EKONOMI

Bank Indonesia Kembali Beli Surat Berharga Negara

Jakarta, FNN - Bank Indonesia kembali membeli Surat Berharga Negara (SBN) sebagai bentuk koordinasi dengan pemerintah memenuhi panggilan negara dalam mengatasi masalah kesehatan dan kemanusiaan dari dampak pandemi Covid-19. “BI terpanggil dan tentu saja berkomitmen penuh bersama pemerintah dan berbagai pihak memenuhi panggilan negara untuk kesehatan dan kemanusiaan. Inilah spirit yang memotivasi kerjasama yang erat dalam melakukan penanganan kesehatan dan penyelamatan kemanusiaan akibat Covid- 19,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat konferensi pers secara daring, Selasa, 24 Agustus 2021. Perry menjelaskan, merebaknya varian Delta menyebabkan kenaikan yang tidak terduga terhadap biaya penanganan kesehatan dan kemanusiaan dalam APBN tahun 2021 dan 2022. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan kemampuan fiskal untuk mendorong ekonomi menjadi semakin terbatas, namun beban negara semakin tinggi. “Terutama juga penerbitan SBN dengan bunga pasar, tentu saja tidak hanya menyebabkan beban negara yang tinggi , juga tidak sejalan dengan asas kesehatan dan kemanusiaan,” ujar Perry sebagaimana dikutip dari Antara. Alasan lainnya, lanjut Perry, BI ingin mengurangi beban anggaran negara yang diwujudkan dengan pembelian atas SBN yang diterbitkan oleh pemerintah di pasar perdana secara private placement. “Seluruh SBN ini adalah SBN yang marketable yang bisa kemudian oleh BI bisa digunakan sebagai instrumen operasi moneter dan suku bunga yang lebih rendah dari pasar yaitu reverse repo Bank Indonesia tenor 3 bulan,” jelasnya. Selain itu, Perry juga menegaskan bahwa kesepakatan berbagi beban atau burden sharing yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 ini tidak akan dan tidak pernah mengurangi independensi dan kemampuan Bank Indonesia untuk melaksanakan kebijakan moneter yang pruden. “BI dalam konteks tetap bersinergi berkoordinasi dengan pemerintah secara erat juga tidak akan mempengaruhi kemampuan BI melakukan kebijakan moneter dan juga bagaimana kemampuan keuangan Bank Indonesia,” tegasnya. Adapun pemerintah dan Bank Indonesia kembali melanjutkan burden sharing untuk mendukung pendanaan APBN 2022. BI akan membeli SBN untuk APBN 2021 sebesar Rp 215 triliun dan APBN 2022 sebanyak Rp 224 triliun. (MD).

Harga Minyak Melonjak

New York, FNN - Harga minyak melonjak pada hari Senin, 23 Agustus 2021. Padahal, sehari sebelumnya, Ahad (22/8) terjadi penurunan harga yang tajam di tengah kekhawatiran atas permintaan. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober 2021 naik 3,5 dolar AS, atau 5,6 persen, menjadi menetap di 65,64 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange. Minyak mentah Brent untuk pengiriman bulan yang sama naik 3,57 dolar, atau 5,5 persen, menjadi ditutup pada 68,75 dolar per barel di London ICE Futures Exchange. "Harga minyak memulai perdagangan pada pekan yang baru dengan kenaikan yang signifikan, setelah pekan yang sangat suram yang membuat Brent dan WTI turun masing-masing 8 persen dan 9 persen. Kerugian mingguan paling substansial dalam hampir sepuluh bulan," kata Carsten Fritsch, analis energi di Commerzbank Research, sebagaimana dikutip dari Antara. Untuk pekan yang berakhir Jumat, patokan minyak mentah AS jatuh 8,9 persen, sementara Brent merosot 7,7 persen. "Kami menganggap pelemahan harga tersebut berlebihan. Kami percaya hal itu lebih berkaitan dengan psikologi pelaku pasar ketimbang penurunan data fundamental," kata Fritsch. Ia menjelaskan, dalam beberapa minggu mendatang akan terungkap apakah pembatasan perjalanan yang diberlakukan kembali di beberapa negara Asia-Pasifik, “akan benar-benar berdampak pada permintaan bahan bakar seperti yang ditunjukkan oleh kinerja harga minggu lalu." (MD).

