ALL CATEGORY

Pelangi Indonesia

Clifford Geertz melukiskan etos klasik Islam kepulauan ini bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim SAUDARAKU, dalam agama cinta (rahmat bagi semesta), kebenaran dan keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta itu memeluk semuanya. Warga bangsa boleh berbeda keyakinan, tapi cinta menyatukannya. Kekuatan mencintai dengan melampuai perbedaan inilah yang kemudian melahirkan pelangi Indonesia indah. Harmoni dalam kemajemukan adalah cetakan dasar bangsa ini. Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang hadapi globalisasi keragaman. Bahkan, bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi tribalisme anti-asing, anti-perbedaan. Beruntung, Indonesia banyak makan asam garam. Bangsa maritim di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia, sudah terbiasa menerima perbedaan. Jauh sebelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama sudah menemukan penyebut bersama dalam keragaman bangsa. Saat dasar negara dan konstitusi dirumuskan, perwakilan berbagai golongan terwakili, menghadirkan negara semua buat semua. Dalam napak tilas refleksi diri bisa kita kenali hidup religius dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk negeri ini. Sejak zaman Majapahit, doktrin agama sipil untuk mensenyawakan keragaman agama telah diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma, “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Islam Indonesia sendiri, yang dianut sebagian besar penduduk, meski – seperti agama lainnya – tak luput dari sejarah kekerasan, dalam sapuan besarnya didominasi warna kedamaian dan toleransi kuat. Walau doktrin dan mazhab radikal memang selalu ada, tapi pengaruhnya relatif terbatas dan dilunakkan oleh ragam ekspresi komunitas Islam dan kehadiran ragam agama. Clifford Geertz melukiskan etos klasik Islam kepulauan ini bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Dengan demikian terbuka lebar kemungkinan untuk melampaui perbedaan religio-kultural, memperlunak perbedaan itu dan menjadikannya pada batas toleransi yang memberi prakondisi kesiapan bekerjasama lintas-kultural. Modal sosial terpenting bangsa ini terlalu berharga untuk dikorbankan demi ambisi elit politik. Mari kita jaga dengan memperluas jaring interaksi dan kesetaraan dengan semangat bersatu dan berbagi. (*)

