ALL CATEGORY
Karena Kekurangan Pegawai, Pemkab Bogor Belum Siap Hapus Tenaga Honor
Kabupaten Bogor, FNN - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Jawa Barat belum siap menghadapi wacana kebijakan penghapusan tenaga honor, karena mengalami kekurangan pegawai di lingkup pemerintahan.Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Bogor Iwan Setiawan, di Cibinong, Bogor, Jumat, menyebutkan bahwa saat ini Pemkab Bogor Bogor memiliki aparatur sipil negara (ASN) sebanyak 15.250 orang, sedangkan kebutuhan mencapai 22 ribu orang.Ia mengatakan, Kabupaten Bogor memiliki ketergantungan cukup tinggi kepada tenaga honorer di tengah krisis kekurangan Pegawai Negeri Sipil (PNS).Dia berharap, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) meninjau kembali wacana penghapusan tenaga honor, dan menggantinya dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang pembayaran gajinya dibebankan kepada pemerintah daerah.\"Prinsipnya kita ikuti arahan pusat. Kalau bisa ditunda ya ditunda dulu. Karena ini berkaitan dengan beban keuangan daerah dan kebutuhan pelayanan,\" kata Iwan.Pemkab Bogor belum lama ini melakukan pembahasan mengenai rencana pengangkatan sekitar 2.000 orang tenaga PPPK pada tahun 2023.Menurutnya, biaya yang harus disiapkan untuk menggaji mereka dalam setahun mencapai Rp120 miliar.\"Kalau uangnya cukup ya kita angkat semua. Kalau kurang ya secara bertahap kita angkatnya. Karena kalau APBD habis untuk gaji pegawai, kapan kita bisa membangun,\" ujarnya.Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Bogor Irwan Purnawan mengungkapkan, tenaga honor yang ada saat ini, akan diikutkan untuk mengikuti tes penerimaan PPPK.\"Jadi dari aturan PAN-RB tidak boleh ada perekrutan tenaga outsourcing lagi. Kecuali tenaga keamanan, kebersihan dan sopir. Itu pun harus melalui pihak ketiga. Jadi yang di luar tiga kategori itu akan diikutkan untuk mengikuti tes PPPK,\" ujar Irwan.Menurutnya, Pemkab Bogor akan merumuskan kembali kebijakan apa yang akan diambil jika para tenaga honor tidak lulus dalam tes PPPK. \"Tapi itu belum kami rumuskan. Kesempatannya ini sampai tahun 2023,\" katanya lagi. (Ida/ANTARA)
Perketat Pengawasan Tempat Penjualan Hewan Jelang Idul Adha
Jakarta, FNN - Ketua DPR RI Puan Maharani meminta Pemerintah memperketat pengawasan tempat penjualan hewan kurban jelang Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah pada 10 Juli 2022.Langkah itu, menurut dia, harus dilakukan karena semakin maraknya kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang mayoritas menyerang sapi.\"Pengawasan harus terus dilakukan hingga saat-saat terakhir jelang Idul Adha agar hewan yang dijadikan kurban benar-benar layak dan sehat,\" kata Puan dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat.Dia menilai Dinas Pertanian di tiap daerah perlu terus turun ke lapangan untuk melakukan pengecekan di tempat-tempat penjualan hewan kurban di wilayahnya.Menurut dia, Pemerintah perlu mengintensifkan program vaksinasi hewan ternak sebagai antisipasi penyebaran PMK karena berdasarkan data terbaru, PMK telah menyebar di 236 kabupaten/kota di 21 provinsi dengan total hewan ternak yang terjangkit PMK mencapai 334.213 ekor dan 114.998 ekor sudah dinyatakan sembuh.\"Pemerintah juga harus memperhatikan kebutuhan tenaga kesehatan hewan di daerah. Harus ada upaya penambahan tenaga vaksinator hewan agar cakupan vaksinasi semakin luas,\" ujarnya lagi.Dia mendukung langkah Kementerian Pertanian yang melibatkan dokter hewan dan tenaga paramedik kesehatan hewan di lingkup TNI/Polri untuk melaksanakan vaksinasi namun diperlukan langkah tambahan agar program vaksinasi hewan lebih maksimal.Puan mencontohkan, Pemerintah bisa menggandeng mahasiswa kedokteran hewan, bekerja sama dengan perguruan tinggi, melalui program-program pelatihan terlebih dahulu.\"Saat ini vaksin PMK tahap pertama sebanyak 3 juta dosis telah tersedia di dalam negeri, namun jumlah yang telah terdistribusikan dan disuntikkan belum maksimal. Semakin banyak tenaga kesehatan hewan yang turun, semakin tinggi juga cakupan vaksinasi hewan agar PMK yang menyebar di Indonesia dapat segera diatasi,\" katanya.Dia juga mengimbau para peternak dan pemilik sapi untuk kooperatif dalam program vaksinasi hewan karena di beberapa daerah, program tersebut mengalami penolakan. Menurut dia, vaksinasi dapat memperkuat imunitas hewan ternak sehingga akan lebih aman dari PMKSelain itu, Puan meminta partisipasi masyarakat dalam penanganan PMK, yaitu melaporkan ke Dinas Pertanian setempat apabila menemukan adanya hewan yang terindikasi tidak sehat.\"Dan untuk masyarakat yang hendak berkurban, harus jeli dalam membeli hewan ternak. Kalau bisa, beli hewan kurban di tempat atau penjual yang memiliki sertifikasi dan pastikan hewan yang dibeli memiliki surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) agar daging hewan kurban aman untuk dikonsumsi,\" ujarnya.Dia juga meminta warga, khususnya yang menjadi panitia kurban, agar mengawasi proses penyembelihan dengan seksama dan teliti melihat kondisi daging kurban. (Ida/ANTARA)
Kemungkinan Kecil Kasus Shinzo Abe Terjadi pada Pemilu Indonesia
