ALL CATEGORY
Jejak Intervensi Pemberantasan Korupsi oleh Jokowi (Bagian 1): Niat dan Aksi Melumpuhkan KPK
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) 1. Kesaksian Agus Rahardjo, Ketua KPK 2015-2019, di KompasTV (30/11/23) mengguncang istana dan senayan. Agus Rahardjo memberi kesaksian, Jokowi minta kasus penyidikan korupsi e-KTP Setya Novanto dihentikan. Artinya, Jokowi telah melakukan intervensi terhadap KPK, dan berupaya menghalangi pemberantasan tindak pidana korupsi. Kemudian, DPR mulai menanggapi kemungkinan menggulirkan hak interpelasi. Yaitu hak DPR untuk menyelidiki apakah Jokowi benar melakukan intervensi kasus korupsi. 2. Sebelumnya, Jokowi memang sudah terbaca mempunyai niat (mens rea?) untuk melemahkan pemberantasan korupsi yang merupakan amanat reformasi, melalui ketetapan (TAP) MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (TAP Anti-KKN), yang kemudian melahirkan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 3. Kemudian, TAP MPR Anti-KKN tersebut diperkuat dengan TAP MPR No VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 4. Semua itu akhirnya melahirkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang diposisikan sebagai lembaga negara yang independen, yang mempunyai tugas khusus untuk melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme secara tegas terhadap siapapun, termasuk Presiden. Oleh karena itu, KPK tidak boleh berada di bawah, dan tidak tunduk pada, pengaruh kekuasaan Presiden. 5. Hal ini dituangkan di dalam Pasal 3 UU KPK, yang berbunyi: “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” 6. Di dalam Pandangan Umum UU KPK juga dijelaskan: “Penegakan hukum …. Konvensional …. terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan … pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, ...” 7. Dan dipertegas lagi: “Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang …. terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.” 8. Oleh karena itu, pemilihan pimpinan KPK dilaksanakan oleh Panitia Seleksi yang independen, di mana hasil seleksinya kemudian diberikan kepada presiden. Setelah itu, Presiden akan memilih dan menyerahkan 10 nama calon pimpinan KPK (2 kali jumlah pimpinan KPK) kepada DPR. Dari 10 nama calon pimpinan KPK tersebut, DPR akan memilih dan menetapkan 5 pimpinan KPK. 9. Proses rekrutmen pimpinan KPK seperti itu menunjukkan KPK sebuah lembaga negara independen, di mana keanggotaan pimpinannya tidak diangkat oleh Presiden, dan tidak tunduk di bawah kekuasaan manapun, termasuk Presiden. 10. KPK sebagai lembaga independen nampaknya membuat Jokowi kurang nyaman. Jokowi terlihat jelas ingin menguasai KPK, dan membuat KPK berada di bawah kekuasaan Presiden. 11. Langkah “kecil” pertama yang dilakukan Jokowi adalah menerbitkan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) pada 18 Februari 2015, yaitu hanya 4 bulan setelah dilantik sebagai Presiden. Isi PERPPU pada dasarnya memberi wewenang kepada Presiden untuk mengangkat pimpinan KPK ketika terjadi kekosongan jabatan pimpinan KPK. 12. “Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyebabkan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berjumlah kurang dari 3 (tiga) orang, Presiden mengangkat anggota sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sejumlah jabatan yang kosong.” 13. Artinya, tata cara pengangkatan pimpinan KPK yang diatur di dalam PERPPU, dilakukan tanpa proses panitia seleksi, tanpa persetujuan DPR, dan tanpa partisipasi masyarakat, jelas melanggar UU KPK, dan melanggar prinsip KPK sebagai lembaga independen yang tidak tunduk terhadap kekuasaan manapun, seperti dimaksud TAP MPR, UU Tipikor, dan UU KPK. 14. Kalau benar sampai terjadi kekosongan jabatan paling sedikit 3 pimpinan KPK, maka Jokowi bisa mengangkat orangnya, dan menguasai mayoritas pimpinan KPK yang terdiri dari 5 orang, sehingga membuat KPK praktis di bawah atau tunduk pada kekuasaan Presiden, secara personalia. 15. Tetapi, upaya awal untuk menguasai KPK tersebut, hanya 4 bulan setelah dilantik, tidak berjalan lancar. Karena sampai 2019 tidak pernah ada kekosongan jabatan pimpinan KPK. 16. Tidak lama kemudian terjadi insiden Agus Rahardjo, yang pada dasarnya membongkar motif atau niat Jokowi untuk menguasai KPK yang sesungguhnya. Sepertinya untuk melindungi dan menghalangi pemberantasan korupsi? Dua peristiwa tersebut di atas, yaitu insiden Agus Rahardjo dan PERPPU KPK tentang pengisian kekosongan jabatan pimpinan KPK, menunjukkan bahwa niat untuk intervensi KPK dan menghalangi pemberantasan korupsi sudah dibuktikan dengan tindakan nyata (actus reus?). Bersambung …. KPK Dalam Cengkeraman Presiden. —- 000 —-
Asam Sulfat, Gemoy, dan Gaspol Kebodohan
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BAHASA gaul gemoy sebagai pelesetan dari gemas kini ditempelkan pada pasangan Capres/Cawapres Prabowo-Gibran. Awalnya adalah teriakan kader PSI saat mendukung Prabowo sebagai Capres. Menurut KBBI gemas itu mengandung sedikit jengkel. Dalam bahasa gaul gemoy itu ada nilai lucu. Tetapi tidak lucu ucapan Gibran dalam sebuah pertemuan di Jakarta Selatan bervideo viral. Ibu hamil perlu dicek apakah kekurangan asam sulfat dan yodium atau tidak. Itu untuk mencegah stunting. Ramailah dunia medsos atas hubungan asam sulfat dengan ibu hamil itu. Apakah ucapan Gibran itu \"slip of tongue\" ? Tampaknya bukan \"slip\", sebab soal \'cewek-cewek\' cek anemia dan ibu hamil cek yodium dapat difahami. Namun soal asam sulfat itu soal salah pengetahuan. Mungkin Gibran menyamakan asam sulfat dengan sayur asam. Satu hari kemudian Gibran meminta maaf dan mengoreksi bahwa asam sulfat itu asam folat. Asam sulfat yang berumus kimia H2SO4 adalah zat anorganik kuat bersifat korosif yang digunakan untuk industri. Zat kimia ini