Harga Lada di Tanjung Pandan Naik Menjadi Rp92 Ribu per Kilogram

Belitung, Babel, FNN - Harga lada di Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, naik dari Rp90 ribu perkilogram menjadi Rp92 ribu kilogram. Kepala Bidang Perkebunan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Belitung, Hamzah di Tanjung Pandan, Senin mengatakan memasuki akhir musim panen tren harga lada di daerah itu terus mengalami kenaikan dari Rp90 ribu menjadi Rp92 ribu perkilogram. "Kenaikan harga lada karena dipengaruhi oleh mulai meningkatnya permintaan pasar untuk kebutuhan masyarakat," katanya. Menurut dia, puncak musim panen lada di daerah itu berlangsung hingga akhir Agustus sehingga sebagian besar petani saat ini dipastikan telah selesai memanen tanaman ladanya. "Masih tersisa beberapa petani saja yang saat ini masih memanen tanaman lada," ujarnya. Hamzah menambahkan, secara keseluruhan musim panen lada di daerah itu berjalan dengan lancar meskipun terjadi penurunan produksi akibat cuaca yang tidak menentu. "Saat ini produksi lada sementara yang telah tercatat pada musim panen sekarang sebanyak 3.100 ton," katanya. Dirinya berharap kenaikan harga lada tersebut dapat mensejahterakan petani lada di daerah itu. "Karena musim panen buah sela akan berlangsung pada Februari 2022 mendatang," ujar. (mth)

