ALL CATEGORY
Lanjutan Pro-Kontra Islamophobia di Indonesia
Isu pengeras suara di masjid, isu uji kompetensi penceramah, dsb. Terlalu banyak untuk disebut satu per satu. Semua karena ketakutan yang tak jelas terhadap Islam. Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta KEJAMNYA jejak digital. Setiap kalimat yang terucap dari mulut pejabat maupun rakyat terpateri di pusat data dunia maya. Orang bisa memaafkan, tapi tak mungkin melupakan. Nasi telah menjadi bubur. Alangkah menjijikkan bila seseorang menjilat ludahnya sendiri, dan lebih tercela bila orang berjanji tapi tidak menepati. Janji tinggal janji. Simpelnya, ada aksi ada reaksi. Ada api ada asap. Ada asap tandanya ada api, tapi apakah asap menyebabkan api? Apa, siapa, dan bagaimana Islamophobia, ternyata jejaknya sudah ada sejak dulu kala. Para nabi dan rasul dari masa ke masa menghadapi musuh-musuh, baik dari kalangan jin maupun manusia. Nabi Nuh tinggal di tengah-tengah kaumnya seribu tahun minus lima puluh. Dia menyeru untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan siang dan malam. Sungguh pun demikian, yang beriman kepadanya cuma sedikit saja. Lalu Tuhan membuat perhitungan atas keingkaran mereka. Begitu pula kaum rasul-rasul sesudahnya. Ada yang dibinasakan dengan hembusan angin dingin yang sangat ekstrem berhari-hari, ada yang dibinasakan dengan wabah, dan ada yang ditenggelamkan di laut. Tuhan begitu sayang kepada umat Nabi akhir zaman. Apa pun dan bagaimana pun kelakuan mereka, Dia tangguhkan hukuman, dan Dia beri waktu untuk insyaf kembali ke jalan-Nya. Andaikata di negeri ini ada 1001 macam kejahatan, termasuk hujatan terhadap Islam dan pemeluknya, Tuhan tidak serta merta turun tangan. Tapi selamanya, sebuah kesalahan tidak akan berubah menjadi kebenaran karena perjalanan waktu. Manusia akan menguji kesahihan setiap ucapan, gerak, langkah, dan keputusan siapa saja yang telah beredar di media massa. Usai membincangkan tentang ada atau tidak ada Islamophobia di Indonesia, salah seorang Guru Besar PTKIN mengunggah tulisan Prof. Nurhaidi Hasan yang menyatakan bahwa narasi Islamophobia di Indonesia adalah produk kelompok radikal untuk memojokkan pemerintah. Indonews.id melaporkan bahwa Islamophobia menjadi istilah yang cukup populer digunakan oleh kelompok radikal dalam beberapa waktu belakangan ini. Narasi ini muncul tak hentinya untuk memfitnah pemerintah yang dituding sebagai aktor yang berusaha memecah-belah umat Islam di Indonesia. Prof. Noorhaidi Hasan menyayangkan narasi Islamophobia sebagai fitnah terhadap pemerintah. Ia menilai narasi Islamophobia yang berkembang di tengah masyarakat belakangan ini tak lebih dari sebuah pertarungan kepentingan politik. “Islamophobia menurut saya sudah pasti akan terjadi di negara Muslim mana pun dan tidak terelakkan. Sejauh ini isu Islamophobia sebenarnya hanya dijadikan framing oleh kelompok yang tidak suka dengan pemerintah,” ujarnya di Yogyakarta, Kamis (10/2/2022). “Islamofobia itu bisa jadi framing yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menurunkan kepercayaan kepada pemerintah. Perlu ada pendalaman lebih lanjut dari pemerintah dan lembaga terkait untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok yang gencar melayangkan tudingan Islamophobia di tubuh pemerintah. Kita harus melihat kelompok mana yang mengatakan Islamophobia itu. Kalau berbicara kelompok radikal tentunya range-nya juga lebih luas siapa kelompok radikal itu. Pasalnya, narasi dan tudingan Islamophobia terhadap pemerintah ini jika dibiarkan dapat menimbulkan perpecahan dan kebingungan di tengah masyarakat.” Pemerintah harus berupaya menjelaskan dan menjernihkan permasalahan tersebut agar masyarakat yang awam itu paham. Menurutnya, jalan keluar yang efektif dan konkrit untuk keluar dari permasalahan narasi radikal yang memecah-belah adalah dengan me-manage keragaman dan menyadarkan kepada tokoh dan masyarakat terkait esensi kehidupan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini. Konsep multikulturalisme mengajarkan bahwa semua umat beragama punya hak yang sama untuk beribadah dan menjalankan agamanya.\" Noorhaidi juga mengapresiasi peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam upaya menggugah kesadaran masyarakat tentang bahaya radikalisme. Secara persentase kesadaran masyarakat tentang bahaya radikalisme terorisme itu sudah sangat tinggi sekali, namun menurutnya, tidak cukup hanya peran BNPT saja untuk mengatasi fenomena manipulasi agama yang terjadi di tengah masyarakat, tapi juga perlu peran serta tokoh agama dan masyarakat guna mempersempit ruang gerak kelompok radikal. Sudah seharusnya tokoh-tokoh agama juga berperan menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang damai, wasathiyah, Islam Nusantara, yang bersahabat dengan budaya lokal. Di samping itu Noorhaidi menilai, penyebaran nilai Pancasila yang luhur kepada masyakarat juga penting dilakukan guna mempersempit ruang gerak kelompok radikal. “Kampanyekan di masyarakat, otomatis ruang gerak kelompok-kelompok radikal yang sering mengatakan islamophobia itu akan semakin sempit, dan tidak akan bisa mempengaruhi opini publik.” Terakhir, Noorhaidi berpesan kepada seluruh pihak terkait, khususnya cendekiawan, tokoh agama, dan masyarakat serta pemerintah untuk terus menggelorakan wacana tentang perdamaian, tentang Islam yang cinta damai untuk memperkuat ketangguhan masyarakat melawan radikalisme. Wacana tentang perdamaian itu harus terus kita gelorakan di masyarakat, bahwa Islam itu cinta damai, yang akan memperkuat ketangguhan kultural masyarakat kita dalam melawan radikalisme. Tulisan itu pun mendapat apresiasi dari para pendukung dan simpatisannya. Penulis merespons dengan mengunggah tulisan tersebut dan mengangkat kembali catatan tentang pro-kontra Islamophobia di Indonesia, sebagai penyeimbang wacana. Bahwa Islamophobia dalam pengertian takut dan khawatir terhadap eksistensi Islam beserta perjuangan amar makruh, nahi mungkar, dan penegakan keadilan di Indonesia itu real ada, dan bukan narasi untuk mendiskreditkan penguasa/pemerintah. Beberapa respons kontra terhadap tulisan Prof. Nurhaidi Hasan tersebut antara lain sebagai berikut. Prof Noorhaidi terlalu membela penguasa dengan memojokkan umat Islam. Mestinya dia melihat persoalan ini secara fair. Lihatlah umat Islam sebagai korban kebijakan penguasa. Dari sisi politik, ekonomi, dan hukum. Dia tidak memahami kenapa isu radikalisme dan terorisme ini terus digaungkan. Antara lain karena para pembenci Islam tidak sudi umat Islam itu merdeka. Di samping itu proyek pemberantasan terorisme itu besar sekali anggarannya, sehingga tak ingin proyek itu berhenti. Secara umum Islamofobia itu bukan berasal dari umat Islam, tapi sebagai akibat kebijakan peguasa terhadap umat Islam. Karenanya orang harus melek fakta di lapangan. Baru-baru ini ditemukan sejumlah amunisi dan senjata AK 47 di rumah seorang warga keturunan China di Bandung. Tapi sampai sekarang tidak diusut. Tidak ada tersangkanya. Coba kalau itu ditemukan di rumah orang Islam. Mungkin sudah didor di tempat. Nah, ini cuma satu fakta saja. Masih banyak yang lain. Isu pengeras suara di masjid, isu uji kompetensi penceramah, dsb. Terlalu banyak untuk disebut satu per satu. Semua karena ketakutan yang tak jelas terhadap Islam. Siapa beropini harus siap menanggung segala reaksi dan konsekuensi. Ada ruang untuk menjawab bila tanggapan-tanggapan pada opininya dirasa tidak memadai. (*)
