gelora Indonesia yang mereka juga berkomunikasi dan berkoordinasi dengan 514 Dewan Pimpinan Daerah di seluruh kota/kabupaten dan sampai tanggal 7 Agustus yang lalu. Kami sudah menerima surat resmi dari 38 Dewan Pimpinan Wilayah yang sepakat buat mengusulkan Prabowo Subianto sebagai calon presiden RI 2024-2029 yang didukung Partai Gelora Indonesia,\" ungkap Mahfuz Sidik  Mahfuz menegaskan, deklarasi dukungan Partai Gelora ke Prabowo Subianto sebagai capres akan digelar akhir Agustus 2023 ini. \"Kami sudah menyepakati deklarasinya tingkat pusat kita lakukan di Agustus 2023 ini. Soal waktunya kapan dan tempatnya, kami menunggu arahan dari Partai Gerindra,\" pungkas Mahfuz. Dengan begitu, partai pendukung Prabowo semakin bertambah. Selain Gerindra tentunya, Prabowo sudah dipastikan didukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Parta Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN). (Ida)

Presiden Limbung Negara Sakit

Oleh  Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Merah Putih  PRESIDEN Joko Widodo apakah sedang mengalami sindrom narsisistik megalomania? Terekam dan terbaca dalam pidato kenegaraan seperti merasa kebijakan negara saat ini sudah benar serta mengaku diri sebagai satu-satunya penyelamat bangsa dan negara. Ketika keadaan terus memburuk -  lebih buruk dari jaman penjajahan. Seharusnya sebagai presiden malu kepada rakyat yang masih hidup serba susah dan miskin.  Bahkan saat ini terasa negara masuk dalam sistem penjajahan gara baru. Bagaimana mungkin seorang pembohong akan bicara tentang peradaban, keadilan, kebanaran dan kejujuran. Negara dalam kondisi gelap menjadi permainan para bandit, bandar, badut politik dan ekonomi. Negara hidup dikendalikan para taipan oligarki dan terjadinya kerakusan korupsi tanpa kendali. Kekuatan asing bebas menguasai kekayaan alam sementara negara hidup dari hutang yang menumpuk dan makin membesar. Kuat dugaan presiden sedang sakit tidak lagi bisa menguasai diri, mengerti dan merasakan bahwa pidato kenegaraan di dengar oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan dalam dan luar negeri. Sebagian masyarakat sampai pada kesimpulan sebagian isi pidato kenegaraan hanya ilusi yang di perparah dengan watak lama pidato pencitraan. Dianggap masih memiliki magis menyulap sebagai orang sederhana, suci, membawa aura kebenaran dengan pidato ecek-ecek seperti orang sakit   Sebagai rakyat jelata apa salah kalau menyarankan presiden segera periksa diri  kepada psikolog  apakah kira-kira sedang menderita narsisistik megalomania. Kalau iya ini bisa membawa bahaya yang luar biasa Suasana perayaan HUT ke-77 RI tahun lalu di Istana Merdeka terjadi kejadian aneh suasana sakral berubah menjadi jogedan oleh beberapa pejabat negara , berjingkrak jingkrak seperti dasa dengan nyanyian \"Gede Roso -Wong Edan Ojo Di Bandingke\" Tahu ini muncul kembali suasana sakral ditenggelamkan jogedan dengan lagu jauh dari suasa perjuangan. Munculnya lagu \"Rungkad\" dengan macam macam penafsiran, rakyat spontan menduga duga ada  maksud lain berbau norak. Di lagu, kata rungkad digunakan untuk menggambarkan liriknya yang penuh kekecewaan, sakit hati, dan penyesalan. Jadi, apa sih sebenarnya artinya rungkad? Kata \"rungkad\" dalam bahasa Sunda berarti runtuh, roboh, tumbang, ambruk, hancur, dan tercerabut sampai akarnya.  Rentetan peristiwanya berbarengan setelah presiden tidak memperhatikan kaidah muatan berapa penting nya pidato kenegaraan menjadi ajang keluh kesah karena kerap dihina dibilang bodoh, tolol hingga plonga- plongo Terlalu nestapa suasana sakral di jadikan ajang hura hura dan ditandai pidato norak yang terkesan tidak menghormati suana sakral yang harus diperingati dengan suasana hidmat, ketika di malam hari hampir semua rakyat di kampung kampung telah melakukan peringatan dengan sakral. Tidak maksud mengurangi rasa hormat sebaiknya presiden dengan para pembantunya yang telah melakukan perbuatan norak segera tes sedang mengalami sindrom narsistik. Tentu dengan harapan semua dalam keadaan sehat dan normal. *****