Menkop UKM Apresiasi Korporatisasi Pertanian di Purbalingga

Purbalingga, FNN - Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengapresiasi upaya korporatisasi pertanian yang dilakukan petani di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, melalui pembukaan gerai pasar "Tani Bangga Store" dan ekspor komoditas pertanian. Saat memberi keterangan pers usai meresmikan gerai pasar "Tani Bangga Store" dan pelepasan ekspor buncis kenya di Purbalingga, Jateng, Sabtu, Teten mengatakan sektor pertanian banyak menyerap lapangan kerja karena lebih dari 50 persen UMKM itu ada di sektor pertanian. "Karena itu, maka kita perlu memperkuat model bisnis di sektor pertanian ini dan saya hadir di sini dengan senang hati, ada local hero, penggerak pertanian di Purbalingga yang sudah berhasil membangun bisnis model yang baik meskipun masih banyak yang harus dikembangkan dan sekarang produknya sudah masuk ke pasar luar," katanya. Menurut dia, Purbalingga yang memiliki potensi lahan pertanian yang luas dan sudah ada model serta local hero-nya, sehingga petani setempat sudah tidak perlu lagi mencari model-model yang lain "Kami berkomitmen bersama pemerintah daerah, provinsi dan kabupaten, untuk mengembangkan ini menjadi salah satu piloting korporatisasi petani di tingkat nasional," kata Teten. Ia mengatakan Lembaga Pembiayaan Dana Bergulir (LPDB) Kementerian Koperasi dan UKM nantinya yang akan menjadi mitra untuk pengembangan model bisnis dari korporatisasi pertanian tersebut. Dalam hal ini, Teten meminta untuk segera dibangun model bisnisnya supaya hulu dan hilirnya tertata dengan baik sehingga bisa tumbuh. "Saya kira market produk-produk pangan baik dalam negeri maupun luar negeri sangat besar sekali. Kalau kita bisa menguasai market dalam negeri, apalagi kita bisa masuk ke market luar, saya kira ini bisa menyejahterakan masyarakat kita dan petani-petani kita," katanya. Sebelum meresmikan gerai "Tani Bangga Store" dan pelepasan ekspor buncis kenya dengan negara tujuan Singapura, Menkop-UKM Teten Masduki didampingi Direktur Utama LPDP Kemenkop Supomo dan Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi memanen buncis kenya di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja. Dalam kesempatan terpisah, penggerak pertanian lokal atau local hero, Ngahadi Hadi Prawoto mengatakan kegiatan tersebut dilatarbelakangi oleh kehidupan orang tuanya yang seorang petani. "Kebetulan kita melihat bahwa mereka itu sangat kesusahan untuk market-nya, cara budi dayanya. Kita berusaha hadir untuk mereka," katanya. Ia mengaku menjadi penggerak pertanian dengan membudidayakan buncis kenya sejak 2014 hingga akhirnya dapat menembus pasar ekspor pada awal 2017 dengan negara tujuan Singapura hingga sekarang. "Komoditas buncis kenya yang pelepasan ekspornya dilakukan hari ini sebanyak 7,5 kuintal. Kami lakukan ekspor setiap hari sebanyak 7,5 kuintal," katanya. Selain ekspor ke Singapura, kata dia, pihaknya juga telah memasok produk pertanian asal Purbalingga lainnya ke sejumlah pasar modern dan pasar industri. "Untuk pasar industri, kami sudah suplai ke Wings Food sebanyak 20 ton pada tahun 2020," katanya menambahkan. Ia mengatakan saat ini, pihaknya mulai mengembangkan pasar lokal khususnya di wilayah Banyumas Raya dengan dibukanya gerai pasar tani "Tani Bangga Store". Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Purbalingga Mukodam mengatakan lahan yang digunakan untuk budi daya buncis kenya di Purbalingga saat sekarang telah mencapai kisaran 100 hektare. "Tapi, lahan tersebut terpencar di beberapa tempat karena ini misinya pemberdayaan sebagai pengembangan. Nanti, kalau petani ada yang sudah membuktikan bahwa itu bagus, nanti akan diikuti oleh petani-petani di sekitarnya," katanya. Ia mengatakan secara ekonomis, budi daya buncis kenya dapat mendongkrak penghasilan petani karena dari luas lahan 1.200 meter persegi di Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, dengan ongkos produksi sekitar Rp3 juta dapat menghasilkan Rp8 juta hingga Rp10 juta. Bahkan, kata dia, tanaman buncis kenya dalam sekali tanam bisa dipanen hingga 15-16 kali yang tergantung pada pemeliharaan dan pemupukan. "Pemupukannya bagus, nanti masa panennya akan lebih banyak," katanya. Terkait dengan pembukaan gerai "Tani Bangga Store", Mukodam mengatakan hal itu sebagai salah satu solusi agar harga produk-produk pertanian yang selama ini labil dapat tertolong. Menurut dia, masyarakat bisa membeli sayuran atau produk pertanian lainnya yang dihasilkan petani Purbalingga dengan kualitas premium di gerai pasar tani tersebut. "Mudah-mudahan ini berkembang dengan baik, tidak hanya di satu lokasi," katanya. (mth)