Jakarta, FNN - Pengamat politik Nicky Fahrizal dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan kemungkinan kecil kasus penembakan mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe saat berkampanye terjadi pada pemilu di Indonesia.\"Dalam konteks keamanan pemilu di Indonesia berdasarkan pengalaman sebelumnya, dalam kondisi terkendali,\" kata Nicky saat dihubungi di Jakarta, Jumat.Kepemilikan senjata api yang dibatasi dan diawasi secara ketat oleh aparat hukum, kata dia, menjadi salah satu faktor yang membuat pemilu di Tanah Air terkendali, aman, dan kondusif.\"Kemungkinan kecil sekali ada orang yang memiliki senjata api sehingga kemungkinan kasus penembakan mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe kecil sekali untuk terjadi pada pemilu di Indonesia,\" kata pengamat politik CSIS tersebut.Pada konteks Indonesia, lanjut dia, yang perlu diwaspadai ketika pemilu adalah masalah disinformasi atau ancaman hoaks, lewat kampanye hitam di media sosial.\"Masalah yang merusak muruah pemilu di Indonesia adalah ancaman hoaks di dunia maya. Kalau untuk kekerasan dengan senjata, baik senjata tajam maupun senjata api, kecil sekali kemungkinannya terjadi di Indonesia,\" ujarnya.Nicky menegaskan bahwa pemilu di Indonesia masih terkendali, jarang terjadi bentrokan fisik antarpendukung politik, apalagi masing-masing tim kampanye politik betul-betul mengupayakan kampanye pemilu yang tertib dan kondusif.Hal ini, kata dia, juga didukung oleh kesiapan aparat penegak hukum yang sigap dan serius dalam pengamanan jalannya pemilu di Indonesia.Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan bahwa pemilu di Indonesia relatif aman dan terkendali.\"Berkaca dari pemilu pada tahun 2014 dan 2019 terkait dengan perseteruan politik di Indonesia yang sangat keras, bahkan terjadi konflik di lapisan bawah, tetapi di tingkat elite tidak terjadi,\" kata Dedi melalui pesan singkat.Menurut dia, hal itu tentunya memungkinkan Indonesia pada Pemilu 2024 akan aman dan terkendali, seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Dengan catatan, selama pemerintah benar dan tepat dalam menjaga keamanan.Selain itu, lanjut Dedi, secara kultur politik masyarakat Indonesia sudah beradab dan santun dalam menjalani pemilu. Konflik sosial dan munculnya faksi-faksi lantaran adanya kelompok-kelompok elite politik yang berlebihan dalam mengambil sikap menjalani kontestasi.\"Selama elite ikut menjaga keadaban politik, publik akan tunduk dan terjaga keadabannya,\" ujar Dedi. (Ida/ANTARA)
KPU Libatkan Kota/Kabupaten Klarifikasi Keanggotaan Parpol Ganda
Jakarta, FNN - Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia akan melibatkan KPU kota/kabupaten se-Indonesia dalam rangka melakukan klarifikasi berkaitan dengan verifikasi administrasi terhadap keanggotaan partai politik (parpol) yang ganda.\"Dalam verifikasi administrasi yang kami cek nanti melalui aplikasi Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) ternyata ada banyak keanggotaan partai yang ganda, KPU secara tegas meminta kepada KPU kabupaten/kota untuk melakukan klarifikasi,\" kata anggota KPU RI Idham Holik dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Jumat.Verifikasi administrasi ini, kata dia, pelaksanaannya 1 hari setelah partai politik melakukan pendaftaran sampai dengan 14 September 2022 untuk mengikuti Pemilu 2024. Partai politik memiliki waktu sekitar 1,5 bulan.Kepada anggota parpol yang diduga masalah tersebut dari sisi keanggotaan parpol, KPU meminta yang bersangkutan untuk menandatangani surat pernyataan bermeterai. Dari surat pernyataan yang ditandatangani itulah yang akan KPU masukkan ke Sipol.\"Mereka pada dasarnya masih bisa menjadi anggota parpol tertentu, asalkan mereka dapat menyampaikan pernyataan secara tertulis yang formulirnya sudah disiapkan oleh KPU,\" kata Idham Holik.Dalam kesempatan sama, pengamat politik Pahrudin dari Universitas Nurdin Hamzah mendukung langkah KPU karena verifikasi keanggotaan menunjukkan keseriusan parpol dalam mengikuti kontestasi pemilu atau menjadi partai modern.\"Di sinilah sebetulnya parpol memulai pengaderan sejak merekrut anggota. Banyak sekali terjadi kasus anggota pindah parpol,\" katanya.Ia berharap parpol bisa melakukan hal tersebut secara sistematis karena Indonesia ke depannya membutuhkan pemimpin-pemimpin di tingkat nasional dan juga daerah.Parpol betul-betul harus menyiapkan kader-kadernya melalui rekrutmen dan pengaderan untuk menjadi pemimpin-pemimpin baik, khususnya di daerah.Pengamat politik itu juga menambahkan bahwa tidak hanya faktor sukarela individu untuk menjadi anggota parpol, tetapi yang penting adalah kesadaran.Individu yang ingin mendaftar sebagai anggota parpol harus betul-betul paham atas konsekuensi ketika dirinya menjadi anggota parpol. Selanjutnya, kontribusi mereka ke depan ketika menjadi anggota parpol.(Ida/ANTARA)
Korban Indosurya Atas Modus P19 Mati Kasus Indosurya
Jakarta, FNN – Penolakan berkas Kasus Indosurya oleh Kejaksaan Agung menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama dugaan permainan oknum sehingga Henry Surya dan Juni Indria, dua tersangka Kasus Indosurya yang menimbulkan kerugian Rp 36 triliun dengan korban 15 ribu orang, bisa lepas dari tahanan. Ketua Pengurus LQ Indonesia Lawfirm, Advokat Alvin Lim, SH, MSc, CFP, CLA adalah sosok yang paling vokal membongkar dugaan permainan oleh oknum Kejagung dengan modus P19 Mati. Kepada media, Alvin menyampaikan salinan P19 dengan tandatangan dengan cap Jampidum, dimana petunjuk No 90 berisi agar penyidik memeriksa Semua Korban di Seluruh Indonesia. “Modus P19 Mati, adalah modus yang digunakan Oknum Kejaksaan dalam memberikan petunjuk jaksa yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh penyidik. Petunjuk No 90 ini adalah salah satu bukti nyatanya,” ungkapnya, Kamis (7/7/2022). Menurut jebolan UC Berkeley, Amerika Serikat itu, memeriksa seluruh korban yang jumlahnya lebih dari 15 ribu adalah hal