Brigadir Joshua: “Belajar” dari Kasus Marsinah dan Munir? (3)
Menurut Kolonel (Purn) CPM Nurhana, kasus Marsinah, Munir, dan Sugeng adalah hasil konspirasi tingkat tinggi yang sulit dilacak oleh wartawan biasa, “Kecuali wartawan yang punya dedikasi to tell the truth only the truth.” Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network (FNN) “PANGLIMA Sampoerna Mengurus Rokok Palsu”. Begitulah judul berita yang ditulis majalah.tempo.co (Sabtu, 27 November 1993). Ketika itu ditulis Tempo, bekas direktur produksi PT HM Sampoerna segera disidangkan, dituduh memalsukan rokok 555 dan Craven A. “Itu urusan pribadi saya,” katanya. Ia punya usaha sampingan mengekspor burung. Tiga tokoh dituduh sebagai pemalsunya: Ir. Bambang Soelistyo alias Pek Thiam Ek, 40 tahun, Budiyanto Sukihardjo alias Tjwa Hwat Yong, 43 tahun, dan Tono Setiawan alias Lie Tik An, 53 tahun. Mereka sudah diadili di PN Surabaya dan divonis bersalah. Menurut penyidik di Kepolisian Daerah Jawa Timur, Bambang adalah pencetus ide pemalsuan tersebut. Pertanyaannya, adakah kaitan antara “surat ancaman” Marsinah yang disita polisi kepada PT Catur Putra Surya (CPS) yang isinya tentang pembuatan plat bungkus rokok merek 555 itu yang membuat Marsinah dibunuh? Pasalnya, jangka waktu antara Marsinah terbunuh dengan proses penyidikan kasus pemalsuan rokok 555 itu hanya berselang sekitar 5 bulan saja, setelah ditemukannya jasad Marsinah, 8 Mei 1993. Pengusutan kasus Marsinah pun baru ditangani Bakorstranasda Jatim mulai Oktober 1993, setelah ada Surat Perintah dari Pangdam V Brawijaya sebagai Ketua Bakorstranasda Jatim kepada Kapolda Jatim pada 30 September 1993. Dus, pertanyaannya, sebegitu rumit dan sulitkah mengusut kasus Marsinah itu sampai menelan waktu sekitar 5 bulan? Adakah kendalanya yang berarti saat itu, hingga akhirnya harus diambil-alih Bakorstranasda Jatim? Bagaimana kinerja Polres Sidoarjo dan Polda Jatim sendiri ketika itu? Inilah yang masyarakat jadi penasaran. Kasus yang seharusnya tidak sulit untuk diungkap, menjadi jlimet seperti penembakan Brigadir Joshua ini. Seperti halnya Brigadir Joshua, jasad Marsinah pun sempat diautopsi dua kali dan, bahkan tiga kali, karena terdapat perbedaan antara autopsi pertama dan kedua. “Tapi, yang ketiga akhirnya tidak jadi karena jasadnya sudah rusak,” tutur seorang advokat senior di Surabaya yang pernah menjadi penasehat hukum terdakwa kasus Marsinah. Akhirnya muncul kecurigaan, sebenarnya ada dua jasad yang dimakamkan saat itu: jasad Marsinah “asli” dan Marsinah “palsu”. Jasad Marsinah “asli” diautopsi di RSUD Nganjuk yang dimakamkan sebagai “Mrs X” di Nganjuk. Sedangkan Marsinah “palsu” dimakamkan di desa tempat tinggal Marsinah sendiri. Kasus kematian Marsinah ini menarik perhatian pakar forensik almarhum Abdul Mun\'im Idries. Dokter forensik pada RSCM Jakarta itu menemukan banyak kejanggalan. Ia menilai visum dari RSUD Nganjuk terlalu sederhana. Hasil visum hanya menyebutkan, Marsinah tewas akibat pendarahan dalam rongga perut. Tidak ditemukan laporan tentang keadaan kepala, leher, dan dada korban. Pembuat visum harusnya menyebutkan apa penyebab kematian, apakah itu karena tusukan, tembakan, atau cekikan? Menurut Mun’im, tidak benar jika hanya disebutkan mekanisme kematian, seperti pendarahan, atau mati lemas. Sementara dalam persidangan terungkap, alat vital Marsinah ditusuk dalam waktu yang berbeda. Namun dalam laporan hasil visum pertama, hanya ada 1 luka. Mengapa hasil autopsi pertama dan kedua bisa berbeda? Kejanggalan lain, menurut Mun’im, adanya barang bukti yang dipakai untuk menusuk alat vitalnya ternyata lebih besar dari ukuran luka yang sebenarnya. Mun’im pun curiga, bahwa pembuatan visum itu tidak benar. Dua orang yang terlibat dalam autopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, yaitu Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian ForensikRSUD Dr Soetomo Surabaya). Karena adanya perbedaan hasil autopsi pertama (di RSUD Nganjuk) dengan autopsi kedua (di RSUD Dr. Soetomo) itulah kemudian dilakukan autopsi ketiga. Tapi, upaya ini gagal dilaksanakan karena jenazah sudah rusak. Lebih parah lagi, barang bukti berupa baju Marsinah yang dikenakan ketika dibunuh dan merupakan barang bukti sangat penting dibakar begitu saja. Hal ini terungkap dalam persidangan di PN Surabaya pada Senin 7 Februari 1994.Pembakaran baju Marsinah terjadi hanya berselang beberapa minggu setelah jenazahnya dibawa ke RSUD Nganjuk. Alasan pihak rumah sakit, karena tak ada petunjuk dari Polres Nganjuk.Sebelumnya, setelah autopsi, barang-barang yang melekat di badan Marsinah memang disimpan di RSUD Nganjuk. Namun, itu tak berlangsung lama. Dari fakta persidangan terungkap ada kejanggalan mengapa baju dan barang bukti lainnya dibakar pihak rumah sakit.Dalam surat yang ditandatangani Kepala RSUD Nganjuk Dr Djarwo P Siswanto, ia sudah memberitahukan Kapolres Nganjuk (Letkol Polisi Hendrajit) bahwa barang bukti itu telah dibakar pihak rumah sakit pada 24 Mei 1993. Alasannya, karena Polres Nganjuk tifak kunjung membalas surat yang mereka kirim sebelumnya.Itulah sepenggal cerita perihal kasus Marsinah yang hingga kini tidak bisa terungkap siapa pelaku sebenarnya, karena 9 tersangka yang diadili sudah dinyatakan “tidak bersalah” oleh Mahkamah Agung. Bagaimana dengan kasus Munir? Mengapa Munir harus dibunuh? Akhirnya dipertanyakan juga, siapa pembunuh aktivis HAM tersebut? Misteri Munir Fakta yuridis, Mayjen TNI (Purn) Muchdi Purwopranjoyo, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN), terdakwa pembunuh Munir Said Thalib, pada 31 Desember 2008 divonis bebas oleh majelis hakim yang diketuai Suharto di PN Jakarta. Jaksa Cyrus Sinaga dinilai tak bisa membuktikan “motif dendam”. Sebelumnya, Jaksa Cyrus mengurai motif mantan Danjen Kopassus tersebut “menghabisi” terkait langkah Munir mengungkap kasus penculikan aktivis mahasiswa 1997-1998 oleh Tim Mawar Kopassus. Seperti dilansir RADAR Surabaya (Senin, 5 Januari 2009), ia lalu dicopot dari Danjen Kopassus yang baru diemban 52 hari. Ini menyebabkan Muchdi sakit hati dan dendam. Dakwaan pada Muchdi juga didasarkan atas keterangan Corporate Security PT Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto (telah divonis 20 tahun). Polly mengaku sudah mendapatkan “ikan besar” di Singapura. Maknanya, lanjut Jaksa Cirus, dia berhasil membunuh Munir. Atas tuduhan itu, BIN tak bisa begitu saja lepas tangan dari konsekuensi hukum yang dihadapi Muchdi. Apalagi, Polly, mantan Dirut Garuda Indra Setiawan, dan Direktur VI BIN Budi Santoso, juga menyebut Muchdi, mantan Kepala BIN Hendropriyono, serta Wakilnya M. As’ad Ali di persidangan. Mengapa Munir dibunuh? Siapa sebenarnya pelakunya? Adakah ini berkaitan dengan aktivitasnya sebagai pembela HAM Indonesia? Adakah ini hasil operasi Indonesia Contra? Artinya, Munir justru dihabisi intelijen asing dalam operasi Indonesia contra? Mengapa Polly terbang satu pesawat dengan Munir? Ini tak diungkap secara transparan. Apa benar “ikan besar” itu adalah Munir? Rencana