Fenomena Anies Baswedan & Neo-Dreyfusian di Indonesia

Oleh Darlis Aziz - Ketua KNPI Turki, dan Wakil Presiden Asian Youth Association/AYA) KOSA kata “Dreyfusiana” pertama sekali digunakan sebagai nama untuk sebuah rubrik dalam koran Pemberita Betawi di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia atau tepatnya pada tahun 1901-1903 (Y. Latif, 2003). Rubrik yang diasuh oleh tokoh pers Indonesia Tirto Adhi Surjo ini terinspirasi dari kasus seorang kapten beragama Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis dituduh telah melakukan spionase dan berkhianat terhadap negaranya. Dari tuduhan itu, jabatannya dicopot, dan Alfred Dreyfus pun mendapat hukuman penjara seumur hidup dari hasil keputusan sidang Pengadilan Militer di Prancis, kemudian dia dibuang ke Guyana.  Kasus Dreyfus menyita perhatian publik Prancis. Dalam suasana kebencian, publik Prancis meneriaki bahwa Alfred Dreyfus sebagai pengkhianat. Kasus Dreyfus itu menjadi pemantik munculnya kembali rasialisme terhadap Yahudi laksana api dalam sekam, sejarah Eropa pun, khususnya Eropa Barat memuncaklah pelenyapan atas kaum Yahudi, terlebih-lebih oleh Hitler yang memusnahkan jutaan kaum Yahudi di Jerman dan luar Jerman. Tak lama kemudian, ternyata, apa yang disebutkan sebagai pengkhianatan itu adalah tidak benar, semuanya palsu belaka, rekayasa dan merupakan hasil penipuan. Akan tetapi, Dreyfus sudah terlanjur diputuskan bersalah sehingga propaganda anti-Yahudi muncul begitu kuat di Prancis. Poster-poster Dreyfus bertebaran dan tertempel di dinding-dinding kota,  dituduh pengkhianat Prancis dengan sebutan “Yudas Yahudi”. Namun, di publik Prancis itu sendiri , ternyata tidak semua orang membenci dan menuduh Dreyfus sebagai pengkhianat. Ada kelompok atau perseorangan yang membongkar bahwa tuduhan yang dialamatkan pada Dreyfus itu palsu. Sebagai protes atas keputusan Mahkamah Pengadilan Militer Prancis yang sewenang-wenang, muncullah seorang novelis terkenal yang membela Dreyfus, dia bernama Emile Zola. Dalam protesnya, Emila Zola menuliskan sebuah surat terbuka yang berjudul “J’accuse” (aku mendakwa), surat itu tertulis di halaman depat surat kabar bernama L’Aurore yang diterbitkan di Paris. Zola menuduh para anggota dinas militer ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti-bukti, memanipulasi dan menutup-nutupi fakta kasus tersebut. Dari protesnya itu, Emile Zola ditahan dan diadili dengan tuduhan memfitnah dan mencemarkan nama baik ketentaraan (militer) Prancis. Peristiwa Dreyfus itu begitu mengguncang Prancis, sehingga pemerintah yang bertanggungjawab waktu itu jatuh pada pemilihan umum 1899 dan diganti atau dimenangkan oleh pemerintahan yang progresif kemudian membebaskan Alfred Dreyfus dari penjara seumur hidup. Surat terbuka Emile Zola tadi menghasilkan kenangan dan kemudian dikenal sebagai Manifeste des intellectuels (Manifesto Para Intelektual). Surat itu juga membuat perpecahan di kalangan Pengarang Prancis menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah kubu Dreyfusard/dreyfussian (yang membela Alfred Dreyfus) dan kubu kedua adalah Anti-Dreyfusard (yang anti terhadap Alfred Dreyfus). Dari polarisasi di atas, muncullah istilah intelektual. Pada awalnya, istilah itu merupakan cemoohan yang mengandung konotasi negatif. Kubu Anti-Dreyfusard, memakai istilah intelektual untuk menunjukkan kepada para penulis dan selebritis yang berorientasi pasar yang memiliki keterkaitan dengan kubu Dreyfusard. Namun, efek tuduhan-tuduhan yang tidak benar itu dari kubu anti-Dreyfus, kaum Dreyfusard semakin memperteguh kelompoknya. Bahkan, akibat sikap antipati dari kaum anti Dreyfusard, memberikan kesadaran kepada mereka (Dreyfusard) sebuha nama dan kesadaran akan identitas mereka yang baru. Sejak saat itu, kata intelektual bukan hanya isitlah yang populer, melainkan mengandung makna baik, juga suatu model baru bentuk keterlibatan dalam kehidupan publik dan juga peran baru untuk diaktualisasikan (Eyermean, 1994: 24-53). Melihat peristiwa tersebut dari kacamata fenomena Anies Rasyid Baswedan (ARB) hari ini seakan mendapatkan kesamaan dimana residu dari polarisasi tajam dari pemilu 2019 lalu masih terasa dan seakan menemukan titik kulminasinya; meskipun mau tidak mau satu pihak yang diklaim merupakan representasi ‘kelompok kanan’ belum tentu ‘benar-benar