ALL CATEGORY
Catatan Penyelenggaraan Ibadah Haji 2022 dari Komisi III
Jakarta, FNN - Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily memberikan catatan terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022 yang dilaksanakan Kementerian Agama (Kemenag) RI, karena masih ada kekurangan yang dirasakan para jamaah asal Indonesia.\"Dalam penyelenggaraan haji yang digelar setelah dua tahun pandemi COVID-19, kami mencatat masih ada kekurangan yang dirasakan para jamaah,\" kata Ace Hasan di Jakarta, Rabu.Catatan pertama menurut dia, pelayanan Armuzna masih belum sesuai dengan yang dijanjikan, karena biaya yang pada tahun-tahun sebelumnya sebesar pada kisaran 1.500 SAR, tahun ini mengalami kenaikan menjadi 5.500 SAR.Hal itu menurut dia tidak sebanding dengan pelayanan yang dirasakan para jamaah, karena pelayanan jamaah sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya.Kedua menurut dia, jarak tenda di Mina dengan jamarah masih jauh yaitu hingga tujuh kilometer sehingga menguras stamina jamaah.\"Seharusnya dengan kapasitas terbatas, penempatan jamaah bisa diberikan pada jarak yang lebih dekat, tidak seperti kondisi haji sebelumnya. Banyak jamaah yang kena dehidrasi dan kelelahan,\" ujarnya.Dia menjelaskan, catatan ketiga, dari segi kesehatan, beberapa tempat layanan kesehatan ditemukan masih adanya rekam medis jamaah yang belum diperbaharui sehingga pelayanan tenaga kesehatan dalam melayani jamaah masih menggunakan rekam medis tahun 2020.Hal tersebut menurut dia berpengaruh terhadap layanan kesehatan jamaah namun secara umum pelayanan kesehatan sudah baik walaupun pengadaan obat harus diperbanyak sesuai dengan penyakit yang pada umumnya dirasakan jamaah seperti batuk, pilek dan sesak nafas.\"Keempat, perlu ditingkatkan pelayanan manasik haji para jamaah. Banyak jamaah yang tidak tergabung dalam kelompok bersama Ibadah Haji (KBIH) tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam menjalankan manasiknya. Hal ini perlu difasilitasi Kementerian Agama,\" katanya.Ace mengatakan, persoalan teknis seperti koper jamaah yang disediakan maskapai penerbangan yang cepat sobek dan rusak, perlu perhatian pihak yang berwenang.Dia juga menilai, masalah-masalah lain yang harus diselesaikan, antara lain terkait sengkarut Haji Furoda, walaupun kewenangan pemerintah Arab Saudi, namun menyangkut dengan jamaah haji Indonesia. Karena itu menurut dia harus dipastikan bahwa tidak ada calon jamaah haji Indonesia yang dirugikan akibat adanya pungutan visa haji Furoda tanpa kepastian keberangkatan.\"Selain itu, soal perlu adanya standar pelayanan minimal yang diterapkan untuk penyelenggara haji khusus atau ONH plus. Hasil pengawasan kami, satu pihak dengan yang lainnya berbeda-beda, ada yang layanannya sangat baik, ada juga yang sama sekali jauh dari standar pelayanan,\" ujarnya.Dia berharap agar persiapan penyelenggaraan haji harus dilakukan lebih baik lagi dengan waktu yang lebih jauh panjang.Menurut dia, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama harus segera melakukan pembahasan dengan pihak Arab Saudi untuk memastikan jumlah kuota, penjajakan kontrak akomodasi dan konsumsi lebih awal dan lain-lain.Di sisi lain dia menilai, penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022 secara umum telah berjalan dengan lancar, karena Indonesia telah mengirimkan jamaah haji dalam jumlah yang cukup besar dan merupakan negara Muslim terbesar dunia yang mengirimkan jamaahnya.Menurut dia secara umum, aspek layanan penginapan jamaah, konsumsi jemaah selama di Mekkah, Arafah, Mina, Mudzdalifah (Armuzna) dan Madinah disediakan dengan baik, transportasi, berjalan sesuai tahapannya.Ace mengatakan, Komisi VIII DPR RI akan menggelar Rapat Kerja dengan Kemenag untuk mengevaluasi secara keseluruhan terhadap pelaksanaan haji tahun 2022, setelah seluruh jamaah haji Indonesia kembali dari tanah suci. (Ida/ANTARA)
Draft RKUHP: Ngaku Dukun Bisa Dipenjara 1,5 Tahun
Jakarta, FNN - Salah satu ketentuan yang tercantum dalam draft Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) adalah mengenai seseorang yang mengaku sebagai dukun atau mengklaim dirinya mempunyai kekuatan gaib akan dihukum selama 1 tahun 6 bulan. Berdasarkan draft RKUHP yang diserahkan Kemenkumham ke DPR rumusan itu tertuang dalam pasal 252, yang mengatur tentang pidana soal praktik ilmu magis alias dukun santet. Diketahuinya dalam Pasal 252 disebutkan bahwa: (1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. (2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga). Sementara dalam pasal 252 ayat 1 dijelaskan: Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan mampu melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Menurut wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Rabu (13/7) ini adalah persoalan yang serius, RKUHP ini semua orang bisa kena, termasuk di media, karena ini akan berdampak secara keseluruhan pada sektor kehidupan kita, bahkan termasuk orang yang mengaku-ngaku punya kemampuan gaib. (Lia)
Bubarkan Mahkamah Konstitusi!
