ALL CATEGORY
Mewujudkan Khaer Ummah (Part-3)
Hanya sadar posisi, menempatkan diri secara proporsional, bahkan jadi pemimpin dalam dunia global ini, Islam bisa diklaim sebagai solusi (Al-hallu) bagi ragam permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia saat ini. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation PADA bagian yang lalu dari tulisan ini telah disampaikan pilar keempat untuk membangun “Khaer Ummah” atau a community of excellence (Umat terbaik). Bahwa umat ini tidak akan tampil sebagai Umat terbaik (best nation) ketika perilaku, baik pada tataran individu maupun kolektif, tidak terbenahi secara baik. Khaer Ummat itu termaknai salah satunya dengan ketauladanan (Al-Qudwah). Dan, esensi Al-Qudwah ini berakar pada karakter atau perilaku yang baik. Atau yang lebih populer dalam agama dengan akhlak yang mulia (Al-Akhlaq Al-karimah). Terlebih lagi jika karakter ini dikaitkan dengan posisi umat sebagai “pengajak” (da’i) kepada kebenaran dan kebaikan. Jalan terbaik dan terefektif untuk mengajak manusia ke jalan Allah adalah dengan ketauladanan. Kelima, bahwa umat ini harus mampu membawa atau menempatkan diri dalam tatanan dunia yang baru (new world) dan berubah secara konstan (terus-menerus) dan secara tidak dikira-kira (unexpected). Tentunya ini menjadikan dunia kita semakin kompleks. Kompleksitas ini mencakup segala lini kehidupan manusia. Dari situasi politik, ekonomi, militer, hingga ke budaya dan agama. Dalam bidang budaya misalnya telah terjadi relasi antar budaya yang saling mewarnai dan mempengaruhi (intercultural influence) di antara manusia. Kita melihat misalnya Jepang atau Korea yang pernah sangat ketat dengan kultur warisan mereka kini lebih terkenal dengan K-Pop yang selama ini lebih dikenal sebagai budaya Barat. Tentu pertanyaan yang kemudian timbul adalah dalam dunia yang deeply interconnected ini di mana Umat memposisikan diri. Para Khatib, penceramah atau ustadz bisa saja menggelegar berapi-api dalam ceramah mengingatkan agar jangan terbawa arus. Jangan terpengaruh dengan budaya asing. Tapi apakah retorika-retorika itu akan terbukti sakti membentengi umat? Wallahu a’lam. Dunia kita memang adalah dunia yang penuh ketidak-pastian. Dengan kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang informasi dan lebih khusus lagi bidang media sosial menjadikan dunia semakin mengecil. Kita seolah hidup dalam satu rumah kecil yang mungil. Rumah kecil itu kemudian dikotak-kotak menjadi bagian-bagian yang boleh jadi saling menyapa. Atau sebaliknya saling mengganggu dan mengucilkan. Keadaan ini biasa disebut dengan interdependensi (interdependence) atau intekoneksi (interconnected) antar kelompok manusia dalam dunia (rumah) itu. Koneksi itu bisa saja berwajah dua. Koneksi dengan wajah manis, saling tersenyum, menyapa, saling membantu, bahkan sharing alat-alat perumahan. Tapi boleh jadi sebaliknya. Koneksi antar manusia dalam rumah itu adalah koneksi dengan wajah buruk dan seram. Saling curiga, membenci, bahkan bermusuhan dan berusaha untuk saling menghancurkan. Dengan situasi dunia yang demikian, sekali lagi, bagaimana seharusnya Umat menempatkan diri? Jawabannya hanya di dua kemungkinan tadi: menjadi bagian dengan wajah yang manis? Atau menjadi bagian dengan wajah seram dan menakutkan. Tentu sebagai umat yang sadar kita diingatkan oleh sebuah ayat dalam Al-qur’an di surah ke 48 (Al-Hujurat) ayat ketiga belas. Ayat ini mengingatkan kita tentang beberapa fakta kehidupan: Satu, bahwa manusia itu sesungguhnya memiliki keluarga universal yang tunggal. Ini yang saya sebut rumah. Semua diciptakan dari satu lelaki (Adam) dan satu wanita (Hawa). Dan karenanya semua harus sadar bahwa ada ikatan mendasar yang mengikatnya sebagai satu keluarga. Dua, kenyataan bahwa manusia semua terikat oleh satu keluarga besar, Islam juga mengakui adanya partikukaritas (keunikan-keunikan) pada masing-masing anggota keluarga. Manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Bangsa dan suku adalah dua entitas yang populer di masa lalu. Kini tentu menjadi lebih ragam lagi, termasuk dijadikan dengan pendangan dan keyakinan agama yang ragam. Tiga, keragaman yang merupakan tabiat alami dalam penciptaan Allah, perlu dikelolah dengan kesungguhan dan kehati-hatian. Hal itu karena manusia juga memiliki tendensi egoistik yang sering tak terbendung. Karenanya perlu dikelolah dengan proses “ta’aruf” atau saling belajar. Dengan belajar akan tahu apa dan siapa saja di antara anggota keluarga kemanusiaan itu. Empat, karena tendensi atau dorongan egoisitk manusia menjaidkannya sering “over proud” bahkan arogan dengan particularitasnya. Karakter rasis dan paham rasisme bisa terhinggap kepada siapa saja. Walaupun yang lebih terbuka saat ini adalah kaum putih. Tapi warga hitam atau yang lain juga bisa saja merasa lebih superior dari yang lain. Perasaan superior ini terjadi tidak saja dalam hal ras atau warna kulit. Bahkan dalam beragama juga sering