Rakyat Menggugat: MPR Bukan Pemilik Hakiki Kedaulatan Rakyat

Oleh: Anthony Budiawan (Managing Director Political Ecoomy and Policy Studies (PEPS) SEBELUM 17 Agustus 1945, negara Indonesia belum berdiri. Pemerintah (Indonesia) belum ada. Pada 17 Agustus 1945, sekelompok masyarakat Indonesia, yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, mendeklarasikan berdirinya negara Republik Indonesia yang merdeka, dari Sabang sampai Merauke. Sekelompok masyarakat ini, yang mendapat kepercayaan dari seluruh rakyat (Indonesia), sepakat untuk membentuk pemerintah, berdasarkan butir-butir kesepakatan yang dituangkan di dalam produk hukum Undang-Undang Dasar (UUD), yang menjadi pegangan hukum bagi semua pihak, bagi rakyat dengan pemerintah yang dibentuknya, dan senantiasa harus ditaati. Berarti, kesepakatan sekelompok masyarakat yang dituangkan menjadi UUD tersebut pada dasarnya adalah kontrak sosial antar-masyarakat. Sedangkan pemerintah, yaitu presiden dan segenap pembantunya, adalah pihak yang ditunjuk untuk menjalankan kesepakatan kontrak sosial (UUD) antar- masyarakat ini. Untuk menyeimbangi kekuasaan presiden agar selalu berada dalam koridor kesepakatan kontrak sosial (UUD). Kontrak sosial juga sepakat menunjuk perwakilan rakyat yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan golongan dan utusan daerah, yang sekarang (setelah amandemen UUD) menjadi Perwakilan Daerah. DPR dan MPR mempunyai wewenang yang berbeda. DPR mengawasi jalannya pemerintahan antara lain pembentukan peraturan perundang-undang yang diperlukan negara. MPR berwenang antara lain memilih dan memberhentikan presiden. Seusai kontrak sosial (UUD) yang disepakati pada 17 Agustus 1945, yang mana wewenang MPR tersebut sekarang sudah diamputasi sendiri oleh MPR, melalui amandemen UUD (atau kontrak sosial). Pertanyaannya, apakah amandemen UUD tersebut sah? Apakah MPR dapat mengubah kontrak sosial antar- masyarakat yang disepakati pada 17 Agustus 1945 tanpa melibatkan masyarakat secara langsung? Apakah MPR sebagai perwakilan rakyat dapat menjelma menjadi rakyat, sebagai pemegang kedaulatan rakyat dalam mengubah Kontrak Sosial (UUD)? MPR periode 1982 – 1987 yang dipimpin oleh Amir Machmud sebagai ketua MPR berpendapat bahwa MPR tidak berwenang mengubah kontrak sosial (UUD) tanpa melibatkan rakyat secara langsung dan sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya. Oleh karena itu, MPR mengeluarkan Ketetapan (TAP) MPR No IV/MPR/1983 tentang referendum. Pasal 2 menyatakan "Apabila MPR berkehendak untuk mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui Referendum". Presiden Soeharto sebagai mandataris MPR ketika itu menjalankan perintah MPR sepenuhnya dengan menerbitkan UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum untuk perubahan UUD. Ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri, banyak pihak yang ingin mengubah dan menghancurkan kontrak sosial antar- masyarakat tertanggal 17 Agustus 1945. MPR pimpinan Harmoko periode 1 Oktober 1997 hingga 30 September 1999 mengeluarkan TAP MPR No VIII/MPR/1998 pada 13 November 1998 yang isinya mencabut TAP MPR tentang Referendum. Dengan demikian, UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum kehilangan dasar hukum, dan Presiden Habibie ketika itu “terpaksa” mencabut UU tersebut dengan menerbitkan UU No 6 Tahun 1998 tentang pencabutan UU No 5 tahun 1985. Alasan pencabutan TAP MPR tentang referendum tersebut karena referendum melanggar hak MPR. Pertama, melanggar Pasal 1 ayat (2) UUD bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. dan kedua, MPR mempunyai wewenang untuk mengubah UUD seperti tercantum pada Pasal 37 UUD. Referendum dianggap mengamputasi hak MPR tersebut. Dampaknya, terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap isi kontrak sosial (UUD) tertanggal 17 Agustus 1945, di mana MPR bahkan mengamputasi sendiri secara suka rela wewenangnya sebagai wakil rakyat, sebagai “pemilik” kedaulatan rakyat. Di mana MPR tidak mempunyai wewenang lagi untuk memberhentikan presiden apabila dianggap melanggar kesepakatan kontrak sosial (UUD). Hal ini juga berarti, MPR melanggar kontrak sosial tertanggal 17 Agustus 1945. MPR tidak menjalankan tugas yang diberikan kepadanya untuk menegakkan kontrak sosial (UUD), sehingga MPR tidak layak lagi menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Karena MPR saat ini hanya berfungsi sebagai pelaksana (tukang) lantik, pelaksana berhentikan presiden kalau diminta DPR, dan pelaksana mengubah UUD tanpa melibatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebenarnya. Menurut pendapat saya, dan sekaligus sebagai pembuka diskusi publik, referendum untuk mengubah kontrak sosial (UUD) tidak melanggar hak MPR. Tidak melanggar kontrak sosial (UUD) 17 Agustus 1945. Karena, pertama MPR masih mempunyai wewenang untuk mengubah UUD sesuai Pasal 37. Tetapi, ada persyaratan tambahan, yaitu sebelum mengubah UUD rakyat harus tahu apa yang akan diubah dan memberi persetujuan atas topik yang mau diubah tersebut. Karena hal ini berkaitan dengan kontrak sosial antar-masyarakat. Kedua, bertanya langsung kepada rakyat (referendum) sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya tidak melanggar Pasal 1 ayat 2 UUD yang mengatakan kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Karena, “dilakukan sepenuhnya oleh MPR” bukan berarti terjadi pengalihan hak dari rakyat kepada MPR secara abosult dan permanen. Oleh karena itu, untuk hal-hal penting yang menentukan nasib rakyat di masa depan seperti perubahan kontrak sosial (UUD), MPR bahkan harus melibatkan rakyat secara langsung tanpa melalui perwakilan, melainkan melalui referendum, termasuk kemungkinan referendum mosi tidak percaya baik terhadap eksekutif maupun kepada pimpinan DPR dan MPR. --- 000 ---