Munir melanjutkan studinya di Belanda sebenarnya telah diketahui banyak pihak. Selain untuk studi dengan biaya sebuah lembaga asal Amerika Serikat (AS), sedianya pada 7 September 2004 itu Munir mau menyerahkan “dokumen rahasia” pelanggaran HAM. Konon, Munir dari Jakarta membawa 2 tas. Koper berisi pakaian, dan tas kerja hitam isinya dokumen pelanggaran HAM di Indonesia seperti peristiwa Tanjungpriok, Warsidi Lampung, Timor-Timur, dan Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh. Jadi, “ikan besar” itu adalah sandi dari “dokumen rahasia”? Ketika rehat Bandara Changi, Polly dan Munir turun dan minum di Café Bean, Changi. Mereka memesan minuman. Tas berisi dokumen yang dibawa Munir gagal diserahkan ke agen asing. Karena gagal, agen asing yang menyaru sebagai pelayan café itu meracuni minuman Munir dengan arsenik cair. Padahal, Polly sempat mencegah Munir agar tak meminumnya, dan menawarkan kopi pesanannya, tapi ditolak. Beberapa saat sebelum meninggalkan cafe, Munir mulai tampak linglung. Bisa jadi, Munir itu dibunuh karena dianggap membahayakan jika BIN menangkap Munir dan agen asing penerima tas itu. Supaya jaringan intelijen asing ini tak terbongkar, maka Munir harus dihabisi. Selang sekitar 3 jam setelah Garuda meninggalkan Bandara Changi, Singapore melanjutkan perjalanan ke Amsterdam, Munir mulai sakit perut dan muntah. Pertolongan dr. Tarmizi Hakim di atas pesawat, gagal: Munir tewas! Anehnya, hasil autopsi lembaga forensik pemerintah Belanda (Netherland Forensisch Instituut-NFI) baru diketahui 2 bulan kemudian. Disebutkan, di lambung Munir terdapat kandungan racun arsenik melebihi batas maksimal yang bisa ditoleransi tubuh: 456 mg. Mengapa NFI menyerahkan hasil autopsinya kepada Indonesia begitu lama? Mungkinkah lembaga intelijen Belanda FDN terlibat dalam operasi Indonesia contra ini? Di mana dokumen rahasia yang ketika itu dibawa Munir hingga di Bandara Changi itu? Sayangnya, begitu Munir ditemukan tewas, tas hitam itu raib. Entah dari intelijen mana yang mengambilnya. Dengan kematian Munir, pihak yang paling dirugikan yaitu BIN. Sebab, Munir adalah aset negara yang bisa membantu membongkar jaringan intelijen asing yang beroperasi di Indonesia. Jadi, tidak mungkin BIN terlibat pembunuhan Munir. Apalagi, penyebab kematian Munir adalah racun arsenik cair yang tak dimiliki BIN. Dari puluhan jenis racun arsenik, yang meracuni Munir adalah satu jenis arsenik yang hanya dimiliki asing. Setelah kasus itu, pelayan yang mengantar minuman sudah tidak ada lagi di café tempat Munir minum. Terungkap pula, ternyata si pelayan baru bekerja di café itu sekitar 3 bulan. Setelah Munir terbunuh, pelayan ini menghilang. Pemilik café juga berganti. Jadi, sejak tiga bulan sebelumnya, Munir menjadi target operasi Indonesia contra. Bagi intelijen asing, dokumen yang dibawa Munir itu sangat penting. Sebab, dengan dokumen tersebut, mereka bisa menyeret Indonesia ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. NFI sendiri cenderung mempersulit pemerintah Indonesia ketika meminta hasil autopsi dan sample organ Munir. Entah apa alasannya, organ Munir disimpan di NFI. Itu yang memperkuat dugaan, operasi Indonesia contra atas Munir ini juga melibatkan intelijen FDN. Terlebih lagi, Suciwati, istri Munir menolak autopsi ulang. Padahal, dengan autopsi ulang atas jenazah Munir, bisa mengungkap dugaan adanya keterlibatan agen asing dalam pembunuhan Munir ini. Sayangnya, Polri tak berusaha menyentuh dugaan tersebut. Polri lebih suka mengusik mantan pejabat BIN seperti Muchdi. Padahal, tidak semua operasi intelijen bisa dibuka secara transparan. Menurut Kolonel (Purn) CPM Nurhana, kasus Marsinah, Munir, dan Sugeng adalah hasil konspirasi tingkat tinggi yang sulit dilacak oleh wartawan biasa, “Kecuali wartawan yang punya dedikasi to tell the truth only the truth.” “Sampai sekarang memang hanya Allah, Tuhan semesta, yang paling tahu apa sebenarnya yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut,” lanjut Nurhana yang menjabat Dan Pomdam Brawijaya (1993-1996) itu. Akibatnya memang pasti ada korban berikutnya akibat carut-marut kondisi peradilan di Indonesia. “Dan opini publik yang dibentuk oleh pihak sponsor tertentu,” ungkap Nurhana. (*)
LaNyalla Mau Dihancurkan, Rakyat Wajib Melawan!
Jakarta, FNN – AA LaNyalla sebagai Ketua DPD RI, sudah keliling ke semua provinsi, mendengar keluhan masyarakat, bahwa Pilpres dengan Presidential Threshold (20%) tidak adil dan melanggar UUD. Sementara, Mahkamah Konstitusi (MK) secara kasat mata malah membela tirani. MK memang harus “diintervensi” oleh kekuatan kedaulatan rakyat. Begitu ungkap Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan dalam Twitter Anthony Budiawan @AnthonyBudiawan 2.20 PM · 28 Jul 2022 Pembela PT 20% dan pembela MK yang mempertahankan PT 20%, jelas merupakan kelompok yang mau menghancurkan Indonesia. Konsorium politik dan oligarki tidak senang tindakan Patriotik La Nyalla: Garda terakhir pembela rakyat mau dihancurkan. “Rakyat wajib melawan”. Sebelumnya diberitakan, Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti telah resmi dilaporkan kepada Badan Kehormatan DPD RI pada Jumat, 22 Juli 2022. Laporan tersebut dibuat oleh Oktorius Halawa dan Eliadi Hulu dengan dugaan bahwa Ketua DPD RI tersebut telah melanggar kode etik berupa tindakan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Lembaga Peradilan dan tindakan pemanfaatan akun resmi media sosial DPD RI untuk kepentingan pribadi. “Benar bahwa pada hari Jumat, 22 Juli 2022, Kami telah melaporkan dan membuat pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD RI terhadap Saudara AA Lanyalla Mahmud Mattalitti sebagai Ketua sekaligus anggota DPD RI,” kata Oktoriusman Halawa dalam rilis tertulisnya, Rabu siang (27/7/2022). “Berdasarkan data dan fakta yang telah kami kumpulkan, maka patut diduga Ketua DPD RI telah melakukan pelanggaran Kode Etik, Tata Tertib, dan Ketentuan dalam UU MD3,” ujar Oktoriusman Halawa. Menurut Oktoriusman Halawa, Laporan atau Pengaduan tersebut telah disampaikan dan dilakukan verifikasi oleh Kantor Kesekretariatan Badan Kehormatan DPD RI dan Pengaduan dinyatakan lengkap dan diterima langsung oleh Kepala Sub. Bagian Tata Usaha Set. Badan Kehormatan DPD RI sesuai dengan tanda terima Pengaduan tertanggal 22 Juli 2022. Para Pelapor menuturkan bahwa kedudukan hukum dari Para Pengadu dalam membuat Pengaduan ini adalah Para Pengadu merupakan warga negara Indonesia yang juga adalah warga daerah yang hak konstitusional kedaerahannya dijamin oleh Pasal 18, 18A dan Pasal 18B UUD 1945. Dengan adanya DPD RI, maka Para Pengadu sebagai warga daerah memiliki hak untuk mengikuti, mengawal, dan memberikan masukan terhadap DPD RI baik secara kelembagaan maupun kepada anggota DPD RI secara individu sepanjang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan amanah sebagai anggota DPD RI. “Ketua DPD RI dinilai telah menyalahgunakan kewenangan dan jabatan serta mengatasnamakan Lembaga DPD RI untuk melakukan tindakan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan melalui media sosial resmi DPD RI,” tegas Oktoriusman Halawa. “Bahwa sebagai contoh, pada tanggal 15 Juni 2022, akun resmi media sosial DPD RI yaitu Instagram telah membagikan