ada perasaan lebih hebat dari yang lain. Ada kasus Arab merasa lebih beragama karena Rasulullah terlahir di Arab. Lupa kalau Abu Lahab juga ternyata terlahir di daerah yang sama. Atau sebaliknya karena ada asumsi umum yang terbangun jika manusia Nusantara lebih berakhlak (santun, sopan, ramah, dst) lalu terjadi “over pride” bahkan arogansi kenusantaraan. Terjadilah perasaan lebih hebat dengan klaim Islam Nusantaranya. Di sìnilah kemudian Islam hadir dengan solusi: “sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di mata Allah adalah yang paling bertakwa”. Dan ketakwaan tidak terdefenisikan dengan apapun, selain iman dan amal. Intinya ada pada hati dan Karakter (karya). Kesimpulannya umat harus menentukan posisi dan memainkan peranan untuk ikut menata dunia yang semakin kehilangan orientasi (disoriented World). Umat harusnya tidak saja menjadi bagian. Tapi menjadi leading nation (imaaman linnas) dalam tatanan dunia yang semakin tidak menentu. Hanya sadar posisi, menempatkan diri secara proporsional, bahkan jadi pemimpin dalam dunia global ini, Islam bisa diklaim sebagai solusi (Al-hallu) bagi ragam permasalahan yang sedang dihadapi oleh dunia saat ini. Masanya menghentikan klaim-klaim yang cenderung bisa saja dinilai orang lain sebagai retorika kosong…. (Bersambung). (*)
Aksi Menolak Kenaikan BBM Berlanjut, Kawasan Patung Kuda Diserbu Massa
Jakarta, FNN – Demo kembali diselenggarakan pada Jum\'at (23/9/2022) di Patung Kuda, Jakarta Pusat. Kelompok massa Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GPNR) terlihat terus berdatangan dari pukul 13.00 WIB. Aksi kali ini dinamai Aksi Bela Rakyat 2 (AKBAR 2). Massa mengajukan tiga tuntutan. Yaitu turunkan harga BBM, turunkan harga bahan pokok, dan tegakkan supremasi hukum. Menurut Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Komarudin, ada sekitar 1000-2000 massa yang hadir dalam demo ini. Kombes Komarudin menyampaikan, pihaknya menugaskan ribuan personel untuk mengawal demo di beberapa lokasi. “Untuk personel yang kita siapkan untuk seluruh wilayah Jakpus seperti di DPR, kemudian Patung Kuda, di Balai Kota, terus di ada beberapa titik lagi ya, itu 3.800 personel,” katanya. Pengamanan aksi di Patung Kuda ini lebih ketat dari sebelumnya. Pengamatan FNN, setidaknya terdapat 3 lapis tembok beton dan juga kawat berduri. Lalu di belakangnya juga sudah disiapkan water barier untuk berjaga-jaga. Kombes Komarudin meminta massa aksi tertib dalam menyampaikan aspirasi. Massa juga dihimbau untuk mengikuti arahan petugas yang mengawal aksi tersebut. “Silakan sampaikan aspirasi dengan tertib dan patuhi peraturan Undang-Undang yang berlaku,” tegasnya. Sebelumnya GPNR juga telah melakukan aksi untuk menolak kenaikan BBM pada Senin (12/9/2022) di Patung Kuda. Aksi kali ini adalah lanjutan dari demo sebelumnya dengan tuntutan yang juga masih sama. (Fer)
Proses Pemiskinan Melalui Konversi Kompor Gas ke Kompor Listrik
Jika perubahan daya dilakukan, maka akan ada tambahan anggaran untuk satu paket kompor listrik. Misalnya, saat ini dengan daya 800 watt itu Rp 1,8 juta, maka dengan daya 1.000 watt bisa mencapai Rp 2 juta per paket. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PEMERINTAH kini gencar sosialisasi migrasi kompor LPG ke kompor listrik. Katanya, kalau LPG tidak disubsidi, biaya pemakaian energi kompor listrik lebih murah dari kompor LPG: Rp 10.250 versus Rp 13.500, untuk 7 jam pemakaian. Apakah pernyataan PLN ini benar? Menurut perhitungan PLN: 1 kg LPG = 7 kwh listrik: konversi ini tidak benar! Menurut flogas.co.uk, 1 liter LPG = 7 kWh, dan 1 kg LPG = 14 kWh, karena 1 kg LPG = 1,969 liter: sehingga, biaya 7 jam pemakaian LPG lebih murah dari listrik: Rp 6.750 vs Rp 10.250? Mohon PLN klarifikasi. Dengan harga LPG non-subsidi saat ini sekitar Rp 19.000 per kg, biaya pemakaian 7 jam kompor LPG juga masih lebih murah dari kompor Listrik: Rp 9.500 versus Rp 10.250? Mohon PLN klarifikasi. Sebelumnya diberitakan, sumber energi untuk keperluan memasak saat ini beragam. Dari berbagai sumber energi tersebut, LPG dan listrik yang cukup banyak dimanfaatkan masyarakat. Lalu, lebih hemat mana? Dalam keterangan PLN dijelaskan harga keekonomian LPG sebelum disubsidi APBN adalah Rp 13.500 per kg, yang kemudian Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG subsidi dibanderol Rp 7.000 per kg. Artinya, pemerintah mengeluarkan anggaran Rp 6.500 untuk subsidi per kg LPG. “Jadi seakan-akan LPG ini lebih murah dari kompor listrik. Padahal ini membebani APBN. Ada komponen subsidi dari APBN sekitar Rp 6.500,\" ujar Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (19/2/2022). Versi PLN, menghitung perbandingan berbasis kalori, 1 kg LPG setara dengan 7 kWh listrik. Harga keekonomian 1 kg LPG yaitu Rp 13.500 jelas lebih mahal daripada 7 kWh listrik yang biayanya sekitar Rp 10.250. Artinya harga keekonomian menggunakan LPG lebih mahal Rp 3.250 per kg dibandingkan dengan pemanfaatan