kanan’, demikian juga yang mengklaim juga belum tentu mau diklaim sebagai ‘kelompok kiri’, yang sudah pasti adalah semuanya ingin menjadi kelompok yang dianggap paling tengah (pancasialis). Isu Politik Identitas Residu peristiwa 212 dan Pilpres 2019 telah menciptakan identitas politik baru yang berbeda dari sebelumnya kosa kata “politik identitas” menjadi populer dan sering diulang-ulang dalam wacana politik sehari-hari dalam ruang publik di tanah air. Kata ‘kadrun’ dan ‘kampret’ misalnya menjadi representasi utama untuk pendukung 2 capres yang bertarung pada 2019 lalu. Politik identitas, Menurut Judy Rebick, seorang aktivis politik feminis terkemuka Kanada, politik identitas adalah politik dari kelompok-kelompok yang termarginalisasikan dalam pencariannya untuk menemukan bahasa agar bisa mengartikulasikan ketidakpuasan sosial mereka. “Politik identitas lahir ketika identitas menjadi basis bagi pemikiran politik, bahkan kadang kala menjadi basis bagi politik itu sendiri” (Rebick, 1996: 31).  Sasaran utama dari politik identitas pada awalnya adalah positif dalam rangka merespons hak dan representasi politik terutama kaum minoritas dan terpinggirkan. Namun semakin ke sini pengejewantahannya justru semakin tidak substantif bahkan cenderung kepada arena pertunjukan simbolik dan gagah-gagahan semata. Bahkan yang lebih parah adalah pihak mayoritas yang seharusnya berada pada posisi yang ‘menang’ justru menjadi bulan-bulanan dan berada di pihak yang ‘dipaksa harus kalah’ atau secara gamblang sebagai mayoritas yang bermental minoritas. Politisasi atas simbol-simbol Islam tampaknya merupakan residu yang bersifat menular dari apa yang pernah disebut W.F. Wertheim (1980) sebagai sindrom ‘mayoritas dengan mentalitas minoritas’, yang lahir karena posisi ironis Islam di negeri ini: Mayoritas besar orang Indonesia menganut agama Islam. Dari sudut pandang kuantitatif, Indonesia bahkan bisa dianggap sebagai ‘negara Islam’ terbesar di dunia. Namun, sikap-sikap mental dari ummat Islam di negeri tersebut menunjukkan sikap-sikap mental yang khas dari sebuah kelompok minoritas. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa dalam medan politik, sepanjang sejarah abad-abad yang lalu, para wakil ummat Islam secara konsisten lebih diposisikan sebagai orang luar (Wertheim 1980: 1) Kalau kita kembali ke kasus Dreyfus di atas, ada satu poin yang sama yang bisa kita tarik sebagai kesamaan antara kasus Dreyfusard (pendukung Dreyfus) dan Anisers (untuk pendukung Anies Baswedan), para penyokong Dreyfus yang yakin Dreyfus tidak bersalah dikarenakan tidak adanya alat bukti yang meyakinkan bahwa Kapten Dreyfus bersalah namun ia tetap dihukum penjara seumur hidup. Namun efek massa yang lahir dari pembelahan antara ‘Dreyfussard’ dan ‘anti-Dreyfussard’ itu telah melahirkan sebuah kosa kata baru yaitu “intelektual” dan “non-intelektual”. Pelabelan dengan kosakata “intelektual” kepada para pendukung dreyfus ini pada awalnya adalah berkonotasi negatif, namun seiring jalan para ‘intelektualis’ pendukung Dreyfus ini semakin meng-gelombang dan menciptakan dentuman Tsunami politik di Prancis di awal abad-19 itu. Prancis dimenangkan oleh oposisi progressif yang didukung oleh para pengikut ‘intektualis’nya Dreyfus dan berhasil menggulingkan kekuasaan yang ‘zalim’ pada waktu itu karena ke semena-menaan melakukan kriminalisasi terhadap sang Dreyfus yang berpangkat Kapten itu.  Fenomena ARB akhir-akhir ini memiliki kesamaan (untuk tidak mengatakan mirip) dengan kondisi itu. Berbagai peristiwa mulai dari 212, Pilpres 2019, dan peristiwa kriminalisasi juga diikuti oleh kesemenaan penegakan hukum di tanah air akhir-akhir ini telah menciptakan satu gelombang frekuensi yang sama di kalangan masyarakat yang menginginkan perubahan pasca Jokowi. Dan frekuensi itu bertemu dalam sosok ARB. ARB telah menjadi representasi baru masyarakat sipil untuk memperjuangkan perubahan. Upaya berbagai pihak untuk menjegal Anies (termasuk KPK) misalnya telah membangunkan raksasa tidur akal sehat ala “dreyfussard” setidaknya bisa kita lihat dari ‘Turun Gunung’-nya SBY, Obrolan rakyat maya (media sosial) dan juga terakhir Deklarasi Nasdem yang mempercepat pengumuman Capres 2024, kemarin. Nah, tinggal kita saksikan apakah fenomena Anies ini berhasil mengulangi kesuksesan Dreyfus atau tidak? (*)