merupakan bahan deterjen, pewarna, pembuatan pupuk dan bahan peledak. Bukan untuk ibu hamil. Bila diberikan kepada ibu hamil mungkin meledak. Gibran tentu bukan sedang meledek. Hanya kekurangfahaman saja. Tapi publik dapat menilai kualitas Calon Wakil Presiden hasil \"rekayasa genetika\" MK ini. Memang ia belum pantas. Kata orang Sunda mah \"henteu kaelmuan\", \"henteu kaawakan\" dan \"henteu kabengeutan\". Gibran bertambah gelar dengan \"asam sulfat\" akibat sibuk kampanye stunting. Bagi-bagi susu bukan tugas Cawapres. Tugaskan saja dinas kesehatan setempat. Tapi namanya kampanye ya itulah segala bisa diada adakan. Akibatnya asam sulfat menjadi untuk ibu hamil. Tapi karena tidak ada masalah yang dianggap serius meskipun salah ya gemoy gemoy saja. Tempo edisi terbaru cukup menarik untuk tema Gemoy-Gemoy Gapol. Ada figur seperti Prabowo dan Gibran yang digambarkan gemuk pendek dan kurus tinggi. Mungkin untuk sekedar lucu-lucuan. Maklum kampanye Prabowo dan Gibran ada juga gimmick seperti anak-anak kecil. Gimmick itu tampilan atau adegan tiruan yang berefek kejutan. Bisa juga tipuan. Menurut KBBI gimik atau gimmick adalah gerak gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran. Kampanye Prabowo Gibran ternyata sarat dengan gimmick. Pantas saja jika Tempo membuat gambar gemuk pendek dan kurus tinggi untuk Gemoy-Gemoy Gaspol. Gibran memang menggemaskan dan menjengkelkan. Gibran \"asam sulfat\" memang gemoy. Gemoy asoy geboy. Pertanyaan serius adalah apakah kampanye gimmick itu membodohi atau mencerdaskan? Pastinya membodohi. Tapi bagi orang bodoh sih ya masa bodoh. Maklum rezim Jokowi adalah rezim gemoy dan gaspol kebodohan. (*)
Menakar Kesaktian Cawe-cawe Presiden
Oleh Dr. Anton Permana, SIP.,MH (Direktur Tanhanna Dharma Mangrva (TDM) Institute) Polarisasi tiga pasangan kandidat Pilpres hari sesungguhnya cukup surprise bagi banyak pihak. Yang sebelumnya teman jadi lawan, yang dulunya lawan menjadi teman. Artinya, pepatah tua tentang politik di Indonesia itu memang benar yaitu, “Tidak ada kawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanya kepentingan”. Di pihak istana contohnya, yang merasa direndahkan dan sering dipermalukan di hadapan publik sebagai petugas partai politik, malah saat ini seakan memperlihatkan kepada kita semua bahwa dirinya adalah seorang king maker yang full power serta menakutkan bagi semua orang. Sedangkan di suatu sisi, kelompok merah menganggap pihak istana adalah anak durhaka, penghianat, karena lebih mengutamakan ambisi keluarga dan kelompok “elit minority”nya dari pada partai politik yang membesarkannya. Makanya, dua kelompok ini saling melakukan manuver dan “gigit menggigit” sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Pihak istana menggunakan infrastruktur kekuasaannya melalui aparat hukum dan intelligent menekan dan mempreteli kekuatan merah. Namun yang merah juga tak kalah sangar, perlahan dan pasti mulai “menguliti” topeng-topeng dan perilaku kelompok istana dalam upaya mendegradasi moral dan legitimasi sosial politik penguasa hari ini di mata rakyat. Namanya penguasa, tentu dengan kekuasaan “cawe-cawe”nya, mempunyai dampak penetrasi yang luar biasa. Walau ternyata tidak juga cawe-cawe tersebut berhasil semuanya. Sebagai contoh, upaya perpanjangan presiden, kontrol opini media, dan soliditas aparatur negara juga tidak 100 persen bisa dikendalikan. Memang untuk hasil putusan MK, aturan PKPU, dan isu pelibatan aparat keamanan dan intelligent dalam mobilisasi dan exsisting “kecurangan” sudah merebak menyebar cukup berhasil membuat “keder nyali” para tokoh dan politisi. Sehingga, banyak yang anggap Pilpres sebenarnya sudah selesai dan pemenangnya adalah pasangan nomor 02. Namun sebaliknya, dengan banyak nya terjadi blunder politik yang dilakukan pihak istana sendiri, termasuk begitu masivenya upaya penguliti “borok-borok” istana di sosial media cukup memberikan efek kejut (deterrent effect) meruntuhkan wibawa penguasa. Pengakuan mantan ketua KPK, serta keterlibatan ibu negara dalam cawe-cawe suaminya dalam mengantarkan sang anak menjadi Cawapres, cukup berhasil menjadi gempa tsunami politik bagi pihak istana. Ditambah lagi, dalam beberapa dialog langsung dan terbuka dengan masyarakat, masing pasangan nomor 2 ini juga melakukan blunder memalukan. Baik ketika dialog dengan Kiyai kampung masalah stunting, maupun ketika keseleo “asam sulfat” bagi ibu hamil. Jadi kesimpulan yang bisa kita ambil dalam seberapa besar pengaruh kekuasaan cawe-cawe Presiden ini dalam mengontrol dan mengendalikan hasil Pilpres 2024 nanti adalah sebagai berikut 1. Ternyata tidak semua cawe-cawe Presiden itu ampuh dan berhasil sesuai keinginannya. Dengan catatan, pihak di luar istana mesti punya “nyali” dan effort yang kuat untuk melawannya. Ibarat tanding tinju, istana memang jago dalam memukul lawan, tetapi ternyata istana “sangat lemah” dalam bertahan ketika ada pukulan balasan yang dilakukan. Seperti contoh ; Istana hanya jago karena punya kekuasaan memerintahkan aparat keamanan untuk melakukan manuver dan penetrasi hukum kepada para lawan politiknya. Tetapi ketika ada serangan balik dari lawan politiknya seperti putusan MKMK yang mencopot ketua MK, serta tsunami opini politik membongkar dapur istana, ternyata pihak istana “keok” juga. 2. Saat ini, kekuatan cawe-cawe Presiden memang ada pada “otoritas kewenangannya” dalam memanfaatkan pisau kekuasaan melalui aparat hukum dan inteligent. Ditambah infrastruktur ASN, kementrian dan BUMN. Namun, kekuasaan ini akan bisa terus memudar dan menipis. Karena lambat laun, para pihak aparatur ini tentu juga akan sadar dan melihat secara objective, bahwa massa kekuasaan istana saat ini ibarat “sunset” (matahari yang akan tenggelam). Hati nurani mereka juga pasti tak bisa bohong. Bahwa, cawe/cawe Presiden saat ini telah merusak dan meluluhlantakkan bangunan indah demokrasi bangsa ini. Konstitusi dikangkangi, tak ada lagi etika moral dan hukum dalam penyelengaraannya. Negara republik sudah bergeser menuju negara dinasti. Artinya, kekuasaan cawe-cawe Presiden kalau kita semua objective adalah kekuasaan semu, ibarat kekuatan sihir yang lucunya, kekuatan tersebut adalah atas mandat dari rakyat itu sendiri. Seharusnya, sangat mudah mandat kekuasaan itu diambil kembali oleh rakyat. Kalau para politisinya di partai politik itu punya nyali dan “otak”. Tapi sayangnya hampir semua elit parpol sudah kalah mental duluan terhadap istana. Ibarat kerbau dicucuk hidungnya oleh si gembala. Padahal sekali kibas, si kerbau itu bisa membuat si gembala terpelanting dengan mudah. 