ALL CATEGORY

Desak Anies dan Kualitas Capres

*H Shamsi Ali, Imam Besar Masjid New York, AS*     Oleh Shamsi Ali | Imam Besar Masjid New York, USA DALAM sejarah perpolitikan dunia, khususnya dalam konteks pemilihan presiden Indonesia bahkan dunia, baru kali ini saya mendapatkan ada capres yang sangat terbuka, tidak saja dalam melayani calon pemilih untuk bertatap muka dan silaturrahim, tetapi sekaligus bersedia untuk bertatap pikiran dan bersilatur fikri dengan para konstituen. Berbagai acara pertemuan dan diskusi yang diadakan hampir di semua daerah yang dikunjungi dan dengan segala lapisan masyarakat, dari guru besar dan akademisi, pebisnis dan pelaku ekonomi, para pelajar dan mahasiswa, hingga dengan para perwakilan negara lain dilayani dengan sepenuh hati dan dengan profesionalitas yang tinggi.  Salah satu acara kampanye Amin (Anies-Muhaimin) adalah Acara Dialog terbuka dengan para konstituen (pemilih) yang disebut “Desak Anies” dan “Slepet Muhaimin”. Acara ini sangat unik dan Istimewa karena belum pernah terjadi dalam sejarah pilpres di Indonesia, bahkan kemungkinan di negara lain juga.  Dimana capres-cawapres begitu terbuka dan berani menghadapi calon pemilih secara langsung dan tanpa memilih-milih (reservasi). Saya melihat acara Desak Anies dan Slepet Muhaimin ini memiliki makna penting, sekaligus penggambaran sesungguhnya tentang sang capres dan cawapres. Kalau kita semua penuh antusias dengan debat Presiden dan Wakil presiden yang diselenggarakan KPU sebagaj ajang untuk menggali siapa dan apa tentang calon, sesungguhnya acara Desak Anies dan Slepet Muhaimin ini jauh lebih berkwalitas dan efektif. Debat capres atau cawapres sangat formal dan penuh dengan batasan-batasan keprotokolan. Semua serba terbatas. Dibatasi waktu, dibatasi oleh pertanyaan tertentu, dibatasi oleh siapa yang terlibat, dan juga dibatasi oleh subyek tertentu yang dibahas. Namun, acara Debat Anies dan Slepet Muhaimin berbeda dan istimewa.  Mereka yang hadir tidak diatur secara protokoler. Misalnya ditentukan oleh KPU atau institusi yang mengadakan. Jika itu di universitàs maka semua mahasiswa punya hak untuk hadir dan dapat menyampaikan ide/pertanyaan jika kesempatan memungkinkan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan panitia mempersilahkan dari kalangan yang jelas menyatakan mendukung calon yang lain. Pertanyaan juga tidak dibatasi untuk isu atau subyek tertentu, tetapi bersifat spontan dari para hadirin untuk menyampaikan ide, pendapat, pertanyaan, bahkan kritikan sekalipun. Semua itu akan dijawab dengan sepenuh hati dan kejujuran, dan apa adanya oleh capres Anies Baswedan.  Acara Desak Anies di berbagai kota saya yakin telah mengubah wajah pencapresan. Dari Jakarta, ke Bandung, ke Samarinda, ke Pontianak, ke Medan, lalu ke Jogja, bahkan yang terakhir di Banyuwangi semuanya berjalan dengan penuh semangat dan keinginan masyarakat untuk langsung bertatap muka dan bertatap pikiran dengan calon pemimpinnya. Acara Desak Anies di Banyuangi (juga di Lombok beberapa hari lalu) menjadi unik karena tidak seperti selama ini yang biasanya diadakan khusus untuk para pemuda/pemudi dan mahasiswa/mahasiswi. Justru acara di Banyuwangi ini dihadiri bahkan hampir oleh seluruh unsur masyarakat, khususnya para petani dan nelayan  yang menjadi masyarakat luas di daerah itu. Barangkali yang paling menarik dari acara Desak Anies atau Slepet Muhaimin adalah ketika berhadapan dengan para pelajar dan mahasiswa di universitas. Kita mengetahui bahwa Mahasiswa itu adalah unsur masyarakat yang sangat kritis dan pastinya dengan keterbukaan media banyak memahami realita yang sedang terjadi di negeri tercinta. Sehingga kehadiran Anies dan juga Muhaimin, seperti di Universitàs Andalas Padang, menunjukkan sesuatu yang istimewa.  Kehadiran Anies dan Muhaimin itu juga menunjukkan bahwa mereka adalah paslon yang tidak saja punya kapasitas, wawasan dan penguasaan berbagai masalah bangsa dan negara,  sekaligus keberanian menghadapi warga, apapun dan siapapun mereka. Sekritis apapun mereka akan dihadapi dengan sikap bijak dan karakter kedewasaan yang merangkul dan solutif.  Dengan catatan singkat ini saya hanya ingin menyampaikan satu lagi kelebihan paslon Amin.  Kita tunggu paslon yang lain, keberanian turun ke masyarakat mendengarkan dan merespon berbagai pertanyaan dan harapan warga, termasuk berdialog langsung dan terbuka dengan para mahasiswa dan aktifis. Sehingga berbagai “concerns” dan keluhan warga yang selama ini membebani minimal mendapat jawaban yang memuaskan dan membawa harapan.  Acara Desak Anies dan Slepet Muhaimin ini menjadi pembeda yang jelas dan tegas dalam kampanye pilpres kali ini. Kalau kita lihat paslon lain masih saja senang dan nampak menikmati lempar-lempar kaos, bahkan bagi-bagi beras dan uang. Anies-Muhaimin memilki metode kampanye yang lebih profesional dan berintegritas. Cara kampanye dengan lempar baju atau bagi sembako atau uang, selain melanggar aturan kampnye, juga sesungguhnya merendahkan sekaligus melecehkan minimal dua pihak. Satu, merendahkan masyarakat yang masih dinilai dengan hitungan rupiah di saat kampanye. Dua, melecehkan nilai demokrasi yang harusnya mengedepankan kapasitas dan integritàs. Yang pasti, satu lagi catatan penting dalam sejarah perjalanan bangsa bahwa dalam pilpres kali ini ada calon yang telah meruntuhkan mitos bahwa memilih itu hanya dengan alasan murah (tsmanan qaliila). Rakyat selama ini seringkali dianggap akan memilih karena disuap dengan harga yang sangat murah.  Dengan “Desak Anies dan Slepet Muhaimin“, marwah dan kemuliaan rakyat lebih terjaga dan dihormati. InsyaAllah!  Manhattan, USA 28 Desember 2023

