ALL CATEGORY
Fahri Hamzah : Kekuatan Umat Islam Bisa Jadikan Indonesia sebagai Negara Superpower Baru
JAKARTA | FNN - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, Pemilu 2024 adalah momentum persatuan nasional bagi bangsa Indonesia untuk bangkit menjadi negara kuat. \"Artinya kita perlu figur pemersatu, yang hatinya besar dan tidak ada kata bencinya, serta bisa diterima semua orang,\" kata Fahri Hamzah dalam diskusi Gelora Talks bertajuk \'Pilpres 2024: Kembalinya Suara Umat ke Prabowo, Rabu (13/12/2023). Fahri berharap agar umat Islam bisa kembali terkonsolidasi mendukung calon presiden (capres) Prabowo Subianto seperti pada dua pemilihan presiden (Pilpres) sebelumnya. Sebab, Prabowo adalah sosok yang paling konsisten dan memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam, sehingga perlu diperkuat lagi pada Pemilu 2024. \"Pak Prabowo tidak pernah berubah, dan tidak pernah bereskperimen untuk sekedar mohon maaf, ada partai yang mengambil tokoh kanan untuk memperbesar ceruknya sendiri dan memperbesar partainya sendiri,\" katanya. Faktanya partai tersebut, tidak memperjuangankan kepentingan umat, tapi hanya sekedar mencari suara elektoral agar lolos ke Senayan dalam setiap Pemilu. Umat Islam hanya diperalat partai tersebut, untuk kepentingan elektoral saja. \"Ceruknya diambil, suara umat sudah diambil oleh partai tersebut. Tetapi, partai tersebut tidak pernah ada dalam kebenaran untuk memperjuangkan umat, terus dan terus begitu,\" katanya. Fahri mengatakan, sebagai negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia yang mayoritas beragama Islam, harusnya Indonesia bisa berperan lebih ditingkat global, seperti mendorong gencatan senjata antara Hamas-Israel. Indonesia bisa menjadi penyeimbang bagi China yang penduduknya beragama Budha dan India yang beragama Hindu, serta Amerika Serikat yang beragama Protestan. \"Untung ada Ibu Retno, Menteri Luar Negeri kita yang memperjuangkan Palestina dengan gigihnya. Tetapi itu, tidak cukup, karena kita belum menjadi negara superpower, sehingga tidak didengarkan,\" katanya. Karena itu, Indonesia harus menjadi negara superpower yang mengisi kelembagaan multilateral yang ada di dunia ini, sehingga tatanan dunia baru betul-betul demokratis dan stabil. \"Kekuatan umat ini, yang akan menjadi fondasi kita untuk mendirikan negara besar yang kuat, negara superpower. Dari situlah dunia baru akan memperhitungkan kita,\" kata Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019. Menurut Fahri, kebijakan ekonomi Prabowo tidak hanya meningkatkan pertumbuhan, dan mengatasi kebocoran sumber daya alam saja, tetapi juga akan menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan kuat yang memiliki bergaining position secara politik di tingkat global. \"Syarat dari sebuah negara kuat itu, adalah pemenuhan gizi-gizi anak. Inilah yang sedang dikejar Pak Prabowo memberikan makan anak-anak Indonesia sejak dalam kandungan. Mudah-mudahan Pak Prabowo akan menjadi pemimpin kita semua,\" katanya. Bukan Benar Salah Sementara itu, Ketua Umum Aswaja center KH Misbakhul Munir mengatakan, umat Islam tidak perlu bermusuhan, karena berbeda pilihan dalam Pilpres. Berbeda plihan dalam masalah kebangsaan itu, dibolehkan oleh agama. \"Ukurannya itu bukan benar salah, tetapi saya harus mengatakan, bahwa karena semua sudah diterima KPU, maka yang harus dipahami adalah kalau umat Islam punya pilihan bebeda. Boleh berbeda, yang penting jangan berantem,\" kata Misbakhul Munir. Misbakhul meminta semua pihak harus bersaing secara sehat, tidak sampai menjelekkan satu dengan yang lain. Namun, ia berpandangan, bahwa Prabowo adalah sosok yang memberikan banyak hal-hal positif dan luar biasa kepada umat Islam. \"Salah satu ciri pemimpin itu, dia mau rekonsoliasi. Makanya saya mengapresiasi ketika Pak Prabowo dan Presiden Jokowi (Joko Widodo) itu rekonsiliasi. Dari sudut pandang manapun, orang melihat memberikan hal positif untuk umat dan rakyat Indonesia,\" kata Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini. Sehingga kata, Pakar Ajaran Aswaja (Ahlussunnah Wal Jamaah) Nahdatul Ulama (NU) ini, penting bagi umat Islam untuk mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai kelanjutan upaya rekonsiliasi. Karena mereka telah mengupayakan hal-hal baik bagi umat dan rakyat Indonesia. \"Ada 9 alasan untuk menjadi pemimpin itu, diantaranya dia orang yang ikhlas terhadap rakyat seperti kata Gus Dur. Pak Prabowo itu tegar, jatuh bangun sejak Pemilu 2009, 2014, 2019, dan saya lihat beliau begitu ikhlasnya untuk rakyat luar biasa dan terus berjuang untuk rakyat Indonesia,\" katanya. Karena ikhlas tersebut, kata Misbakhul, Prabowo diyakini akan menjadi Presiden RI ke-8 pada Pemlu 2024 mendatang. Ia menilai doa-doa para ulama dan umat Islam selama ini untuk Prabowo agar jadi Presiden tertunda. Bisa jadi akan dikabulkan di 2024, karena doa pada dasarnya tidak ada yang kadaluarsa. \"Doa itu tidak ada yang kadaluarsa, ketika mulai didoakan ulama sejak berpasangan dengan Pak Hatta (Hatta Radjasa) pada Pilpres 2014, dan kemudian dengan Pak Sandi (Sandiaga Uno) di Pilpres 2019 itu luar biasa doanya. Bisa jadi doanya akan dikabulkan dengan situasi dan kondisi sekarang, di Pemilu 2024. Doa tidak ada yang kadaluarsa, hanya Allah SWT yang tahu kapan akan dikabulkan. Jadi kalau nanti Pak Prabowo jadi Presiden itu adalah berkah dari umat Islam,\" jelasnya. Opini Nyinyir Sedangkan Mubaligh dan Cendikiawan Muslim Yusuf Burhanuddin mengatakan, fenomena Prabowo ini sangat luar biasa dan perlu disikapi pasca debat pertama Pilpres 2024 pada Selasa (12/12/202) malam, karena memiliki banyak investasi dan aset yang tidak sedikit dalam membangun negeri. \"Jadi beliau sudah teruji, bahkan kita menginginkan adanya pandangan obyektif dari opini-opini yang nyinyir, terutama pasca debat kemarin, saya mengamati di kalangan grasroot umat itu