ALL CATEGORY
Bank Indonesia (BI) Biang Kerok Kenaikan Harga BBM dan Inflasi (1)
Kalau Menkeu dan BI bisa menguatkan nilai tukar rupiah menjadi Rp 1.000 per Dolar AS, maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM hanya senilai Rp 500 per liter. Kalau Jokowi mau, bisa melakukan ini. Kalau pembantunya tidak bisa coba cari yang bisa. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) JIKA Bank Indonesia (BI) bisa mengendalikan nilai tukar, maka harga BBM tidak harus sebesar saat ini. Tapi lembaga ini tidak menunjukan peran apa apa, mereka menonton sambil melongo nilai tukar rupiah ambruk separuh selama masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Harga minyak mentah seharusnya tidak perlu ditakutkan oleh pemerintah, asal pemerintah serius menjaga nilai tukar dan menguatkannya terhadap mata uang asing terutama terhadap US Dolar. Caranya banyak. Asal berani saja. Pada masa pemerintahan SBY rata nilai tukar rupiah sebesar Rp 8.000 per US dolar. Kalau harga minyak sekarang 90 US dolar maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM Rp 4.500 per liter BBM. Waktu itu Menteri Keuangan SBY adalah Sri Mulyani. Karena kepotong kasus Ban Century jadi Sri Mulyani tidak menjadi menteri lagi. Sri Mulyani kembali di jaman Jokowi tapi nilai tukar rupiah terhadap US dolar ambruk menjadi Rp 14.750 per dolar AS. Meski harga minyak mentah sama 90 dolar per barel seperti jaman SBY dulu, tapi biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM naik dua kali lipat menjadi Rp 10.000 per liter BBM. Jadi, Bapak Presiden Jokowi cobalah perintahkan kepada Sri Mulyani sebagai Menkeu, supaya diskusi dengan Gubernur BI bagaimana cara menguatkan kembali nilai tukar rupiah terhadap USD. Karena sekarang ini Indonesia itu beli minyak menggunakan dolar. Bukan menggunakan Yuan atau Rubel. Sri Mulyani mudah-mudahan bisa. Pengalaman belasan tahun jadi Menkeu masa’ iya cuma bisanya membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot. Sekali-kali Sri Mulyani tunjukkanlah kepintarannya dengan menaikkan nilai tukar rupiah ini. Sri Mulyani silakan berkoordinasi dengan BI selalu Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan. Jika BI tidak mau taat kepada pemerintah maka bisa diusulkan ke DPR agar BI segera direform dan diletakkan kembali di bawah Menteri Keuangan seperti sebelum reformasi. Kalau Menkeu dan BI bisa menguatkan nilai tukar rupiah menjadi Rp 1.000 per Dolar AS, maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM hanya senilai Rp 500 per liter. Kalau Jokowi mau, bisa melakukan ini. Kalau pembantunya tidak bisa coba cari yang bisa. Jadi, demikian jika nilai tukar Rp 1.000 per dolar maka biaya pokok Rp 500 per liter, ditambah PPN 11 persen, ditambah PBBKB 5 persen, ditambah pungutan BPH Migas, biaya pokok BBM hanya Rp 650-750 per liter. Pertamina bisa jual pertalite Rp 5.000 per liter untungnya bisa segaban. Kalau sekarang dengan biaya pokok BBM Rp 10.000 per liter (harga minyak mentah x kurs 14.750/159 liter sebarel) maka ditambah PPN 11 persen, ditambah PBBKB 5 persen, ditambah pungutan BPH Migas, ditambah pungutan lain-lain, biaya pokok BBM mencapai 12 ribu sampai 13 ribu rupiah. Pertamina jual 10 ribu ya lama-lama Pertamina Pecok. Ngono lo... (*)
Jika Rezim Bebaskan Ferdy Sambo, NKRI Butuh Polri Perjuangan
Oleh: Yusuf Blegur SEMUA mata terus tajam menyorot, semua telinga membuka lebar gendangnya dan semua mulut bergegas membisik kabar kelanjutan kasus Sambo. Nurani publik semakin terusik apakah masih ada harapan melihat keberlangsungan hukum yang berlaku setara dan adil. Ataukah rakyat akan hidup mengenaskan merasakan Polri tak bernyawa menyusul NKRI yang kian sekarat. Sesungguhnya kasus Ferdy Sambo telah menjadi cermin dari penyelenggaraan negara yang amburadul. Pori yang bobrok telah menjadi miniatur NKRI yang rusak. Ketika rezim menjadikan Polri sebagai institusi negara yang kekuasaannya tak terbatas. Polri menjelma bagaikan monster berdarah dingin yang keji dan beringas. Ada suara miring dari publik bahwa semua kejahatan lengkap dan tersedia di lembaga penegakkan hukum tersebut. Mulai dari korupsi, pembunuhan, disorientasi seksual pemerkosaan, judi, miras, narkoba, tambang dan pembalakan hutan ilegal serta beragam bisnis haram lainnya. Bahkan Kekuasaan oligarki melalui cukong-cukong besar yang dikenal sebagai 9 Naga, tak luput menjadikan Polri sebagai mesin politik pemenangan capres abal-abal. Semua itu tak