Bunyi pasal tersebut sangat jelas sehingga tidak mungkin bisa ada interpretasi lain: konstitusi itu tidak mencantumkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Terang-terangan, bertentangan dengan konstitusi. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KEJADIAN dungu terulang kembali saat Mahkamah Konstitusi (MK) berkilah/ berdalil bahwa Presidential Threshold (PT) 20%, untuk memperkuat sistem Presidensial. Memperkuat sistem pemerintahan Presidensial itu dengan: Menciptakan pemisahan kekuasaan antara lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif pada porsi, posisi dan perannya masing masing. Menciptakan sistem pengawasan (checks and balances) sehingga ada sistem kontrol, pengawasan dan penyeimbangan kekuasaan antara ketiga lembaga tersebut. Memberikan hak veto kepada Presiden dan kepada lembaga Legislatif hak veto dengan kewenangan masing masing. Bukan dengan Presidential Threshold 20%. Dungunya MK berubah menjadi lembaga suka ngarang-ngarang hukum karena ada tekanan, pesanan pihak luar yang ingin menguasai negara ini. Terlacak dengan jelas bahwa MK itu hanya kedok, pesan politik terselubung untuk melindungi kepentingan Pimpinan Partai Politik yang sudah terikat kongkalikong dengan oligarki untuk mengendalikan dan menguasai Pilpres 2024. MK bukan lagi penegak konstitusi. Tetapi menjelma menjadi lembaga yang melanggengkan pelanggaran konstitusi dan penjaga kepentingan oligarki. Alasan MK menolak Judicial Review (JR) PT 0% itu sangat mengada-ada, tidak profesional, sewenang-wenang alias tirani, hanya untuk mempertahankan UU yang merampas kedaulatan rakyat dan demokrasi, bertentangan dengan kepentingan publik dan konstitusi. Konstitusi Pasal 6A ayat (2) mengatakan “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Bunyi pasal tersebut sangat jelas sehingga tidak mungkin bisa ada interpretasi lain: konstitusi itu tidak mencantumkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Terang-terangan, bertentangan dengan konstitusi. MK pasti paham bahwa DPR tidak mempunyai wewenang konstitusional sama sekali untuk mengubah konstitusi, termasuk melalui open legal policy. Maka, MK layak dibubarkan, dan bertanggung jawab penuh atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Berbahaya .... rakyat bisa saja datang ke MK dan membubarkan MK, dengan caranya sendiri – kalau pemerintah tetap bersikukuh mempertahankan MK dan tidak segera membubarkan MK. Tokoh-tokoh yang berpotensi menjadi pemimpin nasional akan sulit mengikuti kontestasi Pilpres 2024 selama ambang batas alias PT belum Nol persen atau masih tetap 20%. Jangan harap bisa lepas dari cengkeraman oligarki ekonomi dan oligarki politik. Siapapun Capres dan Cawapres yang bakal diajukan oleh partai politik, jangan harap mereka “bebas” dari oligarki. Karena mereka tak akan pernah bisa lepas dari oligarki. Satu-satunya lembaga yang bisa memotong oligarki secara yuridis ya MK. Tapi sayangnya, dari beberapa gugatan PT yang diproses tidak ada satupun yang dikabulkan MK. Maka, tidak salah jika ada tuntutan agar MK dibubakan saja. Karena, lembaga yang tadinya diharapkan bisa menjaga Konstitusi, ternyata justru sebaliknya. (*)
Kejanggalan Tewasnya Ajudan Sang Jendral, Benarkah Ada Motif Asmara?
Jakarta, FNN – Keluarga Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang tewas ditembak oleh Bharada E menyebut menemukan banyak kejanggalan dalam kasus ini. Khususnya berkaitan dengan kronologi peristiwa hingga luka mencurigakan yang dialami korban. Ayah Brigadir Yosua, Samuel kini hanya menginginkan kebenaran atas tewasnya anaknya, ia sangat ingin bisa melihat rekaman CCTV baku tembak di tempat kejadian perkara. Dia menyebut di rumah perwira tinggi seharusnya memiliki CCTV dan pengawasan yang ketat. Keluarga Brigadir Yosua juga mengklaim bahwa anaknya seorang sniper khusus yang biasanya ditempatkan di titik rawan, otomatis anaknya jago menembak. Tentunya keluarga merasa aneh dengan penembakan tersebut. Polisi menyebut Brigadir Yosua tewas dalam baku tembak itu, tetapi pada saat Brigadir Yosua Hutabarat melepaskan 7 kali tembakan, dan tidak sekalipun mengenai Bharada E, atau akurasi 0 persen. Dengan latar belakang Brigadir Yosua sebagai sniper, Samuel pun menganggap tidak mungkin tembakan anaknya sama sekali tidak mengenai Barada E. Namun saat ini beredar lagi kabar terbaru, insiden baku tembak itu disebut-sebut terkait motif asmara. Brigadir Yosua dikabarkan memendam hubungan spesial dengan istri Kadiv Propam, Putri Candrawati. Bahkan, desas-desus tersebut mengarah ke hal sensitif yang tidak bisa dijawab secara cepat oleh kepolisian. Sebab, informasi itu dinilai masih bersifat itu yang belum dapat dipastikan kebenarannya. “Tentunya isu itu (dugaan selingkuh) masuk dalam materi penyidikan yang tidak dapat kami ungkap ke publik,” kata Kapolres Metro Jaksel Kombes Budhi Herdi Susianto kepada wartawan Budhi mengaku tidak mau berasumsi. Terlebih, masalah tersebut dinilai menyangkut kehidupan pribadi. Wartawan senior FNN Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN, Rabu (13/7) mengomentari seharusnya pihak kepolisian bisa mendeteksi dari awal kasus ini, kalau seandainya kematiannya wajar tetapi dalam kondisi tidak wajar, maksudnya wajar dalam arti memang kejadiannya seperti itu. Nah kalau seperti sekarang ini kan, orang kemudian berspekulasi lagi kenapa seolah-olah ada intimidasi. “Ini sekarang satu kepada polisi tentunya muncul ketidak percayaan dari publik terhadap versi yang resmi dari polisi, kemudian kan media banyak mewawancarai narasumber yang kemudian makin meneguhkan ketidak percayaan publik terhadap informasi yang diberikan kepolisian, saya kira ini tantangan serius bagi kepolisian,” lanjut Hersubeno Arief, wartawan senior FNN. Hersubeno juga mengingatkan juga kepada publik jangan segera begitu mendapat informasi dari WhatsApp Group langsung percaya, tetapi tidak melakukan klarifikasi. (Lia)
Kebaikan Sistem Pilpres Perwakilan Musyawarah di MPR Ala UUD 1945
Presiden Terpilih tidak punya hutang budi kepada Taipan atau Konglomerat, yang menjadi sebab Presiden tersandera, sehingga kebijakannya akan selalu pro konglomerat dan lupa pada rakyat. Oleh: M. Hatta Taliwang, Mantan Anggota DPR NASIB dan Hari Depan Indonesia tidak semata-mata ditentukan oleh Partai yang sudah kita ketahui keburukannya, tapi juga terlibat Utusan Daerah dan Utusan Golongan, ada Utusan Intelektual/Akademisi dalam penentuan siapa yang layak jadi Presiden Indonesia. Dengan demikian sudah lengkap representasi Rakyat untuk menentukan siapa yang layak menjadi Presiden, ada unsur keterpilihan (Partai) ada unsur keterwakilan (UG, UD, UI). Tinggal melaksanakan musyawarah dan memilih Presiden. Dijamin tidak lahir capres kelas tukang tambal ban. Karena dengan sistem Pilpres Perwakilan Musyawarah ala UUD 1945 Asli ini, dijamin tidak akan ada calon yang tidak berkualitas, karena Panglima TNI, Kapolri, Ketum NU, Ketum Muhammadiyah, para Sultan dll sebagai utusan Golongan/Utusan Daerah akan malu mengajukan capres di bawah standar kualitas mereka. Mata seluruh rakyat fokus ke gedung MPR Senayan. Kontrol rakyat lebih mudah jika ada penyimpangan. Tidak mudah melakukan penyuapan karena: Ada utusan Golongan misalnya Panglima TNI, Ketum Muhammadiyah yang jadi filter atau kontrol moral; Ada CCTV di semua sudut ruangan gedung; Bila perlu semua HP dipantau oleh KPK. KPK punya alat canggih itu; Isolasi anggota MPR seminggu sebelum Pilpres atau saat Sidang Umum sedang berlangsung; Pasti ada tokoh bangsa yang dicalonkan. Pendukungnya pasti memantau semua gerak gerik anggota MPR dan mengawasi seluruh proses Pilpres. Mereka bisa mengepung gedung MPR RI. Ormas, LSM, Mahasiswa dll tertuju matanya ke Gedung MPR ikut mengawasi jalannya Pilpres; Dan, Tidak semua anggota MPR bisa disuap. Pasti banyak juga yang punya nurani. Hampir semua parpol dan ormas melakukan pemilihan Ketumnya lewat proses perwakilan/musyawarah. Mengapa ketika memilih Presiden mesti Pilpres langsung? Padahal mereka tak pernah mengundang semua pemegang kartu anggotanya datang mencoblos saat memilih Ketumnya? Why mempertanyakan sistem Musyawarah ini yang sudah mengakar sebagai budaya bangsa dalam memilih pemimpin? Output sistem Perwakilan Musyawarah pada umumnya melahirkan Pemimpin berkualitas, kecuali yang musyawarah pakai duit ala preman. Dalam contoh Muhammadiyah dan PKS, mereka membuktikan prestasi organisasinya membaik dengan menggunakan sistem musyawarah yang fair dalam memilih pemimpinnya. Dari pembiayaan negara dan pembiayaan pribadi capres boleh dibilang minim dibanding Pilpres Langsung. Presiden Terpilih tidak punya hutang budi kepada Taipan atau Konglomerat, yang menjadi sebab Presiden tersandera, sehingga kebijakannya akan selalu pro konglomerat dan lupa pada rakyat. Tidak sampai terjadi pembelahan yang mengarah pada perpecahan rakyat seperti dampak Pilpres Langsung. Sehingga Persatuan tetap terjaga dan terpelihara. Aparat keamanan lebih bisa konsenterasi ke hal-hal yang lebih produktif bukan hanya mengawasi rakyat untuk ditangkap. Ini adalah cara memilih Presiden yang bijak dan arif warisan pemikiran pendiri bangsa kita, tapi kita lempar ke tong sampah, dan kita telah durhaka sehingga bangsa ini menjadi rusak parah oleh lahirnya pemimpin bangsa yang lahir dari cara yang bertentangan dengan budaya bangsa kita. Silakan kita renungkan bersama, mau teruskan Pilpres Langsung ala kaum individualistik liberalistik ini? (*)
Katak dalam Tempurung