3. Kekuatan utama cawe-cawe Presiden tentu juga ada pada logistik uang. Karena menguasai sumber/ resource dan juga bisa memanfaatkan anggaran pemerintah seenaknya. Apakah melalui BLT dan bantuan Sembako atas nama Presiden. Sedangkan di sisi lain, sesuai pengakuan salah satu Paslon Anies Baswedan, selalu ada penjegalan dan intimidasi terhadap para pengusaha yang ingin berikan donasi. Kesimpulannya adalah. Dari tiga analisis kesaktian cawe-cawe Presiden tersebut hanya bisa dilawan kalau rakyat dan para komponen kekuatan civil society bersatu. Baik itu partai politik, ormas, tokoh agama-adat-nasional. Termasuk para mahasiswa dan akademisi. Wabil khusus para apartur negara dan TNI/POLRI. Bagaimana mempunyai kesadaran kolektif, integritas moral dan nyali keberanian untuk bersama melawan segala bentuk cawe-cawe Presiden saat ini dalam upaya membangun ambisi politik dinasti keluarganya. Jangan korbankan harga diri, dan kehormatan institusi hanya demi “menjilat” pada pengusa yang toh sebentar lagi akan habis masa jabatannya. Terlalu beresiko apabila kalian kalah dan di-roasting masyarakat. Apagunanya lagi pangkat jabatan, kalau akibat prilaku kejahatan berdemokrasi kalian di Pilpres mendapat sanksi sosial dan hukuman sosial dari rakyat. Karena, tidak selamanya kalian menjabat. Suatu saat pasti akan pensiun juga dan kembali kepada rakyat menjadi rakyat biasa. Dan yang paling substansial lagi adalah : Sebagai manusia beriman dan beragama, bagaimana pertanggungjawaban kita nanti di akhirat apabila berkhianat pada rakyat dan melanggar sumpah jabatan ?? Jabatan dunia ini hanya sementara, sedangkan akhirat itu kekal dan nyata. Dimana prilaku, kebaikan, dosa dan pahala kita sendiri yang akan menjadi hakim di akhirat kelak. Wallahu’alam.
Buat Gibran Apa pun Bisa-Boleh, Ini Sekelumit Kisahnya (Saat Ambisi Dibalut Kemarahan)
Gibran lelaki yang berpenampilan lugu itu \"dipaksa\" menantang ketakberdayaan diri sendiri, sebelum menantang cemoohan keras publik yang tak menghendaki munculnya politik dinasti. Oleh: Ady Amar | Kolumnis Tidak tahu persis apakah sejak lahir Gibran Rakabuming Raka itu bermasalah. Sepertinya tidak. Saat lahir dipastikan ia tidak bermasalah. Normal layaknya bayi lainnya. Mulai bermasalah, itu saat upaya \"paksa\" menjadikannya Wali Kota Solo. Itu awal pangkal masalahnya. Gibran dipersiapkan (seakan) \"pangeran\", yang pada saatnya akan menggantikan sang bapak. Dipoles dengan mulai berkarir sebagai Wali Kota Solo. Itu jalan yang dilakoni sang bapak, bahkan sampai 2 periode. Takdir lalu membawa sang bapak menjadi Gubernur DKI Jakarta, cukup dijalani 2,5 tahunan. Lalu, melompat bak bajing jadi presiden, itu pun sampai 2 periode. Berharap bisa lebih lama lagi, seperti Soekarno dan Soeharto, tapi konstitusi membatasi. Skenario semula untuk Gibran dibuat ikut rute sang bapak, menjadi gubernur dan lanjut presiden. Tapi agaknya skenario itu perlu dikoreksi dengan secepatnya. Jalan cerita dibuat berubah, tapi tetap dengan lakon yang sama. Gibran tidak perlu mengikuti jejak sang bapak berlama-lama sebagai Wali Kota Solo, apalagi sampai 2 periode. Tidak perlu juga mesti \"magang\" jadi Gubernur DKI. Kesuwen kalau mesti pakai langgam sang bapak. Bahkan tidak perlu ia nuntaskan sebagai Wali Kota. Gibran diminta lompat lebih tinggi lagi. Langsung dipersiapkan ikut kontestasi jadi cawapres. Jika berhasil, ia akan jadi wakil presiden. Inilah pangkal masalah berikutnya. Ini pula yang menjadikan Gibran jadi cemoohan khalayak luas. Tentu ada pula yang masih membelanya, yaitu mereka yang selama ini setia \"bekerja\" untuk sang bapak. Gibran seperti korban ambisi dari entah siapa--sebut saja dengan \"mereka\"-- yang ingin menjadikannya seperti sang bapak. Gibran lelaki yang berpenampilan lugu itu \"dipaksa\" menantang ketakberdayaan diri sendiri, sebelum menantang cemoohan keras publik yang tak menghendaki munculnya politik dinasti. Nalar tak mampu membayangkan betapa kesulitan yang dialaminya, saat ia mesti memerankan peran sulit yang tak ia kuasai, dan itu mustahil bisa dipelajari dengan cara instan. Analisa dan spekulasi, bahkan \"bocor alus\" pun memberitakan dengan dramatik. Publik pun punya suguhan berbagai versi mengapa ini bisa dan mesti terjadi. Dimunculkan aktor di seputar Gibran lewat penelusuran jurnalisme investigative, siapa di balik keinginan menjadikan Gibran yang tak cukup umur itu dibuat tak lagi jadi persoalan. Semua perangkat keras \"penghalang\" sudah dilunakkan dengan dicarikan dalil pembenar. Pokoknya semua bisa diatur, setelah semua piranti penghalang dilunakkan--legislatif dan yudikatif--dibuat tak berdaya, tanpa bisa berbuat dan mengoreksi selayaknya. Rakyat pun cuma dibuat terngaga bengong antara yang memilih biasa-biasa saja bahkan ada pula yang membela seakan menerabas aturan hukum itu tak masalah, dan publik yang marah itu cuma mampu berteriak sekadarnya tanda protes. Maka, jalan cerita dimunculkan sampai menyenggol nama Iriana, yang