luput dilakukan organisasi yang aparatnya justru berkewajiban mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat. Bagai rangkaian kejahatan personal dan sistemik yang telah lama berlangsung di tubuh Polri. Tragedi di tubuh Korps Bhayangkara yang dilakukan Ferdy Sambo cs., seakan telah menjadi semacam puncak akumulasi kebobrokan Polri teruma dari aspek pengejawantahan Tri Brata dan Eka Prasetya. Dengan banyaknya personal mulai dari bintara hingga jenderal yang terlibat pelbagai \"extra ordinary crime\", yang tidak lagi disebut kesalahan oknum. Kasus Sambo seakan memastikan deklarasi nasional kehancuran kalau belum layak disebut pembubaran Polri. Selain lama pengungkapan dan begitu bertele-tele dalam menuntaskan kasusnya. Penguasa Polri dan irisan yang teribat didalamnya, terkesan berusaha menghalang-halangi penanganan hukumnya, mengaburkan sustansi persoalan dan berusaha mengalihkan kasus Sambo dengan isu atau peristiwa lain. Terlalu banyak keterlibatan para pemangku kepentingan publik dan petinggi negara yang disinyalir terseret kasus Sambo. Mulai dari DPR, partai politik, menteri hingga presiden, boleh jadi memiliki korelasi yang tidak bisa diabaikan berada dalam domain kasus Sambo. Ada kecenderungan bahwa semua distorsi penyelenggaraan negara, termasuk pada kasus Sambo merupakan bagian dari kekuasaan oligarki yang dominan. Dengan semakin tidak jelas dan berlarut-larutnya dalam membongkar secara fokus, detail dan terukur sebagaimana semboyan Presisi Polri. Rakyat untuk kesekian kalinya hanya bisa mengurut dada dan cukup tahu, betapapun aib tragedi Sambo yang telah menjadi kasus nasional dan internasional itu. Seperti biasa hanya menghasilkan ketiadaan supremasi hukum yang teguh memegang prinsip kesetaraan dan berkeadilan. Bahkan sekalipun kasusnya telah menjadi momentum penting dan strategis untuk merefleksi dan mengevaluasi keberadaan serta eksistensi Polri selama ini. Mungkinkah kasus Sambo yang belakangan dinilai memiliki benang merah dengan kasus KM 50, dapat menjadi trigger sekaligus membuka Kotak Pandora dari hancurnya sistem hukum di Indonesia?. Apakah masih ada toleransi dari kejahatan yang terus berlangsung pada Polri baik selaku personal maupun institusional?. Apakah perlu diadakan reformasi atau hanya sekedar restrukturisasi Polri?. Atau lebih ekstrim lagi perlu meninjau kembali keberadaan Polri?. Dengan kata lain, mengingat sudah begitu sangat struktural, terstruktur dan sistematik serta sangat masif, dari semua distorsi kinerja Polri yang begitu miris dan memprihatinkan. Bukan tidak mungkin ada opsi lain berupa pembubaran Polri jika perbaikan dan pembaruan sulit dilakukan pada organisasi keamanan yang kinerja dan pengawasannya secara langsung dibawah presiden. Namun betapapun dilematis dan bagai memakan buah simalakama. NKRI yang butuh Polri dalam peran dan fungsi menjaga keamanan dan keteriban masyarakat. Namun disisi lain performans Polri justru sering menimbulkan keresahan dan menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat. Rasa-rasanya ini membutuhkan lebih dari sekedar ketegasan, kepastian dan keputusan yang bijak. Perlu kematangan dan jiwa besar untuk menemukan solusi yang terbaik. Polri maupun presiden, mutlak membutuhkan kepercayaan publik dari bagaimana cara menangani dan menyelesaikan kasus Sambo agar dapat menjalankan hukum dengan sebaik-baiknya memenuhi aspek kesetaraan dan rasa keadilan rakyat. Tegakkan hukum pada Sambo dan semua irisan yang telibat tanpa pandang bulu, tanpa membeda-bedakan kelas dan status kepangkatan atau jabatannya. Berikan hukuman yang seadil-adilnya demi menjaga marwah Polri, presiden dan bahkan pada negara. Baik buruknya penyelasian kasus Sambo menjadi naik buruknya presiden dan negara. Tak bisa dibantah lagi, Polri adalah representasi Polri dan juga representasi Negara. Jadi selesaikan kasus Sambo di tubuh Polri secara elegan dan bermartabat demi kebaikan Polri, presiden dan negara. Jangan sampai ada konsiprasi dan manipulasi kasus Sambo, apalagi ada upaya meringankan hukuman atau malah membebaskan Sambo. Jika sampai terjadi ada rekayasa dan manipulasi yang melindungi kejahatan di tubuh Polri, maka itu akan mengubur Polri sendiri. Termasuk jika kemungkinan ada konspirasi sampai Sambo dibebaskan, maka bisa saja hal itu menjadi puncak totalitas kehancuran sistem hukum di negeri ini. Oleh sebab itu wajar saja muncul pemikiran publik bahwasanya NKRI butuh Polri Perjuangan.