BRI Dorong Pelaku UMKM Miliki Nomor Induk Berusaha

Jakarta, FNN - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI mendorong pelaku UMKM memiliki nomor induk berusaha (NIB) yang terintegrasi dengan sistem Online Single Submission (OSS) Berbasis Risiko milik Kementerian Investasi/BKPM. Direktur Bisnis Mikro BRI Supari mengatakan BRI bekerja sama dengan BKPM untuk menghadirkan pelaku UMKM terpilih melakukan uji coba sistem OSS sejak Juni-Juli 2021. "Kami menindaklanjuti kerja sama dan kolaborasi Kementerian BUMN dengan Kementerian Investasi/BKPM demi memperkuat UMKM Indonesia, sehingga UMKM bisa naik kelas, bahkan go global," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu. Supari menjelaskan pada 18 Agustus 2021, Kementerian Investasi dan Kementerian BUMN menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) tentang Pelaksanaan Teknis Koordinasi Tugas dan Fungsi Lingkup Kementerian BUMN dan Kementerian Investasi/BKPM. Melalui PKS tersebut kedua pihak dapat melakukan pertukaran data dan informasi antara sistem OSS dengan platform Pasar Digital (PaDi) UMKM milik Kementerian BUMN. Pada hari yang sama, BRI melakukan sosialisasi NIB-New OSS Berbasis Risiko untuk mendukung program peningkatan kontribusi dan kolaborasi BUMN dengan UMKM agar mempercepat pemulihan perekonomian nasional. Sosialisasi dilakukan melalui seminar daring kepada seluruh perwakilan unit kerja BRI yang mencakup kantor wilayah BRI, 500 kantor cabang dan lebih dari 1.000 Kantor BRI Unit di seluruh Indonesia dengan total peserta lebih dari 1.700 orang. Hal tersebut membuktikan bahwa BRI benar-benar serius dalam mendorong pelaku UMKM untuk naik kelas bahkan produknya bisa menembus pasar ekspor. "Selama ini, akibat kendala legalitas, seperti tidak memiliki NIB, membuat pelaku UMKM sulit bermitra dengan BUMN dan menghambat langkah pengembangan usaha," kata Supari. Kementerian Investasi mencatat sejak dioperasikannya sistem OSS Berbasis Risiko telah menerbitkan 36.629 NIB pada 4-18 Agustus 2021. Dari jumlah tersebut, usaha mikro mendominasi sebanyak 35.980 unit, kemudian usaha kecil 506 unit serta usaha menengah sebanyak 66 unit. Melalui OSS Berbasis Risiko diharapkan membantu pelaku UMKM memiliki legalitas dan tata kelola usaha yang lebih baik. "UMKM porsinya sangat besar dengan kemampuan menyerap hingga sekitar 130 juta tenaga kerja, jika terus dibina dan didorong perkembangannya melalui campur tangan pemerintah secara langsung, akan menumbuhkan ekonomi lokal dan memperkuat perekonomian nasional ke depan," tutur Supari. (mth)