Wah, Beneran: Jokowi dan Polisi Dikulitin, Nih!

Kepolisian menjadi semakin penting bagi Jokowi. Ketika Polri terjun lebih dalam ke politik untuk mengamankan pemerintah, ia juga menuai lebih banyak manfaat. Oleh: Made Supriatma, Peneliti Tamu di Institut ISEAS–Yusof Ishak, Singapura PADA Juli 2016, Presiden Joko Widodo mengangkat Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri. Dengan menunjuk Tito Karnavian yang relatif muda, Jokowi mewariskan beberapa generasi pejabat senior kepolisian yang sudah memiliki hubungan baik dengan elit politik Jakarta. Karnavian terbukti menjadi sekutu presiden yang andal, mengawasi kasus-kasus penting terhadap kritikus pemerintah seperti Robertus Robet, seorang aktivis hak asasi manusia yang menyanyikan lagu yang mencerca militer dalam sebuah demonstrasi, dan Dandhy Laksono, seorang pembuat film dokumenter pembangkang. Bantuan polisi terlihat dalam kasus Muhammad Rizieq Shihab, seorang ulama dan kritikus vokal Jokowi. Rizieq adalah orang di balik demonstrasi 2016 yang bertujuan menggulingkan mantan Gubernur Jakarta Basuki \'Ahok\' Tjahaja Purnama dengan alasan bahwa ia telah menista agama Islam. Habib Rizieq akhirnya didakwa berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang membawanya ke pengasingan diri di Arab Saudi. Penggunaan UU yang meragukan ini secara ekstensif telah memicu klaim bahwa pemerintahan Jokowi telah beralih ke otoritarianisme. Dukungan polisi juga terlihat selama pencalonan kembali Jokowi pada 2019. Meskipun polisi tidak secara terbuka berkampanye untuk Jokowi, dukungan mereka adalah bagian dari keberhasilan pemilihannya di daerah. Politisi di Sumatera Selatan secara terbuka mengakui kepada saya bahwa polisi membantu menstabilkan harga karet yang jatuh, dengan beberapa pengusaha di Lampung mengingat bahwa mereka diminta oleh petugas polisi untuk mendanai kelompok sukarelawan pro-Jokowi. Jokowi telah memberikan konsesi politik kepada polisi dalam masa jabatan keduanya, seringkali mengesampingkan tentara dalam prosesnya. Elit polisi diangkat ke beberapa posisi penting dan strategis yang sebelumnya dipegang oleh jenderal militer dan biasanya dianggap sebagai domain tentara. LSM HAM Kontras mencatat, sebanyak 30 pensiunan atau jenderal polisi aktif memegang posisi strategis di pemerintahan Jokowi, termasuk di kementerian, lembaga pemerintah, dan duta besar. Ombudsman Indonesia juga melaporkan bahwa 25 petugas polisi duduk di dewan perusahaan milik negara dan anak perusahaannya. Pensiunan atau perwira polisi yang menjabat kini memimpin Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Urusan Logistik (BULOG), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Yang paling kontroversial, mantan Komisaris Jenderal polisi Firli Bahuri adalah ketua KPK saat ini, yang telah lama menjadi duri di pihak kepolisian, mendakwa beberapa jenderal polisi. Kepolisian juga diuntungkan dengan peningkatan anggaran dan penambahan personel. Belanja negara untuk kepolisian mencapai Rp 107 triliun (US$ 7 miliar) pada 2020, naik dari Rp 94,3 triliun (US$ 6,3 miliar) pada tahun sebelumnya. Pada 2020, jumlah personel polisi meningkat 27.012 atau naik 5,7 persen dari 2018. Peningkatannya signifikan: dari 2016-2018 polisi hanya menambah 1.898 personel. Saat ini, polisi sekarang kira-kira berukuran sama dengan tentara. Kepolisian menjadi semakin penting bagi Jokowi. Ketika Polri terjun lebih dalam ke politik untuk mengamankan pemerintah, ia juga menuai lebih banyak manfaat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa polisi semakin berperan ganda, baik sebagai aparat keamanan maupun sebagai instrumen politik. (*)