Sikap Bawaslu yang Tidak Berani Menegur Pelanggaran Prabowo- Gibran Merupakan Kemaksiatan Politik Terusan

Jakarta, FNN -  Sikap Bawaslu yang tidak berani menegur berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh Prabowo – Gibran, juga sikap pejabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, yang menggunakan alasan tidak tahu karena sedang tidur, membuat Rocky menilai bahwa ini satu tiket terusan atau kemaksiatan terusan sejak dari Keputusan Mahkamah Konstitusi. “Jadi, tidak ada gunanya lagi, kecuali ada semacam gerakan untuk menghalangi kecurangan ini,” ujar Rocky Gerung dalam diskusi di kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Minggu (31/12). Rocky juga mengatakan bahwa yang potensial melakukan gerakan tersebut hanya PDIP. Tetapi, dalam beberapa hal PDIP juga melakukan hal sejenis. Kalau hanya netizen yang ngomong, itu hanya sebatas norma, tapi tidak memberi efek jera. Sedangkan jika PDIP yang ngomong, terlebih bersama koalisi AMIN, dengan membuat konferensi pers berupa ancaman  riil untuk berpikir ulang meneruskan Pemilu jika pelanggaran yang dilakukan tetap dibiarkan. “Jadi ini bukan soal petak umpet soal administrasi pelanggaran, tapi ini soal desain. Dan itu yang musti kita pahami,” tegas Rocky. Menurut Rocky, sesuatu yang didesain maka akan dicarikan pembenarannya. Sebagai contoh, pembenaran yang dilakukan oleh Pejabat Gubernur DKI, Heru Budi, yang mengatakan bahwa dirinya tidak tahu karena sedang tidur, dan sebagainya. (ida)