mustahil, di mana mustahilnya? “Dari 15 ribuan korban sudah beberapa korban meninggal, ada yang bunuh diri minum Baygon, ada yang gantung diri dan ada yang meninggal karena sakit. Memeriksa seluruh korban berarti yang sudah meninggalpun harus diperiksa, lalu bagaimana penyidik mengirimkan panggilan pemeriksaan ke surga?” tanyanya heran. “Lalu tandatangan berita acara pemeriksaan bagaimana oleh korban yang sudah meninggal itu? Jika mau dijalankan sekalipun petunjuk tersebut mengecualikan korban yang sakit dan meninggal, lalu berapa Ratus Miliar biaya oprasional harus dikeluarkan untuk memeriksa belasan ribu korban apalagi banyak yang di luar kota? “Inilah kenapa disebut P19 Mati, karena tidak mungkin bisa dilaksanakan,” jelasnya. Akibat hukumnya apabila berkas perkara tidak bisa diterima oleh kejaksaan dengan alasan tidak lengkap. “Maka penyidik pada akhirnya apabila sudah berkali-kali dikembalikan, punya mekanisme Gelar Perkara Khusus di Perkap yang akhirnya akan menghentikan penyidikan atau SP3. Di sinilah pelaku kejahatan bisa lolos dari hukum dan persidangan,” tegas Alvin Lim. Korban Indosurya, J dengan kecewa menyampaikan, baiknya Jaksa Agung dan Jampidum dicopot saja. “Karena sudah gagal memberikan kepastian hukum kepada korban Investasi Bodong, tidak mungkin Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi tidak tahu mengenai modus P19 Mati. Para korban kecewa atas kinerja Jaksa Agung yang hanya Omdo,” harapnya. Ibu Mariana, korban Indosurya lainnya mengungkapkan kekecewaan terhadap Jaksa Agung. “Bukannya Penjahat Skema Ponzi yang merugikan masyarakat disidangkan, malah kuasa hukum kami yang bongkar borok Kejagung, di keroyok 11 Jaksa Kejari Jaksel dan dituntut 6 tahun dalam perkara rekayasa yang kerugiannya hanya 6 juta rupiah. Jaksa Agung dicopot saja, karena telah jelas di kejaksaan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kami kecewa hingga kami turun dan demo Kejagung,” ungkapnya kesal. Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso juga mensinyalir adanya dugaan oknum kejaksaan yang bermaim sehingga Henry Surya bisa lepas dari tahanan. “Sangat janggal apabila 4 bulan pemberkasan itu dianggap Kejagung tidak lengkap. Menko Polhukam wajib mengkordinasi apa penyebabnya?” katanya. Korban Ibu Ellis menyampaikan, rasanya tidak mungkin ada petunjuk P19 Mati apabila tidak ada permainan uang/gratifikasi ke oknum Jampidum/ Kejaksaan Agung. “KPK tolong awasi kejaksaan. Pinangki yang di Tipikor saja cuma dituntut 4 tahun, kuasa hukum kami dugaan pembantuan pemalsuan dokumen dituntut 6 tahun. Sudah sangat ngawur Kejaksaan Agung,” desaknya. Alvin Lim menjelaskan bahwa petunjuk Kejagung wajib memeriksa seluruh saksi korban dengan alasan ingin tahu jumlah persis kerugian sangat tidak berdasarkan hukum karena list korban dan jumlah kerugian sebenarnya sudah ada di putusan sidang PKPU. Pasal 46 Perbankan yang disangkakan juga tidak ada unsur “kerugian”, serta sesuai KUHAP pasal 185, keterangan saksi adalah cukup ketika ada 2 atau lebih. “Jadi istilah hukumnya cukup bukan lengkap seluruh saksi korban tersebut diharuskan diperiksa. Tidak mungkin pula sidang PN nantinya memeriksa seluruh 15 ribu korban untuk dihadirkan jaksa di persidangan. Jaksa Agung dan Jampidum mau membodohi masyarakat. Ini buktinya P19 Mati dengan tandatangan atas nama dan cap Jampidum. Sangat memalukan, apabila Kejaksaan Agung benar menerima suap sehingga Henry Surya lepas. Bisa dibilang sebagai pengkhianat masyarakat, oknum Kejagung tersebut,” tegas Alvin. Alvin menyampaikan agar masyarakat mengikuti saran Kabareskrim dan melapor ke Mabes Polri untuk membuat LP baru. Jika memang membutuhkan pendampingan bisa menghubungi 0817-489-0999 (LQ Tangerang) atau 0818-0454-4489 (LQ Surabaya) agar bisa diberikan bantuan hukum. Dalam waktu dekat Korban Indosurya akan mrngadakan aksi damai kembali di depan Kejaksaan Agung didukung oleh beberapa elemen masyarakat seperti Ormas dan perkumpulan wartawan dan Advokat yang kecewa akan rusaknya Korps Adhyaksa. Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud Md merespons reaksi publik terkait dikeluarkannya dua tersangka KSP Indosurya dari rutan Bareskrim Polri. Mahfud menegaskan kasus tersebut merupakan kejahatan modus baru yang tidak akan pernah dihentikan. “Merespons reaksi publik atas rasa keadilan dalam kasus KSP Indosurya yang dua tersangkanya dilepaskan maka saya sudah melakukan komunikasi dengan Mabes Polri, Kejaksaan Agung, PPATK, dan Menkop UKM,” ungkap Mahfud melalui akun Twitternya @mohmahfudmd, Rabu (29/6/2022). “Kesimpulannya, kasus ini adalah kejahatan modus baru yang tidak pernah dan tidak akan dihentikan,” tegas Mahfud.Mahfud menuturkan, dua tersangka dikeluarkan dari rutan lantaran masa penahannya sudah habis. Dia menyebut Kejaksaan Agung sedang memastikan pembuktian di pengadilan nantinya lancar.“Dua tersangka dilepas karena masa penahanannya habis, sementara itu Kejagung hanya ingin memastikan agar pembuktiannya di pengadilan nanti lancar,” tuturnya.Lebih lanjut Mahfud mendukung Bareskrim Polri menangkap kembali dua tersangka yang sudah dikeluarkan dari rutan dengan locus dan tempus delicti yang berbeda. Dia mengatakan kasus tersebut harus terus berjalan.“Kita mendukung Bareskrim menangkap lagi 2 tersangka dalam kasus terkait yang locus dan tempus delicti-nya beda. PPATK sudah lama menjejak, kasus ini ini harus jalan,” tambahnya.Sebelumnya, dua tersangka kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya telah keluar dari rutan lantaran masa tahanannya telah habis. Padahal berkas perkara sebelumnya telah dilimpahkan penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri ke Kejagung.