ALL CATEGORY
Dukung Anies Tutup Holywings
Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan BLUNDER iklan Holywings berakibat fatal. Reaksi keras umat Islam atas promosi minuman keras dengan melabel atau menggratiskan orang yang bernama \"Muhammad dan Maria\" telah menyeret 6 karyawan Holywings ke proses hukum. Polres Jakarta Selatan cepat menetapkan keenamnya sebagai tersangka. Titel tuduhannya adalah ujaran kebencian, menimbulkan keonaran dan penistaan agama. Desakan agar ada tindakan lebih jauh atas promosi outlet di bawah PT Aneka Bintang Gading milik Eka Wijaya dan Ivan Tanjaya dengan tiga produk Holywings Club, Holywings Restaurant, dan Holywings Bar yang tersebar di berbagai tempat di Jakarta, Bekasi, Bandung, Surabaya, Medan hingga Makasar ini berbuah hasil. Gubernur DKI Anies Baswedan memelopori penutupan seluruh outlet di Jakarta. Berdasarkan atas rekomendasi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM (DPPKUKM) maka Gubernur DKI Anies Baswedan mencabut izin usaha 12 outlet Holywings di Jakarta. Alasan hukumnya adalah di samping tidak memiliki Sertifikat Standar KLBI 56301Jenis Usaha Bar terverifikasi, juga melanggar penjualan minuman beralkohol yang hanya bisa dibawa pulang. Tidak diminum di tempat. Pencabutan izin usaha atau penutupan outlet Holywings di Jakarta patut didukung karena Gubernur DKI mengambil langkah cepat dan tanggap merespon keluhan masyarakat terhadap perilaku pengusaha Holywings yang telah membuat keonaran akibat penistaan agama. Diharapkan muncul sikap serupa di berbagai daerah yang lain. Model Holywings tak layak hidup. Nikita Mirzani yang katanya salah satu pemegang saham, mengkritisi pencabutan izin oleh Anies sebagai menutup hak hidup ribuan pekerja Holywings. Mirzani lupa bahwa hal itu di samping konsekuensi dari usaha jorok juga sebenarnya banyak hak hidup pekerja pribumi yang jumlahnya ribuan atau ratusan ribu pun telah diambil oleh TKA asal China. Dan Nikita diam saja. Bagi muslim yang memiliki kesadaran keagamaan yang baik tentu tidak akan bekerja di restoran atau bar yang membuka peluang untuk perilaku mabuk-mabukan. Minuman keras beralkohol adalah barang haram. Dukungan kepada Anies itu penting, sekurangnya untuk tiga hal : Pertama, agar perlawanan terhadap kebijakan konsisten Gubernur DKI tidak menciptakan kegaduhan atau kekacauan. Sikap melawan hukum harus diredam dengan ketegasan dan sanksi yang memberi efek jera. Kedua, dukungan adalah kristalisasi dari rasa keadilan yang dirasakan masyarakat khususnya umat Islam. Adalah zalim siapapun termasuk pemerintah yang membiarkan penistaan agama itu marak atau masif. Ketiga, dengan dukungan nyata dari masyarakat maka Anies Baswedan akan semakin kuat untuk menjalankan amanat sebagaimana sumpah jabatannya. Menerobos kultur dusta dan khianat yang merajalela di kalangan para pejabat kita. Jangan beri kesempatan kelompok anti agama atau nir-moral untuk terus menerus mengganggu dan menciptakan instabilitas melalui keberanian untuk menyentuh aspek-aspek peka keagamaan. Musuh agama adalah musuh negara. Musuh ideologi bangsa. Setelah penutupan Holywings di Jakarta, maka tutup semua outlet Holywings di seluruh Indonesia. Sayap suci palsu itu telah menodai kesucian ibu pertiwi. Bandung, 28 Juni 2022
Haji Giring Berulah Lagi: Serang Anies Dengan Isu Agama
Jakarta, FNN - Sesudah agak lama tak terdengar aksi kontroversialnya, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia PSI Haji Giring Ganesha Djumaryo kembali berulah. Apalagi kalau bukan aksinya menyerang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Jadi, wajarlah kalau PSI belakangan ini dapat julukan sebagai Partai Seputar Ibukota. Sebab, “Jika melihat aktivitas para petingginya mulai mantan Ketum yang kini jadi Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie sampai Giring Ganesha selalu saja mencari celah untuk mendiskreditkan Anies Baswedan,” ungkap wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Senin (27/6/2022). “Khusus soal Haji Giring Ganesha Djumaryo ini tidak ada kapok-kapoknya walaupun sudah dapat dipastikan buliannya terhadap Anies itu akan jadi bumerang, dia bakal balik dibuli oleh netizen,” lanjutnya. Hersu, panggilan akrab Hersubeno Arief, menyebut, kali ini menjadi bahan serangan Haji Giring adalah isu lama Pilkada DKI 2017 yang menurut dia ini adalah bukti nyata bahwa Anies Baswedan itu adalah figur yang intoleran dan figur politisi yang menggunakan strategi politik identitas dan politisasi agama melalui akun twitter-nya, Sabtu sore, 25 Juni 2022. Giring mencuit, “Nama jalan almarhum nenek Hindun ini lebih tepat untuk diperjuangkan menjadi nama jalan baru di Jakarta untuk mengingatkan kita ada seorang warga yang menjadi korban jahatnya politik identitas politik agama.” Cuitan itu disertai dengan sebuah foto dengan tulisan Jalan Nenek Hindun. Dalam cuitan lainnya Giring menulis begini: “Masih ingat pidato saya akhir tahun 2021? PSI ingin menarik garis tegas, tidak ada tidak berkompromi dengan orang yang menghalalkan segala cara, termasuk dengan memperalat agama main mata, bergandeng tangan dengan kelompok intoleran, menggunakan ayat untuk menjatuhkan lawan”. Cuitan itu disertai dengan link berita “Pernah memanfaatkan politik identitas Anies Baswedan diprediksi susah nyapres”. Jadi, “Clear bahwa kedua cuitan dari Haji Giring Ganesha Djumaryo ini untuk menyerang Anies Baswedan dengan isu tunggal, yakni sebagai seorang politisi ia memanfaatkan dan sekaligus memanfaatkan politisasi agama.” Ada apa sebenarnya di tengah kemeriahan Ulang Tahun Kota Jakarta yang ke-495 ini Haji Giring tiba-tiba mengungkit-ungkit kasus lama, sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa sebagai partai pendukung PSI itu sampai sekarang belum move on karena figur yang didukungnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kalah pada Pilkada DKI 2017 lalu. “Rupanya ini dia dapat momentum menyerang ini dengan ada kaitanya dengan keputusan Anies mengubah nama beberapa ruas jalan di Jakarta dan diberi nama baru, yakni dengan nama sejumlah tokoh Betawi,” kata Hersu. Ada 22 ruas jalan yang diubah namanya oleh Gubernur Anies yang tersebar di berbagai wilayah Jakarta, seperti Jakarta pusat, Jakarta Selatan, Timur, Utara termasuk juga di Kepulauan Seribu. Nama-nama yang dicantumkan itu terdiri dari nama budayawan, tokoh agama, wartawan senior, pahlawan Betawi, dan bahkan, ada juga nama komedian terkenal di Betawi yang