banyak yang \'nyiyiriun wal nyinyirian\',\" katanya. Yusuf menilai umat tidak memandang itu, sebagai opini yang obyektif, tetapi sebagai opini nyinyir. Hal ini bisa menjadi hasutan yang liar. \"Kita memang harus menikmati perbedaan ini sebagai khazanah. Tetapi kita tidak hanya melihat dari satu segi, satu perspektif, atapun satu sisi saja. Kalau seperti itu, justru saya melihat akan merusak,\" katanya. Ia melihat dalam debat perdana kemarin, Prabowo terlihat lebih santun dan santuy, faktual dan fairplay, mengakui kekuranganya serta gentlemen dibandingkan dua kandidat lainnya. \"Pak Prabowo juga memberikan apresiasi terhadap mereka ketika berbeda pandangan. Saya melihat posisinya beliau sangat halus, sementara yang lainnya pandangannya menghasut, tidak produktif, tidak jujur dan tidak objektif. Sementara Pak Prabowo lebih terlihat membangun spirit kebangsaan,\" kata Yusuf Berhanuddin. Sedangkan KH Arip Rahman, Ketua DPP Aliansi Ulama Alumni Timur Tengah menambahkan, Prabowo adalah sati-satunya capres yang memiliki kepedulian secara langsung kepada perjuangan kemerdekaan Palestina. Prabowo juga memiliki hubungan internasional yang luas, tidak hanya terbatas di Timur Tengah saja, tetapi juga di seluruh dunia. \"Bantuan Pak Prabowo bagi Palestina itu nyata, Semua bantuan untuk Palestina yang ada itu, juga dipastikan Pak Prabowo sampai ke Palestina. Tidak hanya itu, Pak Prabowo juga memberikan bantuan dari kantong pribadinya Rp 5 miliar, sementara adiknya Hashim 1 miliar,\" katanya. Arip berharap umat Islam mendukung Prabowo di Pilpres 2024, karena upaya untuk memperjuangkan kepentingan umat lebih nyata, termasuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel. \"Mari kita berbahagia dan bergembira menghadapi Pemilu 2024 ini. Kaum muslimin, umat Islam, mari kita sama-sama berbagi kebenaran, bukan sebaliknya menyebarkan informasi yang tidak benar. Kita kembalikan suara umat ke Pak Prabowo. Pak Prabowo adalah orang paling ikhlas, dan perlu diketahui Pak Prabowo adalah orang yang menciptakan pemimpin di daerah, ada Pak RK (Ridwan Kamil) di Jawa Barat. Lalu, ada Pak Anies Baswedan di DKI, dia jadi gubernur itu perannya Pak Prabowo,\" pungkasnya. (Ida)
Prabowo Emosional, Ganjar Datar dan Anies Bernas
Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI GESTUR tubuh yang memasang kuda-kuda sigap seakan defensif dan menantang, seperti berusaha menahan dan menutupi amarah Prabowo. Begitupun dengan Ganjar yang main aman meski menyentil Prabowo. Keduanya tetap tersandera oleh citra buruk kepemimpinannya selama ini. Baik Prabowo maupun Ganjar, sama-sama miskin moral, berkebutuhan khusus pada nilai-nilai dan etika. Debat capres perdana yang diselenggarakan tanggal 12 Desember 2023 oleh KPU RI telah mengusik perhatian publik. Tiga capres mengadu visi sembari menguji kapasitas dan integritas masing-masing. Ada capres yang menguasai forum, ada juga yang kehilangan momentum. Prabowo tampil tegang dan terlihat gagap. Ganjar dinilai terlalu hati-hati dan datar. Hanya Anies yang perform, tenang dan menguasai materi di seputar perdebatan. Prabowo satu-satunya capres yang terlihat meledak-ledak dan emosional. Prabowo seperti menanggung beban sejarah masa lalu, baik karir militer dan kehidupan rumah tangganya maupun karir politiknya kekinian. Berada dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dianggap gagal, mungkin ini menjadi faktor Prabowo tampil tak lepas. Langganan capres dalam beberapa pilpres itu terasa dalam tekanan psikis, faktor usia lanjut dan kondisi kesehatan yang semakin menurun juga memengaruhi penampilannya. Kejahatan HAM berat dan kejahatan lingkungan dalam proyek Food Estate seperti yang dituding PDIP, serta kecenderungan sifat temperamen dan otoriter dalam kehidupan pribadinya, terus membayangi eksistensi Prabowo. Prabowo mulai reaksioner saat Ganjar melontarkan pertanyaan soal kejahatan HAM kepadanya. Begitu juga ketika Anies menyinggung kehidupan demokrasi, mantan menantu Soeharto dan Danjen Kopassus yang rumornya pernah dibawa ke pengadilan militer dan dipecat secara tak terhormat itu, terlihat tensi tinggi dan mulai menyerang pribadi Anies. Prabowo usai dengan angkuhnya menyinggung demokrasi dan perannya saat Anies sebagai gunernur Jakarta. Seketika langsung lemas terkulai dan diam seribu bahasa, saat Anies mengingatkan Prabowo yang tak tahan menjadi oposisi karena kepentingan bisnis. Prabowo seperti kena mental, tak cukup intelektual dan miskin moral. Ia larut dan terseret dalam keakuan dan sifat berkuasanya terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Sementara Ganjar, berusaha menghindar pembahasan teknis dan menghindari pembahasan terkait kasuistik. Sekonyong-monyong Ganjar sedang menyampaikan dongeng, bukan bicara negara dan kepemimpinan nasional. Berulang kali menyampaikan diksi afirmasi, seakan-akan persoalan bangsa hanya bisa diselesaikan dengan konsep afirmasi dalam metode pembelajaran di sekolah. Ganjar bagai kekeringan gagasan, terlalu umum dalam pembahasan dan seperti sedang curcol, meminjam istilah gen-Z sekarang. Ganjar sepertinya cerdik, untuk menghindari perdebatan sengit soal rekam jejaknya yang buruk karena kasus E-KTP, Wadas dll. yang begitu kuat menempel sosoknya. Boleh jadi untuk menghindari itu, Ganjar lebih sering bersolek di media sosial, membekali diri dengan pencitraan dan terkesan main-main dan gampangan. Hanya Anies yang begitu rigid dan integral holistik membahas masalah-masalah prinsip dan mendasar. Walaupun pembahasan negara begitu terbatas waktunya dalam debat capres. Secara runut Anies berhasil mengupas sekaligus mampu melakukan refleksi dan evaluasi kehidupan demokrasi dan konstitusi serta penegakan hukum. Salah satu isu utama yang penting dan utama oleh Anies yang tidak diangkat Ganjar dan Prabowo, adalah masalah keadilan. Hanya Anies yang cerdas dan lugas membahas apapun