Oleh Syafril Sjofyan - Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78 Elit pemerintahan dungu, yang melihat trend remaja Citayam yang nampil fashionable di Jakarta, sebagai ukuran keberhasilan ekonomi. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan 270 juta penduduk dimana kehidupan mereka mayoritas miskin dan sangat miskin yang hanya bertahan hidup sehari. Tahun 2018 dalam keadaan normal jumlah rakyat miskin 150,2 juta orang, dengan pendapatan di bawah Rp30.517 per hari per orang. Apalagi dalam keadaan dihantam pandemi covid, semakin rakyat miskin banyak kehilangan mata pencarian, di PHK atau usaha mereka bankrut selama pandemi. Dalam kondisi tersebut diperparah ancaman global, perang Ukraina - Rusia, pemerintah Jokowi salah kelola Ekonomi, membangun infrastruktur secara ugal-ugalan tanpa kajian dan prioritas hanya bermodalan kepada hutang secara luar biasa, tanpa ingat kesulitan Pemerintah mendatang atau kesusahan bagi anak cucu membayar hutang. Dalam kondisi krisis Ekonomi memaksa membangun banyak menara gading seperti Kereta Cepat, IKN sama sekali tidak produktif, tidak menguntungkan dalam waktu dekat malah merugi dalam jangka panjang. Hanya menjadi beban APBN. Elit kekuasaan terlalu sombong dan angkuh menyatakan dalam setiap kesempatan, serta di goreng oleh buzzer sewaan, mengesankan seolah rakyat Indonesia dalam keadaan baik-baik saja. Style yang ditampilkan sekelompok remaja Citayam secara fashionable di jalanan SCBD Jakarta dijadikan ukuran keberhasilan Ekonomi rakyat. Oleh para petinggi Pemerintah. Picik dan dangkal. Hal tersebut bukan sesuatu yang baru, atau fenomenal. Bisa saja mereka tidak lagi mampu nampil dijalanan karena \"tidak mampu\" mengeluarkan uang jajan di Mall yang sudah serba mahal. Sementara berbagai kalangan dari dulu termasuk generasi Z sekarang \"menampilkan diri\" tersebut untuk eksistensi, pengakuan tentang keberadaan mereka. Setidak-tidaknya pengakuan dapat diterima di komunitas mereka sendiri. Di beberapa daerah budaya masyarakat yang senang nampil gaya itu sudah sejak dulu ada. Disamping unjuk diri menambah kepercayaan diri dan pengakuan. Dengan bergaya dengan barang bermerk berseliweran di Mall-Mall, kadang bukan berbelanja. Walau kehidupan ekonomi, keluarga sebagian mereka payah. Tidak sedikit kasus anak “memaksa” orang tuanya untuk menyediakan kebutuhan mereka untuk tampil menarik. Bahkan ada yang menjual diri untuk mendapatkan barang kemewahan, seperti gadget dan lainnya. Sangat naif jika trend anak muda nampil dijadikan kebanggaan oleh sementara elit untuk menutup kegagalan Pemerintah mengelola Ekonomi, dan mensejahterakan rakyat. Apalagi dicitrakan oleh para elit pemerintah, sewaktu tampil dalam diskusi public di tv. Mereka berbohong, karena hanya melihat dunia dalam tempurung. Meminjam istilah Rocky Gerung. Elit kekuasaan mempertontonkan dan memelihara “kedunguan”. Sama sekali tidak emphaty terhadap beban/ derita rakyat Kasus tumbangnya Pemerintah Srilanka, bukan lagi pelajaran, tapi sangat mungkin terjadi di Indonesia. Karena rakyat sudah bosan dengan janji zonk. Ibu-ibu sudah sangat menderita dengan semua harga-harga naik. Sementara para Pejabat dan anaknya asyik masyuk ber KKN. Eling. Bandung, 13 Juni 2022
Anies Baswedan, Gagasan, Narasi, dan Karya
Oleh Abdurrahman Syebubakar & Smith Alhadar - Kritikus Sosial Politik Institute for Democracy Education (IDe) “Apa yang kita kerjakan di Jakarta [selalu berkaitan dengan tiga hal], yaitu gagasan, narasi dan karya. Setiap karya dibelakangnya ada narasi, sebelum narasi ada gagasan, tidak ada karya tanpa gagasan, tidak ada kebijakan tanpa gagasan\" (Anies Baswedan) DI ANTARA aspiran capres yang jadi sorotan publik dan parpol belakangan ini, kami melihat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merupakan sosok yang paling tepat untuk memimpin Indonesia ke depan. Ia berbekal perpaduan karakter intelektual, karakter moral dan karakter kinerja. Anies tidak anti-pemodal, tapi anti ketidakadilan. Ia tidak menolak orang yang berusaha untuk menjadi kaya. Yang ditentangnya adalah aktivitas bisnis yang merugikan kepentingan rakyat banyak dan merusak cita-cita bangsa guna menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Proyek reklamasi belasan pulau di Teluk Jakarta dihentikannya karena mematikan sumber kehidupan nelayan yang notabene rakyat kecil dan merusak lingkungan. Hal ini menjadi bukti keberanian politik Anies melawan episenter oligarki yang mengorbankan kepentingan dan masa depan rakyat banyak. Sebuah perkecualian dalam realitas politik Indonesia yang dikendalikan para taipan oligarkis. Pasalnya, tak seorangpun pemimpin politik Indonesia, termasuk presiden, yang berani mengganggu agenda dan kepentingan para taipan. Mereka adalah pemodal para elit politik, sekaligus menjadi sumber pemiskinan rakyat dan akar segala kerusakan yang menimpa bangsa Indonesia. Dalam membangun Jakarta, Anies tidak saja menghadirkan infrastruktur yang memperindah kota, menghadirkan kenyamanan, mempermudah mobilitas warga melalui sistem transportasi terpadu, dan membangun hunian yang layak bagi mereka yang digusur gubernur sebelumnya. Tapi juga menggelar rasa keadilan, yang selanjutnya membangun kebersamaan dan persatuan di antara semua warga ibukota. Dengan kata lain, Anies memimpin dan membangun untuk menghadirkan persatuan. Seperti yang kerap disampaikannya di berbagai kesempatan, “persatuan hanya bisa dibangun dan dipertahankan bila ada keadilan. Tidak mungkin bisa membangun persatuan dalam ketimpangan. Keadilan jadi kata kunci yang harus dihadirkan.” Memang setiap kebijakan yang diambilnya, Anies mengaitkannya dengan