Setelah Anies Capres Partai NASDEM

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SEDIKIT kejutan dari Partai Nasdem dengan mempercepat pengumuman Capres yang diusung oleh partainya. Dari tiga nama yang dinominasikan yaitu Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo, akhirnya ditetapkan Anies Baswedan Gubernur DKI sebagai Capres yang didukungnya. \"Why not the best\" kata Surya Paloh memberi alasan.  Banyak warga masyarakat yang menyambut gembira pengumuman tersebut. Tidak bisa disangkal pengelompokan pendukung Anies Baswedan cukup banyak, jika tidak disebut terbanyak, dibandingkan relawan Puan, Ganjar atau Prabowo. Apalagi Erik Thohir dan Cak Imin. Memang Anies secara obyektif dibanding calon di atas nampaknya lebih mumpuni baik dari kapasitas kecendekiawanan, relijiusitas, pengalaman birokrasi, maupun catatan prestasi kerja sebagai Kepala Daerah.  Menurut Surya Paloh pengumuman lebih cepat ini tidak berkaitan dengan pemberitaan soal kejar-kejaran antara pencapresan Anies dengan agenda penyingkiran Anies lewat kerja KPK. Koran Tempo memberitakan nafsu Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri untuk segera mentersangkakan Anies Baswedan dalam kasus Formula E. Satgas Penyelidikan KPK sendiri tidak menemukan bukti yang cukup.  Skenario pasca pencapresan Anies Baswedan oleh Partai Nasdem, antara lain : Pertama, Partai politik yang sudah diketahui masyarakat mendukung Anies Baswedan, yaitu PKS dan Partai Demokrat segera menyusul untuk mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden. Koalisi tiga Partai sudah cukup memenuhi syarat bagi Anies Baswedan untuk menjadi Calon Presiden pada Pemilu 2024. Kedua, \"King Maker\" Jusuf Kalla tentu juga akan berupaya mengkonsolidasikan dukungan KIB untuk Anies Baswedan. Dan jika berhasil, maka Anies akan mendapat dukungan Partai dengan koalisi besar. Di samping Partai Nasdem, PKS, Partai Demokrat, juga Partai Golkar, PAN dan PPP. Dengan gemuruh rakyat yang ingin perubahan, kemenangan Anies menjadi di depan mata.  Ketiga, bahaya Anies bagi oligarki akan menyebabkan skenario nekad Istana yaitu dengan memaksakan KPK untuk menetapkan status tersangka. Meski berisiko menguatnya api \"people power\" namun otoritas berharap disain curang menghadapi Pemilu 2024 dapat dijalankan. Dua pasang Capres/Cawapres sebagai kepanjangan tangan oligarki dirancang untuk bertarung.  Keempat, keputus-asaan Istana dalam menghadapi tidak terbendungnya arus dukungan kepada Anies Baswedan menyebabkan Jokowi melakukan politik bumi hangus. Ini ia lakukan dengan pengkondisian chaostik yang tidak memungkinkan Pemilu dilakukan 2024. Lalu perpanjangan masa jabatan Presiden hingga 2027. Kelima, keputus-asaan pula yang memungkinkan opsi Jokowi mundur pada tahun 2023. Triumvirat akan menjabat selama sebulan. MPR akan memilih pasangan sesuai aturan Konstitusi hingga 2024. Pasangan Prabowo-Puan terbuka untuk berkompetisi ke depan dalam kedudukan sebagai status quo. Oligarki memiliki mainan baru.  Namanya juga skenario, semua serba mungkin. Hanya saja skenario kejutan adalah Jokowi yang dipaksa mundur oleh gerakan people power. Maka akan ada perubahan yang mungkin tidak dapat dijalankan penuh ketentuan Konstitusi semisal kedudukan triumvirat. Ini akibat dari Presiden dan kabinetnya sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat.  Pada skenario ini selain Anies Baswedan dapat pula muncul tokoh-tokoh seperti LaNyalla Mattalitti, Rizal Ramli, atau Gatot Nurmantyo.  Pengumuman Anies Baswedan oleh Partai Nasdem adalah bagian dari suatu kecerdasan politik yang memiliki spektrum luas.  Tapi yang jelas Pemerintahan Jokowi memang  tidak menunjukkan adanya semangat untuk mengakhiri jabatan dengan baik. Orientasinya pada \"perpanjangan\" kekuasaan.  Indonesia sedang mengalami masa kegelapan (dark time). Era Pemerintahan Jokowi adalah era cerita tentang duka cita. Fenomena Anies menjadi secercah harapan untuk perubahan. Dimulai dari penetapan Capres oleh Partai Nasdem pada tanggal 3 Oktober 2022. Bandung, 5 Oktober 2022

Masuk Sekolah Rakyat Sistem Colek Kuping

Oleh Ridwan Saidi Budayawan SAYA masuk Sekolah Rakyat, kini SD, di jaman Jakarta daerah pendudukan dengan batas-batas yang tak jelas. Tak dapat diketahui dengan mudah bagi rakyat mana daerah Republik dan mana zona Belanda. Orang tua saya tak tahu bahwa SR Taman Sari II, dimana saya disekolahkan, itu di bawah administrasi Belanda. Masuk SR gampang sekali. Cek umur dengan merujuk pada pengakuan orang tua murid saja. Hampir tak ada yang anaknya punya akta lahir. Saya punya surat keterangan lahir diketik dengan tanda tangan Komicho, kepala kampung. Setelah klarifikasi umur, calon murid disuruh pelintangkan tangannya ke atas kepala. Kalau jari tangan kanan bisa colek kuping kiri, artinya bisa masuk sekolah tanpa bayar apa pun. Di dinding ruang kelas menggantung potret wanira Belanda bermahkota. Kemudian saya tahu itu Ratu Juliana. 17 Agustus sekolah diliburkan. Tak ada perayaan kemerdekaan. Malah  ketika saya naik kelas II tahun 1949 sekolah merayakan jaarig (HUT) Ratu Juliana. Kami dikasih permen, coklat, biskuit, dan bendera merah putih biru Belanda. Lalu kami dibolehkan pulang. Di jalan orang-orang  ramai berteriak menyuruh kami buang itu bendera Belanda. Kami pun buang itu bendera. Tahun1950 ada yang terasa aneh di sekolah kami SR Taman Sari II. Guru-guru lama tak tampak sama sekali. Yang tersisa cuma Pak Sipan, penjaga sekolah dan keluarganya yang bertinggal di kompleks sekolah. Lalu banyak murid baru, katanya pindahan dari daerah. Mereka yang masuk kelas III usianya sudah 12 tahun. Kalau itu anak perempuan sudah berbody gadis. Kalau anak lelaki suaranya sudah pecah, tampaknya sudah balegh. Dalam istilah Betawi \"sudah ngarti perempuan\". Di dinding ruang kelas menggantung potret Bung Karno dan Bung Hatta. Wajah guru-guru pun baru semua.  Guru baru kami namanya Pak Sumarso. Sebagai perkenalan dia mengajarkan kami menyanyi lagu Di Timur Matahari: Di timur matahari Mulai bercahya Bangun dan berdiri Kawan semua Marilah menyusun Barisan kita Untuk Indonesia Yang sejahtera. (RSaidi)

