ALL CATEGORY
Baku Cepat, Baku Cegat
Publik melihat kualitas kepemimpinannya di DKI Jakarta. Begitu juga hasil kerjanya. Dan bukankah para calon lawannya juga mengakui kualitas dan kapabilitasnya itu? Kalau tidak mengakui, kenapa mereka harus takut? Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior BAKU Cepat, Baku Cegat. Apakah itu yang terjadi dalam deklarasi Anies Baswedan sebagai Bakal Calon (Balon) Presiden pada Pilpres 2024 oleh Partai Nasdem? Seperti diduga banyak kalangan? Yakni, ketika Ketum Nasdem Surya Paloh memutuskan untuk adu cepat agar segera mendeklarasikan Balon Presidennya, Senin (03/10/2022) lalu. Setelah berkembangnya isu bahwa Ketua KPK Firli Bahuri sangat ngotot agar Anies segera dijadikan tersangka dugaan korupsi perhelatan balap mobil Formule E. Hal itu sebagai salah satu upaya Ketua KPK mencegat pencapresan Anies. Sebelum ada yang mencapreskan Gubernur DKI Jakarta itu. Bagaimanapun, pendeklarasian Anies Baswedan oleh Surya Paloh dan dugaan pemaksaan kehendak untuk mentersangkakan Anies oleh Firli Bahuri tak pelak menjadi isu terpanas minggu ini. Publik tentu saja segera merespon. Komentar pro dan kontra di berbagai platform media sosial karenanya juga tak henti bermunculan. Ada yang beranggapan Surya Paloh terlalu kesusu. Karena terlalu cepat mengumumkan Balon Presidennya. Memajukan tanggalnya dari tanggal 16 November yang direncanakan sebelumnya. Tapi di balik itu, ada pula yang berpandangan bahwa langkah Surya Paloh ini sangat brilian. Sebagai “king maker”, dia begitu piawai mengambil keputusan. Menjatuhkan pilihan terhadap seseorang yang menurutnya memiliki potensi paling besar untuk meraih kemenangan dalam pilpres 2024 mendatang. Dan bila itu terjadi, Nasdem tentu akan memperoleh coattail effect-nya. Yaitu meningkat tajamnya perolehan suara Nasdem, sebagai akibat dari popularitas dan elektabilitas Anies. Selain itu, bukankah ada pula yang menganggap langkah Surya Paloh ini sebagai langkah yang kontroversial dan sangat berani? Berseberangan langsung dengan keinginan penguasa. Mbalelo dari kesatuan koalisi pemerintahan yang partainya ada di dalamnya. Dan yang paling disorot, karena langkah ini bertolak belakang juga dengan keinginan Presiden Joko Widodo, khususnya, yang mengharapkan agar pilpres 2024 mendatang hanya diikuti dua pasang calon. Dan di mata publik, dua pasang calon dimaksud adalah para calon di luar Anies. Sementara, beberapa hari lalu, publik bahkan dikejutkan oleh pernyataan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief. Dalam rekaman video berdurasi 1.52 menit – sebagaimana dikutip beberapa media Ahad (25/9) – dia membongkar strategi untuk memenangkan Ketua DPR RI Puan Maharani. Balon Presiden andalan yang digadang-gadang oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Andi mengatakan, satu-satunya cara Puan menang Pilpres 2024 adalah dengan menjegal lawan politik dan calon presiden lainnya dengan cara kriminalisasi. “Kalau PDIP menawarkan Puan Maharani, hanya satu yang bisa membuat Puan Maharani menang, semua ditangkapin aja,” katanya. Lalu, apakah dengan begitu Anies sebagai salah satu balon paling potensial akan ditangkap menggunakan KPK? Apakah tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketentuan hukum yang berlaku mentersangkakan, kemudian memenjarakan seseorang, dengan bukti-bukti yang tidak cukup? Apakah pemerintah dan partai penguasa begitu khawatir terhadap potensi seorang Anies Baswedan? Apakah dengan begitu tidak akan berpikir ulang menggunakan lembaga anti rasuah itu sebagai strategi licik untuk meraih kemenangan? Calon Nihil Kualitas Terlepas dari kasak-kusuk sejumlah pihak dalam menyongsong pilpres dan pemilu legislatif 2024 mendatang, berbagai pertanyaan tentu berkelebat di benak masyarakat Indonesia sekarang. Tapi pertanyaan paling penting bagi bangsa ini adalah bagaimana menerapkan sistem demokrasi yang benar. Setelah banyak kalangan yang tidak puas dengan penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Buktinya, ada sebagian masyarakat yang menyebut rezim yang dihasilkan dari pemilu 2019 ini, misalnya, sebagai “rezim kardus digembok”. Seperti sering ditemukan dalam komentar-komentar warganet di berbagai platform media sosial. Terkait kotak suara yang digunakan. Yaitu yang terbuat dari kardus yang digembok. Lucu dan aneh. Tapi juga nyata. Di kalangan anak bangsa yang dapat berpikir jernih, dirasakan semakin tumbuhnya kesadaran tentang betapa pentingnya penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Baik pada 2024 maupun pemilu-pemilu selanjutnya. Yaitu bila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, dan semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semua mendapat perlakuan yang sama. Bebas dari kecurangan atau perlakuan yang tidak adil dari pihak mana pun. Bila semua itu terpenuhi, maka bolehlah kita berharap bahwa bangsa ini akan mampu menghadirkan dan menyelenggarakan sistem pemerintahan yang demokratis. Dari situ pun kita boleh berharap bisa menghasilkan para pemimpin yang kualified. Memiliki kapasitas terbaik, punya kapabilitas dalam mengatasi masalah dan merupakan sosok pemimpin yang integritasnya tidak diragukan lagi. Yang akan berjuang memajukan kesejahteraan bersama. Sehingga seluruh rakyat sejahtera. Sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Sejauh ini, amat sangat disayangkan bahwa kita terperangkap dalam sistem yang buruk. Calon pemimpin yang muncul ke permukaan tidak lepas dari kenyataan L4. Yaitu “Lu Lagi Lu Lagi”. Itu semua disebabkan adanya keterbatasan jumlah calon, sebagai akibat dari kebijakan mempertahankan Presidential Threshold 20 persen. Yang semakin memperdalam cengkeraman partai-partai besar dan koalisinya. Sementara mereka minus calon pemimpin yang berkualitas. Dengan demikian, sekarang semakin terang benderang bahwa pemunculan nama-nama bakal calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024 mendatang begitu nihil kualitas. Karena masing-masing calon yang dimunculkan tidak diukur elektabilitas, kapasitas dan integritasnya dari segi konsep yang hendak mereka usung. Sebaliknya, pengusungan mereka hanyalah dari kuatnya dukungan partai maupun dukungan oligarkhi politik dan ekonomi. Sebab itu, pemilu 2024 dan pemilu-pemilu berikutnya akan sulit disebut sebagai pemilu yang jurdil. Bila keadaan ini tidak berubah. Pertarungan yang akan terjadi hanyalah soal-soal kuat-kuatan semata. Artinya, yang kuat akan mengalahkan yang lemah. Yang besar akan menundukkan yang kecil. Melaksanakan apa yang disebut “hukum rimba”. Karena itulah, ketika Anies tampil sebagai salah satu calon alternatif, banyak yang panik. Terutama