Duh Gusti, Bawaslu Mandul Menghadapi Berbagai Pelanggaran Prabowo - Gibran

Jakarta | FNN – Saat ini sedang viral di media sosial mengenai peristiwa yang terjadi di Posko Pemenangan Prabowo – Gibran di Yogyakarta, di mana di depan Posko tersebut terparkir mobil Kementerian Pertahanan. Netizen menyorotinya sebagai salah satu bukti bahwa sulit bagi ASN untuk netral dalam Pemilu kali ini. “Ya, mungkin orang akan bilang Prabowo tidak netral, lalu Prabowo bilang, bagaimana saya netral, saya tidak diminta mundur kok oleh Presiden Jokowi,” ujar Rocky Gerung menanggapi berita viral resebut dalam kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Minggu (31/12). Rocky menduga mungkin Prabowo di Posko sambil rapat soal pertahanan karena tidak mungkin Prabowo membagi waktunya untuk kegiatan negara sambil ragu apakah elektabilitasnya di Jawa Tengah masih tinggi atau tidak. Jadi, menurut Rocky, tim Prabowo menganggap sebagai hal biasa saja karena semua orang bisa melakukan hal yang sama. “Yang luar biasa adalah Bawaslu tidak bisa menegur. Yang bisa menegur netizen,” tegas Rocky. Dalam kasus lain di DKI Jakarta, juga telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh  Gibran yang membagi-bagi susu kotak di car free day. Saat itu, Bawaslu pusat mengambil keputusan bahwa itu bukan pelanggaran, tetapi Bawaslu Jakarta Pusat mengatakann bahwa itu pelanggaran Perda. Karena memang di car free day Jakarta tidak boleh ada kegiatan politik. Yang lucu, pejabat Gubernur DKI, Heru Budi, ketika ditanya mengenai hal itu mengatakan bahwa dirinya tidak tahu karena saat itu dia sedang tidur. Semula mereka menyatakan akan memanggil Gibran, tapi sampai ini masalahnya ditunda dulu sampai Januari dengan alas an ada temuan baru yang harus diklarifikasi. Sepertinya Bawaslu memang tidak berani menegur atau sedang tidur juga. (ida)  

Capres Gunakan Fasilitas Negara, Bawaslu Mingkem Bae

Jakarta, FNN -  Aturan yang membolehkan Menteri yang maju dalam Pilpres tidak harus mundur,  ternyata jelas tujuannya. Presiden hendak memfasilitasi kandidatnya agar bisa menggunakan fasilitas negara seenaknya. Hal ini disampaikan oleh pengamat politik Rocky Gerung dalam diskusi di kanal You Tubenya Ahad (31/12). Rocky Gerung mengatakan bahwa mestinya secara etis Menteri yang maju dalam Pilpres mundur saja.  Demikian juga mengenai penggunaan peralatan-peralatan negara atau kapasitas negara yang sengaja diizinkan secara permisif oleh Presiden Jokowi.  Menurut Rocky, Jokowi tahu bahwa itu hanya mungkin digunakan untuk kepentingan mengevaluasi kalau tidak berguna untuk menopang Gibran.  “Kita anggap bahwa ini kesempatan untuk minta Bawaslu yang memutuskan,” ujar Rocky.  Rocky juga mengatakan bahwa Pemilu adalah kewenangan KPU dan Bawaslu sehingga yang bisa mengeluarkan keputusan itu adalah kewenangan Bawaslu. Oleh karena itu, harusnya Bawaslu mengatakan bahwa pihaknya akan melarang Presiden untuk mengizinkan kandidatnya menggunakan fasilitas negara. Itu akan dilakukan kalau Bawaslu mempunyai kapasitas etis. Masalahnya, apakah Bawaslu berani menegur Presiden? (abd)