tidak lain adalah ibu dari Gibran. Ada juga yang menyebutnya dengan Ibu Suri. Konon, Iriana merasa jengah dengan perlakuan Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDIP, yang menyebut Jokowi dengan sebutan \"petugas partai\". Jangan tanya mengapa baru sekarang \"pemberontakan\" Iriana atas gelar yang disandangkan pada sang suami, yang tidak mengenakkannya itu muncul belakangan saat sang suami mesti turun tahta. Tak ada yang mampu mengukur, lebih tepatnya \"kemarahan\" Iriana, itu seberapa dalamnya. Bisa jadi itu disimpannya dari tahun ke tahun. Dari saat sang suami mengenyam dari satu jabatan ke jabatan lain di pemerintahan, sampai jabatan tertinggi menjadi presiden 2 periode. Dan, lalu meledak saat waktunya dianggap tepat. Iriana melawan dengan menjadikan Gibran sebagai \"tameng\" perlawanan, meski orang lain bisa melihatnya sebagai \"korban\" guna melampiaskan kemarahan yang tertunda. Jalan cerita seolah dibuat simpel, itu merangsang publik menganalisanya lebih dalam lagi. Tidak berhenti di situ, meski drama pertunjukan ingin cepat diakhiri dengan sekadar kemarahan. Tapi lebih pada ambisi yang diselimuti kemarahan, itu sebenarnya kisah yang muncul di benak publik. Ambisi mengerek sang anak tinggi-tinggi, itu justru lebih argumentatif rasional dibanding menonjolkan sisi \"kemarahan\" yang tertunda. Jika benar itu \"ambisi\" Iriana semata, maka bisa dipastikan karenanya seorang Jokowi bisa melenggang mencapai karir politiknya, meski dengan kemampuan seadanya, ada tangan Iriana berperan besar di sana. Meski tetap saja muncul julukan Pak Lurah, umpatan \"protes\" publik saat tidak mendapatkan rasa selayaknya presiden pada diri Jokowi. Soal-soal beginian, bahkan julukan yang lebih tak mengenakkan lagi yang disematkan pada sang suami, Iriana tak perlu sampai mesti melampiaskan kemarahannya. Baginya, publik bukanlah Megawati yang bisa jadi argumen guna menutup ambisi yang dibungkus dengan kemarahan. Gibran sudah diputuskan maju sebagai cawapres dari Prabowo Subianto. Semua penghalang yang ada sudah diselesaikan satu per satu. Soal persyaratan umur yang belum akil baligh menjadi capres/cawapres sudah diputus MK dengan redaksinya diubah sedikit, dan Gibran pun lolos. Sampai menuju Pilpres, 14 Februari 2024, akan banyak peraturan KPU yang disesuaikan dengan kenyamanan Gibran dalam berkontestasi. Terbaru, KPU meniadakan debat antarcawapres, seperti sebelum-sebelumnya. Debat 5 kali, dan semuanya diikuti oleh paslon capres-cawapres. Padahal publik perlu tahu kapasitas cawapres masing-masing paslon dalam menjawab persoalan yang diajukan panelis. Dengan dihilangkannya debat cawapres, itu sama dengan merampas hak publik untuk mengetahui kemampuan cawapres dalam menjawab dengan argumentasi terukur. Karena Gibran semua aturan dan bahkan peraturan bisa diubah semaunya, dan publik dibuat terus terngaga tanpa bisa berbuat apa-apa. Sepertinya semua kekuatan untuk pemenangan Gibran akan dikerahkan, aromanya sudah tercium. Mendekati pilpres bisa jadi aroma itu akan semakin menyengat. Dan, itu yang dikhawatirkan, hasil kontestasi pilpres akan tidak berkualitas.**
Pasangan Rongsokan dan Karbitan
Oleh Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI CAPRESNYA ibarat barang rongsokan, cawapresnya bagaikan barang karbitan. Sebuah pasangan yang struktur identitasnya dibangun dari ornamen murni KKN dan ketiadaan kemaluan. Sialnya NKRI, selalu dipimpin oleh orang-orang yang menjauhkan rakyat dari cita-cita kemerdekaan. Terlebih selama satu dekade ini, dimana konstitusi dan demokrasi dibajak hanya untuk merubah penjahat menjadi pejabat. Tampil seolah-olah terhormat dan bermartabat, namun sesungguhnya bermental dan berperilaku bejad. Kapitalisme dan transaksional yang menghidupi politik, nyata-nyata berhasil mematikan nurani dan akal sehat. Nilai-nilai tergusur oleh syahwat kekuasaan. Elit dan sebagian besar rakyat lebih memilih mengejar harta dan jabatan ketimbang keberadaban. Serba permisif, terus membiarkan yang menyimpang menjadi kesepakatan dan pasrah mengabaikan aturan. Negara sebesar Indonesia menjadi miris dan ironis, saat dikelola pemimpin berjiwa kerdil. Kekayaan alam yang berlimpah, dirampok pengelola negara yang korup, sebagian lainnya dihibahkan kepada negara dan bangsa asing melalui Undang-Undang yang direkayasa, juga tak luput atas nama investasi dan utang. Rakyat semakin dieksploitasi, diperas dan direndahkan kemanusiaannya. Menjaga kesinambungan kekuasaan yang distortuf dan destruktif, rezim berusaha menjadi diktator berbalut demokratis. Tak peduli KKN yang begitu masif dan masa bodoh dengan kesengsaraan rakyat di sana-sini. Pemerintahan terburuk dan dzolim sepanjang republik berdiri, merekayasa konstitusi dengan tangan besi. Pemilu dan pilpres menjadi pintu masuk menuju kekuasaan politik dinasti dan hegemoni oligarki. Dari negara demokrasi menuju monarki, dari religi menuju liberalisasi dan sekulerisasi. Apapun istilahnya, faktanya negeri ini dikuasai rezim dinasti dan oligarki. Politik, hukum, ekonomi dan semua aspek-aspek kehidupan yang menguasai hajat hidup orang banyak, kini ditangani pemilik modal dan aparat. Memperkaya segelintir orang dan kelompok sembari memiskinkan rakyat, menjadi watak pemerintahan yang mengedepankan pola-pola intimidasi, teror dan represif. Pilpres 2024 yang harusnya menjadi momentum sekaligus tonggak sejarah kebangkitan bangsa dari gejala kehancuran, tetap tak luput dari anasir rezim hipokrit dan sakit. Seolah-olah menjaga kesinambungan pembangunan, sesungguhnya memelihara kekuasaan yang berkepanjangan. Tiada kewarasan, tanpa kehormatan bahkan dengan cara-cara penuh kebiadaban, pilpres 2024 dibangun dengan konstruksi kecurangan. KPU dan MK telah menjadi alat taktis dan strategis kepentingan rezim kekuasaan