konten yang berjudul “Jika Gugatan Presidential Threshold DPD RI Ditolak, KPI Sebut MK Lecehkan Lembaga Negara dan Rakyat\". “Konten ini menunjukkan bahwa DPD RI berupaya mengintervensi Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa dan akan memutus perkara pengujian undang-undang serta berupaya untuk merenggut independensi dan kemerdekaan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa perkara a quo,” tutur Eliadi Hulu yang juga Pengadu. “Lebih lanjut, dalam postingan tersebut terdapat foto bersama antara Ketua DPD RI dengan beberapa orang lainnya dengan memegang Spanduk yang bertuliskan “Tolak Gugatan DPD, MK Lecehkan Lembaga Tinggi Negara & Rakyat”,” tambah Eliadi. Selain itu, Para Pengadu menilai Ketua DPD RI telah melakukan tindakan pemanfaatan akun resmi media sosial DPD RI untuk kepentingan Pribadi. “Bahwa beberapa postingan dalam akun resmi Instagram DPD Republik Indonesia mengandung dan lebih menonjolkan kepentingan pribadi Ketua DPD RI serta bersifat ketua sentris,” ungkap Eliadi. Salah satu contohnya, postingan pada 27 Mei 2022 yang berjudul “Paham Suasana Kebatinan Rakyat, LaNyalla Ungkap Cita-Cita Jadi Presiden untuk Jaga Kedaulatan” dan postingan 28 Mei 2022 berjudul “Bertemu Try Sutrisno, Lanyalla Dapat Wasiat untuk Selamatkan Bangsa dan Negara”. “Konten ini jelas mengandung tujuan kampanye terselubung dan (untuk) kepentingan pribadi dari Saudara LaNyalla, bukan kepentingan Lembaga DPD maupun Daerah atau Rakyat. Apalagi, tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan fasilitas negara yaitu akun media sosial resmi Lembaga Negara,” tegas Eliadi. Melalui Pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD RI, Para Pengadu menguraikan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Ketua DPD RI tersebut telah melanggar ketentuan dalam UU MD3, Kode Etik, dan Tata Tertib yang berlaku. “Yang bersangkutan telah Kami adukan dengan dugaan pelanggaran terhadap Pasal 258 huruf “b”, “d”, dan “f” UU MD3, Pasal 5 huruf “l”, “m”, “q”, dan “t” Kode Etik DPD Nomor 2 tahun 2018, serta melanggar tata tertib dan sumpah/janji jabatan anggota DPD RI,” tegas Eliadi Hulu. (mth/sws)
Memilih "Muslimin " Hanya Sekadar Nama
Oleh Ady Amar | Kolumnis APALAH arti sebuah nama, kata Shakespeare. Itu bisa ditemukan dalam karya novel masterpiece-nya Romeo and Juliet. Sebuah novel roman yang berakhir tragis. Ada dialog di sana yang diucap Romeo, \"What\'s in a name? That which we call a rose by any other name would smell a swett.\" Dalam Islam tentu tidak demikian. Memberi nama anak mesti dengan nama yang baik. Setidaknya punya arti baik. Berharap sang anak akan tumbuh sebagaimana nama yang disematkan. Memberi nama yang baik, itu bukti awal harapan orang tua pada sang anak. Bagian dari doa kebaikan pada sang anak. Konon kelak di surga, nama yang tersemat di dunia adalah nama yang dipakai di sana. Maka jika nama indah disematkan pada sang anak, pertanda memang ia pantas sebagai penghuni surga. Tapi bukan berarti penghuni surga kelak tidak ada yang dipanggil namanya dengan nama yang tidak bermakna, atau nama yang bahkan kurang elok untuk diucap. Di surga kelak ia akan tetap dipanggil dengan nama yang melekat di dunia. Tidak tahu pasti, apa bisa menukar nama di surga kelak. Nama yang kurang elok bisa diganti dengan nama indah. Wallahu a\'lam. Hari-hari ini pemberitaan pemberian nama sang anak, dan itu untuk menegaskan identitas agama yang dianutnya, Muslimin, jadi pembicaraan ramai. Niat orang tua itu pastilah baik, agar sang anak dengan menyandang nama Muslimin, ia akan tumbuh dengan tetap memegang panji agamanya dengan kokoh. Akan merasa malu jika melakukan perbuatan tidak terpuji. Niat orang tua itu mulia. Pasti banggalah orang tuanya melihat sang anak bisa berkarir di militer. Dengan pangkat terakhir Kopral Dua (Kopda). Hari-hari ini berita tentang Kopda Muslimin bersaing ketat dengan berita tembak-menembak polisi di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo. Dalam mengungkap Kopda Muslimin tampak polisi tidak kesulitan. Bisa diacungi jempol. Secepat kilat 4 tersangka eksekutor ditangkap. Sekaligus otak pelakunya, Kopda Muslimin. Berkat CCTV peristiwa penembakan Rina Wulandari (34), istri Kopda Muslimin, itu bisa diungkap. Rina Wulandari ditembak eksekutor bayaran. Didalangi sang suami. Konon sudah 4 kali rencana niat menghabisi sang istri diupayakan Kopda Muslimin. Dengan berbagai cara. Coba diracun, diguna-guna, seolah adanya perampokan di rumahnya dengan niat membunuhnya. Dan terakhir, ditembak dengan proyektil tembus ke perutnya. Rina Wulandari sakti, tidak juga. Hanya takdir belum menjemputnya. Tapi pada kasus tembak-menembak polisi di rumah Irjen Ferdy Sambo, polisi tampak kesulitan mengungkapnya. Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang bertugas sebagai sopir istri Irjen Ferdy Sambo mati mengenaskan. Beberapa peluru menembus tubuhnya. Keluarga Brigadir Yosua membuka peti jenazah menemukan goresan di beberapa bagian tubuhnya, beberapa jari tangan patah, mata lebam seperti kena bogem, dan seterusnya. Seperti dituduhkan ada penyiksaan sebelum ia dihabisi. Peristiwa Kopda Muslimin yang berencana menghabisi sang istri, itu mudah diurai. Bahkan motif pembunuhannya. Ada wanita idaman lain yang disangkutkan pada Kopda Muslimin. Mungkin Kopda Muslimin ingin berpoligami, tapi persyaratan sebagai anggota militer itu ribet, bahkan sulit bisa ditempuhnya. Maka memilih pilihan gila dengan membunuh sang istri jadi pilihannya. Kasus Kopda Muslimin tidak perlu ada pressure dari masyarakat untuk mengungkapnya. Mulus-mulus saja dan dalam waktu relatif singkat peristiwa dan motifnya bisa diungkap. Pada kasus kematian Brigadir Yosua untuk mengungkapnya, apalagi sampai siapa aktor intelektualnya, perlu tekanan luar biasa. Masyarakat etnis Batak, tidak terima melihat kematian \"saudaranya\" yang dianggap tidak wajar. Mau tidak mau kasus ini dipaksa untuk diungkap transparan. Irjen Ferdy Sambo dan beberapa petinggi polisi sudah di-non aktifkan. Presiden Joko Widodo pun perlu meminta Kapolri untuk mengungkapnya secara transparan. Tapi sayang pada kasus Km 50--terbunuhnya 6 laskar FPI--sikap Jokowi pasif. Bahkan eksekutornya pun diputus bebas murni. Ketidakadilan memang acap dipertontonkan. Duh, Gusti! Siang ini kabar menyesakkan dada muncul. Kematian Kopda Muslimin beredar luas. Bahkan beberapa media televisi menganggapnya sebagai berita penting dan perlu menempatkan pada breaking news. Kopda Muslimin pagi hari (28 Juli) meminta maaf pada bapaknya, di Kendal, Jawa Tengah. Disarankan sang bapak untuk menyerahkan diri saja. Muslimin masuk pada salah satu kamar, dan ditemukan tak bernyawa dengan diawali muntah-muntah. Rasanya ia tak kuat menanggung malu, dan tentu hukuman berat bakal menanti. Bunuh diri jadi jalan pintas menuju kematiannya. Betapa hancur luluh hati orang tuanya. Upaya memberi nama yang baik pada anak lelakinya, mendidiknya secara baik, dan menikahkannya. Kewajiban selaku orang tua sudah ditunaikan. Tampaknya itu masih kurang. Dan sang anak memilih jalan takdirnya sendiri. Memilih \"Muslimin\" hanya sekadar nama. Memilih neraka jahanam selama-lamanya. Kopda Muslimin dan Brigadir Yosua memilih jalan takdir kematiannya sendiri. Meski motif pembunuhan Brigadir Yosua belum terang benderang. Tapi spekulasi mengendus adanya motif asmara antara Brigadir Yosua dan istri Irjen Ferdy Sambo. Pada waktunya kotak pandora kematiannya akan terbuka terang benderang, atau justru tertutup rapat-rapat. Satu hal yang pasti, di neraka kelak tidak dikenal nama Kopda Muslimin atau lainnya. Antarpenghuni neraka tidak saling menyapa. Mereka sudah disibukkan dengan siksa neraka yang maha dahsyat. Dan itu mengerikan. Naudzu Billahi min Dzalik. (*)