produk politik, ekonomi dan hukum itu, harus mendepepankan rasa keadilan bagi seluruh rakyat, hanya dengan itulah negara bisa dianggap memiliki keberadaban, bisa mewujudkan persatuan dan kesejahteraan. Anies juga mengangkat soal korupsi dan penanganannya, termasuk pemiskinan dan perampasan harta pelakunya. Harus ada nilai-nilai dan etika dalam proses penyelenggaraan negara baik dari kalangan pemerintahan maupun dari pihak oposisi. Pemerintah dan oposisi sama-sama terhormat. Tegas Anies sebagai capres yang memiliki rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi yang membuatnya tampil memesona dan percaya diri dalam debat capres tersebut. Debat capres awal telah berlangsung, meskipun bukan satu-satunya tolok ukur kepemimpinan, setidaknya forum itu membantu publik mengenal sifat dan karakter seorang capres. Rakyat bisa menilai langsung, apa yang ada dalam pikiran, kata dan tindakan capres saat itu menunjukan kebiasaannya selama ini. Hanya habit baik yang baik maupun buruk yang mampu menentukan siapa capres yang memiliki kualitas dan kuantitas terbaik kepemimpinannya. Rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi sejatinya telah mendahului apa yang dipikirkan, apa yang akan diucapkan dan apa yang akan dilakukan seorang capres. Tak bisa terbantahkan dan publik yang langsung menilai, Prabowo emosional, Ganjar datar dan Anies yang bernas. Pencitraan tak akan mampu menyembunyikan fakta, dalam kepemimpinan hanya jiwa yang layak mengemuka. (*)
Bahaya dan Buruknya Demokrasi Manipulatif
Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,MH (Direktur Tanhana Dharma Mangrva (TDM) Institute) DEMOKRASI yang sejatinya berasal dari kata “demos” (suara) dan “cratos” (rakyat) adalah konsepsi bernegara sebagai antitesa dari sistem monarki absolut dan diktatorian otoriter. Dimana perbedaannya adalah pada pendistribusian kekuasaan. Dalam monarki absolute dan diktatorianisme, kekuasaanya bersifat tunggal, private/elite dan terpusat, namun pada sistem demokrasi pendistribusian kekuasaan itu dibagi dalam tiga rumpun (bidang) yaitu : Yudikatif, Legislatif, dan Eksekutif yang lazim kita sebut dengan Trias Politika. Sedangkan Trias Politika ini, dibentuk berdasarkan proses politik negara yang bersumberkan pada “kehendak mayoritas rakyat” melalui Pemilihan Umum dan proses rekruitmen karier. Dimana sebuah kepemimpinan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan proses politik praktis, dan organisasi negara pelaksanaannya berdasarkan politik negara sesuai amanat konstitusi. Demokrasi sebagai antitesa kekuasaan absolute/private dalam konteks global banyak melahirkan negara berbentuk Republik. Dimana “re” dan “publik” mengisyaratkan bahwa ada kekuasaan yang diberikan kepada “publik/public” bukan lagi “private”. Namun mirisnya, secara faktual empiris, kontestasi dalam proses politik di dalam sebuah negara, kadang kala kalah oleh design kekuatan “invisible hand” yang konsisten selalu ingin menjadi pemegang tunggal kekuatan hegemoni yang dominan dalam mengendalikan dunia global. Alias elit global atau elite minority. Buktinya, banyak negara yang meski sudah puluhan tahun merdeka, ketika menjalankan demokrasi justru menjadi negara “bebek lumpuh”. Kemajuan yang didapatkan, justru terdistribusi hanya pada sekelompok elit semata. Kesejahteraan masyarakat dimana negara seharusnya menjadi “walfare state” (negara kesejahteraan), menjadi jauh dari harapan nyata. Negara di balik menjadi alat instrumen kekuasaan para kelompok elit. Instrumentasi politik demokrasi, melalui proses “social engineering” (rekayasa sosial) yang seharusnya berkedaulatan rakyat dengan mudah berubah menjadi berkedaulatan partai politik. Sedangkan untuk penunjukkan seorang pimpinan partai politik, mesti “berselingkuh” dengan penguasa dan para cukong. Sebagai sponsorshipnya. Tidak saja hanya sampai di situ, para politisi (produk partai politik) yang seharusnya hadir sebagai wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan rakyat di legislatif, terpaksa harus tunduk dan patuh kepada pimpinan partai politik. Karena pimpinan partai politik mempunyai kewenangan untuk “me-recall” atau melakukan pergantian antar waktu (PAW) terhadap kadernya yang duduk di legislatif. Artinya, rumpun antara eksekutif dan legistalitif sudah bukan sebagai mitra “check and balance” lagi, namun sudah berkulindan dalam rumpun kepentingan yang sama. Lalu bagaimana dengan rumpun eksekutif ? Hampir sama nasibnya. Ketika rumpun eksekutif dalam proses rekruitmennya melalui kekuasaan presidensial yang dibuat oleh legislatif, secara perlahan namun pasti, terkontaminasi oleh proses politik pragmatis dan praktis. Buktinya, seorang Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengusulkan secara tunggal dan kolektif para calon Kapolri, Panglima TNI, Kejaksaan Agung, bahkan para Hakim MA dan MK. Dimana, pihak legislatif hanya ibarat stempel kosong karena apapun keputusannya sudah pasti berdasarkan perintah pimpinan partai politiknya. Nah ketika tiga rumpun Trias Politika ini lumpuh, maka demokrasi yang berjalan di sebuah negara tersebut boleh dikatakan dengan istilah demokrasi manipulatif. Karena kekuasaan suara rakyat hanya termanifestasi dalam bentuk euphoria Pemilu semata, alias jadi objek bukan subjek politik. Bagaimana suara rakyat akan berdaulat pada negara, sedangkan pemerintahannya hanya dikendalikan oleh sekelompok elit politik yang mencengkram kuat masing rumpun Trias Politika sebagai mesin utama demokrasi. Misalnya, seorang Presiden satu kelompok politik dengan pimpinan legislatif dan menguasai mayoritas kursi di dalamnya. Dan dengan kekuasaannya bersekutu untuk menempatkan orang-orang “dalamnya” menjabat di posisi strategis jabatan yudikatif. Atau lebih konkritnya lagi sebagai contoh yang sedang terjadi saat ini pada negara kita. Ketika Presidennya dengan pimpinan legislatif satu kelompok