Rekonstruksi Kanjuruhan: Suruh 40 Ribu Polisi Duduk Di Stadion, Tembakkan Gas Air Mata

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN PUBLIK menuntut agar penanggung jawab keamanan di stadion Kanjuruhan dihukum sesuai kesalahan mereka. Korban jiwa 125 orang (versi penguasa) atau 300 orang (versi lain) dalam pertadingan sepakbola antara Arema Malang lawan Persebaya Surabaya, 1 Oktober 2022, tidak boleh berlalu begitu saja.  Pimpinan Polri hanya mencopot Kapolres Malang. Ini jelas tidak cukup. Selain tak cukup, tindakan mencopot untuk menjawab kemarahan publik sangat jauh dari substansi persoalan yang ada di Polri. Kepolisian kita memang sedang menghadapi masalah besar. Selain bermentalitas Sambo, alias mentalitas mafia, jajaran Polri juga memperlihatkan masalah fundamental dalam tugas pengamanan massa. Yang paling mengejutkan adalah penghargaan mereka pada nyawa manusia. Banyak orang yang menilai polisi kita enteng saja menghilangkan nyawa orang. Atau menjadi katalisator hilangnya nyawa banyak orang. Mereka juga sering sadis. Sebagai contoh, satuan Brimob tega mengeroyok orang yang sudah terpojok dan lunglai dengan cara yang sangat kejam. Termasuk menendang keras, memukul dengan pentungan berkali-kali, menginjak-injak, dsb, yang dilakukan beramai-ramai. Yang tak kalah besar persoalan di Kepolisian adalah pelatihan dalam menggunakan senjata penangkal kerusuhan. Termasuklah penggunaan gas air mata. Tragedi stadion Kanjuruhan menunjukkan itu. Polisi kelihatan tidak paham bahwa gas air mata bisa membuat orang mengalami disorientasi dan tersungkur atau terjerembab. Di dalam stadion, terjerambab berarti akan terinjak-injak. Bayangkan pula begitu banyak yang menonton bersama keluarga, termasuk anak-anak dan balita. Mereka ini pastilah sangat rentan bila terjebak dalam semprotan gas air mata. Dalam peristiwa Kanjuruhan, 33 anak-anak melayang. Penyebab kematian mereka ini hampir pasti terkait langsung atau tak langsung dengan gas air mata yang ditembakkan polisi ke arah semua tribun yang penuh dengan penonton. Apakah polisi tidak tahu bahwa banyak anak-anak yang berada di stadion? Apakah mereka tidak memahami bahwa orang tidak bisa bergerak cepat di gang-gang tempat duduk stadion? Tidakkah mereka memikirkan bahwa penyemprotan gas air mata ke arah tribun pasti akan menimbulkan korban? Sulit dimengerti. Tampaknya perlu ada edukasi agar polisi bisa paham. Agar mereka tahu konsekuensi fatal yang disebabkan gas air mata. Untuk mencapai pemahmanan tentang bahaya gas air mata, edukasi itu harus dilaksanakan dengan praktik langsung. Setelah praktik lapangan, dijamin polisi bisa mengerti. Praktik lapangan itu mudah saja. Kerahkan 40,000 polisi dan keluarga, termasuk anak-anak mereka, masuk ke stadion Kanjuruhan. Jangan ada yang pakai masker. Setelah semua tribun penuh, dimulailah acara inti edukasi penggunaan gas air mata. Tembakkan ga air mata sebanyak yang digunakan ketika terjadi kericuhan di Kanjuruhan. Tembakkan terus sampai awan gas di dalam stadion itu menumpuk tebal seperti kejadian fatal 1 Oktober. Tutup semua pintu stadion. Mungkin edukasi berupa praktik langsung seperti ini yang bisa mengoreksi pikiran Polisi tentang gas air mata. Tanpa merasakan sendiri akibat yang ditimbulkan gas berbahaya itu, kelihatannya polisi kita akan selalu enteng melepas gas itu untuk melindungi mereka sekaligus melumpuhkan orang lain. Praktik “rasakan sendiri” ini bagus juga dijadikan modul rekonstruksi kasus Kanjuruhan. Tim investigasi kabarnya akan dipimpin oleh Irjen Mochamad Iriawan alais Iwan Bule. Agar bisa membuat kesimpulan yang lurus, Iwan Bule sebaiknya juga duduk di stadion tanpa alat pelindung ketika rekonstruksi penembakan gas air mata dilakukan.[]