Perjuangan KH Zainuddin Fannanie
Pada pertengahan Januari 1959 KH Zainuddin Fannanie menjabat Kepala Kabinet Menteri Sosial. Setahun kemudian yaitu pada 12 Agustus 1959 KH Zainuddin Fannanie menjadi anggota BPP-MPRS sampai 1967. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta KIAI Haji Zainuddin Fannanie adalah salah seorang dari tiga bersaudara pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur pada 21 September 1926. Trimurti, Tiga Serangkai Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo bersama 2 orang lainnya KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi. Ia adalah putera keenam dari Kyai Santoso Anom Besari. Beliau lahir di Gontor Ponorogo pada tanggal 23 Desember 1908. KH Zainuddin Fannanie menempuh Pendidikan dimulai dengan masuk Sekolah Dasar Ongko Loro Jetis Ponorogo. Kemudian ia mondok di pondok pesantren Josari Ponorogo, kemudian ke Termas Pacitan, lalu ke Siwalan Panji Sidoarjo. Dari sekolah Ongko Loro ia pindah ke sekolah dasar Hollandshe Inlander School (HIS), kemudian melanjutkan ke Kweekschool (Sekolah guru) di Padang. Sesudah tamat sekolah guru ia masuk Leider School (sekolah pemimpin) di Palembang. Selain itu beliau pernah belajar pada Pendidikan Jurnalistik dan Tabligh School (Madrasah Muballighin III) Muhammadiyah, Jogjakarta, dan selesai pada 1930. Pengalaman Organisasi KH Zainuddin Fannanie menjadi guru di HIS sejak 1926 sampai 1932 dan mengajar di School Opziener di Bengkulen sampai tahun 1934. Pernah menjadi Konsul Pengurus besar Muhammadiyah Sumatra Selatan pada 1942. KH Zainuddin Fannanie menjadi guru Sekolah Muhammadiyah di Bengkulu bersama Bung Karno ketika beliau diasingkan di sana. KH Zainuddin Fannanie menjadi saksi pernikahan Bung Karno dengan Fatmawati. Pada tahun yang sama KH Zainuddin Fannanie menjadi Kepala Penasehat Kepolisian Palembang hingga 1943. Setahun kemudian beliau menjabat Kepala Kantor Keselamatan Rakyat di Palembang. Setelah itu dipilih menjadi Kepala Kantor Tata Usaha Kantor Sju Tjokan. Sejak 8 April 1953 diangkat oleh Presiden menjadi anggota ”Panitia Negara Perbaikan Makanan”. Empat bulan setelah itu, tepatnya pada 1 Agustus 1953 KH Zainuddin Fannanie menduduki Kepala Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial pada Kementerian Sosial. Pada tahun yang sama, 1953, beliau menjabat Inspektur Kepala, Kepala Inspeksi Sosial Jawa Barat dan Sumatra Selatan. Sejak 19 Januari 1956 KH Zainuddin Fannanie mendapat kepercayaan menjadi Kepala Bagian Pendidikan Umum Kementerian Sosial. Pada pertengahan Januari 1959 KH Zainuddin Fannanie menjabat Kepala Kabinet Menteri Sosial. Setahun kemudian yaitu pada 12 Agustus 1959 KH Zainuddin Fannanie menjadi anggota BPP-MPRS sampai 1967. Pada 21 Juli 1967 KH Zainuddin Fannanie meninggal dunia di Jakarta, meninggalkan seorang istri dan seorang anak yaitu Drs. H. Rusydi Bey Fannanie, Anggota Badan Wakaf Pondok Modern Gontor, dengan putra Prof. Dr. Husnan Bey Fannany, MA, mantan Duta Besar Indonesia di Azzarbeyjan. KH Zainuddin Fannanie meninggalkan sejumlah karya tulis. Di antara karya tulis beliau yang masih menjadi bahan rujukan, terutama bagi generasi penerus Pondok Modern Darussalam Gontor adalah: Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam, Penangkis Krisis, Reidenar dan Jurnalistik, serta masih banyak yang lainnya. Sesuai dengan judulnya, buku Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam adalah buku pedoman Pendidikan kader dakwah. Pada 1950-an buku tersebut digunakan secara luas sebagai buku pegangan calon mubaligh, di mana-mana. Salah satu ciri utama buku ini, di setiap penutup bab dicantumkan kata-kata mutiara, baik dari ayat Al-Quran, hadits Nabi, maupun kata-kata bijak ulama, cendekiawan, dan filosof. (*)
Keppres Kontroversial Jokowi