disematkan di nama jalan baru itu. Sebut semisal, nama komedian Mpok Nori dan Haji Bokir anak-anak sekarang mungkin banyak gak kenal. Ada juga nama Ustadzah terkenal Tuti Awaliah, wartawan dan politisi Mahfud Junaedi dan banyak nama-nama besar lainnya. “Kalau melihat lokasinya memang cukup menyebar tapi saya cermati tidak ada yang berlokasi di kawasan Karet Setiabudi, Jakarta Selatan, tempat di mana almarhumah nenek Hindun dulu tinggal. Jadi, siapa sih sebenarnya nenek Hindun ini dan apa maksudnya Haji Giring kembali mengungkit kasus ini?” tanya Hersu. Nenek Hindun ini adalah seorang janda yang tinggal di tempat tak jauh dari mushola Al Mukminun di kawasan Karet Setiabudi, Jakarta Selatan. Di tengah-tengah memanasnya Pilkada DKI 2017 saat itu yang diwarnai isu penistaan agama oleh Ahok itu di mushola Al Mukminun tidak jauh lokasinya dari rumah nebek Hindun dipasang sebuah spanduk dengan tulisan “mushola ini tidak menshalatkan pendukung dan pembela penista Agama”. “Ini jelas yang dimaksud itu adalah Ahok karena kita tahu gara-gara Ahok itu dianggap menistakan Agama di Pulau Seribu dan kemudian muncullah aksi yang saya kira dari sisi pengerahan massa belum pernah terjadi di sepanjang era politik pasca Orde Lama bahwa ada jutaan orang berkumpul di Jakarta di Monas karena memprotes sikap dari Ahok atau pernyataan Ahok ini,” ungkap Hersu. Hersu mengakatan, di tengah ketegangan politik di Jakarta menjelang putaran kedua ketika pasangan Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat harus berhadapan dengan pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno inilah nenek Hindun meninggal dunia. “Isunya sangat-sangat sensitif dan menjadi santapan media, apalagi buzzer. Jangan tanya lagi ya, karena muncul sebuah info kabar burung bahwa nenek Hindun itu ditolak disalatkan di musala karena dia adalah pendukung Ahok dan Jarot,” katanya. Bagaimana fakta sesungguhnya, ada dua versi soal ditelantarkannya jenazah nenek Hindun ini. Semuanya ternyata bertolak belakang. Tapi nanti Anda bisa menyimpulkan sendiri ya. Versi keluarga seperti yang disampaikan oleh putrinya nenek Hindun, Neneng, itu pada waktu putaran pertama pencoblosan ini karena nenek Hindun sakit dan tidak bisa datang ke TPS maka ada 4 orang petugas KPPS yang datang ke rumahnya. Kemudian mereka itu menyodorkan kertas suara dan meminta nenek Hindun mencoblos. Nah, ini kelihatannya terjadi penyimpangan atau penyalahan atau kesalahan prosedur karena nenek Hindun diminta mencoblos bukan di tempat yang tertutup seperti kalau kita datang ke TPS tapi nenek Hindun mencoblos kertas yang disodorkan oleh petugas KPPS. “Nenek Hindun yang saat itu sedang sakit rupanya dia mencoblos pasangan Ahok-Djarot dan itu dilakukan di depan para petugas KPPS,” ungkap Hersu. Sejak itu tersebar berita dari mulut ke mulut bahwa nenek Hindun adalah pendukung penista agama. Ini stempel yang sangat berat karena kawasan tempat tinggal nenek Hindun itu dikenal sebagai penentang Ahok. “Saya tidak bisa mendefinisikan apalagi apakah ini dia basis nya Anies-Sandi atau bukan karena sebelumnya ada tiga pasang Agus Harimurti dan Sylviana Murni yang kemudian tersingkir tapi kalau nanti kita lihat-lihat baca-baca ke belakang ternyata memang ini adalah basis dari pendukung Anies-Sandi,” ujar Hersu. Tapi, yang menjadi pertanyaan apakah benar nenek Hindun ini pendukung Ahok-Djarot? Menurut putri nenek Hindun yakni Neneng ini gak juga. Sebagai orang yang sudah tua dan sakit-sakitan nenek Hindun itu kelihatannya asal coblos saja, dia gak begitu tahu siapa calon-calon yang harus didukungnya. Bagaimana soal penolakan menyolatkan ini? Ini versi Neneng, mereka memang menginginkan jenazah nenek Hindun ini disalatkan di mushola Al Mukminun, namun pada waktu itu ditolak oleh pengurus dengan alasan tidak ada warga yang menyolatkan dan tidak ada yang menggotong jenazah ke mushola dari rumahnya. Itu karena banyak warga yang belum pulang dari kerja, di kawasan ini ada yang kerja kantoran tapi banyak juga yang pedagang. Karena nenek Hindun meninggalnya sekitar pukul 13.00-an itu ya banyak yang belum pulang kerja. Menurut Neneng, alasan tidak ada menyolatkan ini tidak masuk akal, karena ada keluarga yang kebetulan semuanya perempuan. Apalagi, nenek ini juga seorang janda dan dia katanya punya tiga atau empat orang anak perempuan juga dan semuanya juga janda, jadi tidak ada laki-lakinya. Namun pada waktu itu katanya ada empat orang laki-laki warga lainnya yang akan ikut menyolatkan. Pengurus mushola Ustadz Ahmad Safi\'i itu kemudian mendatangi rumah nenek Hindun. Ia memandikan, mengkafani dan kemudian menyolatkan. Selain karena pertimbangan tidak ada yang menyolatkan dan menggotong jenazah, pertimbangan lain mengapa kemudian disholatkan di rumah itu karena menurut Ustadz Ahmad Safei, petugas pemakaman sudah meminta agar jenazah segera diberangkatkan untuk dimakamkan. Karena waktu itu sudah sore, bahkan menjelang malam, sekitar pukul 18.30. Jadi kelihatannya para petugas juga ingin segera mengakhiri siftnya pada hari itu dan ingin segera pulang. “Soal inilah kemudian digoreng habis sebagai bukti bahwa para pendukung Anies dan tentu saja karena pendukungnya begitu, Anies sendiri juga adalah kelompok intoleran. Itulah kesimpulannya. Ahok sempat datang ke rumah nenek Hindun dan juga menyampaikan bela sungkawa,” ucap Hersu. Pertanyaannya apakah benar bahwa jenazah nenek Hindun ini ditelantarkan, tidak disalatkan di mushola karena dia pendukung Ahok? Ternyata kalau kita baca-baca nggak sepenuhnya benar. Sebab yang memandikan dan mengkafani serta menyolatkan nenek Hindun ternyata kader PKS. Sementara ambulans yang digunakan untuk membawa jenazah nenek Hindun itu milik Gerindra yang di-branding jadi Anies-Sandi. Jadi clear ini dua-duanya yang menyolatkan dan mengurusi jenazahnya sampai ke pemakaman adalah pendukung dari Anies dan Sandi. Bahkan, sebelum menggunakan ambulans dari tim Anies-Sandi ini, keluarga nenek Hindun katanya mencoba menghubungi ambulans milik Partai Golkar dan PDIP tapi tidak tersedia. Fakta bahwa yang mengurus jenazah mulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan mengantarkan ke pemakaman ini lengkap. Tampaknya ini tetap diabaikan oleh para buzer oleh media yang menggorengnya. “Dan oleh PSI sekarang ini ternyata tetap saja itu dipelihara dan kemudian dilekatkan sebagai stempel bahwa Anies itu intoleran karena pendukungnya pernah menolak untuk menyolatkan jenazah