yang bulus dan picik. Sebagian partai politik, birokrat dan politisi, menjadi ternak-ternak oligarki. Institusi-institusi negara dan orang-orang pilihan yang dirancang menjadi mulia, pada akhirnya hanya menjadi tempat dan kumpulan manusia haram jadah. Pilpres 2024 yang diharapkan menjadi proses berlangsungnya kedaulatan rakyat yang prosedural dan konstitusional, kini dibayangi setan dan monster berwujud aparatur penyelenggara negara. Kontestasi pilpres 2024 yang idealnya menampilkan figur-figur pemimpin bersih dan tanpa cacat moral, serta merta diikuti oleh capres-cawapres yang tidak memiliki kelayakan baik dari segi kapasitas maupun integritas. Hanya ada satu pasangan yang memiliki rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi yang mengusung perubahan. Lainnya dipastikan bermasalah dan sangat tidak memiliki kepantasan, terlibat KKN dan kejahatan HAM. Pasangan capres dan cawapres lain yang bermasalah itu, melenggang tanpa rasa malu, muka tembok dan menjadi simbol kebobrokan penyelenggaraan negara. Lebih menghina dan merendahkan lagi terutama kepada para pendiri bangsa dan semangat cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia serta konstitusi. Ada capres dan cawapres yang tidak mengundurkan diri dari jabatan pemerintahan yang didudukinya. Namun jauh lebih menghina dan merendahkan lagi, ketika ada capres-cawapres yang seluruh citra dan faktanya, bagian dari kebusukan rezim yang gagal meski berusaha setengah mati dan setengah gila, dengan memaksakan KKN, serampangan dan membabi buta. Salah satu capres-cawapres warisan rezim KKN yang mulus merekayasa konstitusi dan moral bernegara, adalah pasangan rongsokan dan karbitan. Rongsokan karena ambisi dan haus kekuasaan meski berulang-ulang mengikuti kontestasi capres namun tidak pernah mendapatkan mandat rakyat. Rakyat mungkin dudah tahu belangnya, dari yang mengaku-ngaku macan Asia itu. Mungkin juga rakyat tidak pernah percaya, semacam sudah skeptis dan apriori begitu terhadap capres permanen yang identik dengan kejahatan HAM dan terkenal sebagai penjilat ulung itu. Pasangan cawapresnya, tidak lebih sebagai “anak mami”, kasihan dia karena terlalu dipaksakan dan menjadi korban ambisi sekaligus syahwat kekuasaan bapak ibunya. Kasihan cawapres yang masih bau kencur politik, betapa berat beban hidupnya karena kedzoliman orang tuanya, sampai-sampai salah menyebut asam folat menjadi asam sulfat. Ya begitu memprihatinkan seraya tertawa geli, ada pasangan rongsokan dan karbitan bisa mengikuti kontestasi capres-cawapres dalam pilpres 2024. Tapi dengan bangga dan tanpa dosa, capres-cawapres ibarat pasangan kakek dan cucu ini, mengampanyekan kebaikan untuk rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Seperti maling teriak maling, bagaikan berkaca pada cermin retak, begitulah adanya kontestasi pilpres 2024 menyembul pasangan rongsokan dan karbitan. Astagfirullahaladzim, ingat umur tak selamanya permanen, jangan turuti kemauan duniawi. Berani malu, berani asusila dan berani amoral terkadang diperlukan untuk tampil di negara yang sakit yang sebagian juga karena ulahnya. (*)
Jokowi Makin Sadis, Rakyat Makin Bengis
Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih \"Apa yang di gambarkan Toffler, koalisi rezim dan para bandit politik/kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya hanya akan bisa diatasi dengan cara bengis persis pola pemerintahan gaya komunis\" Toffler tokoh media global, menyimpulkan, bahwa yang berlangsung saat ini “bukanlah kekuasan media semata, melainkan perpaduan kekuasaan media yang akan membidik wajah ke kekuasaan yang sedang terjadi. Wajah kekuasaan Jokowi yang semakin sadis tidak lagi akan bisa disembunyikan dengan cara atau rekayasa apapun. Rakyat akan melihat, merekam, dan akan bertindak sebagai respon pantulan atas sikap, tindakan, ucapan dan tindakannya. Jokowi praktis sudah terkepung media di diahir masa jabatannya terus memburuk, semua terpantau konsekuensi dari media yang sudah dengan jelas terbuka tanpa atap lagi. Eskalasi politik untuk memakzulkan Jokowi makin nyata. Wajar rezim blingsatan harus mencari cara lain untuk mengamankan kekuasaan dengan cara akan menutup perlawanan dari masyarakat. Mereka, para bandit politik dan kapitalis sebenarnya mengetahui rekayasanya akan sia-sia tetapi tampaknya sudah menemui jalan buntu selain harus tetap melakukan rekayasa politik tolol dan sontoloyo. Siapa sebenarnya yang berkuasa di Indonesia saat ini. “Apakah Presiden Jokowi berkuasa?. Tidak. Semua kekuasaan berada diluar kuasa dan kendalinya. Sinyal politik Jokowi sebagai boneka kekuasaan Oligargi sudah pada garis finis. Dalam suasana panik dan terdesak Jokowi memaksakan diri memunculkan Gibran maju Pilpres sebagai Cawapres dengan proses yang sungsang justru akan membuat Jokowi semakin terdesak dan berbahaya. Kekuasaan yang akan tampil memaksakan wajah semakin sadis, bengis, represif dan otoriter. Apa yang di gambarkan Toffler, koalisi rezim dengan para bandit politik/kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya hanya akan bisa diatasi oleh perlawanan rakyat dengan cara lebih bengis . Keadaan ini akan memunculkan dua kemungkinan. Rakyat menjadi lemah dan terpuruk sehingga menerima nasibnya karena tidak lagi mampu melawan kekuasaan yang sadis. Kemungkinan lainnya, justru akan mempercepat lahirnya perlawanan rakyat dalam bentuk People Power yang menemukan momentumnya. Kalau alternatif kedua yang muncul Jokowi akan jatuh berantakan. Halusinasi akan memenangkan Gibran dengan cara curang atau coba coba masih bisa mencuri atau memanipulasi suara untuk kemenangannya pasti akan sia sia. Perlawanan rakyat akan sangat keras dan bengis untuk rezim yang semakin sadis dan membabi buta.***
Apa yang Diharapkan dari Pemilu yang Cacat Moral?