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerja Jokowi telah mengeluarkan Keppres No 17 tahun 2022 yang membentuk Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Tim yang diketuai Makarim Wibisono dengan Ketua Dewan Pengarah Mahfud MD ini dinilai kontroversial. Suara penolakan pun muncul antara lain dari Setara Institute. Yang paling lucu atau aneh yang adalah pelanggaran HAM berat masa Lalu itu ternyata berdasarkan rekomendasi Komnas HAM sampai tahun 2020. Ini bertentangan dengan alasan dan dasar Keppres yakni telah sangat sulit untuk pembuktian pelanggaran HAM berat masa lalu. Tahun 2020 itu masih kemarin. Kasusnya masih sangat mudah untuk diusut kemudian diproses melalui Pengadilan HAM. Penyiasatan Jokowi melalui Keppres 17 tahun 2022 ini terlihat antara lain : Pertama, rekomendasi Komnas HAM menjadi acuan, semestinya tidak harus digantungkan pada rekomendasi Komnas HAM sebab prakteknya lembaga ini di samping kadang kerja tidak tuntas juga sering bias dan ikut \"bermain\" dalam melakukan pemeriksaan pelanggaran HAM. Independensi yang diragukan. Kedua, penyelesaian kasus HAM berat melalui proses peradilan adalah amanat Undang-Undang karenanya perubahan atau diskresi penyelesaian secara non yudisial tidak bisa ditetapkan dengan bentuk Keputusan Presiden ( (Keppres) . Semestinya dengan Undang-undang lagi atau sekurangnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Ketiga, pelanggaran HAM berat seperti kasus Talangsari, Semanggi I dan II, Trisakti atau Wasior Papua diduga pelakunya masih ada, artinya masih bisa diminta pertanggungjawaban. Karenanya terlalu gegabah untuk sekedar melakukan penyelesaian non yudisial. Keppres 17 tahun 2022 berorientasi pada \"santunan korban\" bukan pada pertanggungjawaban hukum dari pelaku. Menggantungnya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebenarnya bukan semata karena sulitnya pembuktian tetapi lebih kepada Pemerintah sendiri yang tidak memiliki kemauan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Kembali soal lucu atau aneh tentang batasan hingga tahun 2020. Adakah Pemerintah Jokowi ingin juga menutup kasus yang terjadi di masa Pemerintahannya yang potensial diusut sebagai pelanggaran HAM berat \"masa lalu\" seperti tewasnya 894 petugas Pemilu dan terbunuh 9 pengunjuk rasa 21-22 Mei 2019 serta pembantaian 6 anggota Laskar FPI Desember 2020 ? Ada aneh dan lucu pula apa yang dipidatokan Jokowi pada tanggal 16 Agustus 2022. Ia menyatakan telah menandatangani Keppres tersebut, padahal fakta yang ada ialah Keppres tersebut ditandatangani tanggal 26 Agustus 2022. Ada kawan nyeletuk \"Kebohongan Presiden ini adalah kulminasi dari berjuta kebohongan yang telah dilakukan Jokowi. Ini adalah pelanggaran HAM berat masa kini\". Rakyat Indonesia yang menjadi korban tidak mau penyelesaian non yudisial ! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 23 September 2022
Club Motor Ismail Mz (Betawi Berprestasi I)
Oleh Ridwan Saidi Budayawan Ismail Marzuki (1914-1958) putra Kwitang asli. Ayah yang mengerti puteranya menyukai musik membelikan Mail biola. Mail ambil course music pada guru-guru music handal. Dalam usia 20 tahun Mail gabung dengan grup music paten Lief Java. Tahun 1936 Mail sudah menulis lagu. Yang pertama ditulisnya Sarinah kemudian Bunga Anggrek. Mail ikut bermain sebagai pemusik dalam film Terang Bulan dengan filmstar Miss Roekiah tahun 1938. Mail tak rehat mencipta sampai terbit kemerdekaan. Ketika Belanda duduki Jakarta kembali 1946 Mail turut mengungsi ke Bandung. Ia menulis. Banyak lagu di Bandung a.l Halo-halo Bandung, Bandung Selatan di waktu malam. Mail juga menulis Panon Hideung syair lagu Fúr Elisse. Tahun 1950 Bung Karno mulai kampanye batalkan KMB dan kembalikan Irian Barat ke Ibu Pertiwi. Mail menulis lagu Irian Samba. Yo menari lenso berhadap-hadapan Empat nona manis dan empat jantan Irama memikat Samba Irian Siapa melihat hati tertawan. Panitia Pemilihan Indonesia pemilu 1955 menetapkan lagu ciptaan Ismail Marzuki Pemilihan Umum Kesana Beramai sebagai lagu resmi. Pemilihan umum ke sana beramai Marilah-marilah saudara semua Marilah bersama memberi suara Suara yang bebas serta rahasia Kalau Bang Thamrin hobinya berkendara mobil sport, Bang Maing kesenangannya ikut club motor. Betawi angkatan Isnail Mz yang juga pencipta lagu dan juga produktif adalah Ucin Muhasin, putera Tenabang. Bang Maing juga setelah beristri pindah dari Kwitang ke Tenabang. Ismail Marzuki wafat pada tahun 1958. Betapa hatiku tak \'kan sedih Telah gugur pahlawanku. (RSaidi)
Noel Itu Waras