seorang pendukung Ahok,” ujar Hersu. Dus, dengan kembali mengungkit kasus nenek Hindun ini Haji Giring lantas mengusulkan nama nenek Hindun ini menjadi nama jalan. Dan tampaknya dia berusaha menjadikan momentum nenek Hindun ini sebagai Monumen adanya sikap intoleran pada Anies dan para pendukungnya. “Namun seperti sudah diduga cuitan Giring ini kembali menuai bulian. Kalau Anda ikuti di medsos Twitter itu banyak sekali yang membuli Giring Ganesha,” lanjutnya. Haji Giring ini kelihatannya gak kapok-kapok dia menjual dagangannya yang sesungguhnya tidak laku. Yakni soal intoleransi, alih-alih men-downgrade Anies Baswedan dan atau kemudian dampaknya menaikkan elektabilitasnya sendiri. Menurut Hersu, ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Popularitas Anies malah kian moncer. Sebaliknya citra Haji Giring dan tentu saja PSI itu makin jeblok. Ini dia dianggap politisi yang tidak punya narasi. Politisi ecek-ecek itu yang mengeksploitasi kebencian terhadap satu kelompok lain atau kebencian terhadap tokoh lain. “Ini bukan karena yang membela atau yang membuli Giring ini kalau saya amati tidak semuanya itu adalah pendukung Anies. Tapi itu karena memang banyak juga yang tidak sepakat dengan cara-cara Haji Giring berpolitik yang mempolitisasi isu-isu agama dan politisasi kebencian semacam ini,” lanjutnya. Berbagai aksi Haji Giring ini sesungguhnya memang lebih banyak merugikan PSI sendiri. Kalau soal pribadi dia sih ya sudahlah itu jadi tanggungjawab dan risikonya. Ketua PSI DKI Michael Sianipar sudah sering menyampaikan keberatannya dengan aksi Haji Giring, bahkan dia juga pernah menyatakan secara terbuka berkali-kali bahwa dia sempat mengkritik Giring dan itu terkesan tendensius kepribadi Anies Baswedan. Sebagai Ketua DPW DKI Michael pasti sangat sadar dampak aksi-aksi Giring menyerang personal Anies yang ini akan merugikan PSI secara keseluruhan. Bagaimanapun Jakarta ini adalah barometer nasional dan pemilih PSI terbesar juga di Jakarta. Jadi secara nasional maupun secara khususnya untuk PSI DKI aksi-aksi ini akan merugikan partai secara keseluruhan apalagi yang melakukan adalah seorang ketua umum partai lagi. (mth/sws)
Rakyat Menuntut MK (2): Batalkan UU IKN No.3/2022, Tunjukkan MK Bebas Moral Hazard
Oleh Marwan Batubara, PNKN Pada tulisan pertama PNKN telah menguraikan berbagai alasan objektif, logis, dan faktual mengapa UU IKN No.3/2022 harus dibatalkan. Proses pembentukan tidak sesuai konstitusi dan kaidah hukum berlaku. Karena itu, PNKN telah meminta MK memutus Permohonan Uji Formil UU IKN yang diajukan PNKN, terregistrasi sebagai Perkara No.25/PUU-XX/2022 sesuai tuntutan, yakni membatalkan UU IKN. PNKN telah mengingatkan MK untuk bersikap adil, independen, konsisten, objektif, transparan, demokratis, serta taat hukum dan konstutusi. Jika prinsip-prinsip bernegara ini dijadikan pedoman, maka PNKN sangat yakin bahwa MK *otomatis* akan membatalkan UU IKN, karena proses pembentukannya inskonstitusional. Jika akhirnya putusannya justru meloloskan UU IKN, maka PNKN yakin ada masalah besar dengan MK dan Para Yang Mulia Hakim-Hakim MK. Tulisan ini sedikit mengungkap sebagian isu yang diduga terjadi seputar hakim-hakim tersebut. Tapi tulisan ini sekaligus ingin mengingatkan Para Yang Mulia untuk memutus Perkara No.25 sebagaimana seharusnya. Pada tanggal 20 Juni 2022, MK telah menolak Permohonan Uji Formil & Materil UU MK No.7/2022. Putusan MK atas uji formil dan materil UU MK tersebut merujuk pada Putusan Perkara-perkara No.90, 96, 100/PUU-XVII/2020 dan No.56/PUU-XX/2022. Dari putusan tersebut, minimal publik perlu paham dan mendapat sedikit gambaran tentang siapa, serta bagaimana sepak terjang dan “profil” Para Yang Mulia Hakim MK. Dalam perkara *Permohonan Uji Formil UU MK No.7/2020*, Para Yang Mulia telah menyatakan menolak tuntutan para pemohon. Prinsipnya, Para Yang Mulia menyatakan UU MK No.7/2020 tetap berlaku, dengan berbagai alasan dan argumentasi tidak relevan. Padahal proses pembentukan UU MK berlangsung melawan konstitusi dan kaidah hukum yang berlaku. Pembentukan UU MK tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan tidak pula didukung naskah akademik yang seharusnya dipersiapkan sesuai perintah UU No.12/2011. Revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over dan azas pembentukan peraturan yang baik. Bahkan, diduga terjadi penyelundupan hukum, memasukkan norma yang sebelumnya tidak dibahas dalam RUU, dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Penyeludupan norma hukum ini diduga terjadi karena didorong kepentingan pragmatis para penguasa oligarkis. Proses pembentukan UU MK berlangsung tertutup, tergesa-gesa, dan memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang mengalami pandemi Covid-19, para pemegang kekuasaan seolah bertindak seperti mengail di air keruh. Pembentuk UU telah merampas hak-hak konstitusional rakyat, mengabaikan koridor formil, melanggar konstitusi dan merampas hak partisipasi publik. Tampaknya pembentuk UU telah bertindak otoriter dan prilaku sarat moral hazard. Dalam perkara Permohohonan Uji Materil UU MK No.7/2020, norma-norma yang digugat antara lain termaktub dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22 jo Pasal 23 ayat (1) huruf d jo Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf a dan b. Khusus Pasal 87 huruf a yang digugat adalah norma tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, sedang *Pasal 87 huruf b yang digugat adalah norma batas usia hakim*, akhir masa jabatan hakim MK sampai usia 70 tahun atau paling lama menjabat 15 tahun. Terkait Pasal 87 huruf a, mayoritas hakim MK mengabulkan permohonan uji material UU MK, bahwa ketua dan wakil ketua MK tidak bisa otomatis melanjutkan masa jabatan hingga lima tahun. Dengan putusan MK ini, maka ketua dan wakil ketua MK harus dipilih kembali paling lama 9 bulan sejak putusan dibacakan. Sebelum berubah menjadi lima tahun (dalam UU No.7/20202), masa jabatan ketua/wakil Ketua MK dalam UU No.24/2003 adalah 2,5 tahun. Kita tidak yakin akhirnya akan terjadi perubahan pimpinan MK, jika kepentingan sempit berpran lebih dominan. Terkait Pasal 87 huruf b, semua hakim MK, kecuali hakim Wahiduddin Adam, telah menolak gugatan para pemohon. Artinya, meskipun bermasalah, mayoritas Yang Mulia Hakim MK tersebut setuju dan jusru mendukung norma atau “fasilitas” menguntungkan yang diatur dalam UU MK No.7/2020. Mereka akan mendapat kenikmatan, bisa menjabat