BRI Kanwil Surabaya Catat Pertumbuhan Kredit 12,03 Persen

Surabaya, FNN - BRI Kantor Wilayah (Kanwil) Surabaya mencatatkan pertumbuhan kredit pada Juli 2021 mencapai 12,03 persen (YoY), dengan jumlah kredit sebesar Rp43,9 triliun, yang ditopang dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan tumbuh sebesar 55,28 persen atau sebesar Rp3,3 triliun (YoY). Pemimpin Wilayah BRI Surabaya Triswahju Herlina di Surabaya, Jumat mengatakan, pencapaian ini merupakan wujud komitmen BRI Kanwil Surabaya dalam mendukung perekenomian Jawa Timur di tengah upaya dalam menangani COVID-19 serta PPKM darurat dan PPKM level 4. “BRI Regional Surabaya akan terus mengoptimalkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui penyaluran KUR atau Kredit bersubsidi kepada pelaku UMKM sesuai dengan peraturan menteri keuangan (PMK) No.138/2020," katanya. Ia menambahkan, sepanjang tahun 2021, BRI Kanwil Surabaya telah menyalurkan KUR sebesar Rp5,6 triliun yang didominasi oleh KUR Mikro sebesar 4,9 Trilun. "BRI Regional Surabaya mendapatkan amanah untuk menyalurkan KUR sebesar Rp11 Triliun, dimana hal tersebut menjadi penyemangat kami untuk terus produktif sehingga memberi makna untuk Indonesia," katanya BRI Regional Surabaya telah menyalurkan KUR ke berbagai sektor ekonomi, saat ini sektor perdagangan masih menjadi sektor ekonomi yang mendominasi penyaluran KUR di BRI Regional Surabaya dengan jumlah share 44 persen. Sektor ekonomi lain yang mendominasi adalah Sektor Pertanian sebesar 14,5 persen dan Sektor Industri Pengolahan sebesar 13 persen. Triswahju menegaskan, sebagai BUMN, BRI Kanwil Surabaya akan terus berkomitmen mendorong percepatan pertumbuhan kredit yang pada akhirnya bisa mendorong pertumbuhan Ekonomi. BRI juga akan terus meningkatkan perannya melalui layanan transaksi keuangan dan memfasilitasi penyaluran kredit kepada UMKM. Upaya percepatan tersebut diakselerasi dengan memperluas layanan KUR melalui KUR super mikro yang ditujukan untuk masyarakat yang belum pernah mendapatkan KUR dan tidak sedang menikmati pinjaman komersial dan Ibu Rumah Tangga yang memiliki usaha dengan plafond maksimal Rp10 Juta untuk ke setiap penerima KUR Super Mikro. Sementara itu, Kanwil BRI Surabaya menaungi beberapa wilayah di Jawa Timur antara lain Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Gresik, Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, Sampang, Bojonegoro, Jombang, Lamongan, Tuban, Mojokerto dan Kota Mojokerto. (mth)

Pemerintah Masih Telaah Terkait Moratorium Sawit

Jakarta, FNN - Pemerintah masih mengadakan tinjauan dan penelaahan terkait apakah akan memperpanjang moratorium izin sawit yang berakhir pada September 2021, menurut Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kemenko Perekonomian Moch. Edy Yusuf. "Kita masih mengadakan penelaahan apakah kita perpanjang atau seperti apa. Namun, komitmen pemerintah sudah jelas luas tutupan sawit kita 16,38 juta hektare (ha) itu merupakan luas tutupan yang selalu kita jaga sejak moratorium dilaksanakan tidak ada lagi izin yang ke luar," kata Edy dalam diskusi virtual yang dipantau dari Jakarta pada Jumat. Dia menyebut berbagai langkah telah diambil pemerintah untuk memastikan berjalannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit itu seperti dengan pencabutan 12 izin perusahaan di Papua Barat. Indonesia sendiri saat ini, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833 Tahun 2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit, memiliki luas tutupan perkebunan sawit mencapai 16,381 juta ha tersebar di 26 provinsi. Edy mengatakan terkait moratorium izin sawit itu, pemerintah terus melakukan pembenahan tata kelola. "Kebijakan pemerintah pada akhirnya adalah untuk kesejahteraan, dalam hal ini terkait dengan kelapa sawit," ujar Edy. Dalam diskusi yang sama Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengatakan berbagai kelompok sipil mengharapkan agar pemerintah dapat memperpanjang moratorium tersebut. Hal itu karena menurutnya meski banyak sudah dicapai pemerintah lewat moratorium itu, seperti konsolidasi data dan selesainya penghitungan luas perkebunan sawit, masih terdapat beberapa isu yang harus dihadapi seperti perbaikan tata kelola. Nadia menyampaikan dibandingkan melakukan perluasan lebih baik fokus pada peningkatan produktivitas melalui Program Peremajaan Sawit Rakyat tanpa harus membuka lahan baru. "Ini juga efektif sebenarnya untuk membantu mencegah kebakaran hutan," katanya. (mth)