“Iya (tersangka bebas), masa tahanannya habis selama 120 hari,” ungkap Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan ketika dimintai konfirmasi, Sabtu (25/6/2022). Padahal, berkas kasus KSP Indosurya ini sudah dilimpahkan 5 kali lebih.Whisnu menegaskan, perkara ini tetap berlanjut. Adapun ketiga tersangka itu adalah Henry Surya selaku Ketua KSP Indosurya; Manajer Direktur Koperasi Suwito Ayub (DPO); dan Head Admin, June Indria. “Perkara tetap lanjut ya,” tegas Whisnu.Kejagung buka suara terkait dua tersangka kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya dikeluarkan dari rumah tahanan (rutan). Kedua tersangka diketahui telah menjalani masa tahanan selama 120 hari.Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menjelaskan, berdasarkan Pasal 110 ayat 2 KUHAP, berkas perkara ketiga tersangka sampai saat ini belum lengkap.Ketut menyampaikan berkas perkara ketiga tersangka dikembalikan ke Polri untuk dilengkapi. Ketiga berkas perkara tersangka dikembalikan ke Polri tertanggal Jumat, 24 Juni 2022.Lebih lanjut, Ketut menjelaskan terkait bebasnya ketiga tersangka dari rutan. Dia mengatakan kewenangan untuk menahan seorang tersangka sebaiknya dilakukan secara selektif jika perkara itu masih tahap penyidikan.Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan bebasnya ketiga tersangka dari rutan tidak bisa mendesak pihak Kejagung untuk menyatakan berkas perkara ketiganya lengkap. “Karena diperlukan kehati-hatian bagi penuntut umum untuk memutuskan perkara tersebut telah lengkap,” ungkapnya. (mth)
Mahkamah Konstitusi Dalam Kendali Oligarki
Atas putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Kamis (7/7/2022) pukul 11.09 WIB tersebut, LaNyalla menyatakan, hal itu adalah kemenangan sementara Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi yang telah menyandera dan mengatur negara ini. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KETUA Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo sudah memastikan bahwa lembaganya tidak akan melakukan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam periode ini. Keputusan tersebut sesuai dengan hasil rapat pleno Badan Pengkajian MPR yang digelar di Hotel Aryaduta Karawaci, Tangerang, Rabu, 13 April 2022. Keputusan tersebut otomatis menutup spekulasi soal perpanjangan masa jabatan presiden dan atau masa tiga periode sudah tertutup. Pilihan politik Oligarki untuk menjaga, agar penguasa tetap dalam kendali cengkeramannya, MK harus kuat menahan tuntutan judicial review (JR) 0%. Jadi, berarapun pengajuan yang masuk harus terus ditolak. Wajar MK beralih fungsi sebagai penjaga Oligarki. Di halaman 74, dari putusan MK yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Kamis (7/7/2022) sebanyak 77 halaman itu, tertulis salah satu pertimbangan majelis hakim terkait materi gugatan. Dikatakan: “Mahkamah menilai, argumentasi Pemohon II didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif (seperti oligarki dan polarisasi masyarakat) akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon II yang demikian adalah tidak beralasan menurut hukum, karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi.” Dengan munculnya kalimat “(seperti oligarki dan polarisasi masyarakat)”, menjadi petunjuk yang jelas di dalam hakim MK ada momok kekuatan oligarki, tetapi tiada kuasa untuk menahan dan menolak perintahnya baik langsung atau tidak langsung. Pembiaran ada campur tangan oligarki dalam proses pengadilan di MK, sama saja MK dalam kendali dan cengkeraman oligarki. Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkannya dan yang bisa melawan keadaan seperti hanya kekuatan rakyat. Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima gugatan DPD RI terkait Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas pencalonan atau presidential threshold (PT). Ironisnya dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022. MK justru menilai DPD RI tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara tersebut. Dalam perkara yang sama, MK menerima kedudukan hukum Partai Bulan Bintang (PBB), namun dalam amar putusannya, MK menolak permohonan PBB untuk seluruhnya. Karena MK tetap pada pendapatnya bahwa Pasal 222 UU Pemilu Konstitusional dan mengenai angka ambang batas yang ditetapkan, merupakan open legal policy (kewenangan pembuat Undang-Undang). Atas putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Kamis (7/7/2022) pukul 11.09 WIB tersebut, LaNyalla menyatakan, hal itu adalah kemenangan sementara Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi yang telah menyandera dan mengatur negara ini. “Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat lagi, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh Oligarki,” tegas LaNyalla di Makkah, Saudi Arabia, Kamis (7/7/2022). Ditambahkan LaNyalla, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Tinggal kita sempurnakan. Tetapi kita bongkar total dan porak-porandakan dengan Amandemen yang ugal-ugalan pada tahun 1999-2002 silam. “Kalau tidak, kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik,” tukasnya. Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, LaNyalla mengaku heran ketika mejelis hakim MK yang menyatakan, Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Padahal nyata-nyata tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi. “Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” tandas LaNyalla. Seperti diberitakan sebelumnya, saat menghadiri acara 25 tahun Mega-Bintang di Solo, Jawa Tengah, 5 Juni 2022 yang lalu, LaNyalla menyatakan MK layak dibubarkan jika membiarkan Oligarki Ekonomi menguasai negara melalui celah Presidential Threshold. “Karena Pasal 222 adalah pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. Melalui pasal ini Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan pimpinan nasional bangsa ini, sekaligus menyandera melalui kebijakan yang harus berpihak kepada mereka,” ujar Senator asal Jawa Timur itu. LaNyalla menjelaskan, Pasal 222 yang menyumbang besarnya biaya koalisi partai politik dan biaya pilpres, menjadi pintu bagi Oligarki Ekonomi untuk membiayai semua proses itu. Karena itulah, DPD RI menyalurkan aspirasi masyarakat melalui gugatan ke MK. (*)