hingga mencapai usia 70 tahun, atau paling lama menjabat hingga 15 tahun. Padahal mestinya masa jabatan hakim MK adalah lima tahun, sebagaimana berlaku untuk jabatan presiden dan wakil presiden atau anggota DPR. Karena aspek politik dalam lingkup tugas sangat dominan, dan mayoritas hakimnya dipilih lembaga politik (Presiden dan DPR), maka sangat relevan membatasi jabatan hakim MK selama lima tahun dan bisa dipilih satu periode lagi. Terlepas dari persoalan lingkup tugas MK, pada dasarnya seperti disinggung di atas, masalah “fasilitas” peningkatan batas usia jabatan hakim MK sejak semula memang tidak dibahas atau tercantum dalam naskah akademik UU MK. Norma tersebut, out of the blue, tiba-tiba masuk dalam RUU. Telah terjadi penyeludupan norma hukum yang tampaknya sengaja direkayasa: memberi fasilitas kepada para hakim MK dengan tujuan agar MK terpengaruh, dapat dikendalikan atau berhutang-budi kepada pemberi fasilitas, sehingga berpotensi gagal bersikap independen. Rakyat bisa saja menilai telah terjadi suap-menyuap atau gratifikasi jabatan atau tindakan menghalalkan segala cara guna mencapai tujuan. Dengan adanya kenikmatan/gratifikasi yang diperoleh, Para Yang Mulia Hakim MK bisa terpengaruh, sehingga gagal membuat putusan-putusan yang adil, objektif, konstitusional, dan sesuai kepentingan rakyat. Namun pada saat yang sama, putusan tersebut akan menguntungkan para oligarki kekuasaan, karena tampaknya itulah tujuan gratifikasi atau norma peningkatan usia masa jabatan tersebut. Faktanya, meskipun proses pembentukannya cacat konstitusional dan diduga sarat moral hazard dan conflict of interest, secara sadar MK telah menolak Permohonan Uji Formil UU MK No.7/2020 yang. MK menyatakan UU MK No.7/2020 tetap berlaku. Tampaknya MK sangat menikmati fasilitas yang disediakan para pembentuk UU yang diduga sarat kepentingan oligarki tersebut. Sikap MK yang berwenang mensahkan aturan untuk diri sendiri ini, meskipun sarat conflict of interest, bukan saja menyangkut aspek kenegarwanan, tetapi yang jauh lebih penting adalah menyangkut aspek moralitas. Apakah “nasib” Permohonan Uji Formil UU IKN No.3/2020 sama seperti Uji Formil UU MK No.7/2020, akhirnya akan ditolak MK? Apakah MK akhirnya akan menerbitkan putusan yang akan menyatakan UU IKN No.3/2020 akan tetap berlaku? Jawabannya kemunginan besar YA! Meski demikian, sebelum putusan diambil, kami dari PNKN ingin mengingatkan Para Yang Mulia Hakim MK untuk menyadari bahwa mayoritas rakyat sudah paham “what is going on”, apa yang terjadi. Para Yang Mulia Hakim MK harus ingat akan Sumpah Jabatan, memihak kepentingan rakyat dan adanya pengadilan sesudah kematian. Tulisan kami dari PNKN ini lebih ditujukan untuk berfungsi sebagai pengingat: friendly reminder.[] Jakarta, 28 Juni 2022.
KAMI Lintas Provinsi Minta DPD RI Memproses dan Mengawal Pemakzulan Presiden Jokowi
Palembang, FNN – Di tengah-tengah acara “Diskusi Publik Simpul Jaringan Umat Institute Sumatera Selatan Koalisi Rakyat Untuk Poros Perubahan”, di Palembang, 28 Juni 2022, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menerima surat dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Listas Provinsi. Kepada DPD RI, KAMI Lintas Provinsi meminta memproses dan mengawal aspirasi untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo. Meniru KAMI Lintas Provinsi, bahwa telah banyaknya perbuatan melanggar UU oleh Presiden Jokowi, diantaranya menerbitkan UU yang bertentangan dengan UUD 45 diantaranya PERPPU Nomor 1/2020 Kartu Prakerja, Pendirian LPI (Lembaga Pengelola Investasi); UU KPK (melanggar independensi KPK), BI membeli SUN di pasar primer (UU Keuangan Negara dan UU BI), UU IKN (berpotensi melanggar UUD), Penentuan Anggaran Proyek Kereta Cepat (memakai APBN) tanpa prosedur anggaran secara benar serta proyek-proyek tol BUMN yang membengkak tanpa ada audit investigasi. Bahwa Presiden Jokowi berpotensi merugikan Negara dalam jangka panjang. Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Indonesia menjadikan Negara Indonesia dalam jangka panjang berutang ke China tanpa keuntungan. Itu akibat dari kurangnya penumpang dan biaya perawatan yang tinggi. Menurut kajian banyak ekonom Indonesia, proyek kereta cepat ini tidak akan mencapai titik impas hingga 30-40 tahun, sehingga ke depan proyek ini akan menambah lebih banyak utang luar negeri bagi Indonesia. Bahwa, UU pengampunan pajak (tax amnesty) yang diberlakukan dari Juli 2016 hingga Maret 2017 sangat menguntungkan oligarki, menguntungkan pengusaha, dan anggota partai politik. “Pada kenyataannya merupakan Pemutihan uang gelap,” ungkap tokoh Mega-Bintang Mudrick SM Sangidu dari KAMI Jawa Tengah. KAMI Lintas Provinsi juga menyoroti Pemerintahan Jokowi yang melakukan pembiaran Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) semakin terbuka. Dengan kebijakan mengangkat pengusaha menjadi penguasa dan sebaliknya. Sehingga banyak kebijakan berpihak kepada pengusaha, yang bisa merugikan rakyat dan negara (APBN). Contoh Kebijakan penetapan harga tes covid yang sangat mencekik rakyat dan APBN, kebijakan ini secara langsung menjadikan penguasa merangkap pengusaha menjadi pemilik perusahaan tes covid. “Bahwa, UU Cipta Kerja yang kelahirannya sangat tidak partisipatif, sangat berpihak kepada pengusaha. Dengan alasan penciptaan lapangan kerja, pada akhirnya merugikan kaum pekerja,” lanjut Mudrick Sangidu. KAMI Lintas Provinsi menilai, UU ini akan menghambat upaya pemberantasan kemiskinan, dan akan memperlebar kesenjangan sosial. Kaum kaya semakin kaya, kaum miskin tetap miskin. “UU Cipta Kerja yang sudah diputuskan inkonstitusional oleh MK, tapi masih tetap dipertahankan. Secara terang benderang Presiden Jokowi menunjukkan arogansi melawan UUD 45,” tambah Daniel M Rasyid dari KAMI Jawa Timur. Bahwa, Pemerintah Jokowi memanfaatkan dan membiarkan kroni pejabat menikmati proyek anggaran bernilai puluhan hingga ratusan triliun rupiah selama pandemi Covid. Seperti proyek Kartu Prakerja, proyek bantuan sosial, atau proyek atas nama pemulihan ekonomi nasional. Sementara UU Nomor 2 Tahun 2020 telah sengaja disiapkan oleh pemerintah untuk mengebiri wewenang budgeting DPR, mengamputasi KPK dan BPK di bidang pengawasan, serta lembaga peradilan untuk memeriksa dan mempertanggungjawabkan anggaran pandemi ribuan triliun, dengan memberikan imunisasi berlebihan kepada pejabat eksekutif yang mengelola dana pandemi tersebut. KAMI Lintas Provinsi menilai, Presiden