Aviliani Perkirakan Pekerja Sektor Informal Akan Semakin Meningkat

Jakarta, FNN - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani memperkirakan pekerja di sektor informal akan semakin meningkat ke depannya. "Bukan berarti ekonominya makin jelek, tapi di era sekarang milenial cenderung tidak mau kerja kantoran dan memilih membuka usaha sendiri bersama teman-temannya," ucap Aviliani dalam Webinar Outlook Perekonomian Global dan Indonesia di Jakarta, Jumat. Maka dari itu, Aviliani berharap agar pemerintah bisa menyesuaikan kebijakan di sektor informal, mengingat pajak biasanya hanya ditarik dari pekerja formal. Padahal, penghasilan milenial yang bekerja di sektor informal cenderung cukup besar dan lebih tinggi daripada di sektor formal. Dengan demikian, hal tersebut menyebabkan potensi penerimaan negara dari masyarakat kelas menengah atas yang bekerja di sektor informal tidak tertangkap. Selain itu, ia menyebutkan penyesuaian kebijakan pemerintah untuk sektor informal juga harus dilakukan agar masyarakat kelas bawah terdampak pandemi yang kehilangan pekerjaannya di sektor tersebut bisa mendapatkan bantuan sosial. "Sektor informal di Indonesia saat ini paling tinggi jumlahnya, artinya orang di sektor tersebut tidak tercapture dari sisi bantuan sosial karena tidak memiliki BPJS Ketenagakerjaan," kata Aviliani. Maka dari itu, data mengenai penerima bantuan sosial harus terus diperbaiki ke depannya, karena krisis akan selalu membawa dampak pada kebutuhan sosial yang tidak bisa ditunda, katanya. (mth)

Penerbitan SBSN Capai Rp1.835 Triliun sampai Agustus 2021

Jakarta, FNN - Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) mencapai Rp1.0835 triliun dengan outstanding saat ini mencapai Rp1.096 triliun sampai dengan 5 Agustus 2021, “(Nilai itu didapat) baik melalui metode penerbitan dengan cara lelang, book building,dan private placement,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Iyan Rubiyanto dalam penerbitan SR015 secara daring di Jakarta, Jumat. Pemerintah mulai menerbitkan SBSN tahun 2008 sebagai sumber pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tidak hanya menjadi sumber dana, menurut Iyan, penerbitan SBSN juga wujud dukungan pemerintah pada perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dan pasar global. Salah satu produk SBSN, sukuk ritel mulai diterbitkan satu tahun kemudian pada 2009. Sepanjang 2009 sampai Maret 2021, pemerintah telah menerbitkan SR001 sampai SR014 dengan total akumulasi dana mencapai Rp221,31 triliun. “Sebagai produksi investasi, sukuk ritel memiliki banyak keunggulan antara lain aman karena dijamin oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN dan Undang-Undang tentang APBN,” imbuhnya. Sejak 2018, pemesanan dan pembelian sukuk ritel bisa dilakukan secara online melalui media distribusi sehingga masyarakat yang berminat bisa membeli kapanpun dan dimanapun selama masa penawaran. Pembelian pemesanan sukuk ritel, menurut Iyan, juga menguntungkan karena imbalan relatif lebih tinggi dibandingkan rata-rata deposito bank. Di samping itu, sukuk ritel juga dapat diperjualbelikan di pasar sekunder. “Hasil penjualan akan digunakan untuk pembiayaan APBN termasuk pembangunan infrastruktur sesuai kebutuhan,” imbuhnya. (mth)