listrik. PLN memastikan pasokan listrik di seluruh sistem kelistrikan dalam kondisi cukup. Hingga satu setengah tahun ke depan, PLN mempunyai cadangan daya hingga 7 gigawatt (GW). Lebih lanjut, PLN menilai, konversi ke kompor induksi akan menjadi pintu masuk kemandirian energi, dari yang sebelumnya impor menjadi pemanfaatan listrik yang bersumber energi domestik. “Ini agenda bersama. Kita gotong royong untuk menuju kedaulatan energi di Indonesia. Apalagi sumber energi domestik kita sekarang melimpah dan dapat dimanfaatkan,” jelas Darmawan. \"Subsidi yang selama ini digunakan untuk membiayai LPG, ke depan dapat dimanfaatkan untuk program yang lebih berdampak untuk masyarakat. Seperti pendidikan, infrastruktur, air bersih, dan sebagainya,” tambahnya. Yang menarik, subsidi BBM untuk rakyat, katanya salah sasaran, makanya harus dicabut. Padahal tidak ada kriteria sasaran. Di lain sisi, tax amnesty, tax holiday, tax incentive, semua adalah subsidi, diberikan langsung kepada orang kaya: kapitalis. Sudah tepat sasaran? Harga minyak mentah dunia rata-rata bulanan untuk Agustus 2022 turun sekitar 17,8 persen dibandingkan Juni 2022: turun dari $116,8 per barel (06/022) menjadi $95,97 per barel (08/2022). Dan masih cenderung turun pada bulan ini. Kapan harga Elpiji non-subsidi akan turun? Daya listrik 450VA, maksimal 450 watt, tidak cukup untuk kompor listrik. Agar cukup, pemerintah akan mengganti MCB menjadi 3.500 watt? Ini artinya sama saja menaikkan daya listrik menjadi 3.500 watt. Dan sama saja menghapus 450VA: tidak ada 450VA=3.500 watt? PLN seharusnya lebih transparan dan mendidik: mengganti MCB menjadi 3.500 watt (16 ampere, C16) pada prinsipnya menaikkan daya, mengakibatkan biaya pemakaian listrik melonjak. Kalau mereka tidak mampu membayar, akibatnya runyam: rumah gelap, dan tidak bisa masak. Kemiskinan naik. Kalau sampai itu terjadi, PLN dan Banggar harus tanggung jawab. PLN harus menjamin ketersediaan listrik bagi pengguna kompor listrik hasil konversi kompor gas, meskipun mereka tidak mampu membayar tagihan pemakaian listrik atau mengisi token listrik, akibat daya listrik naik. Konversi kompor gas ke kompor listrik berpotensi meningkatkan kemiskinan, karena biaya pemakaian kompor listrik akan lebih mahal dan membengkak, meskipun menggunakan TDL 450VA atau 900VA, apalagi kalau dibandingkan dengan Elpiji bersubsidi. Menurut pemerintah, daya listrik 450VA tidak dihapus: hanya mengganti MCB menjadi 3.500 watt, yang intinya menaikkan daya listrik, dan dengan sendirinya daya 450VA terhapus? Menggunakan bahasa saja bercabang, tidak jujur? Semoga Parpol lain menyusul Gerindra. Diberitakan, Partai Gerindra keberatan terhadap rencana konversi gas 3 kg menjadi kompor listrik. Gerindra tidak setuju karena kompor listrik memakan daya besar. Hal itu disampaikan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani saat menghadiri acara pelantikan pengurus DPC Partai Gerindra Kabupaten Cianjur pada Rabu (21/9/2022). Sekjen Gerindra ini juga menyampaikan sikap partainya berkaitan isu penghapusan daya listrik 450 VA. Partai Gerindra dengan tegas menolak wacana tersebut karena itu akan membebani rakyat kecil. Dia mengatakan Gerindra juga menolak rencana konversi gas 3 kg menjadi kompor listrik dengan daya 1.200 watt. “Ada pandangan yang mengingankan agar listrik dengan daya 450 VA akan dihapus, kami tidak setuju, kenapa? Karena listrik dengan daya 450 VA ini dipakai oleh orang-orang kecil, penghuni kontrakan petakan, para buruh, nelayan, dan petani. Dan kita bersyukur Presiden Jokowi tidak meneruskan rencana ini,” jelas Wakil Ketua MPR ini. “Termasuk keberatan kami terhadap rencana konversi gas 3 kilo menjadi kompor listrik. Kami tidak setuju karena kompor listrik ini sekali colok memakan daya besar, 1.200 watt. Maka rakyat kecil, rakyat miskin kota, para UMKM tidak bisa menikmati itu dan hanya membebani mereka. Lebih baik kelebihan pasokan listrik ini dialihfungsikan kepada industri-industri dan pengembangan mobil listrik yang sedang tren,” tutup Muzani. Paket kompor listrik gratis dari dana APBN berpotensi merugikan keuangan negara: dengan menyalahgunakan APBN, mengingat tidak ada anggaran belanja kompor listrik di APBN 2022: realokasi anggaran tidak diperkenankan. Terkesan proyek dadakan yang dipaksakan? Sebelumnya diberitakan, Pemerintah akan membagikan paket kompor listrik secara gratis kepada 300 ribu rumah tangga yang terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Pembagian ini adalah upaya pemerintah dalam program konversi kompor LPG ke kompor listrik. Lantas, apa saja isi paket kompor listrik itu? Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan isi paket tersebut terdiri dari satu kompor listrik, satu alat masak dan satu Miniature Circuit Breaker (MCB) atau penambah daya khusus untuk kompor listrik. “Rencananya tahun ini 300 ribu (penerima). Jadi satu rumah itu dikasih satu paket, kompornya sendiri, alat masaknya sendiri, dayanya dinaikkan,” ujarnya saat ditemui usai rapat dengan Banggar DPR, Selasa (20/9). Rida menjelaskan harga paket kompor listrik ini sekitar Rp1,8 juta, sehingga jika sasarannya 300 ribu rumah tangga, maka anggaran yang dibutuhkan tahun ini sekitar Rp 540 miliar. Namun, ia juga menyebut besaran ini masih bisa berubah. Pasalnya, ada masukan agar data kompor listrik yang dibagikan dinaikkan. Rida menuturkan saat ini daya yang bakal dibagikan sebesar 800 watt untuk dua tungku. Namun, ada masukan dari DPR agar dayanya dinaikkan menjadi 1.000 watt. “Perencanaan awal, sama-sama dua tungku, awalnya 800 watt, sekarang mau dinaikkan lagi salah satunya 1.000 MW. Jadi biar masaknya lebih kencang (cepat),” kata Rida. Jika perubahan daya dilakukan, maka akan ada tambahan anggaran untuk satu paket kompor listrik. Misalnya, saat ini dengan daya 800 watt itu Rp 1,8 juta, maka dengan daya 1.000 watt bisa mencapai Rp 2 juta per paket. “Cuma sekarang masih uji coba, ada usulan yang satu tungkunya dirubah lebih gede. Nah, masih dikalkulasi berapa harganya, harusnya enggak Rp 1,8 juta lagi, pasti lebih naik, sekitar Rp 2 jutaan,” ujarnya. (*)
Lembaga Kepolisian Sudah Keruh dan Buruk oleh Kasus Sambo
Jakarta, FNN - Kasus kematian bukan hal yang kecil apalagi remeh. Oleh karena itu perlu dicermati dengan seksama. Aktivis sosial Irma Hutabarat menegaskan bahwa kematian Brigadir J adalah soal kemanusiaan. Pergerakan yang dia ambil bukan hanya karena satu suku batak dan marga Hutabarat, tetapi melainkan sebagai seorang Ibu yang turut serta merasakan kehilangan anak. \"Ketika mendengar tangisan, Ibu dari Brigadir J, hati saya juga ikut teriris,\" kata Irma Hutabarat. Dalam seminar \"Audit Satgasus Merah Putih Polri, Segera!\" yang dilaksanakan Rabu (21/9) di Hotel Sofyan, Tebet, Jakarta Selatan. \"Saya juga seorang Ibu, memiliki anak laki-laki, bahkan saya melarang anak bungsu bernama Gibran Mikhail untuk tidak masuk kedalam lingkar kebejatan (kepolisian),\" tambahnya. Dalam hal ini, Irma beranggapan bahwa kasus Sambo terus menggurita. Satu kelembagaan Kepolisian sudah keruh dan buruk dengan nama Sambo. \"Nak, lebih baik kamu ke TNI (Tentara Nasional Indonesia) Angkatan Darat, Laut, ataupun Udara,\" tegas Irma. Dalam penutupnya, Irma mengharapkan kasus hilangnya nyawa ini harus ditangani dengan sigap dan cepat, dan kemungkinan bisa juga terungkapnya kasus-kasus lain (KM 50) yang memungkinkan memiliki kesamaan. (Ind)
Waspada Munculnya Dewan Kolonel
Bukan lagi kaitan dengan kontestasi Pilpres 2024, tetapi bisa saja ada benang merah dengan kebangkitan PKI sesuai fakta yang tumbuh subur di era rezim Jokowi. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SUDAH cukup waktu kader-kader PKI bernaung cukup nyaman di PDIP, bahkan dari mereka bisa masuk sebagai anggota Legislatif (DPR). PDIP sendiri dengan berbagai dalih (alasan) merasa tidak masalah dengan kader-kader PKI bernaung di partainya. Menjelang perhelatan Pilpres 2024, terpantau sebagai putri mahkota, Puan Maharani akan maju sebagai RI 1. Wajar berbagai rekayasa politik akan dilakukan karena Megawati Soekarnoputri tentu tidak mau kecolongan untuk kedua kalinya dimana PDIP memberikan tiket capres bukan dari garis dari trah Soekarno. Muncullah tim pengawal pemenangan adalah upaya Ketum PDIP itu supaya tidak “kecolongan” kembali dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti. Terekam saat ini muncul Dewan Kolonel. Apapun alasan politisnya sontak mengingatkan peristiwa G 30 S PKI. Menjelang peristiwa G-30-S/PKI beredar isu yang dihembuskan PKI, adanya pembentukan “Dewan Jenderal”. Kemudian terjadilah penculikan oleh PKI yang berbuntut pembantaian atas 6 Jenderal dan 1 Kapten TNI AD. Ingatan masyarakat akan sejarah kelam otomatis muncul kembali dari rekam jejak sejarah telah mencatat peristiwa kelam tersebut yang sulit dihilangkan dari benak pikiran rakyat. ]Ada apa dengan munculnya “Dewan Kolonel”. Kajian Politik Merah Putih bergerak cepat, dan hasil dari rekamannya telah mencatat bahwa ide ini dari anggota Komisi Hukum DPR Fraksi PDIP Johan Budi. Johan mengaku sebagai inisiator dibentuknya Dewan Kolonel. Johan menjelaskan, Dewan Kolonel dibentuk tiga bulan lalu. Mulanya, kelompok ini terdiri dari 6 orang, di antaranya Johan Budi, Trimedya Panjaitan, Hendrawan Supratikno, Masinton Pasaribu, dan Agustina Wilujeng. “Kami di fraksi ada sekelompok orang, ingin menjadi timnya Mbak Puan untuk persiapan pemilihan presiden (pilpres). Tentu kita masih menunggu keputusan Ibu Ketua Umum siapa yang dipilih. Tapi kami sudah prepare duluan kalau misalnya nanti Mbak Puan yang ditunjuk, tim ini sudah siap,” kata Johan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, seperti dikutip berbagai media, Selasa (20/92022). Dewan Kolonel ini dimaksudkan ingin membantu sosok Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga Ketua DPR RI agar bisa mendapat kepercayaan, sehingga jalan menuju Pilpres 2024. Johan menyebut