Gde Siriana: Capreskan Anies, Insting Politik Nasdem Kuat dan Tepat

Jakarta, FNN - Partai NasDem resmi mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai bakal capres di Pemilu 2024. Langkah dan insting politik NasDem tersebut dinilai kuat dan akurat  Penilaian ini disampaikan oleh Gde Siriana Yusuf, analis politik dan pemerintahan yang juga Direktur Eksekutif INFUS (Indonesia Future Studies). \"Saya melihat langkah Nasdem ini sangat cerdas. Ada  beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa Nasdem lebih cepat dari parpol lain dalam umumkan Capres.  Pertama, Nasdem ingin dianggap sebagai Parpol yang lebih siap hadapi Pemilu dan Pilpres 2024 dengan menjadi inisiator dan leader dalam Gerbong Capres Anies nantinya. Artinya investasi politik Nasdem ingin dianggap lebih besar dari parpol lain yang nantinya ikut usung Anies. Nasdem juga tidak ingin dianggap seperti Parpol- parpol tengah dan kecil lainnya yang hanya jadi follower parpol besar, dan menentukan sikap di menit-menit akhir karena proses deal yang alot. Kedua, Anies adalah investasi politik Nasdem, karena itu Nasdem berupaya menyelamatkan investasi politiknya dengan cepat-cepat mengumumkan pencalonan Anies di tengah isu KPK yang dibicarakan publik akan mentersangkakan Anies. Ini bisa dianggap sebagai back up politik yang sinergi dengan langkah Anies  bergabung dengan Ormas Pemuda Pancasila. Ketiga, jika nantinya Anies jadi tersangka KPK atau tidak maju sebagai Capres dengan alasan apapun, Nasdem sudah jadi \"pahlawan\" di kantong-kantong pendukung Anies yang saat ini lebih banyak sebagai oposisi. Ini akan naikkan elektabilitas partai Nasdem. Pendukung Anies yang kecewa sangat mungkin memilih Nasdem nantinya , meskipun saat ini Nasdem ada di kubu pemerintah. Bisa dikatakan ini langkah jitu untuk menghadapi politik identitas di Pemilu 2024. Tapi ini juga tergantung siapa Capres yang secara resmi direkomendasikan Nasdem pada akhirnya. (sws)

Hasil Investigasi Tragedi Kanjuruhan, PSSI Sebut 3 Keputusan

                                                                                                                                                                                                      Jakarta, FNN – Terdapat tiga keputusan dari hasil investigasi Komisi Disiplin (Komdis) PSSI. Badan pelaksana pertandingan, Ketua Pelaksana, dan petugas keamanan disebutkan telah melakukan kelalaian. Investigasi ini akan menjadi bahan evaluasi penyelenggaraan sepakbola di Indonesia. Konferensi pers PSSI ini dilakukan di Malang pada Selasa (4/10/2022) pukul 15.00 WIB. Sebelumnya, Sabtu (1/10/2022) telah terjadi tragedi mengenaskan di dunia sepakbola Indonesia. Setidaknya, sebanyak 125 penonton jadi korban meninggal dan ratusan lainnya luka berat dan ringan karena gas air mata. Komdis PSSI Erwin Tobing menerangkan bahwa ada 3 pihak yang bertanggung jawab atas tragedi ini. “Ada kekurangan, kesalahan, kelalaian dari panitia pelaksana/badan pelaksana dan klub. Ada juga kesalahan dari Ketua Panitia (person) dari pertandingan Arema melawan Persebaya. Dan juga kami melihat ada kesalahan, kekurangan dari security officer,” katanya dalam konferensi pers. PSSI memberikan hukuman kepada 3 pihak ini sesuai dengan kode disiplin. Arema FC sebagai badan pelaksana diberikan sanksi denda 250 juta rupiah. Arema juga dilarang menyelenggarakan pertandingan sepakbola dengan penonton dan hanya bisa menyelenggarakan pertandingan kandang sejauh 250 km dari stadion Arema. “Pengulangan terhadap pelanggaran terkait di atas akan berakibat terhadap hukuman yang lebih berat,” tegas Erwin. Ketua Pelaksana pertandingan Abdul Haris dan petugas keamanan Suko Sutrisno dilarang beraktivitas di lingkungan sepakbola seumur hidup. Menurut PSSI, Ketua pelaksana dan petugas keamanan tidak melakukan tugasnya dengan baik dan gagal mengantisipasi akan terjadinya kerusuhan. “Saudara Suko Sutrisno sebagai petugas keamanan/security officer tidak boleh beraktivitas di lingkungan sepakbola seumur hidup,” tutup Erwin. (Fer)                           