Oleh Ady Amar Kolumnis NOEL nama kecilnya. Immanuel Ebenezer nama panjangnya. Makin ke belakang sikapnya makin wise.. Noel seolah tahu kapan ngegas dan kapan ngerem.. Kapan ia membelalakkan matanya, dan kapan senyumnya mengembang. Noel dikenal sebagai Ketua Relawan Jokowi Mania (JoMan). Ia pasang badan jika Presiden Jokowi dikritik. Noel membela dengan tangkas, matanya acap membelalak dengan suara meninggi dalam perdebatan di televisi versus mereka yang mengkritik Jokowi. Tapi Noel bukan sembarang relawan yang menutup mata untuk bicara yang tidak sebenarnya. Sebagai aktivis 98 yang menumbangkan rezim Orde Baru, Noel tidak kehilangan kekritisannya. Tidak banyak yang sepertinya. Ia berani tampil sebagai saksi yang meringankan Munarman, eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI). Meski kawan-kawannya mengingatkan agar ia tak beri kesaksian di Pengadilan. Tuduhan terhadap Munarman bukan main-main, tuduhan teroris. Justru itu kata Noel, ia mesti beri kesaksian pada kawan yang sudah dikenalnya cukup lama. Tidak ada jejak teroris pada Munarman, katanya. Noel tampil seolah ia bukan bagian dari Jokowi. Noel nekat hadir di PN Jakarta Timur, dan bicara lantang tentang kawan yang dikenalnya, yang tidak sebagaimana tuduhan jaksa. Para buzzer, utamanya Denny Siregar mencak-mencak melihat sikap Noel yang melawan \"tradisi\" persengkokolan. Meminta Erick Thohir, Menteri BUMN, untuk mencopot Noel selaku komisaris BUMN. Tidak menunggu lama, Noel dicopot sebagai komisaris anak perusahaan BUMN, PT Mega Eltra. Tidak tampak sikap penyesalan darinya. Noel pastilah tahu risiko yang diambilnya. Ia tetap mengambil peran yang tidak disuka rezim. Noel pengkhianat, kata para buzzer, yang memang dibayar untuk menumpulkan nalar dan nuraninya. Noel tak perlu merengek-rengek pada Jokowi, ia biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Noel, akan tetap bersama Jokowi sampai di ujung periode keduanya, itu yang ia tuturkan. Tapi melihat wacana yang ingin menjadikan Jokowi maju lagi untuk periode ke-3, Noel meradang menampakkan sikap ketidaksukaannya. Katanya, presiden 3 periode itu produk haram. Pun saat Jokowi digadang-gadang maju lagi sebagai cawapres, Noel pun bersikap dengan mengatakan, lebih baik Jokowi dukung Anies Baswedan saja, itu lebih elok. Noel amat mengedepankan asas kepatutan dalam berdemokrasi, yang itu seperti tak bisa ditawar-tawar. Kecintaannya pada Jokowi tak membuatnya mengkhianati nilai-nilai demokrasi yang dijunjung dan diperjuangkan bersama kawan-kawannya, yang masih memilih posisi di tempat terhormat. Noel saat ini tampil sebagai relawan Ganjar Pranowo--Ganjar Mania, meski yang didukung belum dapat tiket maju lewat partai apa--ia anggap Ganjar sebagai kelanjutan dari Jokowi. Pilihan yang diyakini benar. Sah-sah saja pilihannya. Sikap Noel akhir-akhir ini memang makin matang, tampak lebih dewasa. Meski ia pendukung Ganjar, yang berpotensi akan berhadapan dengan penantang berat seorang Anies Baswedan, Noel pantang menjelekkan. Bahkan ia memanggil Anies dengan Mas Anies, yang disebutnya sebagai kader bangsa, bukan kader partai. Tak cukup di situ, Noel bahkan mengatakan bahwa Habib Rizieq juga bukan kader partai, yang punya hak berkontribusi untuk bangsa ini. Dia (Habib Rizieq) juga punya hak dipimpin dan memimpin, itu dilindungi undang-undang. Sementara orang dekat Jokowi lainnya menghindar bicara positif tentang Anies Baswedan, dan apalagi Habib Rizieq Shihab--menyantolkan nama itu dipikiran saja seolah terlarang--Noel justru menampakkan sikap berbeda. Bahkan tuduhan pada Anies sebagai bapak politik identitas, Noel menyangkalnya. \"Yang politik identitas itu Denny Siregar dan Cokro TV karena mereka yang selalu menarasikan sendiri politik identitas. Banyak teman Anies yang Kristen kok, banyak teman nasionalis saya yang juga dukung Anies,\" kata Noel dalam wawancaranya dengan Realita TV. Maka, biarkan Noel tetap membantu Ganjar Pranowo di sana. Jangan berharap Noel berada di kubu Anies. Biar saja Noel terus bersama Ganjar, agar ia bisa jadi penyeimbang akal sehat. Berharap politik bisa tetap santun, tidak saling menjegal dengan menghalalkan segala cara. Dan saya, juga Anda tentunya, masih ingin melihat langkah-langkah positif Noel berikutnya. Benar, gak? (*)
Samboisme, Aparat Kok Tidak Kapok-kapok?