Jokowi membiarkan para menterinya dan relawannya (PROJO) melakukan orkestrasi pembentukan opini secara terang-terangan bertujuan untuk melanggar UUD dengan memperpanjang masa jabatan Presiden dan keinginan 3 periode, dengan rekayasa berbagai cara. Tanpa memberikan sanksi dan melarang secara tegas, hanya memberikan alasan berwacana di alam demokrasi tidak bisa dilarang. Padahal niat dan keinginan serta tindakan tersebut sangat jelas melanggar UUD. Bahwa Presiden semestinya sangat tahu bahwa pengusaha besar bermasalah yang membantu usaha keluarga terutama anak-anaknya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, yang merupakan dugaan tindak pidana money laundering, semestinya kewajiban Presiden memberikan larangan terhadap keluarganya, dan secara tegas seharusnya meminta KPK untuk melakukan penyelidikan. Walaupun itu terhadap anak sendiri. Menurut KAMI Lintas Provinsi, Presiden Jokowi semestinya sangat paham UU Kehakiman terutama Hakim MK yang sangat terkait dengan permasalahan hukum pemerintahan, sehingga mustinya tidak membenarkan adanya konflik kepentingan terjadi pada insitusi terhormat tersebut. Karena UU melarang hakim punya hubungan keluarga/ipar dengan eksekutif. “Presiden diam tanpa bersikap berarti dengan sengaja melanggar UU,” lanjut Daniel Rasyid. Bahwa dari kajian tersebut diatas KAMI Lintas Provinsi berpendapat bahwa Presiden Jokowi diduga terbukti telah melanggar hukum secara berat. Untuk hal tersebut berdasarkan Pasal 7A Undang-undang Dasar atau UUD 1945, presiden bisa diberhentikan/ dimakzulkan oleh MPR. “Karena DPD-RI adalah Lembaga Tinggi Negara sejajar dengan DPR-RI dan merupakan bagian dari MPR-RI, Kami menyampaikan aspirasi kepada DPD-RI melalui Ketua DPD, untuk memproses dan mendalami serta mengawal aspirasi yang kami himpun dari denyut nadi berbagai kalangan masyarakat di daerah,” tegas Sekretaris KAMI Lintas Provinsi, Sutoyo Abadi. (mth)
Setelah Mega, Anies Bakal Menghadapi Tragedi Demokrasi Konstitusi
Hanya Soekarno dan Soeharto yang mampu menampilkan demokrasi yang bersumber dari pikiran, ucapan dan tindakannya sendiri. Dua figur pemimpin besar yang menjabat presiden Indonesia itu, bahkan menjadi superior di atas konstitusi dalam proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Soekarno dengan demokrasi terpimpin, Soeharto identik dengan demokrasi semu. Pun demikian, sejarah melukiskan kedua pemimin sipil dan militer itu, cenderung sama-sama memiliki karakter anti demokrasi. Mereka merupakan putra-putra terbaik Indonesia yang berhasil menaklukkan sekaligus menjadi korban demokrasi konstitusi. Oleh: Yusuf Blegur Mantan Presidium GMNI PASCA kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, terutama di ujung berakhirnya kekuasaan orde baru. Politik Indonesia berupaya menampilkan transisi kekuasaan yang otoriterian menuju kehidupan rakyat yang lebih demokratis. Selain karena tekanan politik, ekonomi, hukum dan keamanan, geliat perubahan mengemuka juga dipengaruhi oleh bangkitnya kesadaran dan gerakan \"civil society\". Isu HAM, demokratisasi, penerapan Pancasila dan UUD 1945 serta tema-tema strategis lainnya, begitu deras mengalir hingga bermuara pada kelahiran era reformasi. Banyak catatan historis dan ideologis yang mewarnai kehidupan rakyat, negara dan bangsa Indonesia terutama setelah lepas dari cengkeraman orde baru dan orde lama. Meskipun pada akhirnya rakyat merasakan betapa iklim reformasi tak luput mengalami distorsi. Apa yang kemudian diperjuangkan terkait penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa, bebas dari praktek-praktek KKN, supremasi hukum, profesionalitas birokrasi dan militer. tanpa eksplotasi sumber daya alam yang berlebihan dll. Ternyata tak lebih baik dapat diwujudkan dalam era reformasi. Bahkan kecenderungan semakin merosotnya kualitas dan kuantitas kehidupan rakyat, terlihat begitu kentara. Rezim reformasi jauh lebih bengis dan lebih buruk ketimbang pelbagai gugatan dan perlawanan rakyat yang pernah dilakukan pada era orde lama dan ode baru. Simbol Perlawanan Rakyat Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, biar bagaimanapun sejarah pernah menjadi saksi bahwasanya kehudupan demokrasi di Indonesia pernah menghadirkan Megawati Soekarno Putri seorang figur yang gigih memperjuangkannya. Mega sedikit pemimpin di jamannya yang mampu bersikap tegas dan mengambil posisi berseberangan dengan kekuasaan rezim saat itu. Sebagai pegiat demokrasi dan pemimpin partai politik, Mega telah melewati masa-masa sulit dan mengambil beragam resiko dari pandangan dan sikap politiknya. Putri sulung Bung Karno itu harus mengalami teror, intimdasi, hujatan dan fitnah langsung dari rezim dan anasir kekuasaannya. Bukan hanya diselimuti rasa permusuhan dan kebencian. Mega juga ditempatkan sebagai lawan berbahaya pemerintahan dan telah menjadi musuh negara versi rezim. Begitupun dengan Anies Rasyid Baswedan, tak pernah lepas dari pengalaman-pengalaman yang sama yang pernah dialami Megawati Soekarno Putri. Baik Anies yang lebih banyak menyelami dunia pendikan, maupun Mega yang lebih intens dengan partai politik. Keduanya tak pernah bisa menghindari pusaran politik yang memikul beban hajat hidup orang banyak. Secara empiris, keduanya bisa dibilang matang bersentuhan dengan dunia politik dan birokrasi di Indonesia. Menariknya, antara Mega dan Anies memiliki irisan yang kuat yang berkorelasi erat dengan dinamika dan konstelasi politik nasional. Mega sebagai ketua umum PDIP yang menjadi \"the rolling party\" dan memiliki kader sebagai presiden Indonesia sekaligus petugas partai. Di lain sisi, Anies sebagai figur pemimpin masa depan yang memangku jabatan gubernur Jakarta dan capres potensial yang tidak memiliki partai politik. Mega dan Anies seperti sebuah hubungan sosial yang saling kenal, tidak jauh tapi tidak dekat juga, sewaktu-waktu bisa intim dan tidak berjarak untuk bertemu dan saling berinteraksi. Pada akhirnya bukan hanya \"inner circle\" Mega dan Anies, lebih dari itu seluruh rakyat Indonesia akan menanti sejaumana episode hubungan keduanya. Apakah sebatas hubungan politik praktis kontemporer yang hanya bisa jenghasilkan koalisi atau oposisi semata di antara keduanya, atau akan ada hubungan antar dua figur negarawan. Mega dan Anies akan bertemu dalam konstelasi dan konfigurasi pilpres 2024. Akankah karakter sejati keduanya bertemu dalam hubungan yang hangat dan mesra menjadi sinergi dan harmoni. Menjadi kedua kekuatan