Dewan Kolonel merupakan inisiasi para penggemar Puan. Ia menolak Dewan Kolonel dikaitkan dengan kepengurusan pusat PDIP. Ada alasan politis lain bahwa spirit lahirnya Dewan Kolonel untuk menandingi timses Ganjar Pranowo, Ganjarist, untuk mendapatkan tiket 2024 mendatang. Dalam logika politik alasan ini sangat tidak masuk akal dan terkesan hanya mengada-ada. Ganjar Pranowo adalah kader PDIP sendiri, riil kekuatannya dalam kontestasi Pilpres 2024, jelas bukan tandingan Puan Maharani. Mengikuti Dewan Kolonel ala Johan Budi, relawan Ganjar pun, akhirnya juga membentuk dewan serupa bernama \"Dewan Kopral\". Lantas munculnya Dewan Kolonel akan kemana, wajar muncul kecurigaan dari netizen dugaan kuat memiliki arah dan jangkauan politik yang lebih luas, mengingat ada sejumlah kader PDIP yang sekolah pendidikan politik di China (Partai Komunis China). Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan bahwa Dewan Kolonel hanya guyonan saja. Ia bahkan mengklaim Megawati terkejut dengan ramainya pembicaraan soal Dewan Kolonel demi tercapainya Puan Maharani Presiden pada 2024. Terkonfirmasi: “Bahkan tadi pagi pun, Ibu Mega ketika melihat di running text pada saat saya laporan ke beliau. Beliau juga kaget, dan kemudian ya akhirnya mendapat penjelasan bahwa tidak ada Dewan Kolonel,” ujar Hasto, seperti dikutip dari laman Detikcom, Rabu (21/9/22). Megawati saat ini memegang kendali beberapa lembaga negara yang sangat strategis dan ikut sebagai tokoh yang menentukan kebijakan negara. Semua keputusan politik PDIP ada di kuasa keputusan Ketua Umum PDIP. Basa basi adanya Dewan Kolonel yang menurut Megawati (via saluran politik Hasto), bahwa Dewan Kolonel tidak ada maka seharusnya melalui inisator anggota dewan ]di DPR, segera mengumumkan untuk membubarkan diri. Jadi, omong kosong jika Hasto dan Megawati mengaku terkejut dengan adanya Dewan Kolonel. Bukankah Johan Budi sudah menyampaikan bahwa Dewan Kolonel itu dibentuk 3 bulan lalu? Masa’ sekelas Sekjen tidak tahu anggota Fraksi PDIP sudah membentuk Dewan Kolonel? Kalau Ibu Megawati sudah mengatakan tidak ada Dewan Kolonel, tetapi istilah dan gerakannya masih saja muncul, dugaan kuat hanya test the water. Begitu tak ada reaksi dari masyarakat, tiba saatnya Dewan Kolonel bisa metamorfosa menjadi Dewan Jenderal jilid 2. Bukan lagi kaitan dengan kontestasi Pilpres 2024, tetapi bisa saja ada benang merah dengan kebangkitan PKI sesuai fakta yang tumbuh subur di era rezim Jokowi. Semua masyarakat harus tetap waspada, mendeteksi secara dini akan adanya kebangkitan PKI gaya baru – lawan dan tutup rapat munculnya kembali PKI di Indonesia. (*)
Bank Indonesia (BI) Biang Kerok Kenaikan Harga BBM dan Inflasi (1)
Kalau Menkeu dan BI bisa menguatkan nilai tukar rupiah menjadi Rp 1.000 per Dolar AS, maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM hanya senilai Rp 500 per liter. Kalau Jokowi mau, bisa melakukan ini. Kalau pembantunya tidak bisa coba cari yang bisa. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) JIKA Bank Indonesia (BI) bisa mengendalikan nilai tukar, maka harga BBM tidak harus sebesar saat ini. Tapi lembaga ini tidak menunjukan peran apa apa, mereka menonton sambil melongo nilai tukar rupiah ambruk separuh selama masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Harga minyak mentah seharusnya tidak perlu ditakutkan oleh pemerintah, asal pemerintah serius menjaga nilai tukar dan menguatkannya terhadap mata uang asing terutama terhadap US Dolar. Caranya banyak. Asal berani saja. Pada masa pemerintahan SBY rata nilai tukar rupiah sebesar Rp 8.000 per US dolar. Kalau harga minyak sekarang 90 US dolar maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM Rp 4.500 per liter BBM. Waktu itu Menteri Keuangan SBY adalah Sri Mulyani. Karena kepotong kasus Ban Century jadi Sri Mulyani tidak menjadi menteri lagi. Sri Mulyani kembali di jaman Jokowi tapi nilai tukar rupiah terhadap US dolar ambruk menjadi Rp 14.750 per dolar AS. Meski harga minyak mentah sama 90 dolar per barel seperti jaman SBY dulu, tapi biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM naik dua kali lipat menjadi Rp 10.000 per liter BBM. Jadi, Bapak Presiden Jokowi cobalah perintahkan kepada Sri Mulyani sebagai Menkeu, supaya diskusi dengan Gubernur BI bagaimana cara menguatkan kembali nilai tukar rupiah terhadap USD. Karena sekarang ini Indonesia itu beli minyak menggunakan dolar. Bukan menggunakan Yuan atau Rubel. Sri Mulyani mudah-mudahan bisa. Pengalaman belasan tahun jadi Menkeu masa’ iya cuma bisanya membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot. Sekali-kali Sri Mulyani tunjukkanlah kepintarannya dengan menaikkan nilai tukar rupiah ini. Sri Mulyani silakan berkoordinasi dengan BI selalu Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan. Jika BI tidak mau taat kepada pemerintah maka bisa diusulkan ke DPR agar BI segera direform dan diletakkan kembali di bawah Menteri Keuangan seperti sebelum