Ma'ruf Amin Usulkan Pejabat Nyapres Mundur, Rocky Gerung: Omongan Gak Ada Guna

Jakarta, FNN - Ada komentar menarik dari Wakil Presiden Ma\'ruf Amin ketika diwawancarai Kompas TV Jumat (29/12) lalu. Ma\'ruf mengatakan bahwa pemerintah berpeluang melakukan evaluasi terhadap aturan soal cuti bagi Menteri yang maju sebagai capres atau cawapres.  Saat ini aturan mengenai hal tersebut tidak mengharuskan Menteri mundur ketika sedang maju sebagai capres atau cawapres. Cukup mereka boleh kampanye ketika hari libur atau kalau kampanye di hari kerja, cukup mengajukan cuti saja. “Kalau ternyata hasil evaluasi itu justru (aturan) banyak dilanggar maka sebaiknya kembali saja seperti dulu, (menteri maju pilpres) mundur,” kata Ma’ruf. Ma\'ruf Amin juga mengatakan bahwa ke depan mestinya jika ada menteri yang menjadi capres atau cawapres mundur saja karena bisa menganggu kinerja pemerintahan dan dikhawatirkan ada pemanfaatan sumber daya atau fasilitas di Kementerian yang mereka pimpin. Menanggapi ocehan Ma\'ruf, pengamat politik Rocky Gerung menyatakan keheranannya. “Nah, itu konyolnya Pak Ma\'ruf Amin, ke depannya, ke depan kapan lagi, sudah tidak ada ke depan. Sudah mulai proses-proses kecurangan pemanfaatan fasilitas lembaga,” ujar Rocky dalam diskusi di kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Minggu (31/12). Tetapi, lanjut Rocky, kelihatannya Ma\'ruf Amin harus punya kalimat yang wajib dia ucapkan, meski hal itu menjadi sesuatu yang tidak akan ada efeknya. Karena, begitu Jokowi mengatakan tidak usah mundur, justru Jokowi menginginkan pejabat-pejabat itu memanfaatkan fasilitas negara untuk mendukung aktivitas sosialisasi Gibran. “Kan Prabowo justru diminta untuk pakai pesawat negara saja. Kan, itu konsekuensi dari mengatakan tidak perlu mundur. Jadi, buat apa itu diucapkan oleh Ma\'ruf Amin. Jadi kita sekadar mendengar Ma\'ruf Amin masih ada, karena dia mesti berkomentar. Tetapi, komentarnya itu sama sekali tidak ada gunanya, usefulness,” ujar Rocky.  Namun demikian, ada atau tidak ada aturan, mestinya pejabat yang maju sebagai capres atau cawapres secara etis harus mundur.(ida)

Menyelami Tipis-tipis Pikiran Fahri Hamzah (Tanggapan atas "Membongkar Klaim Suara Umat")