Oleh Syafril Sjofyan - Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78 PERLAKUAN keras dan brutal kembali diperlihatkan oleh aparat kepolisisan dalam mengamankan unjuk rasa mahasiswa di Bandung (22/9). Setelah demo mahasiswa di gedung DPRD Provinsi Jabar mengenai kenaikan harga BBM. Polisi membubarkan mahasiswa dengan gas air mata dan mengejar mahasiswa sampai jauh kearah Jalan Dago. Bahkan beberapa masyarakat yang bukan peserta aksi pengendara kendaraan motor kena gas air mata. Apa perlunya polisi harus mengejar mahasiswa sampai jauh dari lokasi unjuk rasa, ketempat umum. Mahasiswa peserta aksi yang tertangkap, di pukuli dan ditendang. Mahasiswa bukan penjahat. Mereka calon-calon pemimpin. Sedang melakukan tugas mereka dalam pengabdian kepada masyarakat. Menyampaikan aspirasi. Memprotes kenaikan harga-harga. Tidak semestinya diperlakukan kekerasan secara semena-mena. Mengenai adanya tindakan anarkis harus juga peka, bahwa ada penyusup. Saat kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian anjlog karena kasus Sambo. Baru saja kena “tampar” oleh Menko Polhukam bahwa beberapa polisi tamak, bergaya hedonis dan sombong. Institusi Polri dalam pengawasan rakyat. Lalu aparat polisi kembali melakukan tindakan kekerasan sesuatu tindakan tak terpuji dalam mengamankan unjuk rasa mahasiswa. Tindakan tersebut akan menambah hancur kepercayaan masyarakat. Bahwa polisi sebagai pengayom. Artinya. Jangan salahkan rakyat karena berbagai tindakan, prilaku dan gaya hidup aparatlah yang membuat rusaknya citra polisi di mata rakyat. Jika citra rusak dan kepercayaan rakyat kepada polisi sampai ketingkat nadir. Berbahaya bagi Negara dan bangsa. Hentikan kekerasan dalam mengatasi unjuk rasa. Hentikan juga rekayasa membela diri. Samboisme. Jaman android. Semua tindakan tidak bisa ditutupi. Sosial media berupa foto dan video kekerasan dengan cepat beredar. Tidak saja didalam negeri tapi juga di luar negeri. Memperlihatkan wajah kepolisian dengan telanjang. Sepertinya Kapolri harus segera berbenah dengan tegas. Harus pula didukung oleh semua Kapolda, Kapolres dan Kapolsek. Hentikan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Cukup sudah. Ketika rombongan polisi lewat diteriaki dengan Sambo! Sambo oleh masyarkat. Anak SD pun ikut membuat lagu. Sambo. Bandung, 22 September 2022
Gde Siriana: PLN Yang Rugi, Rakyat Yang Bayar, Curang
PT PLN (Persero) saat ini sedang melakukan uji coba konversi kompor elpiji ke kompor listrik atau kompor induksi di berbagai kota. Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo menyebut dalam program konversi kompor elpiji ke kompor listrik, masyarakat bisa hemat hingga Rp 8.000 per kilogram elpiji. Pandangan Darmawan dibantah oleh Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS), Gde Siriana Yusuf. Berikut wawancara Sri Widodo Soetardjowijono dari FNN dengan Gde Siriana Yusuf. Petikannya: Menurut Anda apakah kebijakan itu tepat untuk saat ini? Seperti masyarakat umumnya, ya saya juga bingung kenapa tiba-tiba pemerintah ngurusi cara masak rakyat. Tapi kan ketahuan juga bahwa kebijakan ini gak jelas asal-usulnya, misalnya sebagai kampanye green energy atau apa, kampanye cara hidup sehat atau apa, atau kampanye cara masak yang lebih aman dari kompor gas, misalnya. Tau2 masyarakat disuruh ganti kompor gas ke kompor listrik. Belakangan kita tahu bahwa rencana konversi gas LPG 3 kg ke kompor listrik kan karena ada kelebihan pasokan/oversupply listrik PT PLN (Persero). Nah ini koq jadi rakyat yang harus dibebani? Padahal ini kan salah perhitungan di PLN. Maksud salah perhitungan? Begini, kontrak listrik PLN kan dengan skema take or pay. Artinya, PLN harus tetap bayar sesuai kontrak meski listrik yang diproduksi produsen listrik swasta (IPP) dipakai atau tidak. Nah, ini kan kelemahan kontrak yang PLN bikin sendiri dengan swasta. Lalau kalau sekarang rakyat dipaksa serap kelebihan listrik tersebut dengan cara ganti kompor gas ke listrik, apakah itu fair buat rakyat? Sama aja rakyat dipaksa nolong PLN dari kerugian. Cara pandang seperti ini berbahaya sebagai dasar dibuatnya kebijakan publik. Kesalahan atau kelemahan yang dibuat pemerintah tapi rakyat yang harus menanggung. Apakah ini akan berjalan diterima masyarakat? Ini kan 300 paket kompor listrik akan dibagikan tahun ini ke masyarakat menengah-bawah. Setahu saya belum ada sosialisasi atau survei atau feasibility studies di masyarakat. Bagaimana penerimaan masyarakat kan bergantung pada penyesuaian kebiasaan di awalnya, lalu setelah jalan dihitung biaya yang ditanggung lebih murah atau justru lebih mahal. Biaya ini kan bukan soal konsumsi listriknya saja, tetapi ketika daya ditambah abondemennya kan naik, juga biaya per kwh nya apakah tetap atau naik dibandingkan sebelum daya ditambah. Masyarakat biasanya sederhana aja, setiap bulannya nanti pengeluaran nya naik atau tetap. Kedua, beban rakyat kan semakin berat setelah harga BBM naik, masa tega sih rakyat dipaksa konsumsi kelebihan listrik PLN? Jadi menurut Anda, kenapa pemerintah tetap paksakan kebijakan ini? Yaitu tadi pemerintah hanya berpikir dari perspektif nya saja, yaitu apa yang mungkin. Artinya yang paling mungkin untuk selamatkan keuangan pemerintah. Tapi rakyat kan perspektifnya apa yang harus, yaitu seharusnya rakyat dapat energi yang termurah. Ini juga sama dengan kebijakan harga BBM naik. Jadi siapa yang diuntungkan dari kebijakan ini? Pertama ya direksi dan komisaris PLN. Karena kalau kelebihan listrik ini tidak terserap, PLN kan potensi merugi. Lalu gaji dan bonus Direksi dan Komisaris PLN gimana? Kedua ya produsen kompor listrik. Rencananya kan akan diproduksi 5juta unit kompor listrik tahun depan. Sudah bisa dihitung dong untungnya berapa. Nah tinggal dilihat siapa aja produsennya. (sws)
“Dewan Kolonel” Dianggap Guyonan: Ledek Tentara?