RKUHP, Gelandangan Didenda Rp 1 Juta?
Jakarta, FNN - Rancangan KUHP (RKUHP) telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Tak heran, sejumlah mahasiswa dan tokoh masyarakat menolak RKUHP. Selain pasal yang menghina Presiden, DPR, dan pejabat negara, publik juga mempersoalkan isi draf RUU yang memuat soal gelandangan. Pengaturan itu diatur dalam Pasal 429 RKUHP. \"Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. Adapun denda kategori I merujuk Pasal 79 RKUHP yaitu paling banyak Rp 1 juta.” Muatan pasal tersebut pun kini disorot publik, tak terkecuali wartawan senior FNN Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (7/7/22). Agi memaparkan, sudah gelandangan akan didenda pula, lima ribu sampai sepuluh ribu saja dia belum tentu punya makanya dia menggelandang, makanpun dia tergantung siapa yang memberi, pekerjaan tidak ada. Menurutnya, sebagaimana konstitusi, fakir miskin justru wajib dipelihara negara. Artinya, kata dia, gelandangan wajib diberi tempat tinggal dan tempat penampungan oleh negara, ini sesuai isi Undang-Undang 1945 Pasal 34 ayat 1. Hal ini tentu bertolak belakang dengan pasal yang termuat dalam RUU KUHP yang kini sudah berada di meja Komisi III DPR RI. “Undang-Undang seperti ini seharusnya dengan mudah dibatalkan di Mahkamah Konstitusi, tetapi persoalannya apakah ada gelandangan yang mengajukan judicial review? Kita aja sering mengajukan judicial review selalu ditolak. Para wakil rakyat ini hanya dekat dengan rakyat ketika menjelang pemilu, tetapi ketika kembali ke senayan, mereka sebenarnya bukan lagi wakil rakyat tetapi wakil dari para oligarki,” ungkap wartawan senior FNN Hersubeno Arief. (Lia)
Halaman 74 Putusan MK
Nah… artinya oligarki itu ada dan nyata. Tetapi menurut MK, tidak ada jaminan mereka akan hilang dengan dihapusnya Pasal 222 itu. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI SAMBIL menunggu persiapan wukuf di Arafah, saya membaca kiriman file PDF Putusan MK Nomor 52/PUU-XX/2022. Yaitu putusan terkait judicial review atas Pasal 222 UU Pemilu yang diajukan DPD RI dan Partai Bulan Bintang (PBB). Ada yang menarik jika kita cermat membaca kalimat demi kalimat dalam putusan tersebut. Di halaman 74, dari putusan sebanyak 77 halaman itu, tertulis salah satu pertimbangan majelis hakim terkait materi gugatan. Dikatakan begini, saya copy paste sesuai aslinya. “Mahkamah menilai, argumentasi Pemohon II didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif (seperti oligarki dan polarisasi masyarakat) akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon II yang demikian adalah tidak beralasan menurut hukum, karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi.” Nah… artinya oligarki itu ada dan nyata. Tetapi menurut MK, tidak ada jaminan mereka akan hilang dengan dihapusnya Pasal 222 itu. Jadi, artinya dibiarkan saja seperti ini; oligarki tetap ada dan polarisasi yang merugikan masyarakat tetap ada. Jadi upaya kita dan puluhan elemen masyarakat lain yang telah mengajukan judicial review atas Pasal 222 dengan semangat untuk meminimalisir kerugian rakyat yang timbul akibat Pasal tersebut, yang ditolak oleh MK, karena bagi MK tidak ada jaminan dengan dihapusnya Pasal 222 itu, lantas kerugian yang dialami rakyat – akibat adanya Oligarki dan Polarisasi – akan hilang. Dengan kata lain, apakah bisa dibuat dalam kalimat; “biar saja kerugian itu terus dirasakan rakyat.” Inilah yang disebut oleh banyak tokoh, termasuk Yusril Ihza Mahendra dalam tulisan terbarunya, bahwa MK bukan lagi menjadi the guardian of the constitution dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi the guardian of oligarchy. Saya hanya mengingatkan kita semua. Terbentuknya negara ini memiliki tujuan. Dan tujuan itu dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. Dimana salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya. Hingga pada ujungnya adalah terciptanya tujuan hakiki dari lahirnya negara ini, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah Konstitusi dan Undang-Undang sebagai petunjuk dan pengikat bagi aparatur negara. Sekaligus sebagai pengikat semua elemen bangsa. Undang-undang dibuat oleh pembentuk: DPR dan Pemerintah. Nah, persoalannya, kita sebut apakah apabila ada Undang-Undang yang dibentuk, dan nyata-nyata menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan masyarakat banyak, serta melenceng dari tujuan lahirnya negara ini? Inilah kejahatan kepada rakyat yang sesungguhnya. Inilah kejahatan kepada pemilik kedaulatan yang sah di negara ini. Inilah kejahatan yang dibiarkan tetap ada, karena dianggap upaya untuk me-review UU tersebut bukan jaminan kejahatan yang merugikan rakyat itu hilang. Waraskah kita sebagai bangsa? Mina, 8 Juli 2022. (*)
Letjen TNI Purn Djadja Suparman: “Ruislag-nya Tidak Ada, Koq Dituduh Korupsi?!”