mereka yang akan ikut bertarung dalam perebutan jabatan presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024 nanti. Sehingga ada yang mencoba menjegal langkahnya, agar jangan sampai dicalonkan. Pertanyaanya, kenapa? Tentu saja, karena selama 5 tahun memimpin DKI Jakarta, Anies sudah memperlihatkan kualitasnya. Diakui atau tidak, Anies sudah menunjukkan prestasinya. Prestasi yang tidak dimiliki para calon lawan. Masyarakat di seantero Nusantara – tak hanya masyarakat Jakarta – melihat dengan mata telanjang kenyataan-kenyataan itu. Sehingga mereka mengelu-elukannya sebagai calon pemimpin masa depan. Bahwa segala macam survei dan poling pendapat selama ini yang tidak menempatkan elektabilitas Anies pada peringkat satu ternyata dipandang publik sebagai kepalsuan dan kebohongan. Upaya sejumlah pihak yang selama ini sengaja mengerdilkan namanya, ternyata berbuah sebaliknya. Publik melihat kualitas kepemimpinannya di DKI Jakarta. Begitu juga hasil kerjanya. Dan bukankah para calon lawannya juga mengakui kualitas dan kapabilitasnya itu? Kalau tidak mengakui, kenapa mereka harus takut? Yang tidak kalah menarik, ternyata lembaga think tank seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS), termasuk Indonesia Lawyers Club (ILC), dalam surveinya belum lama ini, menempatkan elektabilitas Anies di urutan pertama. Jika pemilu diselenggarakan sekarang. Rakyat sudah sangat merindukan tampilnya pemimpin yang mumpuni. Memiliki kualitas, kapabilitas dan integritas. Yang mampu keluar sebagai pemenang dalam pertarungan adu konsep. Bukan kuat-kuatan dukungan partai atau pun oligarkhi. Jangan sampai terjebak lagi seperti beli kucing dalam karung. (*)
Usai Pelimpahan Tahap II, Ferdy Sambo Tinggalkan Kejagung
Jakarta, FNN - Salah seorang tersangka kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, yakni Ferdy Sambo meninggalkan Gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) usai pelimpahan tahap II.Pantauan di lapangan, Rabu, Ferdy Sambo bersama Putri Candrawathi tiba di Kejagung sekitar pukul 11.42 WIB dan meninggalkan gedung tersebut pukul 12.57 WIB.Saat keluar dari Gedung Jampidum, Ferdy Sambo dikawal ketat oleh anggota Brimob dengan seragam lengkap. Mantan Kadiv Propam Polri tersebut dibawa langsung menggunakan kendaraan taktis.Saat Sambo menuju kendaraan taktis awak media mencoba mengambil gambar dan merekam video namun dihalangi personel Brimob. Situasi tersebut sempat riuh karena para wartawan terus dihalangi aparat keamanan.Jampidum Kejagung RI Fadil Zumhana mengatakan Ferdy Sambo, HK, AN, dan ARA tetap ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat. \"Terhadap yang lain CP, IW, dan BW di Bareskrim Polri,\" kata Jampidum Kejagung RI Fadil Zumhana.Kemudian, untuk tersangka RR, RE, dan KM ditahan di Bareskrim Polri. Sementara, tersangka PC ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejagung RI Jakarta Pusat. (Ida/ANTARA)
Tersangka Kasus Dugaan Pembunuhan Brigadir J Dihadirkan Kejagung
Jakarta, FNN - Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menghadirkan langsung para tersangka kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J di lobi Gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum).Pantauan di lapangan, Rabu, Ferdy Sambo merupakan tersangka pertama yang keluar dari Gedung Jampidum Kejagung dan langsung masuk ke dalam kendaraan taktis. Selepas itu, giliran Putri Candrawathi yang muncul di lobi Jampidum.Berikutnya, pihak Kejagung menampilkan atau membawa Kuwat Maruf bersama Bripka Ricky Rizal di hadapan awak media massa. Selepas itu, giliran Bharada E yang juga merupakan tersangka berstatus justice collaborator.Tidak lama kemudian, Hendra Kurniawan bersama salah seorang tersangka lainnya juga dihadirkan. Mantan anak buah Sambo itu diperlihatkan kepada media massa dengan menggunakan masker. Terakhir, Kejagung membawa empat tersangka, namun keempat identitas-nya belum diketahui pasti.Jampidum Kejagung RI Fadil Zumhana mengatakan sesuai hasil koordinasi dengan Bareskrim Polri tersangka Ferdy Sambo, HK, AN, ARA tetap ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat. \"Terhadap yang lain CP, IW dan BW di Bareskrim Polri,\" kata Jampidum Kejagung RI Fadil Zumhana.Kemudian, untuk tersangka RR, RE dan KM juga ditahan di Bareskrim Polri. Sementara, tersangka PC ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba cabang Kejagung RI Jakarta, Pusat. (Ida/ANTARA)
P20 Jadi Momentum Kerja Sama Global
Jakarta, FNN - Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Mardani Ali Sera mengatakan bahwa Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) \"Parliamentary Speakers Summit\" (P20) menjadi momentum kerja sama global.\"Tentu momentum kerja sama global ya, pandemi COVID-19 ini kan menunjukkan perangkat infrastruktur global kita punya masalah,\" kata Mardani saat dihubungi di Jakarta, Rabu.Kerja sama tersebut, kata Mardani, salah satunya diperlukan untuk mengatasi efek global dari pandemi COVID-19 yang menerpa seluruh negara di dunia sehingga mau tidak mau negara-negara di dunia harus bekerja sama untuk pulih dari pandemi COVID-19.\"Kita tidak ingin dunia timpang seperti ini karena ketika pandemi satu kena, maka semua kena. Kayak, misal negara kaya selesai pandeminya tapi dia enggak akan sebelum every single and every single area in this plenet selesai,\" ujarnya.Anggota Komisi II DPR RI itu menyebut bahwa P20 menjadi momentum untuk menyuarakan hak asasi manusia (HAM), termasuk aksi afirmatif untuk kelompok minoritas maupun tertinggal. \"Karena kasus Rusia kemarin dengan ukraina kan jelas bahwa ada kejadian satu negara yang berdaulat bisa diserang ataupun dilakukan tindakan militer,\" ucapnya.Di samping itu, Mardani menggarisbawahi bahwa P20 dihelat dalam rangka menguatkan kerja sama antarparlemen. \"Contohnya, gimana memperkuat hubungan antarparlemen, kan recovery stronger then recovery together. Kita berharap semuanya punya kelebihan ketika P20 diadakan,\" katanya.Mardani berharap penyelenggaraan P20 dapat menghasilkan kesimpulan yang bersifat implementatif dan bukan sekadar seruan atau imbauan belaka. Ia berharap penyelenggaraan P20 dapat membahas secara detail dan jujur perihal situasi krisis global yang tengah dihadapi seluruh negara di dunia saat ini.\"P20 menjadi harapan dari 200 lebih negara di dunia ada 20 negara dengan GDP (\'gross domestic product\') terbesar yang diharapkan menjadi motor bagi dunia yang lebih ramah lingkungan, ramah keluarga, ramah prinsip dan nilai, kemanusiaan, serta demokrasi,\" kata Mardani.The 8th G20 Parliamentary Speaker Summit (P20) akan digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 6-7 Oktober 2022. P20 yang merupakan Forum Parlemen Negara-Negara G20 yang diselenggarakan dalam satu rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.DPR RI mengusung Tema \"Stronger Parliament for Sustainable Recovery\" dalam P20 yang sejalan dengan Tema Presidensi G20 \"Recover Together, Recover Stronger\".P20 akan membahas empat isu prioritas, yaitu akselerasi pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau; ketahanan pangan dan energi, dan tantangan ekonomi; parlemen yang efektif dan demokrasi dinamis; dan inklusi sosial, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan. (Ida/ANTARA)