Kalau alasan Hasto dan petinggi PDIP lainnya, sebutan Dewan Kolonel adalah guyonan politik, itu sama halnya dengan meledek atau mencemooh tingkatan kepangkatan tentara. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) JELANG Peristiwa G-30-S/PKI beredar isu yang dihembuskan PKI, adanya pembentukan “Dewan Jenderal”. Kemudian terjadilah penculikan oleh PKI yang berbuntut pembantaian atas 6 Jenderal dan 1 Kapten TNI AD. Jejak sejarah telah mencatat peristiwa kelam tersebut. Kini julukan serupa muncul lagi. Hanya saja namanya “Dewan Kolonel”. Ini dilontarkan oleh beberapa anggota Fraksi PDIP di DPR RI, antara lain Johan Budi dan Trimedya Panjaitan. Dewan Kolonel ini dimaksudkan ingin membantu sosok Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga Ketua DPR RI agar bisa mendapat kepercayaan sehingga jalan menuju Pilpres 2024 bisa dilalui. Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat angkat suara. Menurut Achmad, munculnya tim ini adalah upaya Megawati supaya tidak “kecolongan” kembali dalam kontestasi Pilpres. Di sini terlihat jelas bahwa Megawati Soekarnoputriputri sendiri tidak mau kecolongan untuk kedua kalinya dimana PDIP memberikan tiket capres pada bukan garis Megawati sebagai Ketum PDIP. “Tapi memberikan tiketnya kepada kader PDIP semata,” jelas Achmad dalam keterangan resminya, Rabu (21/9/22). Menurutnya, penguatan trah Soekarno dalam PDIP adalah hal yang penting sehingga perlu adanya cara untuk merespons adanya oknum kader yang mulai tebar pesona sehingga moncer di lembaga survei untuk jadi capres. Salah satu yang disebut-sebut adalah sosok Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sehingga dengan munculnya nama Ganjar dalam berbagai Survei tentu membuat Megawati sebagai Ketum Partai merasa tidak nyaman. “Berkali-kali disampaikan, keputusan memilih capres adalah kewenangannya selaku Ketua Umum dan bukan oleh tekanan tekanan pihak eksternal,” jelas Achmad. Maka, demi menguatkan eksistensi keturunan Soerkarno ini, lanjut Achmad, Megawati tentu akan berusaha maksimal supaya putrinya tersebut bisa ikut kontestasi Pilpres 2024. “Dan tentu saja Megawati akan lebih memilih Puan Maharani untuk maju sebagai capres dari PDIP. Dan pembentukan Dewan Kolonel ini bisa jadi adalah upaya untuk menandingi timses Ganjar Pranowo Ganjarist untuk mendapatkan tiket 2024 mendatang,” jelas Achmad. Namun, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan bahwa Dewan Kolonel hanya Guyon saja. Ia bahkan mengklaim Megawati terkejut dengan ramainya pembicaraan soal Dewan Kolonel demi tercapainya Puan Maharani Presiden di 2024. “Bahkan tadi pagi pun, Ibu Mega ketika melihat di running text pada saat saya laporan ke beliau. Beliau juga kaget, dan kemudian ya akhirnya mendapat penjelasan bahwa tidak ada Dewan Kolonel,” ujar Hasto, seperti dikutip dari laman Detikcom, Rabu (21/9/22). Ucapan Hasto itu berbeda dengan yang disampaikan Anggota Komisi Hukum DPR Fraksi PDIP Johan Budi. Johan mengaku sebagai inisiator dibentuknya Dewan Kolonel. Johan menjelaskan, Dewan Kolonel dibentuk tiga bulan lalu. Mulanya, kelompok ini terdiri dari 6 orang, di antaranya Johan Budi, Trimedya Panjaitan, Hendrawan Supratikno, Masinton Pasaribu, dan Agustina Wilujeng. “Kami di fraksi ada sekelompok orang, ingin menjadi timnya Mbak Puan untuk persiapan pemilihan presiden (pilpres). Tentu kita masih nunggu keputusan Ibu Ketua Umum siapa yang dipilih. Tapi kami sudah prepare duluan kalau misalnya nanti Mbak Puan yang ditunjuk, tim ini sudah siap,” kata Johan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 20 September 2022. Kendati begitu, Johan menyebut Dewan Kolonel merupakan inisiasi para penggemar Puan. Ia menolak Dewan Kolonel dikaitkan dengan kepengurusan pusat PDIP. “Gak ada hubungannya sama Dewan Pengurus Pusat PDIP, ini inisiatif kami sendiri sebagai kader perorangan. Awalnya Mas Utut dan Mas Pacul engga ikut, kami mencari jenderal yaudah kita tunjuk saja,” ujarnya. Ketua Fraksi PDIP DPR Utut Adianto meluruskan soal pembentukan Dewan Kolonel yang diusulkan anggotanya Johan Budi Sapto Pribowo. Kata Utut, sebutan Dewan Kolonel hanya sebuah penyemangat. Utut memastikan, konsep besar pembentukan Dewan Kolonel tetap untuk mendukung pencapresan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Ia mengaku tidak masalah dengan keberadaan Dewan Kolonel tersebut. “Inikan cuma ya Mas Johan Budi memberikan julukan, supaya semangat. Kalau konsep besarnya kan membantu mbak Puan,” ujar Utut di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (22/9/2022). Sebelumnya, Hasto menyebut Dewan Kolonel yang dibentuk