Pengasuh Ponpes Al-Wafa Dorong Ketua DPD RI Jadi Negarawan Pelurus Bangsa
Jember, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti melakukan sejumlah rangkaian kegiatan reses di Jawa Timur. Salah satunya adalah mengunjungi Pondok Pesantren Al-Wafa di Jember. Dalam pertemuan tersebut, Ketua DPD RI didampingi Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) KH Achmad Siddiq Jember, Prof Dr Abd Muis Thabrani, M.M. Sementara dari Pondok Pesantren Al-Wafa dihadiri KHR Abd Satar (Pengasuh) dan KHR Abd Aziz (Pengasuh Pondok Puteri). Pada kesempatan itu, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Wafa, KHR Abd Satar berharap, LaNyalla menjadi tokoh nasional yang membawa perubahan bagi bangsa ke arah yang lebih baik. “Tentu kami berharap Pak LaNyalla bisa menjadi tokoh nasional yang (bisa) membawa perubahan bagi bangsa ke arah yang lebih baik. Menjadi generasi pelurus bangsa dan negarawan. Tujuannya adalah membangun kesadaran bangsa,\" kata KHR Abd Satar di Jember, Kamis (28/7/2022). Dengan berpikir dan bertindak sebagai negarawan, KHR Abd Satar menilai LaNyalla akan lebih jernih dalam melihat persoalan. “Soal lain-lain, kalau kita ikhlas mengemban tugas, Insya Allah akan diberi kemudahan jalan,” kata KHR Abd Satar. Ketua DPD RI mengaku sejauh ini ia terus berkomitmen untuk memperkuat jati diri bangsa. Caranya, kata LaNyalla, adalah dengan kembali kepada UUD 1945 naskah asli untuk kemudian disempurnakan dengan cara yang benar. Tanpa mengubah sistem demokrasi Pancasila. “Itulah identitas kebangsaan kita sebagaimana diharapkan oleh para pendiri bangsa. Saat ini, dengan konstitusi hasil amandemen 1999-2002, semuanya telah melenceng jauh dari cita-cita para pendiri bangsa kita,”kata LaNyalla. Oleh karenanya, Senator asal Jawa Timur itu menilai perlunya bangsa ini untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli. “Dari pondok pesantren ini kita bangun kesadaran tersebut, bahwa kita harus kembali kepada UUD 1945 naskah asli untuk memperbaiki situasi bangsa ini,” tegas LaNyalla. Bukan tanpa alasan hal itu harus dilakukan. Sebab, katanya, semua yang terjadi pada bangsa ini bermula ketika UUD 1945 naskah asli diamandemen sebanyak empat kali pada 1999-2002. Sejak saat itu, seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara berubah total. “Sejak saat itulah situasi kebangsaan kita berubah total. Relasi sosial mulai timbul benih intoleransi. Maka tak ada kata lain, kita harus kembali kepada UUD 1945 naskah asli,” ujar LaNyalla. Di sisi yang lain, LaNyalla menyebut ulama, santri, dan pondok pesantren merupakan salah satu pemegang saham Republik ini, lantaran mereka ikut terlibat aktif dalam kemerdekaan Indonesia. “Tak ada peran partai politik dalam pendirian bangsa. Tapi sekarang mereka menjadi penentu tunggal arah perjalanan bangsa ini. Maka, tugas kita saat ini untuk mengembalikan kedaulatan kembali ke tangan rakyat,” papar LaNyalla. (mth/*)
Persaingan Petinggi Polri Makin Sengit, Kapolri Minta Publik Mengawasi Penyidikan Kematian Yoshua
Jakarta, FNN - Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta semua pihak mengawasi proses penyidikan peristiwa baku tembak sesama polisi, yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Itu menjadi bentuk transparansi pengusutan kasus tersebut. Dengan proses transparansi, akan menghasilkan akuntabiltas yang bisa dipertanggungjawabkan ke publik, sehingga dapat memberikan rasa keadilan yang ditunggu publik. Simak obrolan pengamat politik Rocky Gerung bersama wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Officials, Kamis, 27 Juli 2022 di Jakarta. Petikannya: Semua masyarakat berharap minggu ini dipercepat, karena ingin melihat hasil otopsi Brigadir Yoshua. Namun, katanya kalau nggak delapan pekan, bisa sampai 4 bulan. Orang jadi mikir katanya kemarin kan katanya kasus yang mustinya dua atau tiga hari selesai ini tiba-tiba jadi panjang ceritanya. Pengungkapannya saja sudah terlambat, sudah tiga hari. Jadi sekarang ditambah otopsi lagi baru 4 bulan. Itupun modalnya nanti pengembangan penyidikan. Jadi, bisa jadi lama ini dan Pak Listyo Sigit makin lama makin tersandra oleh kasus ini. Ada prinsip di dalam pidana, bahwa setiap penundaan itu artinya penambahan kejahatan. Jadi semakin lama nanti semakin mungkin ada kejahatan baru terhadap fakta-fakta itu. Karena itu otopsi prinsipnya semakin cepat semakin baik supaya faktanya tidak hilang karena proses yang disebut penguraian fisik dari manusia. Secara filosofis siapapun masih bisa diotopsi. Bahkan, mumi pun masih bisa diotopsi. Tapi ini proses yang bukan sekedar mempercepat otopsinya, tapi mempercepat spekulasi publik. Kan harusnya dihentikan cepat spekulasi publik supaya semua variabel yang non-kriminal itu bisa langsung dibawa ke pengadilan. Ini masalahnya empat bulan itu spekulasi juga makin panjang dan keterangan Pak Kapolri juga menunjukkan bahwa beliau sebetulnya masih memerlukan semacam dukungan. Karena itu, dia minta supaya semua mengawasi. Seharusnya dia bilang “beri kami kepercayaan untuk mempercepat proses ini”. Kalau dibalik artinya kami belum punya kepercayaan atau publik belum percaya kepada kami, karena itu kami minta semua dukungan. Jadi memang terlihat ini kasus yang sederhana yang jadi rumit karena dugaan-dugaan non-kriminal itu dipermainkan oleh pers sebetulnya untuk mendorong agar supaya ini dipercepat. Ini kalau pers bikin sensasi, itu berbahaya. Tetapi, pada saat yang sama sensasi itu harusnya ditutup melalui substansi yang harusnya dipercepat diprioritaskan melalui analisis otopsi. Ini saya kira kita beruntung juga, dalam situasi sekarang ini di era sosial media ya, karena kalau dulu kan sangat mudah informasi dikanalisasi lewat media-media konvensional yang dikontrol oleh kekuasaan. Tapi dengan media sosial yang sekarang ini saya kira memang susah berkelit. Tadi Anda menyinggung soal barang bukti yang namanya tubuh itu, yang saya kira sudah sekarang sudah lapangan becek itu. Padahal, polisi sendiri kan selalu punya alasan kalau menahan seorang tersangka. Alasannya kan selalu ada tiga: khawatir melarikan diri; mengulangi perbuatannya; atau menghilangkan barang bukti. Nah, ini kalau semakin lama barang buktinya semakin hilang. Itu yang saya minta selalu supaya kita fokus pada substansi, kepada barang bukti. Dan pembuktian kan harus didasarkan pada evidence awalnya. Sekarang evidence awalnya mungkin tumpuk-tumpuk. Saya percaya Polri tentu tertekan. Tetapi, kembali pada prinsip bahwa hanya Polri yang mampu untuk mengungkap ini. Tidak mungkin orang lain mengungkap itu kan? Jadi, percuma sebetulnya kalau kita mendesak Polri, tapi Polri sendiri menganggap bahwa kami perlu bantuan. Bantuan itu tentu adalah meminta supaya hal-hal lain jangan dulu