Oleh: Ady Amar,  Kolumnis FAHRI Hamzah seperti asyik ngelantur sekenanya. Seperti dikhususkan untuk Paslon 01: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan terkhusus lagi pada capres Anies. Tiada hari tanpa ngelantur dibuatnya. Meski ngelanturnya itu tidak sampai ia bisa disebut terjangkit gejala psikosis. Sebenarnya, sedikit pun saya tak berhasrat mengomentarinya. Meski banyak kawan mendorong agar ngelanturnya itu perlu juga disikapi. Kamis (28 Desember) kemarin, seorang kawan mengirimkan tulisan Fahri, yang ditulis di fb-nya. Judulnya gagah, \"Membongkar Klaim Suara Umat\". Saat membaca pikirannya, kepala dibuat menggeleng. Bukan geleng takjub, bukan pula terkejut. Tapi lebih pada keheranan. Bisa-bisanya seorang Fahri berubah sikap dengan tak tanggung-tanggung. Ia menjadi total berubah. Perubahan sikap, yang itu tentu bukanlah perkara mudah. Membaca tulisannya, sambil terbayang betapa sulitnya Fahri bisa menuliskan pikiran sederhana, dan yang sebenarnya mudah dipatahkan. Tampak di sana-sini keraguan saat ia menuliskan pikirannya. Tapi terpaksa tetap ditulisnya, meski bertolak belakang dengan seorang Fahri yang dulu kita kenal. Jika lalu banyak orang tidak percaya melihat perubahan pilihan politik yang diambilnya, itu menjadi pantas. Pula pun tak bisa membayangkan suasana psikologis yang boleh jadi dirasakan Fahri, yang bisa jadi ia pun merasa heran bisa memilih jalan berkebalikan. Jalan yang tak ada di pikirannya beberapa tahun lalu, terlebih saat berjuang bersama PKS di parlemen, di mana Fahri lantang menyuarakan suara umat. Gelegar suaranya saat itu selalu dinanti umat, dan kita masih mengingat satu per satu sikap politiknya yang jelas menolak politik bersandar pada nepotisme. Hari-hari ini sikapnya berubah, justru menjadi pendukung politik dinasti. Fahri Hamzah memang telah berubah, ia memainkan peran berkebalikan dengan peran yang pernah dimainkannya. Dari peran membela umat menjadi pembela rezim dengan segala pernak-perniknya. Hilang sudah kegarangannya mengkritisi rezim, bersamaan saat ia dan kawan-kawannya, Anis Matta di antaranya, mendirikan partai Gelombang Rakyat (Gelora). Mari kita sedikit mengulik tulisan Fahri, yang seperti sikap bimbang namun terpaksa mesti disampaikan sebagai argumen keberatan klaim atas monopoli suara umat. Sikap berkeberatan, meski ia ragu karena ia paham benar, itu bagian dari demokrasi yang tak mungkin dihalanginya, saat para ulama memutuskan lewat Ijtima\' Ulama, memilih pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Begitu pula saat Ustadz Abdul Shomad (UAS) yang secara resmi menyatakan memilih AMIN. Dalam kebimbangannya ia menyatakan, itu hak demokrasi seseorang atau kelompok dalam menyuarakan aspirasinya. Tapi tetap saja dalam tulisannya tersirat ia utarakan keberatannya. Lucu juga sikap inkonsistensi dalam tulisannya itu, utamanya saat ia tak bersikap yang sama saat Habib Lutfi bin Yahya berdiri di barisan Paslon 02: Prabowo-Gibran. Fahri dan Partai Gelora memang memilih sebagai pendukung Prabowo-Gibran. Fahri membungkus ketidaksukaannya pada para ulama yang mendukung Anies-Muhaimin (Paslon 01), yang diumumkan secara demonstratif. Seperti yang dilakukan Ijtima\' Ulama, dan UAS. Ketidaksukaan Fahri ini terbilang aneh, atau boleh jika disebut menggelikan. Memangnya kenapa jika mesti diumumkan. Itu sekadar cara yang dipilih, mau terang-terangan atau memilih dengan diam-diam. Tersirat pula keberatannya atas klaim memakai nama Ijtima\' Ulama, yang itu pun disampaikan dengan sangat berhati-hati, dan dibalut dengan nada tanya, Entah sesiapa ulama yang ikut dalam Ijtima\' Ulama itu? Belum terdengar dukungan dari Ustadz Adi Hidayat dan Aa Gym... Kita digiring seolah jika tidak ada 2 nama ustadz populer itu, maka klaim Ijtima\' Ulama menjadi patut diragukan. Fahri juga membandingkan \"ribut-ribut\" ulama yang secara demonstratif mengumumkan pemihakannya pada Anies-Muhaimin, itu dengan Gus Miftah, yang menurutnya tak kalah populer dengan ustadz yang disebutnya tadi. Tanyanya dengan aneh, Entahlah apakah Gus Miftah bisa digolongkan sebagai ustadz? Tambahnya dengan menyimpulkan, meski ada di kalangan umat tertentu tidak menganggapnya sebagai ustadz. Fahri yang berangkat dari aktivis dakwah kampus mendadak keluh otak, tidak paham kriteria siapa yang layak disebut ustadz. Kalau menurutnya Gus Miftah itu ustadz, ya ustadz-lah ia. Tak ada yang berkeberatan. Fahri sampai perlu memuji sikap Gus Miftah, yang katanya memang sejak lama dikenal sebagai pendukung Jokowi, dan kali ini mendukung Prabowo. Menurutnya, dukungan yang tak menuai kontroversi, tak pakai pengumuman seperti ustadz-ustadz yang memilih mendukung Anies-Muhaimin. Kontroversi