partai politik, lalu untuk Kapolri dan Panglima TNI nya adalah diambil dari para mantan sespri Presiden, kemudian untuk para hakimnya dari saudara ipar, dan pejabat di kejaksaan agung dan jajarannya adalah hasil penunjukan dari kerabat tokoh partai politik penguasa. Bagaimana masyarakat dan kekuatan civil society akan percaya integritas penyelenggara pemerintahan hari ini yang dipimpin Joko Widodo ? Ditambah perilaku otoritarianisme antikritik dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, menjadikan gaya kepemimpinan Joko Widodo saat ini mirip fasisme diktatorian. Buktinya, tak terhitung berapa banyak para tokoh, ulama, aktifis yang dipenjarakan secara sewenang-wenang hanya karena perbedaan pendapat dan berasal dari satu kelompok agama tertentu yang kritis pada pemerintahannya. Reformasi yang diperjuangkan secara berdarah-darah oleh para mahasiswa dan aktifis 1998, saat ini dikangkangi dan dikhianati oleh Joko Widodo bersama keluarganya. Faktanya lagi, permasalahan KKN, anti perbedaan dan krisis kedaulatan akan sumber daya negara semakin parah dan rusak dalam pemerintahan saat ini, menurut para ahli seperti Begawan Ekonomi Rizal Ramli, Faisal Basri, bahkan mantan ketua KPK Agoes Rahardjo. Ini semua terjadi tentu akibat, keberhasilan seorang Joko Widodo bersama antek-anteknya mengkonsolidasi kekuasaan rumpun Trias Politika menjadi tersentralistik kembali di bawah ketiak istana. Ada yang berani melawan ? Maka akan dimutasi dan dibongkar dosa-dosanya terdahulu melalui tangan aparat hukum. Inilah hasil dari sebuah kamuflase negara otokrasi berbaju demokrasi manipulatif. Tampilan seolah berdemokrasi, padahal negara sudah di kuasai oligarkhi melalui para proxy nya. Akan lebih parah lagi dalam hal Pilpres saat ini. Seorang anak Presiden dengan mudah lenggang kangkung menabrak benteng sakral konstitusi, untuk bisa maju sebagai Cawapres. Belum lagi mutasi besar-besaran di tubuh TNI/Polri, Kementrian, yang tentu saja hal ini wajar menjadi kecurigaan besar bahwa sebuah skenario akan terjadinya intervensi kekuasaan dalam proses Pemilu di tahun 2024 nanti dari sekarang. Belum lagi dalam hal perekrutan KPU, KPUD, Panwaslu, seluruh Indonesia, plus penunjukan PJ kepala daerah sebanyak 272 di seluruh Indonesia yang tendensius dan juga bertentangan dengan konstitusi serta azas hukum otonomi daerah. Beginilah dampak buruk dari sebuah negara apabila sudah dikuasai oleh sekelompok elit kekusaan yang ambisius dan rakus. Jangan harap akan ada kepentingan rakyat di dalam dada mereka. Kepentingan rakyat hanya jadi bahasa lip service masa kampanye. Rakyat hanya jadi objek pencitraan manipulasi. Solusinya tentu tidak ada selain kembali lagi kepada rakyat itu sendiri. Apakah akan terus diam, dan berdamai dengan penderitaannya ? Apakah tetap diam ketika negara ini sudah sekarat dijarah, dirampok, dijual dengan murah kepada sekelompok elit semata? Atau bersama bangkit berdiri melawan dan bersatu, secara konkrit melalui hak suaranya memilih pemimpin yang jauh dari lingkar kekuasaan hari ini dan senantiasa mengawasi prosesnya, agar negeri yang indah dan kaya raya ini memang menjadi negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai cita-cita konstitusi kita, Pancasila dan UUD 1945. InsyaAllah. Jakarta, 13 Desember 2023.
Anis Matta Optimistis Basis Keumatan Prabowo pada Pilpres 2024 Kembali
JAKARTA | FNN - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia mendapat tugas untuk mengembalikan basis dukungan Prabowo Subianto yang pernah didapat di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan Pilpres 2019. Pada Pilpres 2014 Prabowo mendapatkan perolehan 62.576.444 suara (46,85%), sedangan perolehan suara Prabowo di Pilpes 2019 68.650.239 atau 44,50 persen suara. \"Secara umum kita yakin betul, Insya Allah bahwa basis keumatan Prabowo akan kembali lagi memilih beliau,\" kata Anis Matta dalam keterangannya, Rabu (13/12/2023). Hal itu disampaikan Anis Matta dalam program Anis Matta Menjawab Episode 25 dengan tema \'Bagaimana Membangun Kekuatan Politik Umat? yang telah tayang di kanal YouTube Gelora TV pada Senin (11/12/2023) malam. Dalam program yang dipandu Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Komunikasi Organisasi DPN Partai Gelora Dedy Miing Gumelar yang juga merupakan Caleg DPR RI Dapil 6 Bekasi dan Depok ini, Anis Matta juga akan memastikan basis massa yang dibawa Gibran Rakabuming Raka di Jawa Tengah dan Jawa Timur mendukung Prabowo. \"Jadi pertama, selain mengembalikan basis keumatan Prabowo dan yang kedua adalah basis yang dibawa Mas Gibran, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, Insya Allah kita juga akan memastikan ke beliau,\" katanya. Anis Matta menegaskan, bahwa Partai Gelora mendapatkan tugas penting untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran, dengan mengembalikan suara umat pada Pilpres 2024 seperti pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. \"Dan tugas terpenting dari Partai Gelora adalah berkontribusi bagi pemenangan Pak Prabowo dengan mengembalikan suara umat kembali ke Pak prabowo,\" katanya. Anis Matta menyadari bahwa sejak dulu memang ada kesulitan dalam mengkonsolidasikan umat Islam. Hal tersebut berhubungan dengan pemikiran, akidah dan hal-hal teknis. \"Kadang-kadang orang bilang ke saya, terlalu besar pikirannya. Padahal partai politik kan cuma buat cari suara, kursi gampang didapat dengan bagi-bagi minyak goreng. Kenapa mesti jauh betul pemikiran,\" katanya. Menurut Anis Matta, dalam memperjuangkan kepentingan umat, tidak hanya sekedar berebut kursi di Senayan atau Pilpres. Tetapi umat Islam harus memiliki penerawangan ke depan di tengah kekacauan dunia saat ini akibat krisis global. \"Jadi untuk memperjuangkan kepentingan umat ini, tidak hanya sekedar pemikiran, memperbaiki aqidah umat atau berhubungan dengan hal-hal teknis. Tapi mesti punya penerawangan