TNI Usung Semangat Kerja Sama di Tengah Kekurangan
Jakarta, FNN - Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyampaikan bahwa pada Peringatan HUT Ke-77 TNI mengusung semangat kerja sama yang menjadi garda terdepan dalam pertahanan Indonesia di tengah berbagai kekurangan yang masih dirasakan.Menurut Andika, hal itu pula yang menjadi dasar pemilihan Tema \"TNI Adalah Kita\" dalam Puncak Peringatan HUT Ke-77 TNI yang dipimpin langsung Presiden Joko Widodo di Lapangan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu.\"Artinya, kita hari ini dengan segala alutsista yang kami miliki, kekurangan maupun kelebihan, pos-pos operasi yang tadi sempat disapa oleh Bapak Presiden dengan segala kekurangannya, itulah kami,\" kata Andika kepada awak media selepas acara.Andika mewakili TNI menyampaikan terima kasih atas dukungan penuh dari pemerintah, DPR RI, serta seluruh elemen masyarakat Indonesia.Panglima TNI menegaskan bahwa dengan segala kekurangan yang masih dirasakan, maka pihaknya akan terus berusaha bekerja sama. \"Karena apa? Enggak mungkin kami bisa memenuhi semua keinginan kami. Kami ingin ideal, sama semua militer negara lain juga begitu \'kan. Tapi \'kan pada akhirnya kita harus menghadapi kenyataan dengan anggaran yang kita punya, tapi itu kita harus bisa, caranya ya berteman,\" katanya.Andika mengaku selama ini terus berusaha mengejawantahkan semangat kerja sama itu dengan berbagai elemen. \"Sejauh ini respons mereka justru sangat bagus dan itu menunjukkan sebuah kekompakan. Kekompakan ini menunjukkan kekuatan kita,\" katanya.Andika menjabarkan beberapa contoh kekurangan yang menjadi kenyataan bagi TNI memasuki usia ke-77, salah satunya terkait personel untuk tugas pengamanan perbatasan.Panglima TNI menyebutkan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong di perbatasan RI-Malaysia di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang sempat disapa oleh Presiden Jokowi di sela-sela prosesi Peringatan HUT Ke-77 TNI.Menurut Andika, perbatasan RI-Malaysia tersebut sebetulnya memiliki bentang garis perbatasan sejauh 2.000 kilometer, tetapi hanya ada 1.800 prajurit TNI yang bertugas di sana. \"Berarti \'kan kalau dibentangkan dari kiri ke kanan satu orang dengan orang lain jaraknya satu kilometer lebih. Kurang sebenarnya, tapi ya kita harus smart, yang penting enggak boleh nyerah dengan kekurangan personel,\" ujarnya.Andika menuturkan bahwa pihaknya berusaha menjalin kerja sama dengan masyarakat Indonesia di sana melalui pembinaan agar bisa turut membantu kerja-kerja pengamanan perbatasan. \"Kita membina mereka sehingga mereka bisa menjadi early warning bagi kita karena kalau secara fisik digelar kita enggak cukup,\" tambahnya.Kekurangan lain di tubuh TNI yang dicontohkan Andika adalah berkenaan dengan alat utama sistem persenjataan (alutsista), salah satunya Pesawat F-16 yang beberapa di antaranya sempat melakukan demonstrasi udara di langit Jakarta pada HUT Ke-77 TNI.Andika menjelaskan bahwa F-16 merupakan pesawat berjenis mesin tunggal dan Indonesia masih berencana melakukan pengadaan Pesawat F-15 karena selain bermesin ganda, termasuk mempunyai kemampuan yang dinilai lebih tinggi.\"Belum lagi jumlahnya. F-16 kita punya 33 (unit) dengan luas wilayah dan jam terbang, mungkin...bukan mungkin, sudah jelas pasti kurang. Itu salah satu contoh saja,\" ujar Andika. (Ida/ANTARA)
Presiden Biasanya Mendadak Tentukan Calon Panglima TNI
Jakarta, FNN - Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) biasanya menentukan sosok calon Panglima TNI dalam waktu mendadak dan tanpa pembahasan sejak jauh hari. \"Sejauh pengalaman saya, Presiden itu nggak pernah jauh-jauh hari ngomong, beliau pasti mendadak,\" kata Andika di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu.Andika mengatakan hal itu saat disinggung apakah Presiden Jokowi sudah mengajaknya berdiskusi soal calon panglima TNI yang baru. Dia mengaku tidak ingin berspekulasi apa pun mengenai calon Panglima TNI yang akan menggantikan dirinya pada Desember 2022.Masa jabatan Andika sebagai Panglima TNI akan habis pada bulan terakhir tahun ini karena dia memasuki usia pensiun. Dia pun mengaku belum memiliki persiapan khusus menjelang pensiun.Ketika disinggung soal wacana perpanjangan masa jabatannya sebagai Panglima TNI hingga 2024, Andika enggan berkomentar. \"Nggak jawab saya,\" tukasnya.Namun, tambahnya, sebagai prajurit dia akan melaksanakan dengan baik apa pun perintah Presiden Jokowi. \"Ya apa pun perintahnya, saya laksanakan,\" kata lulusan Akademi Militer tahun 1987 itu.Andika Perkasa dilantik Presiden Jokowi menjadi Panglima TNI pada 17 November 2021, sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 106/TNI 2021. Andika saat itu menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto.Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, usia pensiun prajurit paling tinggi ialah 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama. Andika lahir pada 21 Desember 1964 atau 57 tahun lalu, dan pada 21 Desember 2022 dia akan berusia 58 tahun atau memasuki pensiun.Saat ini, ada tiga kepala staf dari tiga matra TNI yang berpeluang menjadi calon panglima TNI, yakni Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Dudung Abdurachman, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasau) Laksamana Yudo Margono, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo. (Ida/ANTARA)
Untung Ada Firli Bahuri Yang Mau Jegal Anies Baswedan