dipersoalkan. Jadi kita fokus di situ. Saya dukung Kapolri dan Kapolda mengatakan bahwa ada dua korban. Korban pertama adalah Yosua dan itu adalah hak keluarga untuk menuntut pengungkapan kasus ini, korban kedua adalah Ibu Putri yang sampai sekarang mungkin masih stres. Jadi, sebetulnya dua korban ini akan menghasilkan rangkaian pembuktian yang memungkinkan publik akhirnya pulih kepercayaan pada Polri. Jadi fokus pada dua korban ini. Kesaksian Ibu Putri diperlukan, tapi karena yang bersangkutan masih stres, jangan diganggu. Jangan sensasinya ditambah sehingga berpotensi Ibu Putri untuk mengingat kembali peristiwa itu makin lama makin berkurang. Jadi biarkan Ibu Putri itu pulih sepenuhnya. Jangan diganggu psikologinya. Yang kedua biarkan Yosua sebagai jenazah, almarhum tubuhnya itu berbicara sendiri. Karena tubuh korban itu, walaupun sudah jadi mayat, tapi mampu untuk berbicara melalui bahasa yang kita sebut sebagai forensik. Jadi fokus pada dua hal ini. Nah, sekali lagi, tentu pers ingin memenuhi rasa ingin tahu publik. Dan itu artinya ada panggung lain, yaitu panggung publik. Tapi panggung publik itu tidak boleh ditukartambahkan dengan panggung pengadilan. Kan itu intinya. Jadi selalu saya ingin agar supaya silahkan publik bikin imajinasi, tapi jangan imajinasi itu kemudian mengalihkan persoalan riilnya, yaitu ada dua korban yang sekarang harus betul-betul diberi kesempatan untuk berbicara. Jenazah masih bisa bicara melalui fasilitas forensik; Ibu Putri masih bisa berbicara melalui terapi psikologi. Itu intinya. Saya kira masih ada satu lagi yang perlu mendapat perhatian, ini berkaitan dengan Brigadir Richard Eliazer, yang disebut sebagai pelaku penembakan. Kalau kita lihat, ini anak muda. Dan dia dalam situasi semacam ini posisinya rawan, dia menjadi tersangka atau dia menjadi “korban”, dalam artian sensasi publik atau prasangka publik. Karena sampai sekarang orang masih atau publik tidak terlalu percaya bahwa Eliazer itu anak muda, usianya kalau nggak salah 24 tahun, sebagai pelaku penembakan. Kemudian orang jadi bertanya-tanya sebenarnya dia ini hanya orang yang dikorbankan atau memang betul-betul dia dalam pusaran itu, karena dia membela diri dan terjadi tembak-menembak, seperti versi polisi dengan Brigadir Yoshua. Itu hal yang juga ditunggu orang kan. Jadi Richard harus kita tetapkan statusnya. Kalau dianggap bahwa dia potensial untuk dijadikan tersangka dan kemungkinan dia juga ingin minta perlindungan, dia musti mendapat perlindungan hukum dan psikologis juga. Jadi tanda tanya itu tetap ada di publik. Siapa ini Richard, sudah keburu disebut sebagai eksekutor. Tapi kemudian dianggap iya karena membela diri. Lalu versi lain berkembang lagi tuh, macam-macam. Itu soal pemilikan senjata, keahlian, atau hak untuk menyandang senjata laras pendek. Jadi, semua info ini kan publik ingin minta Pak Kapolri coba lebih eksplisit. Tetapi, kita juga paham Kapolri lagi berselancar di dalam opini publik yang macem-macem. Nah, berselancarnya itu tidak lagi dianggap sebagai hal yang terkait langsung dengan kasus kriminalnya, tetapi orang mulai menduga berselancarnya Pak Kapolri itu terkait dengan persaingan di antara petinggi-petinggi Polri. Jadi masuklah semua itu dalam kesulitan kita untuk memastikan ini kapan selesai? Apa menunggu isu persaingan selesai baru menunggu data-data polisi dibuka? Kan itu pertanyaan riil dari publik. Jadi kita balik lagi, masuklah pada prinsip scientific analyzed, yaitu bertanggung jawab terhadap data yang temukan dan mulai mencari hubungan kausal antar-data. Saya kira itu poinnya yang kita musti fokuskan. Sensasinya ya itu memang bumbu yang tidak bisa dihindari, tetapi sebagai bumbu dia bukan inti dari makanan. Dia hanya menyedapkan dan kadangkala bumbu itu juga berbahaya. Nutrisinya bisa hilang karena ditumpuk dengan bumbu-bumbu yang berlebih. Oke, kita balik ya, fokus pada dugaan adanya persaingan petinggi Polri. Orang menduga-duga begitu kenapa kasus yang sederhana kok bisa jadi panjang seperti ini, karena melibatkan para Jenderal, keluarga Jendral, Pak Ferdy Sambo. Dan tadi Anda juga menyebut bahwa saya kira dua interpretatif terhadap pernyataan Pak Listyo Sigit agar publik ikut mengawasi. Sebenarnya kan tanpa publik mengawasi, kalau itu berjalan biasa saja sudah jadi domainnya polisi. Dan itu pekerjaan mudah. Tapi kenapa mesti diawasi? Apakah ini juga tadi itu berkaitan dengan adanya dugaan-dugaan adanya persaingan petinggi Polri. Kalau di media sosial malah disebut-sebut bahwa ini berkaitan dengan semacam kejahatan di kalangan para petinggi Polri karena orang sebut sebagai well organized crime. Itu yang saya deteksi bahwa ada semacam frustasi kecil pada Pak Kapolri sehingga musti memakai kalimat itu, “nanti mohon dibantu diawasi”. Sebetulnya, dari awal memang nada itu nada permainan atau nada variabel politik atau persaingan itu sudah ada di hari-hari pertama dengan ucapan Pak Mahfud. Pak Mahfud sendiri yang bilang, jangan lindungi tikud di situ. Urusan apa Pak Mahfud bilang begitu? Belum ada otopsi kedua pun Pak Mahfud sudah ngomong begitu. Belum ada problem upaya untuk mencari CCTV Pak Mahfud saudah ngomng begitu. Itu juga nggak boleh sebetulnya Pak Mahfud mengucapkan “jangan ada tikus bersarang atau dilindungi tikus kecil itu”. Demikian juga Pak Jokowi, dua kali mengucapkan “Saya ingin ini dibongkar”. Ya iyalah, tugas polisi itu. Apalagi PDIP yang juga gencar untuk mempercepat segala macam, soal yang masih jadi isu publik. Jadi dua variabel itu, yaitu partai politik PDIP dan istana melalui Pak Mahfud dan Pak Jokowi, menunjukkan bahwa ada tekanan untuk mempercepat. Nah, tekanan itu sebetulnya membebani Polri. Kan Polri punya mekanisme. Jadi dari awal memang sifat politisnya sudah muncul. Harusnya diam dong. Bahkan Pak Presiden nggak boleh bikin komentar, Pak Mahfud atau PDIP, supaya Pak Sigit tidak tertekan. Kan itu intinya. Sekarang Pak Sigit menganggap bahwa kita butuh bantuan publik. Publik lagi wacth sekarang justru. (ida/lia)
Pemberitaan Soal Jokowi Bayar Utang, Sungguh Menyesatkan
Jakarta, FNN – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan mengkritisi pemberitaan media terkait kunjungan Presiden Joko Widodo ke China pada awal pekan ini dan soal pembayaran utang. ARE “Media itu seharusnya mencerdaskan bangsa, memberi informasi yang benar, bukan malah menyesatkan,” tegasnya. “Pemerintah, per saldo, tidak (pernah) bayar utang, maka utang pemerintah itu naik terus (Rp triliun): Rp4.785 (2019), Rp6.075 (2020), Rp6.909 (2021), Rp7.040 (05/2022),” ungkap Anthony Budiawan. Utang bilateral yang jatuh tempo harus dibayar, bisa dari utang lagi. Tapi, penurunan utang Surat Berharga Negara bukan karena dibayar, tetapi karena asing divestasi. Judul yang tepat seharusnya: “Asing Ramai-Ramai Divestasi Surat Berharga Negara, Ada Apa?” Coba saja tengok informasi yang dinilai Anthony Budiawan itu menyesatkan. Informasi itu berasai dari rilis Bank Indonesia yang kemudian ditayangkan pada 15 Juli 2022. Utang Luar Negeri RI Turun 3 Bulan Beruntun sampai Mei 2022 https://databoks.katadata.co.id › utan...· Translate this page Jul 15, 2022 — Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia berada di angka US$406,3 miliar pada Mei 2022, turun 0,9% dari bulan ... Utang Luar Negeri Indonesia Turun, Kini Sisa Rp 6.094 Thttps://www.cnbcindonesia.com › uta...