yang jauh, bagaimana kita memperjuangkan umat itu, dalam semua situasi yang kita hadapi, terutama di tengah kekacauan dunia yang terjadi sekarang,\" ujarnya. Kursi atau jabatan yang didapat, lanjut Anis Matta, adalah amanah yang memikul tanggungjawab yang besar, sehingga tidak hanya sekedar menandatangani suatu kebijakan atau undang-undang saja. \"Jadi semua itu harus mengerti betul tanggungjawabnya, bagaimana orang jadi presiden, gubernur dan seterusnya. Kebanyakan kita masuk politik itu, hilang jalan karena pada dasarnya kita tidak punya penerawangan yang jauh. Seperti orang pergi berlayar, kompasnya tidak jelas, navigasnya tidak jelas dan di tengah jalan kena badai,\" katanya. \"Ini juga seperti papatah bugis dalam mengenang kekasihnya yang pergi merantau, dia bilang mungkin kamu sekarang sedang ada di tengah samudera dan tidak pernah sampai ke tujuan, serta tidak untuk kembali. Itulah nasib partai-partai sekarang yang berebut hal-hal kecil setiap hari,\" katanya. Anis Matta mengatakan, partai-partai sekarang termasuk partai Islam, tidak pernah memikirkan untuk mencapai hal-hal yang lebih besar. \"Kalau kita berpikir besar seperti ini tidak banyak uangnya seketika, nah itu yang bkin orang tidak sabar. Tapi jika berpikir kepentingan dalam skala umat, inilah yang mengilhami saya dalam mendirikan Partai Gelora,\" pungkasnya. (Ida)
Harun, KM 50 dan Kanjuruhan adalah Palu Godam
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DALAM debat Calon Presiden 12 Desember 2023 di Gedung KPU muncul permasalahan Hak Asasi Manusia. Anies Baswedan mengangkat kasus pelanggaran HAM yang tidak diusut tuntas diantaranya penyiksaan dan pembunuhan Harun Al Rasyid bocah 15 tahun pada aksi 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu. Demikian juga pembantaian 6 Syuhada di Km 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek tanggal 7 Desember 2020 dan tewasnya 135 penonton di Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022. Seluruhnya dilakukan secara brutal oleh aparat rezim Jokowi. Harun Al Rasyid bukan Harun Masiku yang disembunyikan atau hilang badan akan tetapi remaja yang hilang nyawa disiksa dan ditembak oleh aparat Brimob. Harun Al Rasyid adalah pendukung Prabowo yang kematiannya sama sekali tidak dipedulikan. Prabowo menikmati kekuasaan sebagai Menhan dan berjoget-joget di tengah kesedihan keluarga Harun. Enam pengawal HRS yang dibantai aparat juga bagian dari pendukung Prabowo. Ijtima Ulama diinisiasi oleh Habib Rizieq Shihab. Jangankan simpati atas pembantaian tersebut, sedikit komentar pun tidak ada. Sungguh Prabowo menjadi tidak beradab berada di bawah ketiak Jokowi yang dipuja-puji setinggi dewa-dewi. Kanjuruhan Malang saksi tragedi kebrutalan aparat Brimob yang menembakan gas air mata ke arah penonton. 135 orang tewas sia-sia. Kasus Kanjuruhan adalah pelanggaran HAM penggunaan aparat berlebihan dan tindakan tidak profesional menembakan gas air mata ke arah tribun penonton. Kebodohan itu menjadi sorotan dan kutukan dunia. Analisis Kompas TV menempatkan HAM menjadi persoalan yang mengemuka bahkan utama. Pelanggaran HAM lebih tertuju kepada Prabowo. Peristiwa 1998 selalu dipermasalahkan akibat tidak tuntas dalam penanganan. Kasus Harun Al Rasyid dan Km 50 juga menohok Prabowo yang melakukan sikap \"tidak peduli\" bahkan \"membiarkan\". Ketika Anies bersemangat mengangkat pelanggaran HAM lalu Ganjar merespons siap menuntaskan dan Prabowo menanggapi secara normatif dan konservatif, maka hal itu menjadi catatan ke depan tentang bagaimana cara menangani dosa politik rezim Jokowi. Harun, Km 50 dan Kanjuruhan merupakan palu godam yang siap meremukkan Jokowi, kroni dan penerusnya. Pabowo Gibran akan ikut remuk bila tidak keluar dari lingkaran. Agenda Pilpres saat ini ternyata bukan hanya berbicara soal penggantian tetapi juga gerakan untuk penghukuman dan pemenjaraan. Terlalu enak jika hanya turun dan diganti, sementara kerakusan, ketidakpedulian, kemunafikan serta kejahatan kemanusian dibiarkan dan dilupakan begitu saja. Harun, Km 50 dan Kanjuruhan adalah satu dari seribu kejahatan Jokowi dan rezimnya. (*)
Anis Matta Ajak Santri Terjun ke Politik agar Jadi Pemimpim Masa Depan
JAKARTA | FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengajak para santri untuk terjun ke politik. Sebab, para santri adalah pemimpin masa depan Indonesia, karena memiliki hati yang bersih dan dikenal sebagai orang yang saleh. \"Menurut saya, yang bersih ini harus kita bawa ke pasar-pasar lain, jangan cuma ada di masjid. Tapi juga di parlemen yang bisa menjadi medan tempur baru bagi para santri,\" kata Anis Matta saat melakukan Silaturrahim ke Pondok Pesantren Al Madani, Kecamatan Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah, Minggu (10/12/2023) malam. Anis Matta berpandangan, bahwa kebersihan hati para santri harus dibawa ke medan kehidupan lain seperti politik. Agar dapat memberikan pengaruh positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. \"Jadi saya berharap nanti ada santri yang jadi Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, bahkan juga Presiden,\" kata Anis Matta. Menurut Anis Matta, roda perputaran ekonomi Indonesia hendaknya juga harus dikuasai para santri agar memberikan kemaslaahatan bagi umat. Karena pada dasarnya, misi dari agama itu adalah pembebasan dan pemberdayaan. \"Para santri ini kita harapkan menjadi orang-orang yang paling kaya di Indonesia supaya apa, supaya uang itu mengalir di kalangan orang saleh,\" katanya. Ia menilai dengan banyaknya orang kaya dari kalangan santri, maka bisa membantu negara untuk memberantas kemiskinan dan memberdayakan orang miskin menjadi kaya. \"Dengan kebersihan hati para santri, maka semua kebijakan pemerintah yang dibuat menjadi undang-undang akan dibuat dengan hati yang bersih, karena DPR-nya diisi oleh para santri. Sehingga harta kekayaan negara dapat