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN SEMUA ada hikmahnya. Ada ibrahnya. Selalu ada sisi positif di samping kentalnya tujuan negatif suatu tindakan atau kerjadian. Termasuklah upaya Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri untuk menjegal Anies Baswedan menjadi calon presiden –yang hampir pasti akan menjadi presiden— di pilpres 2024. Ini pun ada hikmahnya. Nah, apa kira-kira hikmah di balik upaya Firli itu? Banyak hikmahnya. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sini. Hikmah yang pertama ialah bahwa deklarasi pencapresn Anies menjadi lebih awal setelah Firli, menurut laporan Koran Tempo, punya misi politik untuk menjadikan Anies sebagai tersangka korupsi Formula E. Langkah Partai NasDem mempercepat deklarasi membuat posisi Anies lebih pasti. Puluhan juta relawan pendukung pun menjadi lega. Itu yang pertama. Hikmah yang kedua, rakyat menjadi paham sempurna tentang Firli Bahuri dan tentang mengapa dia, dulu, didukung oleh Jenderal Pol Tito Karnavian menjadi Ketua KPK. Pemilihan Firli sebagai ketua KPK berlangsung pada 13/9/2019, tanpa pemungutan suara di Komisi III DPR. Waktu itu, Kapolri dijabat oleh Tito. Namun, suara bulat Komisi III memilih Firli diwarnai oleh dugaan “operasi senyap”. Hikmah yang ketiga, kita pun menjadi paham tentang konstelasi politik elit Polri di tubuh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tito sebagai Mendagri dan Firli sebagai KPK, bukanlah penempatan yang berlangsung random. Bukan suatu kebetulan. Tito mengendalikan kementerian yang sangat strategis. Lebih strategis lagi karena pileg dan pilpres 2024 akan menjadi penentu Indonesia terus berada di bawah kedaulatan Oligarki bisnis yang berkomplot dengan Oligarki politik, atau Indonesia akan kembali berada di bawah kedaulatan rakyat. Di pilpers 2019, Kapolri Tito Karnavian dan jajaran Polri sampai ke tingkat polsek dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan petahana. Polisi diperalat untuk memenangkan Jokowi. Polisi di bawah kendali Tito waktu itu berubah menjadi timses Jokowi. Bahkan lebih dari sekadar timses. Polisi juga menyalahgunakan kekuasaannya untuk tujuan ini. Analisis ini terasa melebar. Sesungguhnya tidak. Semata-mata untuk meletakkan upaya penjegalan Anies oleh Firli dalam konteks keterlibatan Polri di panggung politik praktis. Dalam arti, upaya Firli untuk menjegal Anies bukan manuver yang berdiri sendiri, konon pula mau disebut langkah hukum murni. Jelas omong kosong kalau mau disebut langkah penegakan hukum semata. Firli sendiri pun, sesuai laporan Tempo, mengakui bahwa menjadikan Anies sebagai tersangka sesudah dia dideklarasikan sebagai capres akan menimbulkan gejolak politik. Itu sebabnya dia mendesak tim penyelidik Formula E di KPK agar meningkatkan status kasusnya menjadi penyidikan. Dan Anies dijadikan tersangka mumpung belum dideklarasikan. Firli masih tetap bisa menjadikan Anies tersangka dan kemudian menahan Gubernur DKI yang sekarang paling kuat dalam berbagai survey atau jajak pendapat itu. Cuma, risikonya sangat tinggi. Anies sudah terlanjur memiliki basis kekuatan massa pendukung yang terbentuk tanpa inisiatif dia sendiri. Jadi, begitulah kekuatan alam bekerja. Firli diutus menjadi Ketua KPK agar Anies segera dideklarasikan sebagai capres. Sekaligus, Firli juga diutus untuk menambah beban berat Polri yang bertahun-tahun ini tertanam di memori banyak orang sebagai institusi yang melakukan kesewenangan terhadap rakyat. Hari ini, semuanya terbuka secara otomatis. Kesewenangan (mantan Irjen Pol) Ferdy Sambo dan jaringan mafianya di Polri bertemu dan menyatu dengan upaya Komjen Pol Firli Bahuri untuk menjegal Anies Baswedan. Secara kebetulan, kedua polisi senior ini termasuk binaan Jenderal Pol Tito Karnavian sewaktu dia menjadi Kapolri hingga 2019. Itulah hikmah dari upaya politik Firli untuk menghalangi Anies. Terkuaklah benang merah, atau lebih tepatnya “bold line” (garis tebal), yang menghubungkan Firli-Tito-Ferdy. Jadi, untunglah ada Firli yang mau menjegal Anies. Semuanya menjadi terang-benderang.[]
Rocky Gerung: Amarah Itu Masih Ada pada Pendukung, juga Publik Indonesia, Keadaan Ini Bisa Menjadi Pemicu Kerusuhan Lebih Besar
KAPOLRI Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat dari jabatannya. Pencopotan Kapolres Malang ini terkait tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Selain mencopot Kapolres Malang, Kapolri juga mencopot sembilan pejabat di kepolisian lainnya terkait dalam tragedi yang menewaskan ratusan orang itu. Berdasarkan rilis resmi, korban tewas mencapai 131 orang. Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, keputusan menonaktifkan Kapolres tersebut setelah dilakukan analisa dan evaluasi dari tim investigasi yang dibentuk Kapolri. “Malam ini, Kapolri sudah mengambil satu keputusan, memutuskan untuk menonaktifkan sekaligus mengganti Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat,” kata Dedi yang dikutip dari Antara, Senin (3/10/2022). Dedi menjelaskan keputusan untuk menonaktifkan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat tersebut tertuang dalam Surat Telegram Nomor ST 20 98 X KEP 2022. Ferli dimutasi sebagai Perwira Menengah Sumber Daya Manusia (SSDM) Polri. Ferli Hidayat digantikan AKBP Putu Kholis Arya yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok Polda Metro Jaya. “Ferli Hidayat dimutasikan sebagai Pamen SSDM Polri dan digantikan AKBP Putu Kholis Arya,” kata Irjen Dedi Prasetyo. Dedi menuturkan sesuai dengan perintah Kapolri, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta juga menonaktifkan jabatan Komandan Batalyon (Danyon), Komandan Kompi (Danki), dan Komandan Peleton (Danton) Brigade Mobile (Brimob). “Sesuai dengan perintah Kapolri, Kapolda Jatim juga melakukan langkah yang sama. Melakukan penonaktifan, jabatan Danyon, Danki, dan Danton Brimob sebanyak sembilan orang,” katanya. Nama-nama yang dinonaktifkan tersebut adalah AKBP Agus, AKP Hasdarman, Aiptu Solihin, Aiptu M Samsul, Aiptu Ari Dwiyanto, AKP Untung, AKP Danang, AKP Nanang, dan Aiptu Budi. Hingga ini, semua masih dalam proses pemeriksaan tim. “Semuanya masih dalam proses pemeriksaan tim malam ini,” katanya. Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung melihat peristiwa Kanjuruhan ini? Ikuti dialognya dengan Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Selasa (4/10/2022). Berikut petikannya. Halo halo, apa kabar Anda semua. Semoga selalu dalam keadaan sehat wal’afiat, tetap semangat ya. Kita terus terang sampai sekarang masih terus berduka dengan apa yang terjadi di Kanjuruhan. Dan jujur ini sebenarnya membuat mood kita menjadi makin buruk hidup di negara Indonesia ini. Begitu ya Bung Rocky. Apalagi sampai sekarang belum ada satupun otoritas yang merasa bertanggung jawab dan menyatakan pasang badan. Ya, itu tadi kalimat yang benar, bukan bagus, tapi benar itu mood kita makin hilang itu. Dan memang kedukaan itu silih berganti, tapi khusus tentang soal Malang ini, orang mau mem-by pass itu dengan menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan. Itu juga keliru. Karena dalam tragedi itu tidak ada unsur manusia. Tragedi itu sesuatu yang terjadi karena nasib manusia