versi Fahri tadi tentu lebih pada pernyataan politis akan ketidaksukaannya saja pada para ustadz populer yang disebutnya tadi, yang itu lebih karena pemihakan pada paslon rivalnya. Tapi buru-buru Fahri mengoreksi pikiran yang dibangunnya itu dengan narasi susulan, Sah-sah saja para ustadz populer tadi jika mesti harus mengumumkan secara terbuka, itu hak politik mereka yang dijamin negara dan agama--mungkin maksudnya dijamin undang-undang. Menyertakan agama di sana, karena Fahri ingin pakai dalil ijtihad memilih dalam agama, bahwa salah memilih saja masih dapat satu pahala. Fahri tanpa sadar tengah membuat tameng buat dirinya, jika ijtihad pilihannya dan Partai Gelora salah dalam memilih Prabowo-Gibran, ia masih dapat satu pahala. Lucu juga memaknai jalan pikirannya. Tapi lagi-lagi Fahri masih ngengkel, dan itu khas sikapnya. Ia sisipkan ketidaksetujuannya, jika ulama mesti memihak dengan cara demonstratif. Tentu yang dimaksudkannya itu ulama yang memihak Anies-Muhaimin. Untuk menutupi ketidaksetujuannya ia sampai perlu buat narasi bijak, belajar dari pilpres sebelumnya mestinya ustadz populer itu berpikir 7 kali lipat untuk menyatakan dukungan secara terbuka, seperti kesalahan yang pernah dibuat dua pilpres sebelumnya. Katanya, luka dalam pilpres yang lalu belum sembuh betul. Tentu argumen yang dibangun Fahri, itu mengada-ada. Luka pilpres yang lalu jika dirasanya masih ada, itu sama sekali tidak ada korelasi dengan dukungan ulama. Tapi luka itu, sekali lagi meminjam jalan pikiran Fahri, memang diciptakan oleh rezim menstigma mana ulama istana, dan mana ulama umat. Menarik persoalan \"luka\" itu pada dukungan ulama pada pilpres yang lalu, itu playing victim yang coba dimainkan Fahri. Fahri memang tengah menjajakan Prabowo Subianto, yang katanya, tak ada yang berubah dalam visi-misinya. Dan, kita membaca pikiran Fahri jadi merasa heran, kenapa Ijtima\' Ulama dan para ustadz populer yang disebutnya tadi berubah dengan tidak memilih Prabowo. Justru memilih Anies-Muhaimin. Fahri mendadak lupa, dan (seolah) tak mampu menerjemahkan pikiran umat mengapa tak lagi memilih Prabowo. Padahal sebelumnya--silahkan cari jejak digital Fahri tentang kekecewaannya pada Prabowo yang bergabung dengan Jokowi--ia pun termasuk bagian dari itu. Namun jika Fahri lalu dianggap berubah, tentu itu pilihan politik yang mau tidak mau dipilihnya. Itu hak politiknya. Tidak seorang pun boleh menyerang atas pilihannya. Tapi jika ada yang kecewa melihat pilihannya, itu pun boleh-boleh saja, bagian dari perasaan suka-tidak suka yang sulit dikontrol. Dalam tulisannya itu jelas Fahri tengah \"menjual\" Prabowo, yang memang telah ditinggal mayoritas umat yang sebelumnya--Pilpres 2014 dan 2019--memilihnya. Saat ini mayoritas umat memilih Anies-Muhaimin. Maka, Fahri semacam punya tugas untuk menjajakan ulang Prabowo yang maju dengan Gibran bin Joko Widodo sebagai cawapresnya. Meski Gibran distempel dengan sebutan sebagai anak haram konstitusi, itu tak masalah buat politisi sekelas Fahri, yang mau tidak mau mesti berpikir pragmatis. Dalam tulisannya itu juga Fahri mengklaim, karena Jokowi dan Prabowo berkoalisi, itu yang menyembuhkan luka akibat benturan pada Pilpres yang lalu. Katanya, bagaimana bisa dikatakan Prabowo yang bersalah? Jangan di balik demikian, tambahnya. Fahri sisipkan pernyataan bijaknya, ia berharap ketenangan yang sudah terbina ini dipertahankan, agar luka tidak terulang. Sebaiknya para ustadz populer itu bersikap netral berada di tengah. Tidak memihak satu paslon, pintanya. Sayang Fahri tidak bicara yang sama pada Habib Lutfi, atau Gus Miftah, agar bersikap netral. Fahri menutup tulisannya dengan keberatan, bahwa suara umat tidak boleh diklaim sepihak hanya untuk kepentingan elektoral sesaat semata. Tuduhnya, apalagi suara umat ini semacam \"dipakai\" atau \"dimanfaatkan\" kelompok tertentu--meski tidak menyebut kelompok mana, semua paham bahwa itu ditujukan pada paslon 01 Anies-Muhaimin. Dipakai atau dimanfaatkan yang diberinya tanda kutip, itu sekadar penegas saja bahwa itu negatif. Dipakai dan dimanfaatkan dalam konteks apa, Fahri tak menyebutkannya. Fahri seperti asal saja berargumen. Memangnya Prabowo-Gibran tidak juga \"memakai\" dan \"memanfaatkan\" umat, yang itu bisa lebih tampak negatif, jika mau dikulik disebutkan satu per satu. Satu pertanyaan saja untuk menutup tulisan tanggapan atas tulisan Fahri, apakah ia juga berpikir, atau terlintas di pikiran, bahwa ia pun sebenarnya tengah ditinggalkan umat. Apa juga ia mau protes? Bagus jika protesnya ditujukan pada diri sendiri sambil bertanya, apa yang tengah kulakukan sehingga umat tidak membersamaiku lagi. Sekian, dan maaf.🙏🙏