penghormatan terhadap nilai historis, pelunasan utang negara kepada mereka yang berjasa, dan pemenuhan cita-cita kemerdekaan berupa hadirnya keadilan sosial. Anies, misalnya, memprakarsai program bebas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi para veteran, perintis kemerdekaan, penerima gelar pahlwanan nasional dan Tanda kehormatan, pensiunan ASN, dan kalangan lainnya yang berjasa bagi bangsa dan negara. Bantuannya pada sekolah dan siswa miskin agar tetap bisa bersekolah merupakan pemenuhan amanat konstitusi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, yang sejauh ini belum dapat dipenuhi negara secara memadai. Anies juga melindungi rakyat yang selama ini terpinggirkan, termasuk warga lanjut usia, perempuan dan penyandang disabilitas melalui beragam program bantuan tunai, ditambah skema subsidi kebutuhan pokok serta akses gratis terhadap fasilitas layanan publik seperti TransJakarta. Lebih jauh, visi kebangsaan Anies Baswedan untuk menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi semua, sesuai amanat konstitusi, tidak saja mewujud di Jakarta. Namun, merambah ke luar ibu kota. Salah satunya melalui kolaborasi dengan para petani di sejumlah daerah seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. Skema kolaborasi tersebut tidak saja saling menguntungkan antar daerah dan meningkatkan kesejahteraan para petani yang umumnya rendah. Tetapi lebih jauh dari itu, jika dilaksanakan dalam skala yang lebih luas, kolaborasi tersebut membantu mengurangi ketergantungan pada impor pangan, yang pada gilirannya berkontribusi terhadap kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Masih banyak yang dilakukan Anies, yang bermuara pada gagasan yang terintegrasi secara apik dengan narasi dan etos kerja/karya. Pada semua karya Anies, melekat gagasan dan narasi tentang pemenuhan cita-cita kemerdekaan, nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi manusia, hak semua golongan agama mendapatkan keadilan substantif, dan tentang rakyat kecil yang martabatnya harus dihormati dan kebutuhan dasarnya mesti dipenuhi. Berbagai capaian gemilang Anies merupakan bahan baku demokrasi dan pembangunan manusia Ibu Kota. Sehingga, kualitas demokrasi DKI Jakarta tetap terjaga dengan indeks demokrasi paling tinggi di Indonesia, mencapai skor 89,21, jauh melampaui indeks demokrasi nasional sebesar 73,66 (BPS 2021). Pembangunan manusia juga kembali tumbuh positif dengan indeks pembangunan manusia (IPM) paling tinggi di antara 34 provinsi. Skor yang mencapai 80,77 pada 2020 menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya provinsi dengan status IPM yang sangat tinggi (skor≥ 80). Setara dengan kondisi pembangunan manusia negara-negara maju. Pada 2021, BPS mencatat skor IPM DKI Jakarta mencapai 81,11. Dengan landasan demokrasi dan pembangunan manusia yang kokoh, DKI Jakarta tidak saja mampu keluar dari tekanan pandemi COVID-19, tetapi juga akseleratif dalam pencapaian visi Jakarta menuju kota yang berkelanjutan, modern, sejahtera, dan tangguh demi kebahagiaan warganya. Anies melangkah lebih jauh dengan membangun sirkuit balap mobil listrik Formula-E dan Jakarta International Stadium (JIS) yang menjadi karya besar tentang Indonesia masa depan. Mahakarya ini memiliki dimensi internasional dan jangka panjang untuk mendapatkan pandangan dunia yang berbeda tentang Jakarta dan Indonesia. Dengan begitu citra Jakarta yang kumuh dan macet serta Indonesia yang dipandang terbelakang dan korup, dapat berubah. Memang sebagai pintu gerbang pendatang asing, serta etalase mentalitas dan budaya bangsa, Jakarta harus berhias diri. Sebagai ibu kota negara, kondisi Jakarta mencerminkan keseluruhan bangsa Indonesia. Maka Anies berupaya mengubah persepsi itu. Citra yang ingin dibangunnya, bahwa Indonesia bukan lagi bangsa tempe, tapi bangsa besar yang percaya diri, cerdas, dan siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain di pentas global. Itulah makna gagasan dan narasi di balik terobosan kebijakan dan program pembangunan di Jakarta, termasuk infrastruktur yang dulu dipandang sebagai benda mati yang hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan fisik warga, sementara kebutuhan non-fisik diabaikan. Jika dengan kemampuan sumberdaya manusia, otoritas dan anggaran Jakarta yang terbatas, Anies melahirkan berbagai terobosan yang saling mengisi dan menguatkan, membentuk suatu orkestra sosial raksasa yang mengagumkan, pastilah ia lebih mampu menyulap Indonesia menjadi negara yang membuat warganya bangga dan mengundang rasa hormat bangsa-bangsa lain. Tidak mungkin sebuah bangsa bisa berjaya tanpa kepercayaan diri rakyatnya, disebabkan lingkungan fisik dan mental domestik yang tidak menunjang, yang berakibat lebih jauh berupa peremehan dunia internasional. Dan semua ini baru terpikirkan setelah Anies menjadi gubernur ibukota. ________________________________ *) Artikel ini merupakan cuplikan dari Prolog Buku “Anies Baswedan: Gagasan, Narasi & Karya, Menjawab Tantangan Masa Depan Bangsa” (Mei 2022) karya penulis.