dikendalikan oleh hal-hal di luar kemampuannya. Itu namanya tragedi. Sekarang, kita harus minta pertanggungjawaban. Artinya, dia bukan tragedi. Dia adalah satu add of commission atau minimal add commission, pembiaran. Kalau mungkin bukan kesengajaan itu masih orang catat juga, kalau bukan kesengajaan kenapa ditembakkan ke arah Tribun, sehingga itu bikin panik sebetulnya. Mungkin kita bisa sebut sementara itu add of commission, yaitu pembiaran. Nah, ini soalnya dan sampai sekarang yang saya ikuti keterangan pers dari PSSI, Kapolda, segala macam, seolah-olah itu datar saja, sebagai peristiwa biasa itu. Dan berupaya untuk bahkan ada yang menyalahkan boneknya tuh, ada yang menyalahkan panitianya tuh. Ya memang, kalau kita usut satu-persatu, ada emosi dari Arema itu. Tapi itu biasa di dalam pertandingan yang to be or not to be. Bahwa ada tambahan karcis yang dijual mungkin saja. Karena memang itu prime time, orang ingin dapat tambahan buat panitia, misalnya. Begitu pikirannya. Dilakukan pada malam hari, karena mengejar jam tayang supaya iklan masuk. Itu segala macam hal bisa kita lukiskan di situ. Tidak ada narkoba segala. Itu upaya untuk mengalihkan masalah. Ini adalah kesalahan prosedur. Pertama-tama itu yang harus dipastikan. Dan FIFA menganggap itu yuridiksi kami kalau soal aturan, kenapa kalian langgar. Jadi, hal-hal semacam ini yang jadi kontroversi. Tetapi, dalam kontroversi ini harus ada satu orang datang ke depan publik dan saya bertanggung jawab. Setelah itu kemudian yang lain mungkin akan menganggap oke, kalau Anda bertanggung jawab, apa yang mesti Anda lakukan. Sebelum tim yang dibentuk Menkopolhukam atau siapa lakukan pekerjaan, semuanya musti mengundurkan diri, yang merasa terlibat sedikit pun harus mengundurkan diri. Ketua panitia, ketua PSSI, Menpora, segala macam. Jadi, ini pelajaran etik kita. Karena ini bukan tragedi kemanusiaan, tapi ini kekacauan koordinasi. Itu intinya. Kalau segala sesuatu tragedi kemanusiaan, nggak ada yang bertanggung jawab. Yang bertanggung jawab alam semesta, nggak mungkin begitu, nggak boleh begitu. Jadi etika pertanggungjawaban itu yang kita tagih sekarang, termasuk Kapolri. Kalau di tingkat akhir Kapolri bilang saja bahwa saya memang gagal karena tadi, publik akhirnya bertambah-tambah pada ketidaksiapan polisi untuk menangani hal yang paling remeh-temeh saja dia nggak mampu itu. Itu menjaga keamanan di dalam stadion, apalagi nanti menjaga lapangan yang lebih luas, lapangan politik Pemilu segala macam. Itu saya kira kemarahan kita akhirnya mesti kita ucapkan. Iya. Dan memang kalau kita amati, mix feeling di publik itu saja mereka yang terlibat langsung berduka, apalagi korban, mereka yang keluarganya menjadi korban, bahkan para pemain. Saya membaca mereka banyak yang kemudian mengalami traumatis karena mereka melihat bagaimana mayat bergelimpangan di ruang yang mencoba menyelamatkan ruang pemain, tapi di depan pemain. Saya kira ini panjang rangkaiannya ini, trauma healingnya masih panjang, dan karena ada 32 orang yang tewas itu anak-anak. Sebetulnya bisa dibuatkan simulasi sebelumnya kalau terjadi berantakannya pertandingan itu ke mana exit-nya. Polisi harusnya terlatih bikin antisipasi itu. Ada dana banyak untuk melatih aparat kepolisian kita. Kenapa hal itu terjadi? Kedisiplinan. Kenapa tidak ada disiplin. Mungkin juga itu bagian dari frustrasi sosial, boleh saja bikin analisis itu bahwa penonton atau suporter itu sebetulnya ada frustrasi itu bahwa nanti malam timnya kalah, tapi juga harga BBM buat pulang pakai motor tinggi. Jadi, itu sudah bertumpu di situ, antara kesulitan ekonomi dan kemarahan psikis itu. Tetapi, itu semua bisa diantisipasi. Kan manajemen sepak bola seluruh dunia standar dan kita tahu semua kemungkinan jenis kerusuhan sudah ada di video. Kita sudah belajar dari sejarah segala macam. Yang paling bahaya juga di Argentina berapa puluh tahun lalu. Jadi, semua hal, Liverpool. Jadi, ada sebetulnya modeling untuk bikin itu. Tetapi, terlihat ada arogansi juga di lapangan bahwa tembak kiri kanan itu pakai gas air mata kan. Ya, itu konyolnya di situ. Tetapi, sekali lagi, peristiwa itu sudah terjadi, harus ada yang bertanggung jawab sampai ke tingkat yang paling atas. Iya. Ini semua mata sebenarnya tertuju kepada aparat kepolisian. Ada juga memang tentara yang diperbantukan di situ dan juga mengambil tindakan-tindakan yang juga melakukan bukan hanya pelanggaran, menurut Panglima TNI, sudah pidana. Karena menghajar penonton yang tidak bersenjata, apalagi menendang dari belakang dan sebagainya. Saya kira ini tepat. Kapolri juga sudah mencopot Kapolres Malang, dan juga sejumlah Komandan Brimob. Tetapi, kita tetap melihat saja bahwa tidak ada sensitifitas terhadap situasi. Misalnya, mereka tidak sadar menjadi perhatian publik ketika ketua umum PSSI dalam pidatonya menyatakan “para hadirin yang berbahagia”. Itu pun membuat para netizen marah luar biasa, ditambah lagi ternyata ada akun Twitter dari Polsek yang mengucapkan kata-kata tidak pantas di Bantul, Yogyakarta, yang justru menyakan itu bencana ini. Kemudian ada juga, mungkin ini kesalahan informasi saja, ada seorang dosen yang menulis di Kompas cetak, yang menyebut itu akibat dipicu oleh tawuran Persebaya dengan Arema. Padahal, tidak ada penonton dari Persebaya. Ini semua orang marah dan Kompas juga harus minta maaf karena ini. Jadi, ini kekacauan pengertian apa yang disebut sebagai kerusuhan, apa yang disebut sebagai crowd. Tetapi selalu orang melihat apa sebetulnya yang terjadi pada bangsa ini sehingga hal yang betul-betul menyebabkan air mata hanya ditanggapi dengan konferensi pers. Kan itu soalnya. Jadi, dalil-dalil peradaban kita hilang. Nah, Panglima TNI mengambil atau memberi contoh yang juga terobosan itu. Oke, kami ambil-alih kalau aparat kami itu langsung kena pidana. Kan kepolisian juga bisa tiru itu kan. Oke, bahwa sudah terjadi semacam kekacauan maka untuk sementara Kapolri mengatakan oke, tersangka pertama adalah Kapolres. Kira-kira begitu. Lalu nanti yang akan kami proses pada Kapolda berlanjut begituan. Karena kalau orang sebenarnya lihat kalau itu sekedar Kapolres, ya apa? Emang ini hanya hal kecelakaan beruntun saja? Jadi, sebetulnya masyarakat kita kalau kita baca reaksi netizen itu, netizen betul-betul paham apa yang disebut keadilan, apa yang disebut kejujuran informasi. Karena itu, mereka marah. Bahkan, statement kecil netizen marah. Jadi, ada stok etika sebetulnya pada rakyat kita, yang baru bisa dimunculkan ketika ada peristiwa yang dramatis semacam ini. Jadi, bagian-bagian ini kita ucapkan terima kasih karena netizen peka sekali dengan ketidakadilan dan