reformasi. Kalau Menkeu dan BI bisa menguatkan nilai tukar rupiah menjadi Rp 1.000 per Dolar AS, maka biaya pokok minyak mentah untuk menghasilkan BBM hanya senilai Rp 500 per liter. Kalau Jokowi mau, bisa melakukan ini. Kalau pembantunya tidak bisa coba cari yang bisa. Jadi, demikian jika nilai tukar Rp 1.000 per dolar maka biaya pokok Rp 500 per liter, ditambah PPN 11 persen, ditambah PBBKB 5 persen, ditambah pungutan BPH Migas, biaya pokok BBM hanya Rp 650-750 per liter. Pertamina bisa jual pertalite Rp 5.000 per liter untungnya bisa segaban. Kalau sekarang dengan biaya pokok BBM Rp 10.000 per liter (harga minyak mentah x kurs 14.750/159 liter sebarel) maka ditambah PPN 11 persen, ditambah PBBKB 5 persen, ditambah pungutan BPH Migas, ditambah pungutan lain-lain, biaya pokok BBM mencapai 12 ribu sampai 13 ribu rupiah. Pertamina jual 10 ribu ya lama-lama Pertamina Pecok. Ngono lo... (*)
Jika Rezim Bebaskan Ferdy Sambo, NKRI Butuh Polri Perjuangan
Oleh: Yusuf Blegur SEMUA mata terus tajam menyorot, semua telinga membuka lebar gendangnya dan semua mulut bergegas membisik kabar kelanjutan kasus Sambo. Nurani publik semakin terusik apakah masih ada harapan melihat keberlangsungan hukum yang berlaku setara dan adil. Ataukah rakyat akan hidup mengenaskan merasakan Polri tak bernyawa menyusul NKRI yang kian sekarat. Sesungguhnya kasus Ferdy Sambo telah menjadi cermin dari penyelenggaraan negara yang amburadul. Pori yang bobrok telah menjadi miniatur NKRI yang rusak. Ketika rezim menjadikan Polri sebagai institusi negara yang kekuasaannya tak terbatas. Polri menjelma bagaikan monster berdarah dingin yang keji dan beringas. Ada suara miring dari publik bahwa semua kejahatan lengkap dan tersedia di lembaga penegakkan hukum tersebut. Mulai dari korupsi, pembunuhan, disorientasi seksual pemerkosaan, judi, miras, narkoba, tambang dan pembalakan hutan ilegal serta beragam bisnis haram lainnya. Bahkan Kekuasaan oligarki melalui cukong-cukong besar yang dikenal sebagai 9 Naga, tak luput menjadikan Polri sebagai mesin politik pemenangan capres abal-abal. Semua itu tak luput dilakukan organisasi yang aparatnya justru berkewajiban mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat. Bagai rangkaian kejahatan personal dan sistemik yang telah lama berlangsung di tubuh Polri. Tragedi di tubuh Korps Bhayangkara yang dilakukan Ferdy Sambo cs., seakan telah menjadi semacam puncak akumulasi kebobrokan Polri teruma dari aspek pengejawantahan Tri Brata dan Eka Prasetya. Dengan banyaknya personal mulai dari bintara hingga jenderal yang terlibat pelbagai \"extra ordinary crime\", yang tidak lagi disebut kesalahan oknum. Kasus Sambo seakan memastikan deklarasi nasional kehancuran kalau belum layak disebut pembubaran Polri. Selain lama pengungkapan dan begitu bertele-tele dalam menuntaskan kasusnya. Penguasa Polri dan irisan yang teribat didalamnya, terkesan berusaha menghalang-halangi penanganan hukumnya, mengaburkan sustansi persoalan dan berusaha mengalihkan kasus Sambo dengan isu atau peristiwa lain. Terlalu banyak keterlibatan para pemangku kepentingan publik dan petinggi negara yang disinyalir terseret kasus Sambo. Mulai dari DPR, partai politik, menteri hingga presiden, boleh jadi memiliki korelasi yang tidak bisa diabaikan berada dalam domain kasus Sambo. Ada kecenderungan bahwa semua distorsi penyelenggaraan negara, termasuk pada kasus Sambo merupakan bagian dari kekuasaan oligarki yang dominan. Dengan semakin tidak jelas dan berlarut-larutnya dalam membongkar secara fokus, detail dan terukur sebagaimana semboyan Presisi Polri. Rakyat untuk kesekian kalinya hanya bisa mengurut dada dan cukup tahu, betapapun aib tragedi Sambo yang telah menjadi kasus nasional dan internasional itu. Seperti biasa hanya menghasilkan ketiadaan supremasi hukum yang teguh memegang prinsip kesetaraan dan berkeadilan. Bahkan sekalipun kasusnya telah menjadi momentum penting dan strategis untuk merefleksi dan mengevaluasi keberadaan serta eksistensi Polri selama ini. Mungkinkah kasus Sambo yang belakangan dinilai memiliki benang merah dengan kasus KM 50, dapat menjadi trigger sekaligus membuka Kotak Pandora dari hancurnya sistem hukum di Indonesia?. Apakah masih ada toleransi dari kejahatan yang terus berlangsung pada Polri baik selaku personal maupun institusional?. Apakah perlu diadakan reformasi atau hanya sekedar restrukturisasi Polri?. Atau lebih ekstrim lagi perlu meninjau kembali keberadaan Polri?. Dengan kata lain, mengingat sudah begitu sangat struktural, terstruktur dan sistematik serta sangat masif, dari semua distorsi kinerja Polri yang begitu miris dan memprihatinkan. Bukan tidak mungkin ada opsi lain berupa pembubaran Polri jika perbaikan dan pembaruan sulit dilakukan pada organisasi keamanan yang kinerja dan pengawasannya secara langsung dibawah presiden. Namun betapapun dilematis dan bagai memakan buah simalakama. NKRI yang butuh Polri dalam peran dan fungsi