dikelola dengan baik,\" ujarnya. Karena itu, kehadiran para santri dalam kehidupan politik dan medan kehidupan lain sangat penting, apalagi penduduk Indonesia adalah mayoritas Islam. \"Kehadiran santri ini penting, supaya kita umat Islam ini, yang jumlahnya mayoritas di Indonesia menjadi bagian untuk mengatur negara,\" katanya. Anis Matta sendiri mengaku kalau dirinya juga seorang santri. ia pernah mondok di Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara, Makassar, Sulawesi Selatan yang kala itu di pimpin oleh gurunya yaitu KH. Abdul Djalil Tahir. Kemudian terjun ke politik, dan sekarang mendirikan partai baru yang diberi nama Partai Gelora Indonesia. \"Jadi saya harap adik-adik para santri dan santriwati, kita harapkan memenuhi semua pasar-pasar kehidupan, baik itu di politik maupun lain. Insya Allah adik-adik semua akan menjadi pemimpin masa depan. Ini harus menjadi cita-citra politik para santri, termasuk menjadi Presiden di negara kita,\" pungkasnya. (*)
Negara Ini Butuh Patriot bukan Anak Idiot
Oleh Sutoyo Abadi| Koordinator Kajian Merah Putih (Kami bukan pembangun kuil. Kami hanya pembawa batu. Kita adalah generasi yang harus binasa. Semoga tumbuh generasi lebih baik bangkit dari kubur kita ) - (Henriëtte Roland Holst). Puisi merefleksikan kiprah dan kesucian hati para ksatria yang telah mendahului kita. Para pejuang bertarung menyabung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati” -- sebuah semboyan yang kini terasa absurd, dengan lahirnya generasi yang kosong dari nilai nilai perjuangan para pendahulu kita. Mempertaruhkan nyawa untuk mencapai kemerdekaan, mereka berjuang menempuh bahaya yang sangat besar. Itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia, “agar tumbuh generasi dan pemimpin yang lebih sempurna....” Dugaan kuat Jokowi apalagi Gibran sangat mungkin tidak mengetahui, bahwa konstitusi menyebutkan negara ini berbentuk Republik. Para pejuang dulu dijuluki kaum “Republikein”. Sangat mengerikan akibat kosong nilai dan buta sejarah tingkah para pemimpin kita saat ini menjadi lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, hanya semata mempertahankan kekuasaan. Akibatnya kurang menyadari bahwa dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni \"respublica atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya\" Frasa “cinta tanah air” juga mengalami penyimpangan makna. Konsep “patriotisme”, padanannya, seperti terpinggirkan dari kosakata perpolitikan Indonesia, dan sebagai gantinya justru lebih mengemuka konsep “nasionalisme”. Kedua konsep memang sama-sama menggugah sentimen nasional, dan keduanya sama-sama dapat membangkitkan kekuatan dahsyat. Tetapi di balik kesamaan itu ada garis tebal yang memisahkannya. Musuh masing-masing juga berbeda : Musuh patriotisme adalah _\"segala jenis tirani, ketidakadilan, dan korupsi\"_. Sementara bagi \"nasionalisme” yang dimusuhi adalah \"pencemaran budaya, ketidak utuhan, serta segala sesuatu yang berbau asing\" Elan “cinta tanah air” dalam arti “patriotisme” itulah yang seharusnya selalu disenandungkan kaum muda berjiwa patriot, seperti pernah diperagakan oleh para pejuang kemerdekaan. Patriotisme menuntut khususnya anak muda menjadi calon pemimpin memiliki kepribadian, peduli dan memahami terhadap denyut kehidupan rakyat, anti ketidak adilan, penindasan dan penjajahan gaya baru. Bukan anak muda ingusan yang hanya bisa berjoget-joget model _\"gemoy\"_ yang menjijikkan seperti anak editor, terkesan liar dan tidak terdidik. Bukan anak bodoh yang akan dibesarkan menjadi boneka oligarki. Kerajaan Inggris yang dikenal begitu liberal ternyata masih mewarisi aspek tertentu dalam Republikanisme. Apa bunyi seruan itu?. “Your Country Needs You” --Negeri Membutuhkan Anda. Dan anak raja sebelum masuk sebagai bagian pemimpin negara terlebih dahulu di tempa wajib militer bahkan harus terjun di medan perang. Bukan langsung jadi kandidat Cawapres yang tidak terdidik tanpa rekam jejak sebagai pejuang atau patriot. Negara buruh patriot bukan anak ediot. ***
Anis Matta Blusukan ke Sidoarjo Temui Bumil, Sosialisasikan Program GEN 170
JAKARTA | FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta turun melakukan konsolidasi pemenangan di Jawa Timur (Jatim). Di sela-sela acara konsolidasi tersebut, Anis Matta menyempatkan diri menyapa para ibu hamil (bumi) di Desa Wedoro, Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jatim. Anis Matta juga menyempatkan diri blusukan ke wilayah Waru yang berada di perbatasan antara Kabuoaten Sidoarjo dengan Kota Surabaya untuk mensosialisasikan program GEN 170, memberikan edukasi dan bantuan makanan bergizi kepada ibu hamil alias bumil. Dalam blusukan itu, Anis Matta disambut antusias oleh para ibu hamil yang ada di kawasan Wedoro, demikian juga para kader penggerak Posyandu. Mereka mengapresiasi ada partai yang peduli pada ibu hamil. Anis Matta telihat didampingi Ketua Bidang Teritori III DPN Partai Gelora Ahmad Zainudin, Ketua DPW Partai Gelora Jawa Timur Muhammad Siroj (Gus Sirot dan Sekretaris DPW Misbakhul Munir (Gus Misbakh). Ketua Bidang Perempuan DPN Ratih Sanggarwati dan aktivisi perempuan Partai Gelora peduli Pendidikan Neno Warisman juga terlihat hadir menemani Anis Matta blusukan. Dalam kesempatan itu, Anis Matta menanyai satu persatu para bumil mengenai proses kehamilannya dan memberikan dukungan moril secara penuh kepada mereka. Anis Matta menyampaikan, jika Partai Gelora menang, maka para bumil akan dirawat negara, mendapatkan bantuan gizi, sehingga anak-anak tidak stunting, serta dapat membantu ekonomi keluarga. Ketika anak-anak sekolah para orang tua juga tidak perlu repot, karena anak-anak mereka mendapatkan berbagai bantuan pendidkan, termasuk susu dan makan siang gratis. Bahkan saat lulus sekolah lanjutan atas (SMA) pun, anak-anak juga akan mendapatkan jaminan kuliah gratis. Partai Gelora, kata Anis