ketidakjujuran. Dan, itu juga sebenarnya energi kita untuk melakukan perubahan total dalam cara kita bernegara. Ya. Saya kira Kapolda layak untuk dicopot karena desakannya sangat kuat, apalagi pada statement pertamanya dia dengan tegas menyatakan bahwa penggunaan gas air mata itu sesuai dengan SOP. Bayangkan ada seorang Kapolda yang tidak memahami bahwa itu ada statuta FIFA hal macam ini. Ya, itu saja sudah menunjukkan bahwa itu kalimat apologetik atau kalimat defensif bahkan. Seolah-olah ya sudah itu prosedurnya betul. Jadi, fakta-fakta ini menunjukkan bahwa disiplin etik yang harusnya dipegang oleh polisi nggak ada tuh. Nah, seharusnya ketika terjadi peristiwa itu, Prima faci, si Kapolda bilang, itu, apapun, saya bertanggung jawab. Maka saya mengundurkan diri. Bahwa soal itu prosedur boleh nggak boleh, itu lain soal. Karena, ini ada jumlah yang fantastis dalam kasus sejarah persepakbolaan atau sejarah olahraga dunia. Oke, satu hal sebetulnya, kita satu mendapati, saya membaca juga ini menarik bagaimana komentar netizen, saya tertarik dengan apa yang dilakukan oleh komika Abdurahman (anak Malang), yang menyimpulkan kenapa semua ini terjadi, ya karena bangsa ini dipimpin oleh orang yang bodoh. Itu saya jadi teringat apa yang disampaikan oleh Bjorka juga. Dan, memang damoaknya ya seperti ini. Dan memang seperti tidak semata-mata Pak Jokowi, tetapi di hampir semua level terjadi semacam kebodohan itu. Ya, itu wisdon yang bisa ditangkap oleh seorang komika dan fasilitas yang dijalankan oleh negara untuk menghasilkan pemimpin yang cerdas memang tidak berjalan, dari atas sampai kepada pimpinan-pimpinan yang harusnya mengawasi potensi ketegangan sosial, kekacauan semacam ini, kan semua adalah kesalahan komandan. Kira-kira begitu harusnya diterjemahkan. Komandan tertinggi itu ya Presiden, komandan di wilayah keamanan ya Kapolri, demikian seterusnya. Jadi, betul komika itu mengatakan bahwa kita memang ada di dalam suasana seolah-olah kepemimpinan-pemimpinan di wilayah publik itu kekurangan pengetahuan. Jadi, hal-hal yang sepele tadi soal aturan FIFA, ya sudah, bilang oke memang kami salah, tapi jangan wah itu dimungkinkan segala macam, dan nanti ada debat, ini juga lapangan terbuka kan? Ya enggak, lapangan bola itu lapangan tertutup karena dikelilingi oleh tembok itu. Lapangannya terbuka, tapi di dalamnya enclav. Jadi, cara ngeyel-nya itu memang bodoh. Itu masalahnya. Jadi, si komika itu betul. Dia nangkap dengan baik suasana kepemimpinan kita atau kondisi kepemimpinan bangsa ini. Sementara ini, kan menurut saya nggak perlu terjadi, ini para suporter ada kemudian memberikan semacam ultimatum kepada pemerintah, kalau dalam 7 hari tidak ada yang bertanggung jawab mereka akan mencari sendiri. Karena mereka merasa bahwa mereka punya rekaman videonya, mereka juga melihat rekaman CCTV yang ada di situ, saksi-saksi mata mereka banyak, bahkan mereka bisa bercerita bagaimana ada satu pintu yang ditutup rapat dan itu kemudian jadi semacam kuburan massal karena orang berdesak-desakan di situ. Ya, ini suasana balas dendam itu, amarah itu masih ada pada pendukung. Bahkan, publik Indonesia marah sebetulnya. Dan keadaan ini yang bisa jadi pemicu kerusuhan yang lebih besar itu. Akan ada demonstrasi mahasiswa, demonstrasi buruh yang tertunda tapi agendanya tetap ada, lalu kemarahannya ini meledak, misalnya, karena diambil alih oleh para suporter yang memang tahu siapa-siapa pelaku itu. Walaupun mungkin si pelaku itu merasa kami cuma aparat. Tetapi, keadaan ini kan membutuhkan outlet, membutuhkan saluran kemarahan. Jadi, jangan sampai terjadi ada penghakiman jalanan lagi itu. Ini penting kenapa kondisi ini mesti dinyatakan sebagai kedaruratan sosial atau ada istilah di dalam hukum. Tetapi, sifat kedaruratan ini nggak boleh sekadar dicarikan penyelesaiannya lewat penghukuman yang kecil-kecilan atau keterangan pers yang terlalu dangkal. Jadi, musti betul-betul secara dalam diperlihatkan dari awal persiapan itu kacau, dari awal aspek-aspek bisnis lebih ditekankan daripada aspek-aspek keselamatan. Kan ini semuanya tuh. Karena itu, kalau ada tim, tim itu betul-betul harus berjarak dengan kekuasaan, berjarak dengan para sponsor, agar betul-betul terbuka apa yang terjadi di lapangan Kanjuruhan ini. Pemburukan Kita kemarin bicara bahwa ini kenapa terjadi pemburukan di seluruh sektor. Dan kita mesti bersiap-siap gitu ya bahwa ini bukan yang terakhir apa yang terjadi ini. Kita tidak tahu dalam bentuk apa. Kalau kemarin kita lihat ekonomi yang buruk, politik memburuk, sekarang bahkan olahraga yang menjadi ini salah satu, bahkan satu satunya mungkin, hiburan untuk kelas bawah, ini juga memburuk. Kita mesti bersiap-siap bahwa akan ada pemburukan-pemburukan lain. Ya, itu saya bisa tangkap bahwa sebagian besar publik menganggap memang polisi nggak bermutu lagi. Tetapi, demikian sebaliknya, polisi merasa kami tertekan terus dengan suasana. Kami juga orang sipil yang ditugaskan untuk membawa senjata. Keadaan ekonomi buruk, psikologi prajurit kelihatan tertekan karena soal psikososial yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi. Jadi, nanti akan ada salah menyalahkan itu. Nah, ini bahayanya kalau akhirnya aparat kepolisian merasa jatuh mentalnya, lalu mengakui kalau begitu sudah deh, silakan kalian suka-suka. Padahal, tetap kita butuh satu institusi kepolisian yang di tengah keadaan yang berbahaya ini, tampil, tunjukkan bahwa kami tetap bersama dengan rakyat, kami tahu penderitaan itu, kami ingin perbaiki. Kalau itu enggak ada lagi maka lenyaplah yang disebut pembusukan institusi kepolisian ini. Ini hal yang mendasar dan saya kira Pak Kapolri harus bikin semacam, ya saya enggak tahu menyebut apa, tapi satu keputusan radikal untuk mengatakan bahwa saya masih akan memimpin dan saya akan memimpin itu dengan cara yang sangat cepat. Itu yang ditunggu. Kendati orang juga menganggap ya sebaiknya Kapolri sekaligus tinggalkan jabatan saja, kembalikan mandat itu pada Pak Presiden. Kalau itu terjadi juga akan ada peristiwa lainnya, yaitu persaingan para bintang ini untuk menjadi Kapolri. Padahal, masih ada kasus Sampo yang juga bagian dari kesulitan untuk menentukan pemimpin Polri selanjutnya. Jadi, betul tadi, kompleksitas ini seolah-olah dicurahkan dari langit supaya kita belajar sebagai bangsa bahwa problem kita banyak betul. Bukan sekadar deklarasi-deklarasian capres. Tapi begini ya, saya membayangkan, katakanlah Pak Kapolri sekarang ini memutuskan mundur karena banyak sekali persoalan yang dia tidak bisa tangani secara tuntas gitu. Tapi sebenarnya persoalannya, intinya itu pada internal lembaga institusi kepolisian