Jakarta | FNN - Analis politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun merasa pesimistis Pemilu 2024 akan menghasilkan produk demokrasi yang berkualitas. Pasalnya seluruh penyelenggara Pemilu cacat moral. \"Ketua KPU cacat moral, ini kata DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Di dalam Pemilu ada wasit yaitu MK (Mahkamah Konstitusi). Sejak awal wasitnya sudah cacat moral, dengan adanya putusan no 90 MK. Lalu yang bertanggung jawab atas Pemilu juga cacat yaitu sejak awal presiden sudah mengatakan cawe-cawe,\" kata Ubedilah dalam diskusi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (Alamaide) berjudul \"Korupsi dan Politik Dinasti Jokowi\" Kamis (07 Desember 2023) di Jakarta. Dengan kondisi seperti itu kata Ubed, tidak akan mungkin Pemilu menghasilkan pemimpin yang ideal, karena diperoleh dengan cara demokrasi yang kotor dan busuk. \"Ibarat sakit terlalu berat, harusnya diamputasi. Sementara DPR cuek dan tutup mata. Satu- satunya harapan mahasiswa harus melawan. Jika ada 10 ribu mahasiswa tidur di Senayan, paling lama 1 minggu, maka perubahan akan terjadi,\" paparnya. Diskusi dipandu oleh wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan menghadirkan narasumber antara lain Ubedilah Badrun Analis Politik UNJ, Melki Sasek Hunang (Ketua BEM UI 2023), Gielbran Muhammad (Ketua BEM UGM 2023), Reno Suwono (KM ITB), Abdillah Faqih (Koordinator Alamaide Bandung), Andito Galih Pratisto (Ketua Umum DPN KM UGJ Cirebon). Ubed menegaskan saat ini indeks demokrasi di bawah 70% , kebebasan civil society masih merah, indeks HAM juga rendah, pertumbuhan ekonomi stagnan. \"Jadi kemajuan reformasi sejak 25 tahun, tidak ada yang signifikan. Kemudian kita diwarisi utang lebih dari Rp8000 Triliun, dimana kita harus bayar bunga utang dan cicilan utang,\" tegasnya. Apa yang dihadirkan rezim saat ini adalah problem-problem yang sangat serius. Oleh karena itu perlu adanya gerakan mahasiswa. Mahasiswa akan bergerak ketika ada kesadaran kolektif yang sama tentang tantangan yang dihadapi. Ubed melihat mahasiswa generasi Z saat ini ada tantangan yang sama yakni korupsi yang terus merajalela. Ubed pernah gelisah ketika tahun 2016 2017 tidak ada riak-riak perlawanan hingga ia menulis buku \"Menjadi Aktivis Kampus\" tahun 2018. Lalu 10 tahun kemudian mengagetkan ketika mahasiwa membuat tagar #reformasiDikorupsi, kemudian terjadi gelombang protes ribuan mahasiswa melakukan aksi protes di mana-mana, menolak revisi UU KPK karena mahasiswa khawatir KPKnya dikebiri. Dan ternyata terbukti KPK dikebiri. \"Di tengah situasi korupsi yang luar biasa, lembaga pemberantas korupsinya dikebiri,\" tandas Ubed. Menurut Ubed kondisi seperti ini merupakan satu tantangan politik yang bisa menggerakkan kedadaran pokitik mahasiswa yang mau melakukan perlawanan. \"Dan di usia pemerintahan Jokowi 9 tahun, mereka mulai merasa muak dan jijik melihat korupsi yang makin vulgar. Ubed mengisahkan tahun 2022 saat ia melaporkan keluarga istana ke KPK. Yang dilaporkan ada dari pejabatnya yaitu walikota, presiden, duta besar, termasuk anak-anaknya. \"Tadinya saya pikir pelaporan itu banyak yang mendukung. Saya pikir KPK akan memproses tapi ternyata KPK tidak memproses dengan alasan KPK tidak bisa memanggil presiden,\" paparnya. Ternyata kata Ubed KPK di bawah kendali Presiden, tidak lagi menjadi lembaga independen tetapi menjadi lembaga bagian dari eksekutif. \"Jadi, mahasiswa meskipun secara kuantitatif kalah tapi secara moral mahasiswa menang dalam konteks gerakan,\" tegasnya. Tak hanya itu, iba-tiba lanjut Ubed, kemudian MK diobok-obok. \"Ini proses yang sangat jorok dan sangat vulgar. Jadi yang dia rusak itu bukan saja lembga independen penegak hukum, akan tetapi sampai lembaga hukum paling terhormat yaitu Mahkamah Konstitusi. Jokowi memberikan karpet merah kepada anaknya untuk menjadi cawapres. Bagi saya itu adalah pelecehan bagi kaum terpelajar, \" tegasnya. Naiknya Gibran jadi cawapres bukan sebagai contoh kepemimpinan anak muda. Ia menjadi cawapres dengan sangat instan. Sementara syarat untuk menjadi pengurus pusat adalah kader dan ikut pelatihan secara nasional yang dilakukan oleh DPP. \"Ini menyepelekan regulasi dalam proses politik. Cara-cara amoral, betapa buruk masa depan demokrasi. Anak muda boleh menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Ini contoh buruk demokrasi buat anak muda. \"Sangat ironis, saat ini banyak anak muda frustasi akibat kesulitan ekonomi. Di sisi lain ada anak muda yang dengan mudah meraih kekuasaan dengan memanipulasi hukum. Ini sangat menjijikkan. Ini seharusnya bisa memicu kesadaran kolektif,\" katanya. Sementara Gielbran menegaskan bahwa saat ini tengah berlangsung Orde Paling Baru. Gielbran memahami Jokowi sebagai orang Jawa, dimana dalam falsafah Jawa, nomor satu itu kekuasaan, kemudian baru etika. \"Jadi Jokowi liciknya keterlaluan. Apalagi saya dengar BLT akan diperpanjang sampai bulan Juli 2024, artinya mereka sudah prediksi dua putaran,\" paparnya. Gielbran bingung menghadapi capres cawapres yang dua duanya cacat. Capresnya produk gagal reformasi dan cawapresnya anak haram konstitusi. Mereka mau pimpin negara sebesar ini. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali Jokowi harus tumbang. Mereka tanpa malu, secara vulgar unjuk melanggengkan kekuasaan. Bukan rezim yang terlalu kuat, tapi kita yang terlalu lemah. \"Ada musuh bersama di depan kita. Saya benci Jokowi dan trahnya. Tidak ada alasan untuk berdiam diri. Dalam waktu dekat alumni akan menobatkan Jokowi sebagai alumni paling menjijikkan di UGM sepanjang sejarah, dia paling culas dan serakah,\" paparnya. Reno dari ITB menegaskan bahwa Ketua MK, Ketua KPK yang seperti itu menunjukkan bahwa satu lumbung isinya tikus semua. \"Seracun itukah kekuasaan?,\" tanyanya. Andito dari UGJ Cirebon meyakini Jokowi sudah menyiapkan kecurangan sejak lama. \"Saya ingin bertanya, Pemilu ini pesta demokrasi atau pesta oligarki?\", tanyanya. Ia menyarankan mahasiswa harus menjadi poros keempat. Fakih dari Politeknik Negeri Bandung, menegaskan bahwa demokrasi hari ini mirip restoran, yang mana depannya bersih akan tetapi dapurnya kotor dan menjijikkan. \"Inilah kegagalan pemimpin menghasilkan kebijakan berkualitas. Mengutip pernyataan Gielbran, negara sebesar ini akan dipimpin oleh orang yang otaknya sekecil otak Gibran,\" pungkasnya. (sws)