Pilpres Mulai Memanas, Relawan-Ganjar Mahfud Dipukul Oknum TNI di Boyolali

Boyolali | FNN - Kekerasan menimpa relawan Ganjar - Mahfud usai mengadakan acara di wilayah Boyolali, Jawa Tengah. Dari video yang diterima redaksi FNN, Sabtu 30 Desember 2023, tampak korban dikejar lalu dianiaya dan dikeroyok hingga berdarah-darah. Korban tampak mengenakan kaos berwarna putih bertuliskan Ganjar-Mahfud untuk Indonesia. Dari caption video tertera keterangan \"Relawan-Ganjar baru ikuti acara di Boyolali dan setelah selesai rencana pulang ternyata dicegat oknum TNI dari Batalion 408 dan relawan dicegat dan dibawa masuk pos penjagaan. Selanjutnya dianiaya. Alasannya naik motor dengan knalpot breng, padahal itu jalan raya provinsi, jalan bus dan truck besar.  Lokasi di lampu merah Sonolayu, Kabupaten Boyolali Jateng. (*)

Dukung Gerakan Sejuta Banner untuk AMIN

Jakarta | FNN - Pilpres 2024 adalah momentun untuk menghadirkan kesetaraan kesejahteraan dan rasa keadilan bagi seluruh elemen masyarakat. Gerakan perubahan adalah tanggung jawab kita semua, bersama AMIN kita wujudkan Indonesia yang Adil dan Makmur untuk Semua. Kami mengajak semua komponen bangsa yang menginginkan perubahan, mari bergandengan tangan berpartisipasi dalam Gerakan Sejuta Banner AMIN.  Melalui donasi Rp10.000, berarti anda telah bersuara dan berkontribusi untuk perubahan. Nominalnya mungkin terlihat mini. Tapi di balik rupiah seharga segelas es teh ini, kita tengah membangun asa untuk perubahan yang lebih baik. Seluruh hasil donasi banner akan didistribusikan ke penjuru negeri.  Donasi sekarang juga melalui website official https://donasi.pejuangamin.id Salam Perubahan tamsillinrungcare@gmail.com Coach dan Ketua Deputi Saksi dan Pengorganisasian Timnas AMIN Call Center 082312283994 #sejutabanneruntukamin #indonesiaadildanmakmuruntuksemua #aniesbaswedan #muhaiminiskandar #relawanpejuangamin

Unas dan Pemkab Anambas Kembangkan Ekowisata Penguatan Komunitas Adat Maritim

Jakarta | FNN - Universitas Nasional (Unas) bersama Pemerintah Kabupaten Kepualaun Anambas, Provinsi Kepulauan Riau memperkuat pengembangan ekowisata berbasis penguatan komunitas adat maritim (Pekat Maritim). Kegiatan ini mendapat dukungan dari dana padanan  kepada perguruan tinggi dan industri yang berkolaborasi dalam pengembangan inovasi melalui rencana kerja  Kedaireka (Kerja Sama Dunia Usaha dan Kreasi Reka) Kemenristekdikti (Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi) tahun 2023.  Dekan FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Unas Dr. Erna Ermawati Chotim, M.Si sebagai ketua tim kedaireka Unas mengusung gagasan dan implementasi sebuah model penguatan komunitas adat maritim. Khususnya dalam meningkatkan pemberdayaan sosial budaya dan ekononomi di Kabupaten Kepualaun Anambas.  “Model Pekat Maritim ini merupakan terobosan gagasan dari Unas dan Pemkab Anambas untuk memastikan pengembangan pariwisata harus bersifat integral, holistik dan memenuhi prinsip-prinsip berbasis masyarakat, beridentitas, berkelanjutan, bertanggung jawab dan terpadu,” kata Dekan FISIP Unas Erna Ernawati di Jakarta, baru-baru ini.  Menurutnya, melalui gagasan Model Pekat Maritim ini berusaha membangun kesadaran dan penguatan masyarakat local, sehingga pariwisata diharapkan dapat memberikan keuntungan dan kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Pengembangan ekowisata maritim harus terintegrasi dengan masyarakat lokal dengan seluruh nilai dan praktik budayanya sehingga pengembangan wisata tidak meninggalkan masyarakatnya. Dikemukakan, kegiatan Kedaireka Pekat Maritim ini berisi serangkaian kegiatan, dimulai dari diskusi yang berisi pembangunan sumber daya, pemberdayaan berbasis masyarakat, penyusunan modul Pekat Maritim sekaligus pelatihan kepada Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Kabupaten Anambas. Termasuk perumusan naskah akademik pengelolaan wisata maritim berbasis masyarakat dan budaya. “Rapat konsultasi untuk mendorong peraturan bupati sampai pada penyusunan RAD (Rencana Aksi Daerah) untuk dapat memastikan Pengelolaan Wisata Maritim Berbasis Masyarakat dan Budaya di Kabupaten Anambas bisa berjalan dan berkelanjutan,” ujar Erna.  Bupati Anambas Abdul Haris menyambut baik dan mendukung sepenuhnya kegiatan Kedaireka Pekat Maritim ini. Komitmen ditunjukan pada kolaborasi dukungan dalam bentuk dana tunai maupun barang untuk penguatan komuntas adat maritim, sehingga memberikan pertumbuhan wisata sekaligus kesejahteraan masyarakat.  Kegiatan ini masuk dalam KKNT (Kuliah Kerja Nyata Tematik)-MBKM (Merdeka Belajar - Kampus Merdeka, melibatkan mahasiswa dari lima program studi FISIP Unas, yakni: Ilmu Politik, Hubungan Internasional, Sosiologi, Adminstrasi Publik dan Ilmu Komunikasi. Mahasiswa terlibat langsung pada kegiatan perumusan dan implementasi Model Pekat Maritim.  Melalui kegiatan ini, kata Erna, para mahasiswa bisa terjun langsung pada pengembangan dan penguatan komunitas maritim, belajar pada masyarakat dengan berbagai karakteristik dan kompleksitasnya, belajar berbagi dan memecahkan masalah di tingkat riil.  “Kegiatan ini sangat kosntruktif bagi mahasiswa karena bisa membekali tidak saja pengetahuan, tapi keahlian yang akan sangat berguna bagi penguatan pembelajaran maupun pengalaman yang bisa dikembangkan di masa depan,” pungkas Erna. (*)