itu sendiri. Saya teringat berkali-kali juga banyak yang menyatakan bahwa polisi kita itu memang sudah overloaded. Tugasnya banyak sekali: mengamankan sepak bola, urusan administrasi, sampai lalu-lintas. Mulai SIM, STNK, kemudian lalu-lintas, narkoba, macam-macam. Semua diurus kepolisian, sehingga akhirnya tugas pokok utama dia sebagai pelindung dan pengayom masyarakat jadi terabaikan. Belum lagi tugas-tugas politik yang juga harus dikerjakan. Iya, saya mau terangkan tadi, ada penugasan politik dan itu bikin frustrasi sebetulnya. Jadi, ambang frustrasi atau ambang kemarahan publik juga jatuh bersamaan dengan ambang frustrasi dalam lembaga kepolisian sendiri. Karena banyak juga teman-teman polisi yang agak berjarak melihat ini bagaimana ya institusi yang saya bayangkan kok jadi rapuh sekali. Jadi itu poinnya. Tapi, kalau kita mau katakan oke ini semacam penanda bahwa diperlukan reformasi total. Nah, kalau istilah reformasi total diajukan, itu betul-betul maksudnya total. Kita mungkin berpikir bahwa yaitu beban hirarki polisi itu terlalu besar. Dari Kapolri sampai ke Kapolres. Kenapa polisi nggak dikembalikan saja kepada kabupaten di bawah Bupati sehingga lebih enteng bebannya. Tapi kemudian orang akan menganggap wah itu berat betul, karena musti bongkar segala hal. Ya, memang itu konsekuensinya, mengubah sistem kepolisian itu. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa polisi itu diasuh oleh masyarakat sipil. Jadi, misalnya pengangkatan Kapolri itu nggak perlu Presiden, masyarakat sipil saja bersepakat. Kami mau si polisi ini. Jadi, bukan fasilitas politik yang menentukan seorang itu jadi Kapolri dan dilambangkan bahwa kepolisian itu di bawah presiden. Enggak, polisi itu adalah hasil transaksi masyarakat sipil untuk meminta negara mengamankan atau memberi rasa aman. Itu poinnya. Jadi, yang berkepentingan adalah masyarakat sipil, bukan masyarakat politik. Itu yang saya anggap bahwa paradigma pengasuhan polisi itu kembalikan pada masyarakat sipil. Biarkan masyarakat sipil nentuin siapa Kapolres. Kira-kira begitu gampangnya. (Ida/sws)
Pelangi Indonesia
Clifford Geertz melukiskan etos klasik Islam kepulauan ini bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim SAUDARAKU, dalam agama cinta (rahmat bagi semesta), kebenaran dan keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta itu memeluk semuanya. Warga bangsa boleh berbeda keyakinan, tapi cinta menyatukannya. Kekuatan mencintai dengan melampuai perbedaan inilah yang kemudian melahirkan pelangi Indonesia indah. Harmoni dalam kemajemukan adalah cetakan dasar bangsa ini. Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang hadapi globalisasi keragaman. Bahkan, bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi tribalisme anti-asing, anti-perbedaan. Beruntung, Indonesia banyak makan asam garam. Bangsa maritim di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia, sudah terbiasa menerima perbedaan. Jauh sebelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama sudah menemukan penyebut bersama dalam keragaman bangsa. Saat dasar negara dan konstitusi dirumuskan, perwakilan berbagai golongan terwakili, menghadirkan negara semua buat semua. Dalam napak tilas refleksi diri bisa kita kenali hidup religius dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk negeri ini. Sejak zaman Majapahit, doktrin agama sipil untuk mensenyawakan keragaman agama telah diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma, “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Islam Indonesia sendiri, yang dianut sebagian besar penduduk, meski – seperti agama lainnya – tak luput dari sejarah kekerasan, dalam sapuan besarnya didominasi warna kedamaian dan toleransi kuat. Walau doktrin dan mazhab radikal memang selalu ada, tapi pengaruhnya relatif terbatas dan dilunakkan oleh ragam ekspresi komunitas Islam dan kehadiran ragam agama. Clifford Geertz melukiskan etos klasik Islam kepulauan ini bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Dengan demikian terbuka lebar kemungkinan untuk melampaui perbedaan religio-kultural, memperlunak perbedaan itu dan menjadikannya pada batas toleransi yang memberi prakondisi kesiapan bekerjasama lintas-kultural. Modal sosial terpenting bangsa ini terlalu berharga untuk dikorbankan demi ambisi elit politik. Mari kita jaga dengan memperluas jaring interaksi dan kesetaraan dengan semangat bersatu dan berbagi. (*)
Fenomena Anies Baswedan & Neo-Dreyfusian di Indonesia
Oleh Darlis Aziz - Ketua KNPI Turki, dan Wakil Presiden Asian Youth Association/AYA) KOSA kata “Dreyfusiana” pertama sekali digunakan sebagai nama untuk sebuah rubrik dalam koran Pemberita Betawi di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia atau tepatnya pada tahun 1901-1903 (Y. Latif, 2003). Rubrik yang diasuh oleh tokoh pers Indonesia Tirto Adhi Surjo ini terinspirasi dari kasus seorang kapten beragama Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis dituduh telah melakukan spionase dan berkhianat terhadap negaranya. Dari tuduhan itu, jabatannya dicopot, dan Alfred Dreyfus pun mendapat hukuman penjara seumur hidup dari hasil keputusan sidang Pengadilan Militer di Prancis, kemudian dia dibuang ke Guyana. Kasus Dreyfus menyita perhatian publik Prancis. Dalam suasana kebencian, publik Prancis meneriaki bahwa Alfred Dreyfus sebagai pengkhianat. Kasus Dreyfus itu menjadi pemantik munculnya kembali rasialisme terhadap Yahudi laksana api dalam sekam, sejarah Eropa pun, khususnya Eropa Barat memuncaklah pelenyapan atas kaum Yahudi, terlebih-lebih oleh Hitler yang memusnahkan jutaan kaum Yahudi di Jerman dan luar Jerman. Tak lama kemudian, ternyata, apa yang disebutkan sebagai pengkhianatan itu adalah tidak benar, semuanya palsu belaka, rekayasa dan merupakan hasil penipuan. Akan tetapi, Dreyfus sudah terlanjur diputuskan bersalah sehingga propaganda anti-Yahudi muncul begitu kuat di Prancis. Poster-poster Dreyfus bertebaran dan tertempel di dinding-dinding kota, dituduh pengkhianat Prancis dengan sebutan “Yudas Yahudi”. Namun, di publik Prancis itu sendiri , ternyata tidak semua orang membenci dan menuduh Dreyfus sebagai pengkhianat. Ada kelompok atau perseorangan yang membongkar bahwa tuduhan yang dialamatkan pada Dreyfus itu palsu. Sebagai protes atas keputusan Mahkamah Pengadilan Militer Prancis yang sewenang-wenang, muncullah seorang novelis terkenal yang membela Dreyfus, dia bernama Emile Zola. Dalam protesnya, Emila Zola menuliskan sebuah surat terbuka yang berjudul “J’accuse” (aku mendakwa), surat itu tertulis di halaman depat surat kabar bernama L’Aurore yang diterbitkan di Paris. Zola