Anis Matta: Gelora Menang, Indonesia Bebas Buta Huruf Al-Qur'an
JAKARTA | FNN - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Anis Matta mengatakan, program pemberantasan buta huruf Al-Qur\'an akan menjadi salah satu agenda utama yang akan diperjuangkan Partai Gelora, apabila lolos ke Senayan pada Pemilu 2024 mendatang. \"Umat muslim yang buta huruf Al-Qur\'an itu, angkanya sangat mencemaskan saat ini. Berdasarkan survei PTIQ tahun 2022 sampai 22 persen, sedangkan survei Dewan Masjid tahun 2019 sekitar 65 persen,\" kata Anis Matta keterangannya, Selasa (5/12/2023). Hal itu disampaikan Anis Matta dalam program Anis Matta Menjawab Episode 24 dengan tema \"Gelora Menang, Indonesia Bebas Buta Huruf Al-Qur\'an\" yang telah tayang di kanal YouTube Gelora TV pada Senin (4/12/2023) malam. Dalam program yang dipandu Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Komunikasi Organisasi DPN Partai Gelora Dedy Miing Gumelar ini, Anis Matta menegaskan, bahwa program pemberantasan buta huruf Al-Qur\'an ini bisa menjadi program resmi pemerintah. \"Melihat kesuksesan pemerintah dalam pemberantasan buta huruf selama ini, yang tinggal 3 persen. Maka perlu ada program literasi yang lain, yakni literasi Al-Qur\'an, memberantas buta huruf Al-Qur\'an,\" katanya. Menurut Anis Matta, Partai Gelora akan mendorong program pemberantasan buta huruf Al-Qur\'an menjadi program resmi pemerintah. Karena penduduk muslim mayoritas di Indonesia, bahkan terbesar di dunia. \"Ini agenda yang akan diperjuangkan Partai Gelora, kalau kita masuk Senayan, lolos threshold dan ikut memimpin negara ini. Insya Allah akan menjadi salah satu agenda utama Partai Gelora,\" katanya. Anis Matta mengatakan, ada tiga alasan fundamental yang menjadi fondasi mengapa Partai Gelora mendorong upaya pemberantasan buta huruf Al-Qur\'an menjadi program resmi pemerintah. \"Pertama Islam itu punya peran sebagai faktor pemersatu dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia. Faktor kedua adalah basis semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan faktor ketiga adalah basis moral,\" katanya. Hal ini penting, karena masyarakat Indonesia yang akan dibangun adalah masyarakat yang sejahtera, tapi juga religius yang memiliki iman dan ilmu, sehingga akan menciptakan kesadaran beragama. Dua landasan iman dan ilmu ini, lanjut Anis Matta, yang bisa menaikkan derajat suatu bangsa. Sebab, Iman memberikan kita arah hidup, sementara ilmu akan memberikan kita kapasitas. \"Nah, kalau kita ingin menjadikan Indonesia sebagai superpower baru, maka perlu kita bangun sistem pendidikan yang kokoh. Ketika dulu ada SD Inpres berhasil dengan programnya memberantas buta huruf, maka program sama juga bisa dilakukan pemerintah, yakni program bisa baca Qur\'an,\" ujarnya. Program pemberantasan buta huruf Al-Qur\'an ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran beragama Umat islam. Karena membangun kesadaran beragama itu juga menjadi bagian dari kepentingan negara, bukan hanya cita-cita orang Islam saja. \"Baginilah cara cara kita memperjuangkan kepentingan umat itu. Kepentingan umat harus menjadi bagian dari kepentingan negara,\" katanya. Artinya, tugas memberantas buta huruf Al-Qur\'an ini bukan hanya tugas ormas Islam, yayasan-yayasan Islam, ulama atau guru ngaji saja. Tetapi, belajar mengaji itu, harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. \"Belajar mengaji itu harus dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional. Pemerintah bisa meniru keberhasilan Pak Habibie (BJ Habibie) saat menjadi Ketua ICMI yang dengan menggalakkan TPA. Pemerintah bisa membuat Rumah Qur\'an di setiap desa misalnya,\" ujar Anis Matta. Selain itu pemerintah, kata Anis Matta, perlu menganggarkan anggaran untuk para guru ngaji, dimana penyalurannya bisa melalui ormas atau yayasan-yayasan Islam. \"Anggarannya semacam BOS, orang yang bikin rumah mengaji dikasih anggaran negara. Jadi nanti guru ngaji diongkosin negara, kalau teknis penyaluran nanti bisa didiskusikan. Intinya ada institusi dan anggaran,\" katanya. Anis Matta menilai tugas negara adalah menciptakan generasi unggul, dimana tidak hanya membangun anak-anak Indonesia secara fisik dengan bantuan gizi untuk ibu hamil hingga makanan waktu dia sekolah saja, tapi juga meningkatkan kemampuan kognitif anak di sekolah hingga kuliah gratis, serta mendorong anak-anak memiliki hati, moral dan arah hidup. \"Jadi nanti akan kita lihat ada satu generasi baru yang kuat secara fisik dan sehat, karena diperhatikan negara sejak awal, cerdas akalnya dan juga memiliki hati terarah dengan iman dan akhlaq yang baik,\" katanya. Anis Matta menegaskan, upaya untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam harus dilakukan secara sistematika dengan mulai membangun fondasi yang kokoh terlebih dahulu. \"Untuk membangun fondasi yang kokoh itu, maka orang Indonesia, khusus orang muslim harus bisa baca Qur\'an. Karena Al-Qur\'an itu adalah sumber pengetahuan dan sumber sistem kehidupan manusia,\" katanya. Anis Matta berpandangan, bahwa agama telah memberi inspirasi kepada kita semua dalam mengelola negara. Dimana negara bisa mengurus warganya dari tiga sisi sekaligus, tidak hanya dari sisi fisik saja, tetapi juga pengetahuan dan akhlaqnya. \"Insya Allah nanti akan ada SDM yang kokoh, punya pengetahuan, tapi pada saat yang sama juga religius. Ke depannya, jangan-jangan nanti Panglima, Kapolri dan Presiden-nya hafal Qur\'an, hafiz Qur\'an,\" pungkasnya. (Isa)