menjaga keamanan dan keteriban masyarakat. Namun disisi lain performans Polri justru sering menimbulkan keresahan dan menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat. Rasa-rasanya ini membutuhkan lebih dari sekedar ketegasan, kepastian dan keputusan yang bijak. Perlu kematangan dan jiwa besar untuk menemukan solusi yang terbaik. Polri maupun presiden, mutlak membutuhkan kepercayaan publik dari bagaimana cara menangani dan menyelesaikan kasus Sambo agar dapat menjalankan hukum dengan sebaik-baiknya memenuhi aspek kesetaraan dan rasa keadilan rakyat. Tegakkan hukum pada Sambo dan semua irisan yang telibat tanpa pandang bulu, tanpa membeda-bedakan kelas dan status kepangkatan atau jabatannya. Berikan hukuman yang seadil-adilnya demi menjaga marwah Polri, presiden dan bahkan pada negara. Baik buruknya penyelasian kasus Sambo menjadi naik buruknya presiden dan negara. Tak bisa dibantah lagi, Polri adalah representasi Polri dan juga representasi Negara. Jadi selesaikan kasus Sambo di tubuh Polri secara elegan dan bermartabat demi kebaikan Polri, presiden dan negara. Jangan sampai ada konsiprasi dan manipulasi kasus Sambo, apalagi ada upaya meringankan hukuman atau malah membebaskan Sambo. Jika sampai terjadi ada rekayasa dan manipulasi yang melindungi kejahatan di tubuh Polri, maka itu akan mengubur Polri sendiri. Termasuk jika kemungkinan ada konspirasi sampai Sambo dibebaskan, maka bisa saja hal itu menjadi puncak totalitas kehancuran sistem hukum di negeri ini. Oleh sebab itu wajar saja muncul pemikiran publik bahwasanya NKRI butuh Polri Perjuangan.
Perjuangan KH Zainuddin Fannanie
Pada pertengahan Januari 1959 KH Zainuddin Fannanie menjabat Kepala Kabinet Menteri Sosial. Setahun kemudian yaitu pada 12 Agustus 1959 KH Zainuddin Fannanie menjadi anggota BPP-MPRS sampai 1967. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta KIAI Haji Zainuddin Fannanie adalah salah seorang dari tiga bersaudara pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur pada 21 September 1926. Trimurti, Tiga Serangkai Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo bersama 2 orang lainnya KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi. Ia adalah putera keenam dari Kyai Santoso Anom Besari. Beliau lahir di Gontor Ponorogo pada tanggal 23 Desember 1908. KH Zainuddin Fannanie menempuh Pendidikan dimulai dengan masuk Sekolah Dasar Ongko Loro Jetis Ponorogo. Kemudian ia mondok di pondok pesantren Josari Ponorogo, kemudian ke Termas Pacitan, lalu ke Siwalan Panji Sidoarjo. Dari sekolah Ongko Loro ia pindah ke sekolah dasar Hollandshe Inlander School (HIS), kemudian melanjutkan ke Kweekschool (Sekolah guru) di Padang. Sesudah tamat sekolah guru ia masuk Leider School (sekolah pemimpin) di Palembang. Selain itu beliau pernah belajar pada Pendidikan Jurnalistik dan Tabligh School (Madrasah Muballighin III) Muhammadiyah, Jogjakarta, dan selesai pada 1930. Pengalaman Organisasi KH Zainuddin Fannanie menjadi guru di HIS sejak 1926 sampai 1932 dan mengajar di School Opziener di Bengkulen sampai tahun 1934. Pernah menjadi Konsul Pengurus besar Muhammadiyah Sumatra Selatan pada 1942. KH Zainuddin Fannanie menjadi guru Sekolah Muhammadiyah di Bengkulu bersama Bung Karno ketika beliau diasingkan di sana. KH Zainuddin Fannanie menjadi saksi pernikahan Bung Karno dengan Fatmawati. Pada tahun yang sama KH Zainuddin Fannanie menjadi Kepala Penasehat Kepolisian Palembang hingga 1943. Setahun kemudian beliau menjabat Kepala Kantor Keselamatan Rakyat di Palembang. Setelah itu dipilih menjadi Kepala Kantor Tata Usaha Kantor Sju Tjokan. Sejak 8 April 1953 diangkat oleh Presiden menjadi anggota ”Panitia Negara Perbaikan Makanan”. Empat bulan setelah itu, tepatnya pada 1 Agustus 1953 KH Zainuddin Fannanie menduduki Kepala Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial pada Kementerian Sosial. Pada tahun yang sama, 1953, beliau menjabat Inspektur Kepala, Kepala Inspeksi Sosial Jawa Barat dan Sumatra Selatan. Sejak 19 Januari 1956 KH Zainuddin Fannanie mendapat kepercayaan menjadi Kepala Bagian Pendidikan Umum Kementerian Sosial. Pada pertengahan Januari 1959 KH Zainuddin Fannanie menjabat Kepala Kabinet Menteri Sosial. Setahun kemudian yaitu pada 12 Agustus 1959 KH Zainuddin Fannanie menjadi anggota BPP-MPRS sampai 1967. Pada 21 Juli 1967 KH Zainuddin Fannanie meninggal dunia di Jakarta, meninggalkan seorang istri dan seorang anak yaitu Drs. H. Rusydi Bey Fannanie, Anggota Badan Wakaf Pondok Modern Gontor, dengan putra Prof. Dr. Husnan Bey Fannany, MA, mantan Duta Besar Indonesia di Azzarbeyjan. KH Zainuddin Fannanie meninggalkan sejumlah karya tulis. Di antara karya tulis beliau yang masih menjadi bahan rujukan, terutama bagi generasi penerus Pondok Modern Darussalam Gontor adalah: Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam, Penangkis Krisis, Reidenar dan Jurnalistik, serta masih banyak yang lainnya. Sesuai dengan judulnya, buku Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam adalah buku pedoman Pendidikan kader dakwah. Pada 1950-an buku tersebut digunakan secara luas sebagai buku pegangan calon mubaligh, di mana-mana. Salah satu ciri utama buku ini, di setiap penutup bab dicantumkan kata-kata mutiara, baik dari ayat Al-Quran, hadits Nabi, maupun kata-kata bijak ulama, cendekiawan, dan filosof. (*)