menuduh para anggota dinas militer ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti-bukti, memanipulasi dan menutup-nutupi fakta kasus tersebut. Dari protesnya itu, Emile Zola ditahan dan diadili dengan tuduhan memfitnah dan mencemarkan nama baik ketentaraan (militer) Prancis. Peristiwa Dreyfus itu begitu mengguncang Prancis, sehingga pemerintah yang bertanggungjawab waktu itu jatuh pada pemilihan umum 1899 dan diganti atau dimenangkan oleh pemerintahan yang progresif kemudian membebaskan Alfred Dreyfus dari penjara seumur hidup. Surat terbuka Emile Zola tadi menghasilkan kenangan dan kemudian dikenal sebagai Manifeste des intellectuels (Manifesto Para Intelektual). Surat itu juga membuat perpecahan di kalangan Pengarang Prancis menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah kubu Dreyfusard/dreyfussian (yang membela Alfred Dreyfus) dan kubu kedua adalah Anti-Dreyfusard (yang anti terhadap Alfred Dreyfus). Dari polarisasi di atas, muncullah istilah intelektual. Pada awalnya, istilah itu merupakan cemoohan yang mengandung konotasi negatif. Kubu Anti-Dreyfusard, memakai istilah intelektual untuk menunjukkan kepada para penulis dan selebritis yang berorientasi pasar yang memiliki keterkaitan dengan kubu Dreyfusard. Namun, efek tuduhan-tuduhan yang tidak benar itu dari kubu anti-Dreyfus, kaum Dreyfusard semakin memperteguh kelompoknya. Bahkan, akibat sikap antipati dari kaum anti Dreyfusard, memberikan kesadaran kepada mereka (Dreyfusard) sebuha nama dan kesadaran akan identitas mereka yang baru. Sejak saat itu, kata intelektual bukan hanya isitlah yang populer, melainkan mengandung makna baik, juga suatu model baru bentuk keterlibatan dalam kehidupan publik dan juga peran baru untuk diaktualisasikan (Eyermean, 1994: 24-53). Melihat peristiwa tersebut dari kacamata fenomena Anies Rasyid Baswedan (ARB) hari ini seakan mendapatkan kesamaan dimana residu dari polarisasi tajam dari pemilu 2019 lalu masih terasa dan seakan menemukan titik kulminasinya; meskipun mau tidak mau satu pihak yang diklaim merupakan representasi ‘kelompok kanan’ belum tentu ‘benar-benar kanan’, demikian juga yang mengklaim juga belum tentu mau diklaim sebagai ‘kelompok kiri’, yang sudah pasti adalah semuanya ingin menjadi kelompok yang dianggap paling tengah (pancasialis). Isu Politik Identitas Residu peristiwa 212 dan Pilpres 2019 telah menciptakan identitas politik baru yang berbeda dari sebelumnya kosa kata “politik identitas” menjadi populer dan sering diulang-ulang dalam wacana politik sehari-hari dalam ruang publik di tanah air. Kata ‘kadrun’ dan ‘kampret’ misalnya menjadi representasi utama untuk pendukung 2 capres yang bertarung pada 2019 lalu. Politik identitas, Menurut Judy Rebick, seorang aktivis politik feminis terkemuka Kanada, politik identitas adalah politik dari kelompok-kelompok yang termarginalisasikan dalam pencariannya untuk menemukan bahasa agar bisa mengartikulasikan ketidakpuasan sosial mereka. “Politik identitas lahir ketika identitas menjadi basis bagi pemikiran politik, bahkan kadang kala menjadi basis bagi politik itu sendiri” (Rebick, 1996: 31). Sasaran utama dari politik identitas pada awalnya adalah positif dalam rangka merespons hak dan representasi politik terutama kaum minoritas dan terpinggirkan. Namun semakin ke sini pengejewantahannya justru semakin tidak substantif bahkan cenderung kepada arena pertunjukan simbolik dan gagah-gagahan semata. Bahkan yang lebih parah adalah pihak mayoritas yang seharusnya berada pada posisi yang ‘menang’ justru menjadi bulan-bulanan dan berada di pihak yang ‘dipaksa harus kalah’ atau secara gamblang sebagai mayoritas yang bermental minoritas. Politisasi atas simbol-simbol Islam tampaknya merupakan residu yang bersifat menular dari apa yang pernah disebut W.F. Wertheim (1980) sebagai sindrom ‘mayoritas dengan mentalitas minoritas’, yang lahir karena posisi ironis Islam di negeri ini: Mayoritas besar orang Indonesia menganut agama Islam. Dari sudut pandang kuantitatif, Indonesia bahkan bisa dianggap sebagai ‘negara Islam’ terbesar di dunia. Namun, sikap-sikap mental dari ummat Islam di negeri tersebut menunjukkan sikap-sikap mental yang khas dari sebuah kelompok minoritas. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa dalam medan politik, sepanjang sejarah abad-abad yang lalu, para wakil ummat Islam secara konsisten lebih diposisikan sebagai orang luar (Wertheim 1980: 1) Kalau kita kembali ke kasus Dreyfus di atas, ada satu poin yang sama yang bisa kita tarik sebagai kesamaan antara kasus Dreyfusard (pendukung Dreyfus) dan Anisers (untuk pendukung Anies Baswedan), para penyokong Dreyfus yang yakin Dreyfus tidak bersalah dikarenakan tidak adanya alat bukti yang meyakinkan bahwa Kapten Dreyfus bersalah namun ia tetap dihukum penjara seumur hidup. Namun efek massa yang lahir dari pembelahan antara ‘Dreyfussard’ dan ‘anti-Dreyfussard’ itu telah melahirkan sebuah kosa kata baru yaitu “intelektual” dan “non-intelektual”. Pelabelan dengan kosakata “intelektual” kepada para pendukung dreyfus ini pada awalnya adalah berkonotasi negatif, namun seiring jalan para ‘intelektualis’ pendukung Dreyfus ini semakin meng-gelombang dan menciptakan dentuman Tsunami politik di Prancis di awal abad-19 itu. Prancis dimenangkan oleh oposisi progressif yang didukung oleh para pengikut ‘intektualis’nya Dreyfus dan berhasil menggulingkan kekuasaan yang ‘zalim’ pada waktu itu karena ke semena-menaan melakukan kriminalisasi terhadap sang Dreyfus yang berpangkat Kapten itu. Fenomena ARB akhir-akhir ini memiliki kesamaan (untuk tidak mengatakan mirip) dengan kondisi itu. Berbagai peristiwa mulai dari 212, Pilpres 2019, dan peristiwa kriminalisasi juga diikuti oleh kesemenaan penegakan hukum di tanah air akhir-akhir ini telah menciptakan satu gelombang frekuensi yang sama di kalangan masyarakat yang menginginkan perubahan pasca Jokowi. Dan frekuensi itu bertemu dalam sosok ARB. ARB telah menjadi representasi baru masyarakat sipil untuk memperjuangkan perubahan. Upaya berbagai pihak untuk menjegal Anies (termasuk KPK) misalnya telah membangunkan raksasa tidur akal sehat ala “dreyfussard” setidaknya bisa kita lihat dari ‘Turun Gunung’-nya SBY, Obrolan rakyat maya (media sosial) dan juga terakhir Deklarasi Nasdem yang mempercepat pengumuman Capres 2024, kemarin. Nah, tinggal kita saksikan apakah fenomena Anies ini berhasil mengulangi kesuksesan Dreyfus atau tidak? (*)
 
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                                 
                                 
                                 
                                