Gratifikasi Lili P. Siregar Wakil Ketua KPK, Tetap Harus Diproses
LANGKAH cepat Lili P. Siregar, Wakil Ketua KPK, yang mengundurkan diri itu cukup cerdik. Mungkin pikirnya, ketimbang dipecat. Lili mengundurkan diri lantaran kasus dugaan pelanggaran etik penerimaan gratifikasi MotoGP Mandalika di Nusa Tenggara Barat, pada Maret 2022. Lili diduga menerima gratifikasi dari perusahaan BUMN, yaitu PT Pertamina. Berdasarkan informasi yang diterima, Lili mendapatkan tiket nonton MotoGP Mandalika di Grandstand Premium Zona A-Red dan fasilitas penginapan di Amber Lombok Beach Resort selama kurang lebih satu minggu. Lili awalnya dijadwalkan mengikuti sidang perdana pada (5/7/2022). Namun, Lili mangkir dari panggilan Dewan Pengawas KPK pada tanggal itu. Alasannya, Lili sedang menjalankan tugas dalam pertemuan Anti-Corruption Working Group (ACWG) G20 di Nusa Dua, Bali. Dewas KPK juga telah memeriksa sejumlah karyawan Pertamina yang diduga terkait dengan kasus ini. Termasuk Dirut PT Pertamina Nicke Widyawati juga ikut diperiksa Dewas KPK di Gedung ACLC KPK pada Rabu (27/4/2022). Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung melihat persoalan ini? Wartawan senior FNN Hersubeno Arief mendiskusikannya dengan Rocky Gerung dalam Kanal Hersubeno Point, Selasa (12/7/2022). Berikut petikannya. Yang paling menarik fokus perhatian publik berkaitan dengan korupsi adalah mundurnya wakil ketua KPK. Ini sejarah ya saya kira karena mudurnya itu dalam kondisi yang tidak mengenakkan. Ya, kalau masalah KPK sangat menarik ini, karena ini kan sebenarnya berkaitan dengan gratifikasi. Dan memang kalau wilayah Dewas itu wilayah etik dan kemudian kemarin dinyatakan dia gugur kasusnya karena dia sudah tidak lagi menjadi insan KPK karena permohonan pengunduran dirinya itu sudah disetujui oleh Presiden Joko Widodo. Tapi, kan ada kasus gratifikasi yang bagaimanapun juga masa iya kasus begitu dia mundur kemudian kasusnya gugur. Ya itu bahayanya. Seolah-olah ada pintu untuk menyembunyikan kejahatan. Jadi secara etis selesai memang. Tetapi yang dipersoalkan kenapa ada problem etis di situ? Apa kaidah yang dilanggar? Apakah hanya karena absensinya kurang? Tetapi kalau kaidah yang dilanggar adalah soal yang betul-betul mendasar, yaitu gratifikasi, maka gratifikasi yang mesti diproses kan? Kan kalau soal etis itu soal internal, tapi soal gratifikasi kan soal pidana. Jadi kita ingin supaya juga diterangkan mengapa Ibu Lili mengundurkan diri. Ya karena ada kesalahan di dia. Gampangnya begitu kan. Nah, kesalahannya apa? Kesalahan sopan-santun atau kesalahan yang sifatnya kejahatan pidana. Itu yang musti dipisahkan. Saya kira untuk bagian ini juga semua orang ngerti memang etis, kan sudah mengundurkan diri. Dan justru lebih bagus karena setelah mengundurkan diri maka pidananya bisa diproses, tak lagi diikat oleh semacam basa-basi, karena beliau masih pimpinan. Dan KPK mungkin lebih bagus bikin rilisnya bahwa dia sudah mengundurkan diri, tetapi kasusnya tetap akan kita proses. Atau kasusnya kita serahkan ke Kejaksaan. Itu lebih mudah daripada Presiden Jokowi menerima pengunduran dirinya lalu nggak ada konsekuensinya. Itu bisa jadi pintu untuk semua orang bisa melakukan hal yang sama. Kalau sudah minta maaf maka pidananya hilang. Itu banyaknya begitu kan? Dipakai seolah-olah pintu etis itu adalah untuk menghilangkan jejak. Padahal, pintu etis dibuka supaya jejaknya makin terlihat. Kan itu intinya. Dan kalau namanya gratifikasi, ini ada yang menerima dan ada yang memberi. Dalam kasus ini kan berkaitan dengan tiket dan kamar hotel dari Pertamina, yang disamarkan melalui biro travel yang terafiliasi dengan Patra Pertamina. Tapi ini memang dasar namanya ada adigium no perfect rrime, disebutkan bahwa di situ ketahuannya dari mana? Pembelian tiket pada bulan Februari kemudian ternyata di situ ada potongan pajaknya 11 persen. Padahal, ketentuan potongan pajak 11 persen dan harmonisasi di perpajakan itu baru berlaku pada tanggal 1 April. Jadi ini sebenarnya kasus yang terang-benderang. Jadi memang direncanakan untuk nipu kan? Itu intinya. Dan, betul ya sudah sebutkan saja ada gratifikasi, juga di dalamnya ada kejahatan-kejahatan