Matta, telah mencanangkan program GEN 170 pada 2021 lalu. Program ini untuk membentuk generasi masa depan yang sehat dan kuat dengan tinggi minimal 170 cm. \"Ini program Gelora yang dicanangkan mulai tahun 2021 di Tangerang, Banten. Jadi tidak ada hubungannya dengan polemik asam sulfat atau asam folat. Sejauh ini yang saya tahu asam lambung, banyak dialami Kader Gelora karena sering blusukan di dapil,\" kata Anis Matta, Sidoarjo, Sabtu (9/12/2023). Menurut Anis, untuk menciptakan generasi yang sehat dan kuat, harus dipersiapkan sejak dini, bukan direkayasa tapi direncanakan dengan baik mulai dari bayi dalam kandungan, pra kelahiran, masa usia sekolah, hingga menempuh pendidikan tinggi. Anis Matta berharap Gerakan \'GELORAKAN GEN 170’\'dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, melalui peningkatan postur fisik atau tinggi badan 170 cm, serta mencegah terjadinya stunting. Ia mengatakan, keberadaan Gelora memperkuat fungsi Posyandu yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Gerakan ini bentuk kepedulian Partai Gelora kepada ibu hamil dan bayi dalam kandungan yang merupakan generasi masa depan bangsa. \"Mudah-mudahan ibu-ibu hamil yang kami kunjungi ini bayinya ditakdirkan menjadi bayi kuat dan unggul, tinggi badannya minimal 170 cm,\" katanya. Anis Matta pun didaulat seorang ibu hamil untuk memberi nama calon anaknya. Orang nomor satu di Partai Gelora itu pun memberikan nama Khalid. \"Saya beri nama anak ini Khalid yang artinya abadi,\" pungkasnya. (Ida)
Gemoy yang Tak Sekadar Goyang: Prabowo (Sepertinya) Tengah Belajar dari Bongbong Marcos
Oleh Ady Amar - Kolumnis Tiba-tiba Goyang Gemoy dimunculkan. Tampil bak penyihir mampu melenakan nalar. Tidak sekadar goyang lucu keriangan. Ada kekuatan di baliknya menyasar kalangan tertentu, yang melihat politik cuma dengan sebelah mata. Goyang gemoy tidak sekadar goyang layaknya penari dangdut bergoyang. Goyang gemoy menyimpan kekuatan dahsyat, berharap melenakan kaum milineal dan Generasi Gen Z. Tidak semua memang asyik dengan keriangan sebagai sesuatu mengasyikkan. Bersamaan pula dengan itu dimunculkan narasi tak berdiri sendiri, bahwa Pilpres 2024 itu layak sebagai ajang pesta riang gembira. Dan, goyang gemoy jadi andalan dalam berhadapan dengan gagasan dan narasi calon pemimpin bangsa, yang coba diketepikan. Yang itu dikesankan tidaklah sebegitu penting dibanding keriangan goyang gemoy. Adalah Prabowo Subianto salah satu kandidat capres, yang diidentikkan dengan gemoy, yang bermakna menggemaskan. Maka, ia tampil kapan saja dengan goyang gemoynya, bahkan di sembarang tempat. Tak perduli di tempat tak biasa sekalipun, ia tak merasa risih memainkan peran yang tak seharusnya. Pada acara serius sekalipun, dan itu saat pengundian nomor urut pasangan calon (paslon), yang diselenggarakan KPU, Prabowo tak segan menunjukkan bakat barunya sebagai penghibur. Tak merasa jengah, meski jadi tertawaan, ia bergoyang gemoy di depan tokoh politik lainnya, setelah beri sambutan sekadarnya. Prabowo muncul sebagai sang penghibur yang menggelikan. Serasa biasa saja saat berganti peran dari yang biasa kita lihat: seorang yang acap dengan sikap temperamental menjadi gemoy. Semua dibuat mafhum, bahwa ia sedang berperan jadi-jadian, peran yang berharap dapat \"menyihir\" kalangan milenial dan Gen Z. Goyang gemoy jelas ingin menyasar kelompok itu, yang memang diperebutkan. Lebih dari 50% elektoral pemilih ada pada kelompok ini, yang melihat politik tidak sebagai hal prinsip. Padahal kebijakan politiklah, yang menentukan masa depan. Tidak bermaksud mengecilkan kelompok yang jadi rebutan ini, tapi zaman memang menciptakan generasi muda yang cuek pada hal yang semestinya lebih disikapi dengan serius. Karenanya, goyang gemoy bisa menyihir kelompok \"rentan\" ini, yang asyik dengan hiburan lucu keriangan. Menjadi pantas seorang Prabowo tak segan menjadikan diri \"gemoy\", meski kita sulit melihat sikap gemoy itu ada pada dirinya. Tapi satu hal memang, tak sembarang orang bisa memutar peran jadi sebalik perangainya, seperti peran yang diperankannya. Peran menantang yang sampai memutus urat malunya. Prabowo hanya melakukan peran yang disodorkan. Peran utama goyang gemoy. Siapa yang menyodorkan peran itu, atau siapa pengatur skenario dan sutradaranya, tentu tidaklah dirangkap Prabowo. Mengubah peran dari tidak mengasyikkan menjadi mengasyikkan, itu mengingatkan pada Ferdinand Marcos, Jr., atau akrab dipanggil Bongbong Marcos, Presiden Filipina saat ini. Generasi milenial dan Gen Z di Filipina memang tidak mengalami era kediktatoran Presiden Ferdinand Marcos, ayah Bongbong. Meski generasi ini melek iptek, tapi jauh dari pemahaman sejarah politik negerinya. Maka, sang diktator itu dipelintir mereka yang bekerja untuk Bongbong, seolah masa keemasan Filipina itu terjadi saat dijabat sang ayah. Padahal pada era itu pengadilan dinjak-injak, pun sektor bisnis, sampai mengontrol media massa. Rezim Marcos pun sampai saat ini tidak mampu mempertanggungjawabkan dana korupsi sebesar USD 10 miliar (Rp 114 triliun). Bongbong pun sebenarnya pernah dijatuhi hukuman sebagai pengemplang pajak (1995). Semua jejak kebusukan rezim ini dan keluarga dikaburkan. Milenial dan Gen Z dikenalkan dari yang sebaliknya. Bongbong yang semula punya perangai tak asyik, dibuat menjadi pribadi mengasyikkan. Itulah kerja konsultan politik, yang meski tak sampai meminta Bongbong untuk bergoyang gemoy seperti saat ini dipertunjukkan Prabowo. Bongbong diminta agar ia tak menghadiri forum perdebatan di muka publik. Agaknya itu kelemahan Bongbong, yang tak ingin ditampakkan. Adalah Brittany Kaiser, mantan karyawan perusahaan konsultan politik Inggris, membocorkan bahwa Bongbong mendatangi perusahaan itu untuk menyulap keluarganya menjadi berkebalikan. Artinya, merombak citra keluarganya. Meski bocoran Kaiser itu ditepis tim kampanyenya. Bongbong