anggota Fraksi PDIP DPR RI hanya guyonan politik. Hasto telah mengkonfirmasi ke Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto dan Sekretaris Fraksi Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul. Hasto menegaskan, Dewan Kolonel tidak ada dalam struktur partai. Rasanya kurang pantas jika simbol atau atribut kepangkatan dalam militer (baca: TNI) itu dibuat guyonan politik. Bagi seorang Tentara, pangkat adalah satu kebanggaan, apalagi ketika dia sudah berpangkat Kolonel. Kalau alasan Hasto dan petinggi PDIP lainnya, sebutan Dewan Kolonel adalah guyonan politik, itu sama halnya dengan meledek atau mencemooh tingkatan kepangkatan tentara. Apalagi, Relawan Ganjar Pranowo (Ganjarist) juga membuat “Dewan Kopral” untuk menyaingi Dewan Kolonel sebagai pendukung Puan Maharani. Ketua Ganjarist, Immanuel Ebenezer, menyatakan bakal membentuk Dewan Kopral sebagai tandingan dari Dewan Kolonel. Tampaknya politisi PDIP sudah melupakan peristiwa marahnya prajurit TNI atas pernyataan Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon yang menyebut TNI seperti gerombolan dan melebihi ormas yang dikemukakan saat rapat kerja dengan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa di gedung DPR RI Jakarta, Senin (5/9/2022) lalu. Pernyataan Effendi Simbolon itu membuat prajurit TNI AD di sejumlah wilayah Indonesia mulai dari jenderal hingga tamtama marah. Kemarahan prajurit TNI AD itu banyak ditemukan di media sosial. Jangan sampai guyonan Dewan Kolonel, apalagi Dewan Kopral menjadi salah satu pemicu marahnya prajurit TNI, karena dianggap meledek. (*)
Jerita Hati Nakes, Covid Datang Kami Lawan, Covid Hilang Kami Dilupakan
Jakarta, FNN - Dewan Pengurus Nasional Forum Komunikasi Honorer Nakes dan Non-Nakes Indonesia (DPN FKHN Indonesia) mengeluhkan masalah pengangkatan status honorer kepada Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dengan menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat, Kamis (22/9/22). Massa yang hadir dari berbagai wilayah berkumpul di sekitar Patung Kuda dalam menyuarakan aksi unjuk rasa menuntut pemerintah agar status honorer para nakes dan non-nakes dapat diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Para massa telah berkumpul dari pagi hari sekitar pukul 05.00 WIB. Terlihat dari beberapa spanduk yang menyuarakan tuntutan mereka maupun keluh kesah mereka yang tidak juga diangkat menjadi ASN. \"Covid-19 Datang Kami Lawan, Covid-19 Hilang Kami Dilupakan,\" tulis salah satu spanduk yang dibawa massa aksi. Banyak juga yang menyuarakan kesejahteraan mereka yang dibuang begitu saja selepas meredanya pandemi COVID-19. \"Tolong pikirkan nasib kami yang sudah mengabdi. Kami garda terdepan dan sampai saat ini masih jadi garda terdepan, ASN harga mati,\" tertulis di salah satu spanduk. Dari perwakilan FKHN juga sudah ada yang menemui KSP dan melakukan audiensi di Istana Kepresidenan. Salah satu perwakilan dari FKHN adalah Ketua Umum FKHN, Sepri Latifan. Selepas audiensi dengan KSP, Sepri Latifan lalu menyampaikan hasil keputusan yang didapat kepada para massa aksi di atas mobil komando. \"Mudah-mudahan apa yang menjadi harapan kita, betul-betul terakomodir dengan baik tanpa terkecuali. Kita berdoa bareng-bareng, ikhtiar bareng-bareng, tawakal bareng-bareng. Alhamdulillah apa yang menjadi harapan kita, kata Staf Kepresidenan, menerima kita dengan baik. Mudah-mudahan ini menjadi bukti perjuangan kita, sejarah panjang perjuangan kita,\" tuturnya. \"Jadi ada beberapa poin yang kita sampaikan kepada KSP. Salah satunya kita menuntut KSP untuk memfasilitasi kita untuk bertemu langsung dengan presiden. Setelah itu, KSP kita minta untuk mengawal, memfasilitasi, regulasi, apapun itu bentuknya yang pro kepada Non-ASN,\" tambahnya. Sepri juga menambahkan bahwa poin-poin tuntutan yang sudah dibicarakan dengan KSP nantinya akan dibahas dalam rapat terbatas dengan presiden. \"Setelah itu, apa yang menjadi poin-poin aspirasi kita tadi, akan disampaikan melalui rapat terbatas dengan Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo. Salah satunya yang menjadi kajian bahan diskusi, bahan rapat terbatas presiden itu, bersumber dari KSP,\" ucapnya. Setelah itu, aksi unjuk rasa ditutup dengan doa untuk para rekan-rekan massa aksi yang telah gugur selama mengahadapi pandemi COVID-19 ini. Massa aksi pun bubar meninggalkan lokasi demo secara teratur sekitar pukul 15.15 WIB. Sementara itu, berdasarkan pantauan langsung FNN, kondisi lalu lintas di sekitar wilayah patung kuda terbilang lancar selain arah jalan Merdeka Barat yang diblokade untuk antisipasi demo kenaikan BBM.(fik)