· Translate this page Jul 15, 2022 — Jakarta, CNBC Indonesia - Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2022 kembali menciut. Posisi ULN Indonesia pada akhir Mei 2022 tercatat ... Tak Cuma ke China, Utang Indonesia ke Negara Ini Juga Turun https://www.cnbcindonesia.com › tak...· Translate this page 2 days ago — Jakarta, CNBC Indonesia - Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2022 kembali menyusut. Tidak hanya terhadap China namun juga banyak ... Utang Luar Negeri Indonesia Mei 2022 Turun Jadi USD 406,3 M https://bisnis.tempo.co › read › bank-...· Translate this page Jul 15, 2022 — TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia mencatat posisi utang luar negeri atau ULN Indonesia pada akhir Mei 2022 sebesar US$ 406,3 miliar, ... Dalam link media di atas disebutkan, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2022 kembali menciut. Posisi ULN Indonesia pada akhir Mei 2022 tercatat sebesar 406,3 miliar dolar AS, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya sebesar 410,1 miliar dolar AS. Perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan posisi ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) maupun sektor swasta. Secara tahunan, ULN Mei 2022 terkontraksi 2,6% (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi bulan sebelumnya sebesar 2,0% (yoy). ULN Pemerintah bulan Mei 2022 konsisten melanjutkan tren penurunan. Posisi ULN Pemerintah pada Mei 2022 tercatat sebesar 188,2 miliar dolar AS, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada bulan sebelumnya sebesar 190,5 miliar dolar AS. Secara tahunan, ULN Pemerintah mengalami kontraksi sebesar 7,5% (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi bulan sebelumnya yang sebesar 7,3% (yoy). Tren penurunan ULN terjadi seiring beberapa seri Surat Berharga Negara (SBN) yang jatuh tempo di bulan Mei 2022 dan pengaruh sentimen global yang memicu pergeseran investasi portofolio di pasar SBN domestik oleh investor nonresiden. ULN swasta menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Posisi ULN swasta pada Mei 2022 tercatat sebesar 209,4 miliar dolar AS, turun dari 210,9 miliar dolar AS pada April 2022. Secara tahunan, ULN swasta terkontraksi 0,7% (yoy) setelah tumbuh 0,3% (yoy) pada bulan sebelumnya. Penurunan tersebut dikontribusikan oleh ULN perusahaan bukan lembaga keuangan (nonfinancial corporations) yang mengalami kontraksi sebesar 0,9% (yoy), setelah pada bulan sebelumnya tumbuh 0,8% (yoy). Perkembangan ini terutama berasal dari pembayaran pinjaman dan surat utang yang jatuh tempo. Di sisi lain, ULN lembaga keuangan (financial corporations) tumbuh sebesar 0,3% (yoy), setelah pada bulan sebelumnya mengalami kontraksi sebesar 1,9% (yoy). “Struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. ULN Indonesia pada bulan Mei 2022 tetap terkendali, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga di kisaran 32,3%, menurun dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 32,6%,” tulis BI. Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap sehat, ditunjukkan oleh ULN Indonesia yang tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang, dengan pangsa mencapai 86,7% dari total ULN. “Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.” Menurut rilis BI, peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, dengan meminimalisasi risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian.” Sebaiknya teliti sebelum menulis, jangan asal sensasi, jangan memberi opini menyesatkan. (mth/sws)
Sidang Kasus ‘Jin Buang Anak’. Saksi Ahli Antropologi Hukum : Ini Belum Terjadi Konflik Sosial
Jakarta, FNN – Guru Besar Ilmu Hukum, Prof. Dr. Ade Saptomo, Universitas Pancasila Jakarta hadir menjadi saksi ahli antropologi hukum dalam sidang lanjutan kasus ‘jin buang anak’ Edy Mulyadi yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/7/22). Prof Ade dimintai pandangan terkait keilmuannya dengan kasus ‘jin buang anak’. Menurut analisis antropologi hukum, interaksi terjadi akibat adanya aksi dan reaksi. “Ketika ada aksi sebagaimana disampaikan terdakwa Edy, lalu ada kelompok masyarakat menyampaikan reaksinya karena tidak menerima atau merasa terganggu akibat aksi tersebut, maka disitulah interaksi itu muncul,” tutur Prof Ade. Namun, antropologi tidak melihat kapan reaksi itu terjadi, bisa kemarin, besok, atau kapan saja. Dalam konteks ini reaksi terjadi karena ada komplain, dan faktanya dalam kasus ini terdapat sekelompok masyarakat yang melakukan protes. “Dalam konsep antropologi hukum, kasus ‘jin buang anak’ ini belum terjadi komplikasi sosial, hanya saja ada beberapa kelompok masyarakat yang terlukai akibat aksi tersebut. Untuk mengakhiri ini yaitu meminta maaf dengan cara yang dikehendaki oleh orang-orang yang merasa nilai sosialnya terganggu.” Ujarnya. Berbeda halnya, dengan Prof. Dr. Wahyu Wibowo yang juga hadir sebagai saksi ahli bahasa dan sastra dalam sidang kasus ‘jin buang anak’. Prof Wahyu menyebutkan bahwa terdakwa Edy Mulyadi menyebarkan berita hoax melalui YouTube Bang Edy Channel, soal isu-isu yang ramai diperbincangkan. “Kritik itu disampaikan apabila ada data fakta yang sesuai,” ujar Prof Wahyu. Pernyataan tersebut kemudian dibantah oleh Hakim ketua Adeng Abdul Kohar, ia mengingatkan saksi itu dihadirkan sebagai saksi ahli sesuai keilmuannya. “Saksi tidak boleh mengatakan bahwa terdakwa berbicara tanpa data fakta, karena itu bukan ranah saksi, itu ranah majelis yang akan menilai, tolonglah bapak sampaikan sesuai keilmuan dan teori saja,” ungkap hakim Adeng. Setelah persidangan, terdakwa Edy Mulyadi menyampaikan tanggapannya terhadap saksi ahli Prof Wahyu, “saya sampai tidak bisa berbicara apa-apa, intinya sungguh kecewa melihat seorang Profesor yang membuat kesimpulan bahwa saya berbicara tidak dengan data fakta,” pungkasnya. (Lia)
Kekuasaan tanpa Rakyat
Oleh: Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI Institusi negara secara masif dan berjamah telah dimanfatkan sebagai alat memperkaya diri sekaligus menjadi kekuatan represif. Rakyat yang telah memberikan kewenangan dan otoritas kepada aparatur pemerintahan, terus menerus menjadi korban eksploitasi. Babak belur dan terniaya bahkan harus kehilangan nyawa secara tragis oleh pelbagai perilaku wakil-wakil dan petugas rakyat sendiri. Kematian HAM, Kematian demokrasi dan kematian konstitusi menjadi serba permisif di negeri yang Pancasila digali dari buminya tempat berpijak. Mungkin rakyat Indonesia sudah saatnya harus melakukan refleksi dan evaluasi total terhadap proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Koreksi menyeluruh terhadap apa yang disebut dengan konsensus nasional. Jujur ke dalam pada perjalanan sejarah dan mampu mengambil hikmah dari arus besar politik dan Ideologi yang mengakar pada entitas Indonesia. Memikul dan terpikul natur menggerakan revolusi sosial demi mencapai cita-ciia dan tujuan proklamasi kemerdekaan. Menjadi bangsa yang benar-benar beradab, bersungguh-sungguh mengupayakan kemakmuran dan keadilan di dalam negeri dan ikut menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia. Boleh jadi ada yang salah baik