lain. Mulainya dari situ. Kan gampang. Secara etis beliau sudah mengundurkan diri, artinya ada pengakuan kesalahan. Sekarang tinggal ditentukan kesalahan jenis apa yang beliau lakukan dan sudah berapa kali lakukan kejahatan yang kira-kira menyebabkan harus mengundurkan diri. Jadi pintu masuknya jelas. Sebut saja konstruksi pidananya terbaca, ya diproses dong. Itu hal yang mudah sekali. Jadi jangan seolah-olah KPK mau menghilangkan jejak yang sudah bisa dibaca dari awal bahwa ada pidana di situ. Karena KPK lagi disorot. Dan itu artinya di dalam KPK ada juga jenis-jenis yang sama yang kalau begitu bisa dihilangkan saja setelah keputusan etis selesai. Kan dulu Pak Firli (Ketua KPK Firli Bahuri) juga ada hal yang sama yang diingatkan orang. Jadi bukan karena Pak Firli jadi semacam preseden lalu yang sekarang juga tidak diproses pidananya. Tadi itu kan salah. Jadi mustinya juga yang dulu juga diproses. Jangan sekali-sekali menganggap bahwa ada hal yang bisa dijadikan dasar. Itu buruknya KPK. Dana pemburukan itu orang akan melihat kalau KPK hentikan proses kecurigaan pidananya. Ya, saya kira ini ujian menarik buat KPK karena mungkin orang kemudian akan bisa curiga kalau enggak diproses seperti sesama bus kota yang dilarang saling mendahului. Anda tadi sudah menyinggung soal Pak Firli. Pak Firli ini kan bahkan sebelum kemudian beliau jadi pimpinan sekarang ini kan juga ada kasus yang dilaporkan. Dia bertemu dengan orang yang diduga berperkara, dalam hal ini Gubernur NTB. Tapi kan kemudian dia tetap lolos bahkan terpilih jadi ketua KPK. Saya juga bertanya-tanya, bagaimana pola rekrutmen pemilihan ketua KPK ini. Karena dalam kasus Lili ini benar-benar standar moral yang harusnya dipenuhi oleh seorang pimpinan KPK nggak jalan. Dia misalnya pernah membantu untuk menagihkan piutang adik iparnya kepada Walikota Tanjungbalai yang sedang berperkara di KPK. Kemudian dia juga pernah bertemu dengan seorang kontestan atau kandidat dalam Pilkada yang mempengaruhi dia untuk mempercepat penahanan Bupati Labuhan Batu Utara. Ini yang juga jadi tersangka dan diproses di KPK. Jadi menurut saya semuanya ini berat dengan performance seperti itu. Memang, lama-lama orang anggap bahwa Dewas itu akhirnya nggak punya kemampuan untuk memberi sanksi. Kan kalau berturut-turut dilakukan oleh komisaris atau pimpinan KPK dan Dewas selalu menganggap bahwa ini cuma soal etis. Akibatnya orang tahu bahwa Dewas sendiri memang bermasalah, dipilih dari orang-orang yang lemah sebetulnya. Itu intinya. Jadi kalau kita sebut Dewas itu Dewan Pengawas, itu kan betul-betul oversight komite yang kedudukan moral dan kemampuan dia untuk bahkan dikasih sinyal saja orang takut. Sekarang berkali-kali Bu Lili ini melakukan hal yang sudah melanggar dan Dewasnya kasih sinyal ya nanti kita proses. Bukan itu. Artinya, Dewasnya sudah nggak dianggap. Jadi itu bahayanya kalau Dewas itu juga hanya sekadar dipilih untuk mengisi jabatan dan dianggap nanti ada fungsi pengawasan itu. Di mana-mana, di luar negeri di seluruh dunia, itu kalau disebut Dewan Pengawas atau oversight komite itu artinya orang yang betul-betul dia ngelirik aja orang sudah ngeri. Apalagi melanggar etis. Itu soalnya. Jadi kemampuan kita memang satu paket bahwa pemilihan ketua KPK, pemilihan Dewas, segala macam itu sama. Standarnya rendah. Jadi itu ininya kenapa kemudian terjadi semacam ya coba-coba dan Bu Lili kemudian masuk dalam cobaan yang terlalu banyak atau mencoba terlalu banyak. (Ida/mth)
Kasus Polisi Tembak Polisi, Semoga Tidak Ada Dramatisasi
Jakarta, FNN – Peristiwa “tembak-menembak” yang mengakibatkan tewasnya Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo masih terbilang belum terang-benderang. Apalagi, timbul kesan, masih ada yang berusaha ditutup-tutupi selama 3 hari sejak peristiwa yang terjadi di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, tersebut. Penembakan yang dilakukan Bharada E terhadap Yosua terjadi pada Jum’at, 8 Juli 2022 sekitar pukul 17.00 WIB atau lima sore. Tetapi kasus ini baru muncul ke publik setelah pihak keluarga Brigadir Yosua buka suara, Senin (11/7/2022). Brigadir Yosua bertugas sebagai driver istri Kadiv Propam, Ny. Putri