LAMA tak terdengar kabarnya, mantan KSAD Letjen (Purn) Djadja Suparman rencananya akan dieksekusi untuk menjalani hukuman 4 tahun penjara atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait kasus korupsi. Djadja mencium adanya sejumlah kejanggalan. “Saya siap masuk Lembaga Pemasyarakatan Militer Cimahi tanggal 16 Juli 2022. Mereka ingin saya mati di penjara!” ungkap Djaja dalam siaran persnya kepada wartawan, Selasa (5/7/2022).Kasus korupsi yang dijeratkan kepadanya adalah kasus pembebasan lahan untuk tol Waru-Juanda. Namun Djadja menilai hal itu akibat resiko jabatan sebagai Pangdam V/Brawijaya dan Pangdam Jaya 1997 - 1999. Vonis 4 tahun penjara itu telah berkekuatan hukum tetap pada 2016 tetapi baru akan dieksekusi bulan ini. “Kenapa baru sekarang? Ke mana saja selama 6 tahun ini?” ujar mantan Pangdam Brawijaya 1997-1998 itu.Djadja Suparman sudah meminta kepada Kepala Oditur Militer Tinggi pada 2016 agar dieksekusi. Tapi permintaan itu ditolak.“Akhirnya terjadi pembiaran selama 6 tahun. Siapa yang bertanggung jawab dan apa kompensasinya bila harus masuk penjara selama 4 tahun dan harus mati dalam penjara?” tegas Djadja. Djadja menilai, ia mengalami pembunuhan karakter selama 22 tahun terakhir. Tujuannya itu untuk menghambat dan menghancurkan karir dan eksistensi dalam kehidupan bermasyarakat setelah purna bhakti.“Sehingga tanpa disadari oleh pejabat terkait dalam perkaranya negara telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM berat,” ujar Djadja, seperti dilansir Detiknews, Selasa (05 Jul 2022 09:47 WIB).Djadja juga menuliskan surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat tersebut, Djadja menuliskan, dirinya menjadi korban pembunuhan karakter, padahal belakangan Irjenad TNI dan BPK mengatakan Djadja Suparman tidak terbukti melakukan korupsi di Kostrad.“Saya harus siap mati berdiri untuk memulihkan nama baik dan mati di penjara menanti keadilan dan kepastian hukum,” tegas Djadja. Sebelumnya diberitakan, mantan Pangdam V/Brawijaya ini divonis 4 tahun penjara, dan denda Rp 30 juta. Djaja terbukti melanggar dakwaan subsider, yang dinyatakan bersalah telah melakukan korupsi uang negara senilai Rp 13,3 miliar.Pembacaan vonis dengan 360 halaman yang dimulai, Kamis (26/9/2013) pukul 10.30 WIB hingga pukul 23.30 Wib, sempat diskors sebanyak tiga kali. Ketua Majelis Hakim dan dibantu dua anggota hakim Pengadilan Militer Tinggi II, Surabaya Jalan Raya Bandara Juanda Lama membaca dakwaan selama 13 jam.“Dalam amar putusannya, terdakwa terbukti melanggar Pasal 1 ayat 1 A jo Pasal 28 Undang-Undang No 3 Tahun 1971 dalam dakwaan primer serta Pasal 1 ayat 1 B Undang-Undang No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Ketua Majelis Hakim Letjen TNI (Titular) Hidayat Manao, Jumat (27/9/2013) dini hari.Putusan Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan yang dibacakan Oditur Militer Letjen TNI (Titular) Sumartono, yakni 3 tahun dengan denda Rp 1 miliar. Perkara berawal dari kasus ruislag tanah di Waru, ketika Djaja menerima bantuan dana Rp 17,6 miliar dari PT Citra Marga Nusaphala Persada (CNMP) pada awal 1998 silam.Dari total uang tersebut digunakan untuk membeli tanah seluas 20 ha yang nilainya Rp 4,2 miliar di Pasrepan, Pasuruan. Dan, juga digunakan untuk merenovasi Markas Batalyon Kompi C yang ada di Tuban, serta mendirikan bangunan Kodam Brawijaya di Jakarta.“Sisanya yang tinggal Rp 13,3 miliar itu tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh terdakwa,” tuding Hidayat. Masa penantian Letjen TNI Purn Djadja Suparman untuk menghadapi persidangan tuduhan korupsi atas dirinya baru terjadi setelah 48 bulan lamanya. Menurut Djadja, tadinya kasus ini sebenarnya mau diangkat bersamaan dengan isu korupsi saat menjabat Pangkostrad. “Itu tidak jalan,” katanya. Pada 3 Januari 2005, Djadja kedatangan Direktur PT CMNP, pelaksana pembangunan yang baru. “Dirutnya Kolopaking, yang mengatakan, ini rada aneh. Ada dua Berita Acara. Penyerahan fisik dan penyerahan dana. Padahal, “Dalam daftar pembukuan di perusahaan tidak ada aliran dana ke pak djadja,” kata Kolopaking. (Konon Dirut ini kemudian dipecat karena menyelidiki kasus ini). “Memang saya tidak pernah menerima dana, terus saya bilang berita acara ini, ini palsu,” lanjut Djadja. Bagaimana sebenarnya kasus dugaan korupsi yang dituduhkan kepada Djadja Suparman? Apa benar ia menerima uang seperti yang dituduhkan Oditur Militer Letjen TNI (Titular) Sumartono itu? Berikut petikan wawancara dengan Djadja Suparman, usai persidangan di Surabaya: PT CMNP pada 2006 menggugat Kodam V Brawijaya secara perdata yang dimenangkan oleh CMNP? Gugatan itu sebenarnya tidak perlu terjadi, karena kalau saja