politik yang bukan sekedar berkolaborasi, akan tetapi mendorong Mega dan Anies sebagai faktor penting dan berengaruh menghasilkan solusi problematika negara dan bangsa. Mega yang pernah menjadi harapan dan simbol perlawanan rakyat terhadap kedzoliman rezim, akankah berubah setelah memiliki kekuasaan. Sanggupkah Mega melihat figur Anies seperti dirinya sendiri yang pernah berjuang untuk tegaknya demokrasi dan kehidupan rakyat Indonesia yang lebih baik. Mungkinkah Mega menjadi ahistoris dan kontra revolusioner, terus memelihara dendam sejarah dan dendam sosial ke panggung politik nasional. Akankah Mega terjebak pada demokrasi konstitusi yang pernah menjadi tragedi dalam kehidupan pribadi dan rekam jejak politiknya.Kalau itu tak akan terjadi, besar kemungkinan karakter simbol perlawanan rakyat tak akan hilang dan tetap diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Siapa pemegang estafetnya yang mumpuni dan layak mengemban amanat itu?. Tak harus biologis yang penting ideologis, sebagai pemimpin rvolusioner bagi kepentingan nasional dan internasional. Setidaknya nilai-nilai dan kepribadian itu ada pada Anies yang ideologis Soekarno, dan bisa saja Puan yang biologis Mega yang mendampinginya. Keduanya mungkin saja menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk yang ada pada etalase kepemimpinan nasional. Minimal mampu menghindari tirani dan tragedi demokrasi konstitusi atau pseudo demokrasi. Terlihat samar-samar dalam lampu temaram republik, rakyat Indonesia belum punya kemampuan mengambil keputusan politik dan masa depannya sendiri. Kecuali hanya bisa pasrah dan menyerahkan nasibnya pada takdir sejarah. Wallahu a\'lam bishawab. Munjul-Cibubur, 28 Juni 2022.
Merebut Kembali Kedaulatan Rakyat
Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM, dari hasil penelitian akademiknya, menyimpulkan bahwa Amandemen 1999-2002 silam bukanlah Amandemen atas Konstitusi. Tetapi penggantian Konstitusi. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI (Disampaikan Dalam Diskusi Publik Simpul Jaringan Umat Institute Sumatera Selatan Koalisi Rakyat Untuk Poros Perubahan, Palembang, 28 Juni 2022) SAYA sampaikan terima kasih kepada Pengurus Lembaga Simpul Jaringan Umat Institute, yang begitu cepat merespon pertemuan di Kota Bandung kemarin, dengan menggelar kegiatan serupa untuk terus menggelorakan semangat merebut kembali Kedaulatan Rakyat dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini. Sehingga rakyat tidak hanya menjadi penonton kesibukan para ketua umum partai politik yang saling berkunjung, dan menggelar rapat-rapat tertutup untuk menentukan suksesi kepemimpinan nasional negara ini. Karena pada hakikatnya; Demokrasi harus menjadi alat rakyat. Alat rakyat untuk mencapai tujuan rakyat. Karenanya tidak boleh terjadi, rakyat justru menjadi alat demokrasi. Karena pemilik negara ini adalah rakyat. Sehingga sudah semestinya kedaulatan ada di tangan rakyat. Beberapa hari ini, sudah banyak pertanyaan yang saya dengar dari beberapa kalangan. Baik di grup WhatsApp, maupun di media sosial, yang pada intinya, menanyakan, mengapa LaNyalla akhir-akhir ini kritis dengan narasi-narasi fundamentalnya tentang negara. Dulu-dulu LaNyalla kemana aja? Begitulah inti dari banyak pertanyaan, jika saya simpulkan. Bagi saya pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar. Terutama bagi mereka yang tidak mengikuti perjalanan saya sejak dilantik menjadi Ketua DPD RI pada 2 Oktober 2019 (dinihari), silam. Karena sejak saat itu, saya menyadari betul, bahwa saya telah melakukan transformasi posisi. Dari sebelumnya aktivis organisasi di Ormas, menjadi pejabat negara. Sehingga saya wajib berbicara tentang negara. Karena sebelum menjadi pejabat negara, saya aktif di beberapa organisasi. Tentu saya berbicara dalam skup organisasi tersebut. Seperti saat saya aktif di Kadin, saya bicara dunia Usaha dan Industri. Saat aktif di PSSI, saya berbicara tentang Sepakbola dan Tim Nasional. Begitu juga di Pemuda Pancasila, yang sampai hari ini saya masih menjadi Ketua di Jawa Timur, tentu saya aktif berbicara tentang Pancasila. Tetapi sejak saya dilantik sebagai pejabat negara, saya harus menjalankan sumpah saya sebagai pejabat negara. Sebagai Ketua DPD RI. Sebagai Ketua Lembaga Negara yang mewakili daerah. Maka sejak saat itu, saya putuskan untuk keliling ke semua daerah di Indonesia. Untuk apa? Untuk melihat dan mendengar langsung suara dari daerah. Agar Lembaga DPD RI ini memiliki manfaat sebagai wakil daerah. Apalagi Lembaga ini dibiayai dari APBN. Meskipun jauh lebih kecil dibanding anggaran DPR RI. Hampir satu tahun awal masa jabatan, saya terus berkeliling daerah. Bahkan di masa Pandemi Covid. Dan dari perjalanan turun langsung itu, saya menemukan dua persoalan yang hampir sama. Yaitu; Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan Kemiskinan Struktural yang sulit dientaskan. Dari temuan itu, saya simpulkan bahwa dua persoalan tersebut adalah persoalan Fundamental bangsa ini. Tidak bisa diatasi dengan pendekatan karitatif dan kuratif. Ibarat di dunia medis, persoalan tersebut hanya symptom dari sebuah penyakit dalam. Saya berdiskusi dan berdialog dengan banyak orang. Kolega di DPD RI dan sahabat-sahabat saya. Memang benar. Persoalan tersebut ada di hulu. Bukan di hilir. Ini semua tentang arah kebijakan negara. Yang dipandu melalui Konstitusi dan ratusan Undang-Undang yang ada. Sehingga sering saya katakan. Ini bukan persoalan pemerintah hari ini saja. Atau Presiden hari ini saja. Tetapi persoalan kita sebagai bangsa. Oleh karena itu, saat DPD RI menjadi penyelenggara Sidang Tahunan MPR Pada 16 Agustus 2021 lalu, saya mulai menyampaikan persoalan kebangsaan ke muka publik dalam sidang yang dihadiri semua Lembaga Negara saat itu. Termasuk Presiden dan Wakil Presiden. Sejak saat itu, saya terus menerus meresonansikan, bahwa kita harus melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Karena negara ini semakin hari, semakin Sekuler, Liberal dan Kapitalis. Karena itu saya juga sampaikan berulangkali. Bahwa saya mengajak semua pejabat negara untuk berpikir dan bertindak sebagai negarawan. Bukan politisi. Karena negarawan tidak berpikir next election. Tetapi berpikir next generation. Saya menyadari betul. Bahwa sebagai pejabat negara saya disumpah untuk menjalankan Konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi sebagai manusia saya dibekali akal untuk berfikir, dan qolbu untuk berdzikir. Sehingga saya selalu memadukan Akal, Pikir dan Dzikir. Saya melihat ada persoalan di dalam Konstitusi kita. Dan ada masalah di dalam perundang-undangan kita. Dimana kedaulatan rakyat di dalam sistem demokrasi perwakilan yang didesain oleh para pendiri bangsa sudah terkikis dan hilang. Bahkan kita telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag negara ini. Dan puncak dari semua itu adalah saat kita melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Dengan cara yang ugal-ugalan dan tidak menganut pola addendum. Sehingga kita menjadi ‘bangsa’ yang lain dan tercerabut dari akar sejarahnya. Bangsa yang super majemuk ini tiba-tiba melakukan copy paste sistem demokrasi barat secara murni dan konsekuen. Dan secara sadar dan sengaja, meninggalkan sistem demokrasi Pancasila yang dirumuskan para pendiri bangsa. Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM, dari hasil penelitian akademiknya, menyimpulkan bahwa Amandemen 1999-2002 silam bukanlah Amandemen atas Konstitusi. Tetapi penggantian Konstitusi. Saya tidak pernah mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru itu yang terbaik. Karena Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 memang harus disempurnakan, untuk memastikan tidak terjadi Abuse of Power. Tetapi bukan diganti total seperti hari ini. Karena fakta membuktikan. Sejak Amandemen Reformasi kemarin, semakin banyak lahir undang-undang yang menyumbang Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural. Dan itulah yang saya temukan setelah saya berkeliling ke 34 provinsi di Indonesia. Mengapa itu terjadi? Karena kita telah meninggalkan mazhab ekonomi Pemerataan dan meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dengan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar. Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila dimana semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini. Kita telah meninggalkan Sistem Demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar dan DNA bangsa yang super majemuk ini. Dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus. Bukan dengan pendekatan mayoritas. Atau menang-menangan yang dihasilkan dari membeli suara, atau melakukan kecurangan pemilu. Dan sejak Amandemen reformasi itu, tidak ada lagi ruang bagi elemen non-partisan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini. Karena hanya partai politik yang pada prakteknya menjadi penentu tunggal perjalanan bangsa ini. Sehingga Pancasila sekarang seperti Zombie. Walking dead. Atau istilah lainnya; Pancasila Not Found. Dan negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya Oligarki Ekonomi dengan Oligarki Politik. Inilah yang saya sebut dengan kita sebagai bangsa telah Durhaka kepada para pendiri bangsa. Telah Durhaka kepada para pahlawan yang merelakan nyawanya, dengan dua pilihan kata saat itu, yaitu; Merdeka atau Mati ! Sebuah semboyan yang mungkin bagi generasi muda saat ini terasa absurd. Padahal itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air. Dan demi satu harapan mulia; ‘Agar tumbuh generasi yang lebih baik’. Tetapi apa yang tumbuh? Yang tumbuh subur hari ini adalah Oligarki Ekonomi yang menyatu dengan Oligarki Politik, yang menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka. Itulah mengapa saya tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa untuk membenahi Indonesia yang karut marut dan salah arah ini, harus diawali dengan membenahi hukum, atau membenahi ekonomi, atau membenahi birokrasi dan lainnya, yang bersifat sektoral dan parsial. Bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus dimulai dengan memurnikan kembali demokrasinya. Artinya, mengembalikan demokrasi, yang selama ini dibajak kalangan Oligarkis yang rakus, kepada kaum intelektual yang beretika, yang bermoral dan yang berbudi pekerti luhur. Karena kita merdeka oleh kaum intelektual. Kaum yang beretika. Kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Yaitu para pendiri bangsa kita. Kita merdeka bukan atas jasa partai politik. Karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945. Maklumat itu pun diberi restriksi yang sangat jelas dan tegas. Bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan rakyat. Sehingga maknanya jelas. Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini. Dimana visinya jelas tercantum di Alinea kedua Pembukaan Konstitusi, yaitu untuk menjadi negara yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Mamur. Sedangkan misi negara juga jelas tertulis di Alinea keempat Pembukaan Konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, dan seterusnya. Saya percaya, masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme untuk membawa Indonesia lebih baik. Tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak, maka mereka yang idealis seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya dalam membiayai kampanye yang mahal. Sehingga yang terpilih adalah mereka yang mampu ‘memborong’ suara rakyat. Saya juga percaya, masih ada anggota DPR RI yang memiliki idealisme. Tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recall serta ancaman PAW, tentu akan melemahkan perjuangan tersebut. Sehingga memberikan kewenangan tunggal kepada partai politik untuk menentukan arah perjalanan bangsa tanpa reserve, dan tanpa penyeimbang dari kekuatan non-partisan adalah kesalahan kita sebagai bangsa. Karena bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya. Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini. Bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali. Karena rakyat adalah pemilik sah negara ini. Saya menyampaikan ini bukan karena keinginan saya menjadi presiden. Saya tidak akan pernah meminta jabatan. Karena bagi saya jabatan bukan urusan saya, tetapi menjadi urusan dan takdir dari Allah SWT. Dan saya sudah sampaikan di Bandung kemarin, jika saya ditakdirkan Allah SWT memimpin bangsa ini, maka pekerjaan besar yang saya lakukan adalah mengembalikan Kedaulatan Rakyat kepada pemilik negara ini, yaitu Rakyat Indonesia Asli. Karena pekerjaan mengembalikan kedaulatan rakyat tersebut kalau dalam terminologi Islam, bersifat Fardu Ain. Bukan Fardu Kifayah. Karena memang Kedaulatan Rakyat itu mutlak untuk diperjuangkan dan dipertahankan. Dan Kedaulatan Rakyat tersebut memang harus dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi. Oleh karena itu, perjuangan mengembalikan kedaulatan rakyat melalui Konstitusi adalah langkah yang benar. Sehingga wajib didukung oleh seluruh elemen bangsa. Dan yang tidak setuju atau menolak upaya ini, jelas dia adalah pengkhianat rakyat. Karena secara prinsip, seluruh kekayaan yang luar biasa di negara ini mutlak sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk segelintir orang yang rakus menumpuk kekayaan dan menyimpan di luar negeri. Jadi, silakan partai politik sibuk menyusun Koalisi. Silakan partai politik bersatu untuk menang. Tetapi Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan. (*)