Chandrawati Ferdy Sambo. Sedangkan Bharada E merupakan ajudan pribadi dari Kadiv Propam. Meski kejadian sudah berlangsung selama tiga hari, tapi dalam konferensi pers pertama Karopenmas Div Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan seperti menutup-nutupi informasi dan memberikan keterangan berbeda. Menurut wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Hersubeno Point, Selasa (12/7/2022), peristiwa penembakan yang terjadi di rumah dinas Kadiv Propam itu akan menjadi konsen publik juga. “Ada seorang sub ajudan atau sopir dari istri Kepala Divisi Propam yang ditembak oleh pengawal dari Kepala Divisi Propam, yakni Irjen Pol Ferdy Sambo, dan kasusnya katanya berkaitan dengan pelecehan seksual. Tapi media kemudian banyak memunculkan berbagai spekulasi,” ujar Hersu. Pengamat politik Rocky Gerung mengatakan bahwa seringkali kalau itu satu peristiwa yang dramatis dan menimbulkan banyak interpretasi, apalagi kalau itu berlangsung dalam wilayah di mana kekerasan tersebut seharusnya tidak berlangsung. “Karena kepolisian justru adalah alat-alat negara yang diberi perlengkapan kekerasan untuk melindungi rakyat,” tegas Rocky Gerung. Jadi, kalau diantara mereka tersebut terjadi ketegangan maka spekulasi bisa berkembang ke mana-mana. Dan tentu kita ingin melihat secara proposional apa tindakan dari kepolisian supaya kasus semacam ini bisa dikembalikan pada kondisi etis di kepolisian sendiri. “Tapi, kita tidak akan ikut campur. Kita ingin pantau, sebetulnya publik ingin tahu apa sebetulnya yang terjadi itu, supaya tidak ada dramatisasi, tidak ada .... yang macam-macam. Ya betul saya baca banyak komentar yang kemudian ke mana-mana,” ujar Rocky Gerung. Jadi sekali lagi, itu diperlukan semacam profesionalisme tingkat tinggi untuk mendudukkan masalah ini. Demikian juga profesionalisme yang sama dituntut dari KPK pada kasus Wakil Ketua KPK, Lili P. Siregar. (Ida/mth)
Lili Pintauli Mundur di Tengah Skandal Etik KPK, Hersu: Itu Lebih Baik Ketimbang Dipecat
Jakarta, FNN – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar memilih mundur dari jabatan pada saat akan disidangkan oleh Dewan Pengawas KPK. Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan sidang etik terlapor Lili Pintauli Siregar gugur karena Lili telah mundur sebagai Wakil Ketua KPK. Jadi ia sudah bukan lagi bagian dari KPK. Wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Sabtu (9/7) mengatakan keputusan Lili untuk mengundurkan diri adalah keputusan yang terbaik ketimbang dia dipecat, jadi lebih baik mundur. Lili mengundurkan diri lantaran kasus dugaan pelanggaran etik penerimaan gratifikasi MotoGP Mandalika di Nusa Tenggara Barat, pada Maret 2022. Lili diduga menerima gratifikasi dari perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT Pertamina. Berdasarkan informasi yang diterima, Lili mendapatkan tiket MotoGP Mandalika di Grandstand Premium Zona A-Red dan fasilitas penginapan di Amber Lombok Beach Resort selama kurang lebih satu minggu. Lili awalnya dijadwalkan mengikuti sidang perdana pada (5/7). Namun, Lili mangkir dari panggilan Dewas di tanggal itu. Alasannya, ia sedang menjalankan tugas dalam pertemuan Anti-Corruption Working Group (ACWG) G20 di Nusa Dua, Bali. Dewan Pengawas (Dewas) KPK juga telah memeriksa sejumlah karyawan Pertamina yang diduga terkait dengan kasus ini. Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Nicke Widyawati juga ikut diperiksa Dewas KPK di Gedung ACLC KPK pada Rabu (27/4). Nicke yang dikawal beberapa pegawai PT Pertamina memilih meninggalkan awak media tanpa membuka suara sedikit pun. Hersubeno Arief menilai kasus dugaan penerimaan gratifikasi Lili seharusya dapat ditindaklanjuti sebagai dugaan tindak pidana meskipun ia sudah mengundurkan diri. “Tetapi seperti saya sampaikan tadi, kalau berkaitan dengan kasus gratifikasi, bukankah ini juga kasus pidana, jadi harusnya tidak sama dengan soal sidang di Dewan Pengawas KPK yang berkiatan dengan kode etik dinyatakan tidak bisa dilanjutkan karena dia sudah bukan lagi insan KPK. Tetapi kalau kasus gratifikasi tentu saja kasusnya masih terus harus berlanjut, bukan hanya Lili tetapi yang memberi juga harus diusut,” katanya (Lia)