Fahri Hamzah Kritik Pengusung Perubahan untuk Tidak Abu-abu
JAKARTA | FNN - Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Fahri Hamzah melontarkan kritikan pedasnya ke pasangan calon (paslon) peserta pemilihan presiden (Pilpres) 2024, yang mengusung tema \'perubahan\' dan tidak abu-abu alias hitam putih, di berbagai pertemuan dengan rakyat. Sebab di sisi lain, lanjut Fahri, para pendukungnya masih menikmati posisi \'empuk\' sebagai anggota keluarga besar kabinet Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma\'ruf Amin yang jelas-jelas sedang mereka kritik. \"Kan kesannya jadi nggak serius pertarunganya, kalau semua masih jadi anggota kabinet koalisi Pak Jokowi,\" kata Fahri melalui keterangan tertulisnya, Senin (4/12/2023). Bahkan, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia ini menyebut kalau yang dilakukan paslon bersama partai-partai koalisinya, terkesan mengadu domba rakyat dengan tema perubahan dan tidak abu-abu alias hitam putih-nya itu. \"Apa namanya kalau begini? Ingat dong, kalian masih merupakan anggota keluarga besar kabinet Jokowi-Ma\'ruf,\" sentil Fahri lagi. Lanjut Fahri, Partai Gelora sebagai yang di luar kabinet, sangat prihatin kalau bertengkar kabinet Jokowi-Ma\'ruf,\" sentil Fahri lagi. Lanjut Fahri, Partai Gelora sebagai yang di luar kabinet, sangat prihatin kalau bertengkar yang terlalu keras dalam kontestasi di Pemilu 2024 ini. \"Mendingan kalian ikut aku jadi caleg dan bertempur meminta mandat rakyat, daripada ngomong perubahan ternyata oh ternyata ... ,\" sindir Caleg DPR RI dari Partai Gelora Indonesia untuk Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) I tersebut. (ida)
Dua Satu Dua dan Tiga Jihad
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan DALAM rangka 212--dua satu dua, diadakan agenda \"munajat kubro\" untuk keselamatan NKRI dan Palestina. Acara yang dimulai jam 03.00 itu menjadi penting karena di samping sebagai ajang silaturahmi sesama kaum muslimin yang berjuang demi agama, bangsa dan negara, juga untuk \"mengetuk pintu langit\" agar menyelamatkan bangsa Indonesia dan bangsa Palestina. Penguatan semangat juang berbasis agama tidak lain adalah untuk memperkokoh \"jihad fi sabililah\" baik di Indonesia maupun Palestina. Berjihad dalam spektrum luas yang berakar sama yakni melawan kemungkaran, kezaliman dan ketidakadilan. Munajat adalah jalan untuk mencapai kemenangan dengan tawakal dan yakin akan pertolongan Allah \"nashrun minallah wa fathun qorib\". Allah Yang Maha Kuasa. Tiga amanat jihad dari silaturahmi dua satu dua adalah : Pertama, momentum untuk turut berjihad bersama bangsa Palestina. Saudara kita yang sedang berjuang melawan kebiadaban Zionis Israel. Sebagian besar rakyat teraniaya oleh pembantaian dan penjagalan yang tidak lain adalah genosida. Tenaga, harta dan do\'a kontribusikan untuk berjihad bersama. Kedua, berjihad melawan agen-agen Zionis yang ada di Indonesia. Kasus penyerangan muslim yang sedang mengadakan aksi solidaritas di Bitung oleh pasukan Kristen Manguni yang berbendera dan beratribut Zionis Israel adalah bukti ancaman nyata. Minoritas arogan itu berlindung di balik kekuasaan sekuler berbaju pluralisme. Kelompok teroris ini harus dilawan dan dibasmi oleh umat. Ketiga, berjihad melawan rezim yang tidak berpihak pada umat. Rezim yang mendahulukan kepentingan famili, kroni dan oligarki. Rezim berbau korupsi, kolusi dan nepotisme. Fir\'aunisme merasa benar sendiri. Buta tuli pada suara kebenaran dan kejujuran. Namrudisme membungkam lawan yang berargumen sehat. Semata memelihara kebodohan. Jokowisme menjadi isme baru lokal yang berindikasi pada perbudakan kaum elit tersandera. Munajat harus diawali dengan taubat dan berniat berbuat untuk memperkuat umat. Menangis itu penting sebagai bukti kita dekat. Akan tetapi kesiapan untuk mengorbankan jiwa dengan tetesan darah merupakan tuntutan jihad. Nabi mencontohkan dan diikuti oleh para Sahabat. Dua satu dua (212) bukan semata angka tapi api perjuangan untuk berkhidmat pada agama, bangsa dan negara. Berjalan dan berlari dengan gagah perkasa. Tidak goyah oleh rayuan dan tidak takut pada ancaman atau tekanan. Umat perlu menjawab pertanyaan Allah \"Hal adullukum alaa tijaarotin tunjiikum min adzaabin aliim \"--Apakah ingin Aku tunjukan transaksi yang dapat menyelamatkanmu dari adzab yang pedih ? Jawabannya adalah \"Iman kepada Allah dan kepada Rosul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa\". Allah SWT menegaskan \"dzaalikum khoirulakum in kuntum ta\'lamuun\"--itu yang terbaik bagimu, jika engkau mengetahui. Nah, selamat bermunajat dan berjihad wahai umat pejuang, engkau bukan pecundang. Saatnya untuk bergerak, bukan hanya menggertak atau berteriak. Cukup sudah terdengar isak dan suara serak. Kini kesempatan untuk menerjang terjang di medan perang. Allahu Akbar-Allahu Akbar. Ahadun ahad?