Keppres Kontroversial Jokowi
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerja Jokowi telah mengeluarkan Keppres No 17 tahun 2022 yang membentuk Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Tim yang diketuai Makarim Wibisono dengan Ketua Dewan Pengarah Mahfud MD ini dinilai kontroversial. Suara penolakan pun muncul antara lain dari Setara Institute. Yang paling lucu atau aneh yang adalah pelanggaran HAM berat masa Lalu itu ternyata berdasarkan rekomendasi Komnas HAM sampai tahun 2020. Ini bertentangan dengan alasan dan dasar Keppres yakni telah sangat sulit untuk pembuktian pelanggaran HAM berat masa lalu. Tahun 2020 itu masih kemarin. Kasusnya masih sangat mudah untuk diusut kemudian diproses melalui Pengadilan HAM. Penyiasatan Jokowi melalui Keppres 17 tahun 2022 ini terlihat antara lain : Pertama, rekomendasi Komnas HAM menjadi acuan, semestinya tidak harus digantungkan pada rekomendasi Komnas HAM sebab prakteknya lembaga ini di samping kadang kerja tidak tuntas juga sering bias dan ikut \"bermain\" dalam melakukan pemeriksaan pelanggaran HAM. Independensi yang diragukan. Kedua, penyelesaian kasus HAM berat melalui proses peradilan adalah amanat Undang-Undang karenanya perubahan atau diskresi penyelesaian secara non yudisial tidak bisa ditetapkan dengan bentuk Keputusan Presiden ( (Keppres) . Semestinya dengan Undang-undang lagi atau sekurangnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Ketiga, pelanggaran HAM berat seperti kasus Talangsari, Semanggi I dan II, Trisakti atau Wasior Papua diduga pelakunya masih ada, artinya masih bisa diminta pertanggungjawaban. Karenanya terlalu gegabah untuk sekedar melakukan penyelesaian non yudisial. Keppres 17 tahun 2022 berorientasi pada \"santunan korban\" bukan pada pertanggungjawaban hukum dari pelaku. Menggantungnya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebenarnya bukan semata karena sulitnya pembuktian tetapi lebih kepada Pemerintah sendiri yang tidak memiliki kemauan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Kembali soal lucu atau aneh tentang batasan hingga tahun 2020. Adakah Pemerintah Jokowi ingin juga menutup kasus yang terjadi di masa Pemerintahannya yang potensial diusut sebagai pelanggaran HAM berat \"masa lalu\" seperti tewasnya 894 petugas Pemilu dan terbunuh 9 pengunjuk rasa 21-22 Mei 2019 serta pembantaian 6 anggota Laskar FPI Desember 2020 ? Ada aneh dan lucu pula apa yang dipidatokan Jokowi pada tanggal 16 Agustus 2022. Ia menyatakan telah menandatangani Keppres tersebut, padahal fakta yang ada ialah Keppres tersebut ditandatangani tanggal 26 Agustus 2022. Ada kawan nyeletuk \"Kebohongan Presiden ini adalah kulminasi dari berjuta kebohongan yang telah dilakukan Jokowi. Ini adalah pelanggaran HAM berat masa kini\". Rakyat Indonesia yang menjadi korban tidak mau penyelesaian non yudisial ! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 23 September 2022
Club Motor Ismail Mz (Betawi Berprestasi I)
Oleh Ridwan Saidi Budayawan Ismail Marzuki (1914-1958) putra Kwitang asli. Ayah yang mengerti puteranya menyukai musik membelikan Mail biola. Mail ambil course music pada guru-guru music handal. Dalam usia 20 tahun Mail gabung dengan grup music paten Lief Java. Tahun 1936 Mail sudah menulis lagu. Yang pertama ditulisnya Sarinah kemudian Bunga Anggrek. Mail ikut bermain sebagai pemusik dalam film Terang Bulan dengan filmstar Miss Roekiah tahun 1938. Mail tak rehat mencipta sampai terbit kemerdekaan. Ketika Belanda duduki Jakarta kembali 1946 Mail turut mengungsi ke Bandung. Ia menulis. Banyak lagu di Bandung a.l Halo-halo Bandung, Bandung Selatan di waktu malam. Mail juga menulis Panon Hideung syair lagu Fúr Elisse. Tahun 1950 Bung Karno mulai kampanye batalkan KMB dan kembalikan Irian Barat ke Ibu Pertiwi. Mail menulis lagu Irian Samba. Yo menari lenso berhadap-hadapan Empat nona manis dan empat jantan Irama memikat Samba Irian Siapa melihat hati tertawan. Panitia Pemilihan Indonesia pemilu 1955 menetapkan lagu ciptaan Ismail Marzuki Pemilihan Umum Kesana Beramai sebagai lagu resmi. Pemilihan umum ke sana beramai Marilah-marilah saudara semua Marilah bersama memberi suara Suara yang bebas serta rahasia Kalau Bang Thamrin hobinya berkendara mobil sport, Bang Maing kesenangannya ikut club motor. Betawi angkatan Isnail Mz yang juga pencipta lagu dan juga produktif adalah Ucin Muhasin, putera Tenabang. Bang Maing juga setelah beristri pindah dari Kwitang ke Tenabang. Ismail Marzuki wafat pada tahun 1958. Betapa hatiku tak \'kan sedih Telah gugur pahlawanku. (RSaidi)