pada tahun 1998 itu Dirjen Bina Marga mengajukan permohonan Hibah atas tanah Kodam di Waru Surabaya sesuai kebijakan Kasad, kepada Menkeu RI dan Pemilik SPH sesuai peraturan dan prosedur, pasti proses itu berjalan sesuai berita acara, karena tanah itu sudah matang dengan ukuran 100 x 882 m2. Tapi faktanya sampai 2005 PT CMNP kolaps dan baru mulai untuk melanjutkan kegiatan. Pada 2006 mereka ajukan Gugatan agar Kodam melakukan proses hibah kepada PT Bina Marga sesuai kesepakatan. Pada waktu itu saya sudah pensiun dan tidak dilibatkan atau diminta pendapat dalam persidangan dan mereka menang. Apa itu proses hibah? Proses Hibah dalam kasus ini adalah pengalihan hak atas tanah dari Kodam kepada Dirjen Bina Marga untuk jalan tol (antar institusi Negara), sesuai kebijakan dan persetujuan Kasad, dengan pertimbangan tanah tersebut sudah disiapkan untuk jalan tol sesuai persetujuan Menkeu RI pada 1987. Dalam proses hibah ini tidak ada ganti rugi dan harus diajukan permohonan oleh Dirjen Bina Marga kepada Menkeu RI dan Pemegang SPH sesuai kesepakatan. Jadi, selama Bina Marga belum mengajukan proses hibah itu, maka hibah itu tidak akan berjalan. Menurut saya putusan pengadilan melanggar UU. Di sisi lain, saya tidak tahu apakah sejak Juli 1998-2006, ada perubahan kebijakan Kasad dan UU? Karena saya sudah berganti jabatan sampai Pensiun. Jadi, selama ini sudah clear dong? Apanya yang clear, buktinya saya didakwa korupsi karena dituduh telah me-ruislag tanah itu dan ada kerugian Negara, dituduh telah menyerahkan tanah kepada PT CMNP dengan kompensasi sejumlah uang dan telah menyalahgunakan wewenang jabatan. Padahal, karena ada waktu vacuum selama 8 tahun dan ada kebijakan baru atau UU yang baru, sekarang pemanfaatan tanah tersebut sedang dibicarakan dalam bentuk kerjasama dengan PT CMNP. Menurut saya kalau ada perubahan kebijakan atau perubahan UU setelah tahun 1998, itu bukan ranah saya lagi. Dalam proses hibah ini tidak ada keterlibatan PT CMNP, sepenuhnya tanggung jawab Bina Marga dengan Kodam atas persetujuan Menkeu-Kasad secara hirarkis. Sidang kasus Anda ini koq baru dilakukan sekarang ini? Saya juga heran kok proses hukumnya sejak Maret 2009 tersedat-sedat, dampaknya merugikan nama baik saya dan keluarga, melanggar hak-hak saya sebagai manusia, untuk hidup, berusaha, bekerja, berkelompok, dan seterusnya. Opini ini sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai warga Negara yang tunduk kepada hukum saya juga minta keadilan, segera proses hukum sesuai dengan UU dan peraturan, jangan menunggu saya minta keadilan kepada Tuhan. Oleh karena itu pada Agustus 2012 saya memohon keadilan kepada Panglima TNI, supaya Kasus saya jangan digantung seperti ini sampai saya mati. Alhamdulilah pada 9 Oktober 2012 Kasad menyerahkan perkara kepada Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya. Menyangkut tuduhan Oditur, apa benar Anda melakukan korupsi? Ini sudah Substansi Perkara, saya tidak boleh mengatakan tidak, tapi faktanya saya tidak melakukan itu, seperti penjelasan Majelis Hakim dalam Putusan Sela atas eksepsi saya dan Oditur Militer yang menyatakan: Memang benar sampai saat ini terdakwa tidak pernah melakukan pelepasan hak atas tanah dengan cara jual beli,atau hibah maupun ruislag kepada PT CMNP, tapi sekarang di atas tanah itu sudah dibangun jalan tol dan terdakwa telah menerima uang kompensasi Rp 17,640 miliar. Silahkan tafsirkan sendiri dan nanti kita uji dalam persidangan. Sebenarnya prosesnya sejak kapan sih? Sejak ada atensi BPK RI pada Desember 2008, Maret – September 2009 saya diperiksa sebagai saksi sampai jadi tersangka dengan dugaan telah terjadi penyimpangan wewenang jabatan dalam Proses Hibah. Sejak Oktober 2009 hingga September 2012 proses Papera untuk mempelajari hasil penyidikan dan permintaan Berita Acara Pendapat dari Oditur, baru pada 9 Oktober 2012 perkara dilimpahkan kepada pengadilan, kemudian keputusan itu diperbaiki lagi karena ada kesalahan tempat kewenangan pengadilan…… lama banget …!!! Padahal saya juga pernah menjadi Papera, tidak lama lama banget, karena ada aturannya. … he-he-he. Kemudian pada 22 Maret 2013 mulai disidangkan he-he-he lama juga ya? Saya kurang jelas apa pada jaman reformasi ini sudah ada perubahan baru tentang batasan waktu dalam setiap tahapan proses hukum? Sehingga boleh melanggar hak azasi seseorang Prajurit? Apa ada aset TNI yang kemudian dipakai oleh swasta? Aset tanah Kodam itu milik Negara. Kalau Negara merencanakan untuk membangun jalan tol, maka Negara bisa menggunakan tanah itu, hanya tinggal mengalihkan hak pakainya saja kepada instansi pengguna dalam hal ini, Dirjen Bina Marga pada waktu itu, apalagi tanah itu sudah