tahu persis, konsumsi media sosial di Filipina di atas rata-rata. Bermacam platform yang muncul tak mampu membendung disinformasi yang diciptakan, ini yang dimanfaatkan tim kampanyenya. Pendukung Bongbong tidak sekadar memanipulasi narasi. Mereka pun menernakkan akun-akun anonim, guna menyerang siapa saja yang coba mengungkap kebenaran. Ditambah pula kerja lembaga survei yang memposisikan Bongbong selalu di peringkat atas. Upaya menggiring opini keterpilihan. Persis fenomena yang muncul di negeri ini. Ditambah lagi, kekuatan Bongbong untuk memenangi kontestasi pilpres menjadi lebih perkasa, itu saat ia \"melamar\" Sara Duterte Carpio, perempuan berusia 43 tahun. Sara putri dari presiden petahana, Rodrigo Duterte. Karenanya, tanpa diminta pun sang ayah akan ikut _cawe-cawe_ memenangkan sang putri sebagai wakil presiden. Satu hal, Sara tidak perlu sampai meminta bantuan MK \"mengerek\" umurnya, seperti yang dilakukan Gibran Rakabuming Raka. Bongbong di Filipina--akhirnya menjadi presiden--dan Prabowo di Indonesia yang juga menggandeng Gibran, putra sulung Presiden Jokowi, sedang berupaya membangun citra mengasyikkan, khususnya di kalangan milenial dan Gen Z. Kelompok yang mesti dijauhkan dari informasi \"dosa\" masa lalu yang menempel, dan berusaha dihapusnya dengan manipulasi narasi, yang dibuat serba berkebalikan. Tidak persis tahu apakah Prabowo memakai jasa konsultan politik yang sama, sebagaimana yang pernah dipakai Bongbong untuk memenangkan pilpres di Filipina. Tidak ada yang tahu, atau setidaknya belum ada yang membocorkannya ke publik. Jika pun memakainya, itu tidaklah mengapa. Tidak ada aturan hukum yang ditabraknya. Maka, tidak masalah pula jika muncul analisa melihat fenomena Bongbong Marcos di Filipina, itu seperti melihat cermin, dan yang muncul wajah Prabowo Subianto. Ada kemiripan yang tak berdiri sendiri. Milineal dan Gen Z mesti disadarkan untuk bisa melihat fenomena yang muncul, yang tidak cukup cuma disikapi dengan keriangan. Itulah yang sepertinya sedang diupayakan kandidat lain saat mendekati kalangan itu, mengajak memilih dengan kritis dengan melihat gagasan dan rekam jejak kebaikan dari kandidat capres yang ada. Dan, memang itu yang mestinya jadi konsen untuk dipilih. Satu hal lagi, negeri ini sudah surplus penghibur, justru darurat munculnya pemimpin berintegtitas, yang akan membawa perubahan negeri ke arah lebih baik.**
Tuding Politik Dinasti Sri Sultan HB X, Ketum PKDN Rahman Sabon Nama : Ade Armando Punya Agenda Politik Terselubung, Culas dan Keji
Jakarta | FNN - Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN) Dr. Rahman Sabon Nama mengecam keras pernyataan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ade Armando yang memvonis pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau Keraton Yogyakarta Hadiningrat menerapkan dan melanggengkan politik dinasti. “Mengaku diri akademisi, tetapi dia, Ade Armando, tidak paham bahkan tidak samasekali mengerti ihwal seluk-beluk kepemerintahan DIY dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia, maupun kedudukan hukum Yogyakarta sebagai daerah istimewa,” kata Rahman, Jumat (8/12/2023). Rahman menyebut narasi Ade Armando dalam video yang diunggah melalui akun-Xnya, @adearmando61 pada Sabtu (2/12) pekan lalu mengenai Pemerintahan DIY lebih bermuatan politik provokatif murahan. “Apakah seperti itu, fatsun politik partainya Ade Armando?” tutur Alumnus Lemhanas RI ini geram. Dalam video itu, Ade Armando menarasikan bahwa politik dinasti sesungguhnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, lantaran gubernurnya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak dipilih melalui Pemilu, melainkan menjadi gubernur berdasarkan garis keturunan. Menurut Rahman, cicit buyut pahlawan Adipati Kapitan Lingga Ratu Loli, narasi Ade Armando itu merupakan kekerasan verbal penuh cibiran dan fitnah yang melukai tidak hanya Sultan Yogyakarta, tetapi juga para raja dan sultan seantero Nusantara. Rahman menandaskan, bahwa PDKN Psrpol Non Kontestan Pemilu 2024 yang mewadahi aspirasi politik dan demokrasi para raja dan sultan kesultanan di Nusantara Indonesia mengecam keras narasi lancang penuh kekerasan verbal dan tak berakhlak, yang diucap dan disebar-luaskan Ade Armando lewat media publik. Kata Rahman, Ade Armando yang kerap menyebut dirinya akademisi, telah mempertontonkan level intelektualitas-akademisnya yang sangat jauh di bawah standar. Sungguh sangat memalukan dirinya, juga membuat malu almamater akademikanya, ” imbuh pria asal Pulau Adonara NTT ini. Menurutnya, sebagai politisi PSI, narasi yang dibangun Ade Armando tentang pemerintahan DIY dengan menyebut secara telanjang nama Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur dinasti berdampak serius dan buruk terhadap PSI. Terlebih di tengah menghangatnya dinamika politik jelang Pemilu 2024. Akademikus cetek pikir dan politikus dadakan ini, kata Rahman Sabon melabeli Ade Armando, boleh jadi punya agenda terselubung membentangkan garis diametral antara kesultanan-kerajaan se-Nusantara dengan Negara Kesatuan RI. “Selain mencibir, dia seakan sengaja merasuk untuk membangkitkan semangat solidaritas para sultan-raja di Nusantara, agar menarik kembali mandat kekuasaan mereka yang telah diamanatkan lewat presiden pertama Soekarno dalam membentuk sebuah negara kesatuan yang berdaulat yaitu Republik Indonesia,” kata Rahman. Menurutnya, petinggi PSI itu, telah menempuh cara-cara politik fitnah yang keji dan culas. Karena itu, Rahman mendesak, agar Ade Armando yang pernah menarasikan “Tuhan bukan orang Arab”, harus diusut tuntas oleh penegak hukum. “Dia harus pertanggungjawabkan fitnah politiknya yang keji tentang pemerintahan DIY/Keraton Yogyakarta Hadiningrat dibawah kepemimpinan YM Sri Sultan Hamengku Buwono X dan YM Kanjeng Gusti Pengeran Adipati Aryo Paku Alam X.” Pungkas Rahman Sabon Nama.--***