secara personifikasi maupun sistemik dari perjalanan kebangsaan Indonesia selama ini. Selain kuatnya hegemoni dan dominasi dari kapitalisme dan komunisme global, negara dan rakyat Indonesia semakin terpuruk karena ketiadaan karakter nasional bangsa. Budaya materialistis dan kebebasan tanpa ahlak menyebabkan Indonesia hanya menjadi negara dan bangsa pasar, menjadi sekedar bahan baku dan komoditi dari pemain-pemain utama industri skala besar dunia. Ekonomi, politik dan budaya menjadi konsumsi impor dari bangsa asing yang kekayaannya justru didapat dari negerinya sendiri. Sejatinya Indonesia telah menjadi bangsa kerdil dalam kebesarannya, menjadi pecundang dari nasionalisme dan patriotisme yang erat melekat dalam jatidirinya. Sebuah negara yang rakyatnya hidup dan menjadi korban dari eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa. Seperti kata salah satu pendiri bangsa dan sang proklamator, Indonesia tak ubahnya telah mewujud sebagai bangsa kuli di atas bangsa kuli. Negeri para bedebah dan bangsa yang tergolong hipokrit. Miskinnya kehadiran pemimpin nasional yang berkarakter dan mencintai rakyatnya, menjadi faktor signifikan terjadinya kemiskinan bangsa. Sangat sulit menemukan pemimpin yang dapat diandalkan dalam mengemban amanat penderitaan rakyat. Hanya ada para pejabat yang kebanyakan bermental pengecut dan korup. Praktek-praktek KKN, kebijakan yang menindas rakyat dan penghianatan terhadap Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Telah dianggap sebagai kelaziman dan berlaku dalam keseharian. Kini, bukan hanya menggerus hak dan kewajiban, kehidupan rakyat juga terancam keamanan dan keselamatan hidupnya. Tragedi mengintai kapan saja dan siapa saja, terlebih bagi mereka yang tergoling kelas bawah dan hidupnya akrab dengan keterbatasan dan kekurangan. Rakyat jelata seperti itulah yang terus diintai kriminalsasi dan dibayangi maut oleh distorsi aparatur penyelenggara negara. Hukum telah menjadi alat penindasan bagi si miskin dan yang lemah, sementara orang kaya dan berpengaruh memainkannya sesuka hati. Segelintir orang dan kalangan minoritas, secara perlahan telah menjadi tirani atas mayoritas. Sedikit orang telah mengatur dan menentukan nasib dan kehidupan rakyat banyak. Penguasaan hajat hidup orang banyak mulai dari tanah dan lahan produktif, kawasan hutan dan perkebunan, wilayah laut dan kepulauan tertentu, serta wilayah-wilayah yang menjadi sumber energi berupa pertamigas. Telah menjadi perampasan dan perampokan kekayaan alam dan aset negara yang dilegalkan atas nama konstitusi. Produk undang-undang dan kebijakan strategis lainnya, telah berubah sebagai kedok sekaligus alat perlindungan bagi penjahat negara yang bersembunyi dibalik birokrasi, korporasi, politisi dan semua yang terafiliasi dengan kepemilikan modal besar. Negara pada esensi dan substansinya, hanya berupa daerah jajahan bagi kolonialisme dan imperialisme modern dalam bentuk oligarki. Konspirasi jahat para pemilik modal dengan birokrasi dan partai politik serta ternak-ternak oligarki lainnya yang telah membajak negara. Pada akhirnya situasi yang demikian, telah menjadi realitas obyektif dan kenestapaan panjang bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa yang telah diperjuangkan dan dikorbankan rakyat dari generasi kegenerasi tak pernah mendatangkan kebahagian bagi rakyat. Negara bangsa Indonesia seperti mengalami mimpi abadi tentang kemakmuran dan keadilan. Tak pernah tersadar dan bangun untuk mewujudkannya. Alih-alih menghadirkan negara kesejahteraan, Indonesia kembali harus memeras keringat, meneteskan air mata dan menumpahkan darah rakyatnya sendiri karena bangsa asing dan segelintir bangsanya sendiri. Kesinambungan penderitaan rakyat dalam jangka panjang dan tanpa batas waktu, ketika negara hadir tanpa pemimpin dan hanya ada penguasa. Ketika banyak pemimpin yang begitu berjarak antara nilai-nilai dan tindakannya. Negara yang terus memisahkan pemimpin dengan rakyatnya terasa seperti suasana tanpa pemerintahan dan ranpa negara. Saat di satu sisi feodalisme melahirkan pertentangan kelas sosial, di sisi lain liberalisasi dan sekulerisasi mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Ketika itu rakyat akan terus menjadi korban dari kekuasaan yang euforia dan fatalistik. Sebuah wajah Kekuasaan tanpa rakyat. Munjul-Cibubur, 28 Juli 2022
Indonesia dan AS Membentuk Kemitraan untuk Kurangi Limbah Plastik di Laut
Jakarta, FNN - Pemerintah Indonesia bersama Amerika Serikat mengumumkan kemitraan untuk mengurangi limbah plastik di laut-laut Indonesia melalui program \"Clean Cities, Blue Ocean\" (Kota Bersih, Laut Biru).Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) melalui program tersebut akan memperluas infrastruktur pengumpulan dan daur ulang sampah di Indonesia yang akan menghasilkan plastik daur ulang berkualitas tinggi dan dapat ditelusuri, demikian menurut Kedutaan Besar AS di Jakarta dalam keterangannya yang diterima pada Kamis.\"USAID gembira dapat mendukung kemitraan baru ini yang menggabungkan pembiayaan dari publik dan swasta yang akan membantu memenuhi permintaan plastik daur ulang dan pada saat yang sama juga memperkuat sistem pengelolaan sampah di masyarakat,\" kata Direktur USAID Indonesia Jeff Cohen.\"Bersama-sama kita akan membantu mengumpulkan dan mencegah sampah plastik yang berbahaya agar tidak hanyut ke laut, tapi mengubahnya menjadi keuntungan finansial dan mata pencaharian bagi masyarakat Indonesia,\" ujar Cohen.Tahap awal kemitraan itu akan berfokus di kota Semarang, yang merupakan salah satu kota terbesar di pulau Jawa.Seperti banyak kota besar lainnya, Semarang menghadapi tekanan yang semakin besar untuk mengurangi volume dan mendaur ulang sampah yang terus meningkat, tetapi kota tersebut tidak memiliki sistem daur ulang yang layak secara ekonomi maupun logistik.Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Scenaider Siahaan mengatakan bahwa pembiayaan campuran dari publik dan swasta dalam pengelolaan sampah membawa peluang bagi investasi swasta untuk mendukung ekonomi sirkular.Pembiayaan campuran itu, menurut Scenaider, menutup siklus daur ulang produk yang akan mengurangi kerugian material sehingga meminimalkan kerusakan lingkungan hidup dan mencegah menipisnya sumber daya alam.\"Pemerintah Indonesia melihat pembiayaan campuran sebagai instrumen yang semakin penting untuk memobilisasi pendanaan dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,\" ujarnya.Kemitraan antara Indonesia dan AS ini akan memperluas infrastruktur pengumpulan dan daur ulang sampah, membangun kapasitas pemerintah daerah untuk perencanaan dan pengelolaan sampah, serta memobilisasi dan memberdayakan sektor sampah informal yang penting bagi pengelolaan sampah lokal tetapi seringkali kurang termanfaatkan karena sumber daya yang terbatas.Sebagai contoh, fasilitas baru akan dibuat untuk bisa menampung, memilah, dan memproses sekitar 30 ton material plastik per hari dan akan membantu menyediakan pendapatan baru bagi sekitar 100 karyawan dan pengepul sampah lokal.Pada 2025, sebanyak 68 persen dari lebih dari 270 juta penduduk Indonesia diperkirakan akan tinggal di daerah perkotaan, di mana sampah yang bisa dikumpulkan hanya sekitar setengahnya saja. (Ida/ANTARA)