Kecurangan, Senjata Pamungkas Kekuasaan

Oleh Yusuf Blegur | Ketua Umum BroNies  Pasangan AMIN  itu sarat kapasitas dan integritas. Pasangan lainnya identik dengan isi tas. Mengalir dan seiring waktu, uang dan jabatan  yang menggerakan aparat untuk melakukan kecurangan, agar Pasangan Amin bisa dikalahkan. Apa yang dimiliki Pasangan AMIN, dipastikan tidak dimiliki capres-cawapres yang lain. Begitupun sebaliknya, yang tidak ada pada pasangan AMIN sudah pasti melekat pada kompetitornya. Lantas apa perbedaan yang prinsip dan substansi pada masing-masing paslon capres-cawapres dalam kontestasi pilpres 2024 itu? Publik menyadari, faktor kapasitas dan integritas yang membedakan Pasangan  AMIN dan dua pasang capres-cawapres lainnya. Keunggulan dan keistimewaan capres dan cawapres nomor urut satu tersebut, begitu kontradiktif dengan realitas dua pasang saingannya. Saking berjaraknya, Pasangan AMIN berusaha disalip dengan pelbagai cara oleh kedua paslon lainnya agar bisa dikalahkan.  Upaya penjegalan, mulai dari penyalahgunaan wewenang, aturan yang kebablasan hingga para buzzer dan survey yang menyesatkan, terus dilakukan aparat pemerintahan. Mengalahkan Pasangan AMIN, jika perlu dihancurkan hingga kematian menjadi cara sekaligus tujuan  dari rezim dalam upaya mempertahankan kekuasaan.  Tampak nyata, rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi pada Pasangan AMIN tak mungkin dikejar kompetitornya. Alih-alih mengimbangi kapasitas dan integritas Pasangan AMIN. Kedua paslon lainnya yang identik sebagai budak oligarki dan boneka pemerintahan, malah kental dihiasi KKN dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Ditambah lagi tuna susila dan miskin etika,  menempel begitu  kuat pada kedua paslon yang menjadi rival Pasangan AMIN. Setelah uang dan jabatan, juga intimidasi, ancaman dan teror dari aparat yang berusaha menggagalkan pencalonan capres Anies khususnya dan pasangan AMIN memenangkan pilpres 2024 pada umumnya. Rezim kekuasaan terpaksa menggunakan senjata pamungkasnya, yakni menggunakan kecurangan. Semua sumber daya dan semua cara digunakan untuk menjadikan kecurangan bisa mengalahkan Pasangan AMIN.  Rezim kekuasaan yang membonceng oligarki, sepertinya sudah tidak punya pilihan. Bertarung habis-habisan, bagaikan perang hidup atau mati dalam menghadapi pilpres 2024. Keberlanjutan atau perubahan harus dimaknai kecurangan atau kejujuran. Jika terus memaksakan kecurangan dalam pilpres 2024. Rezim kekuasaan tinggal menunggu sedikit waktu,  kembali meneruskan kejayaan atau mengalami kehancuran?. Merasa nyaman berkuasa dengan konspirasi jahat atau tiba waktunya menjalani pengadilan rakyat?. Kejujuran maupun kecurangan akan sama-sama mendapatkan balasan yang setimpal. (*)