disiapkan sesuai RUTR Pemda Jatim pada 1986 dengan ukuran 100 x 882 m2. PT CMNP adalah Holding Perusahaan sebagai pelaksana pembangunan jalan tol dengan biaya sendiri (pada 1998) yang mendapat konsesi pengelolaan selama kurun waktu tertentu sampai mereka mendapat keuntungan dari dana yang dikeluarkan. Kemudian jalan tol itu kembali menjadi milik Negara dan bisa digunakan bebas oleh Rakyat. Kira-kira seperti itu pemahamannya ya! Cuma CMNP mengajukan gugatan perdata, karena tanahnya belum dihibahkan kepada Bina Marga. Dan BPK/TNI AD menilai, di atas tanah itu sekarang sudah jadi jalan Tol. Akhirnya sekarang saya berhadapan dengan Negara, bukan dengan PT CMNP, agak aneh juga, tapi kta ikuti saja proses sidang ya. Koq bisa keluar angka sebesar itu? Katanya mereka mau membantu Kodam dalam bentuk bantuan murni, soal besarannya saya pikir dia menghitung berapa pantasnya, itu bukan urusan saya. Pada waktu itu saya sampaikan kepada sdr Eko , ”Tolong sampaikan kepada ibu Tutut, tolong dibantu Kodam“. Angka sebesar itu sekarang menjadi bola liar, saya merasa tidak pernah menerima, sedangkan mereka katakan diserahkan kepada saya melalui seseorang yang mengaku kepercayaan Pangdam. Aneh bin ajaib kan, mereka tidak pakai aturan dengan mudah menyerahkan bantuan lewat orang. Kita buktikan di dalam sidang deh.. Apa yang Anda inginkan dari persidangan ini? Saya ingin keadilan tegak di Bumi Pertiwi ini tanpa melihat siapa orangnya, dan darimana asalnya, rakyat jelata sampai dengan presiden harus sama. Makanya, saya minta keadilan yang dilakukan melalui proses yang berdasarkan hukum juga, yaitu Undang-Undang dan peraturan lainnya. Seandainya dalam proses Hukum ini ada cara-cara yang dilakukan telah melanggar hukum, sebaiknya kita harus taat kepada hukum dan membatalkan persidangan ini demi hukum. Walaupun saya sudah dapat menduga arah dari keadilan ini, saya akan mengikuti proses ini secara bertanggung jawab, selama dasar dasar yang digunakan sesuai hukum yang berlaku dan bukan karena asumsi. Saya masih berharap, keadilan dapat tegak di Bumi Pertiwi ini melalui para Hakim dan Oditur, sesuai dengan sumpahnya. (*)
Hina Presiden dan Wapres Bisa Dipidana, Hati-Hati!
Jakarta, FNN – Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyerahkan naskah Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPRK) pada hari Rabu (6/7). Dalam RKUHP ini terdapat ketentuan mengenai aturan tindak pidana terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden. Draft Final Revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) menjadi pro dan kontra di masyarakat. Apalagi, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang kontroversial ternyata masih dimasukkan. Menurut wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Kamis (7/7/22) ia mengatakan mau teriak bagaimanapun, kalau pemerintah punya mau itu akan jalan terus, inilah salah satu keburukan yang terjadi jika pemerintah tidak punya kontrol, jadi mau tidak mau kalau masyarakat mau ngomong apa saja, mahasiswa sudah turun ke jalan, namun pemerintah akan terus berjalan Pasal yang dimaksud dalam draft RKUHP tersebut adalah Pasal 217,218, Pasal 219, dan Pasal 220. Pasal ini tentu membuat khawatir banyak orang, khususnya mereka yang terbiasa memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Pada Pasa1 217 diatur tentang Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Setiap orang yang menyerang Kepala Negara dan wakilnya terancam pidana penjara paling lama lima tahun. Sedangkan Pasal 218 mengatur tentang perbuatan yang menyerang kehormatan atau martabat presiden dan wakil presiden. Barang siapa yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan wakilnya akan dipidana maksimal tiga tahun enam bulan penjara. Hal-hal yang termasuk kritik yang tidak bisa dipidana dalam RKUHP tersebut yakni, menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut; kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif. Selanjutnya, kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan kebijakan, atau tindakan presiden dan wakil presiden lainnya. Lalu, kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada presidan dan wakil presiden atau menganjurkan pergantian presiden dan wakil presiden dengan cara yang konstitusional; serta kritik yang tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wakil presiden. Sementara itu, pada Pasal 220 ayat (1), disebutkan kalau pasal penghinaan ini sifatnya delik aduan. Jadi, kamu bakal bisa mengalami masalah hukum kalau presiden atau wakil presiden sendiri yang melaporkan tindakan penghinaan yang kamu lakukan. “Ini rumusan hukum atau makalah, ini kelihatan sekali yang bikin orang kampus,” ujar Hersubeno. (Lia)