Kejagung Tetapkan 73 Jaksa untuk Menangani Berkas Perkara Ferdy Sambo

Jakarta, FNN – Perkembangan kasus pembunuhan Brigadir J terus bergulir. Kejaksaan Agung telah membentuk dan menetapkan 73 jaksa penuntut umum (JPU) untuk menangani 12 berkas perkara kasus yang melibatkan mantan Irjen Ferdy Sambo. Diketahui, sebanyak 30 orang menangani 5 berkas perkara terkait tindak pidana pembunuhan berencana dan 43 orang menangani 7 berkas perkara menghalangi penyidikan kasus (obstruction of justice) dalam kasus penembakan Brigadir J. Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) telah menyatakan bahwa berkas perkara pembunuhan berencana serta obstruction of justice telah lengkap (P-21). Kejagung meminta penyidik memberikan berkas perkara tersebut kepada JPU agar dapat segera disidangkan. Seperti yang diberitakan, Mahfud MD mengatakan bahwa jaksa yang dipilih merupakan jaksa yang terbaik dan perlu dikarantina agar tidak diteror dan dihubungi. Menanggapi hal ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana setuju dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan itu dan mengatakan bahwa Jampidum akan berkoordinasi dengan kepolisian terkait hal tersebut. Berdasarkan perkembangan terkini, kasus telah memasuki tahap penyerahan barang bukti kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (04/10). Selanjutnya, Polri juga akan melimpahkan Tahap II, yaitu penyerahan tersangka yang diagendakan pada Rabu, 5 Oktober 2022. (oct)

Petunjuk Teknis Masa Berlaku Paspor 10 Tahun Disiapkan Kemenkumham

Jakarta, FNN - Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI segera menyiapkan petunjuk teknis terkait kebijakan baru masa berlaku paspor menjadi 10 tahun.\"Berlakunya aturan baru ini mungkin sudah ditunggu oleh masyarakat, Alhamdulillah sekarang sudah disahkan,\" kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham Widodo Ekatjahjana di Jakarta, Selasa.Aturan baru tentang masa berlaku paspor tersebut tertuang dalam Pasal 2A Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI (Permenkumham) Nomor 18 Tahun 2022 yang diundangkan di Jakarta pada Kamis (29/09).Ia mengatakan saat ini Direktorat Jenderal Imigrasi sedang menyiapkan petunjuk teknis di kantor imigrasi serta infrastruktur sistem untuk mengimplementasikan aturan tersebut. \"Oleh karena itu, kami mohon pengertian dari masyarakat. Apabila sudah siap pasti segera diinformasikan,\" kata dia.Bertambahnya masa berlaku paspor menimbulkan pertanyaan tentang biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus dibayarkan. Hingga saat ini aturan mengenai biaya PNBP paspor sedang dalam pembahasan dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait.\"Masyarakat masih akan membayar biaya yang sama dengan sebelumnya Rp350 ribu untuk paspor biasa nonelektronik dan Rp650 ribu untuk paspor biasa elektronik,\" ujarnya.Widodo menjelaskan masa berlaku paspor 10 tahun tidak berlaku bagi paspor yang terbit sebelum tanggal disahkannya aturan tersebut. Artinya, paspor yang terbit sebelum peraturan ini diundangkan tetap berlaku selama lima tahun.Mengacu pada Pasal 2A Ayat (2) Permenkumham Nomor 18 Tahun 2022, paspor biasa (elektronik dan nonelektronik) dengan masa berlaku paling lama 10 tahun hanya diberikan kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah. Selain kategori tersebut, paspor diberikan untuk jangka waktu lima tahun. (Ida/ANTARA)