Golok Wa Item
Oleh Ridwan Saidi Budayawan KETIKA beberapa tahun lalu saya ke Mesium Sumedang, guide memperlihatkan golok mas dan sarungnya yang ia katakan dari Jakarta. Ini diserahkan Ali Sadikin pada pihak meseum. Setelah purna tugas sebagai Syahbandar sekitar tahun 1540-1550 Wa Item menetap di Sumedang. Ketika wafat properti pribadi dihibahkan pada kerajaan Sumedang. Ali Sadikin yang terakhir menjaga golok Wa Item . Tanda tangan Wa Item dalam perjanjiaan dengan Portugis 23/1/1521 dalan aksara Arab waw untuk Wa. Nama Wa Item melegenda. Kali pembatas Majakatera dengan Sunda Kalapa adalah Kali Item merujuk Wa Item. Wa Item pengasas aliran silat Syahbandar. Berbeda dengan umum golok dan sarungnya yang dimiliki Wa Item terbuat dari mas. Panjang golok , gagang dan batang, 65-70 cm. Item bukan hitam tapi jago. Jago resapan dari Brazil yang berarti main. Wa Item membentuk pertahanan Sunda Kalapa yang disebut penyaringan bukan penjaringan. Dari koleksi lithografi saya penyaringan bersenjata tajam dan hewan buas seperti macan dan buaya. Jakarta tak pernah dikuasai pasukan asing atau kesultanan mana pun seperti kata dongeng-dongeng yang bersipongang di jagat Jakarta . Percobaan serangan Pate Hila di Pasar Pisang digagalkan. Pate dalam luka melarikan diri. Versi babad Cirebon Pate balik dari négri Betawi sakit lalu tewas. Wafatnya Wa Item antara 1542-1550 di Wanayasa tempat almarhum mengajar silat aliran Syahbandar. Ia dimakam di Wanayasa, Purwakarta. Perguruan silatnya masih berfungsi sampai kini. (RSaidi)
Hadi Angkat Bicara Soal 300 Sertifikat Redistribusi Tanah Disita Satgas BLBI
Jakarta, FNN - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto angkat bicara terkait 300 sertifikat redistribusi tanah yang disita Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hadi dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin, mengatakan objek redistribusi tanah yang berada di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu telah dilegalisasi melalui program redistribusi tanah. “Bahkan, telah dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,\" kata Hadi.Namun demikian, kata dia, dengan adanya permasalahan yang berkembang maka akan dilakukan pendalaman untuk mencari penyebabnya. \"Hal ini akan dilakukan melalui koordinasi melekat dengan beberapa pihak terkait, utamanya dengan Ketua Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI), termasuk dengan kepolisian,\" kata mantan Panglima TNI ini. Di samping itu, Hadi menegaskan kepada masyarakat bahwa pihaknya tengah mencarikan solusi atas permasalahan yang timbul. Hadi menjamin tidak akan ada rakyat yang dirugikan. \"Solusi atas masalah 300 sertifikat itu kini tengah disusun, dan sekali lagi tidak akan merugikan rakyat serta sesuai dengan komitmen pemerintah atau dalam hal ini Presiden Joko Widodo,\" papar Hadi. Menurut Hadi, Reforma Agraria merupakan upaya pemerintah menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan melalui proses penataan aset. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sejauh ini telah melakukan penataan aset, salah satunya melalui proses redistribusi tanah. Redistribusi tanah sendiri dilakukan pada Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), yaitu tanah yang dikuasai negara, dan/atau tanah yang telah dimiliki masyarakat untuk kemudian diredistribusi atau dilegalisasi. Salah satu objek redistribusi tanah, yakni tanah eks hak guna usaha (HGU) yang telah habis masa berlakunya serta tidak dimohon perpanjangan, dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah haknya berakhir. (mth/Antara)
Jaksa Agung Tetapkan Mantan Dirut Garuda Jadi Tersangka Dugaan Korupsi
Jakarta, FNN - Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar (ES) sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat oleh PT Garuda Indonesia tahun 2011-2021.“Senin, 27 Juni 2022, kami menetapkan dua tersangka baru, yaitu ES selaku Direktur Utama PT Garuda, kedua adalah SS (Soetikno Soedardjo) selaku Direktur PT Mugi Rekso Abadi,” kata Burhanuddin kepada wartawan di Lobi Utama Gedung Kartika Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin.Burhanuddin mengatakan bahwa pihaknya tidak melakukan upaya penahanan karena para tersangka sedang menjalani masa tahanan terkait kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).“Tidak dilakukan penahanan karena masing-masing sudah menjalani pidana atas kasus PT Garuda yang ditangani KPK,” kata Burhanuddin.Sebelumnya, penyidik telah mengumumkan tiga tersangka dalam perkara pengadaan Pesawat CRJ-1000 dan pengambilalihan Pesawat ATR72-600 oleh PT Garuda Indonesia, yakni Executive Project Manager Aircraft Delivery Garuda Indonesia Periode 2009-2014 Agus Wahjudo, Vice President Strategic Management Office Garuda Indonesia Periode 2011-2012 Setijo Awibowo, dan Vice President Treasury Management Garuda Indonesia Periode 2005-2012 Albert Burhan.Lebih lanjut, pada Selasa (21/6), Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah menyerahkan berkas ketiga tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat.Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menjelaskan tahap perencanaan dan tahap evaluasi proses pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia tidak sesuai dengan prosedur pengelolaan armada (PPA).Dalam tahap perencanaan yang dilakukan tersangka Setijo Awibowo, tidak terdapat laporan analisis pasar, rencana rute, analisis kebutuhan pesawat, rekomendasi, dan persetujuan jajaran direksi.Para tersangka bersama Emirsyah Satar, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia, dan Hadinoto Soedigno selaku Direktur Teknik mengevaluasi dan menetapkan pemenang pengadaan Pesawat Bombardier CRJ-1000 secara tidak transparan, tidak konsisten, dan tidak akuntabel.Akibat proses pengadaan Pesawat CRJ-1000 dan pengambilalihan Pesawat ATR 72-600, yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip PPÀ, prinsip pengadaan BUMN, dan business judgment rule, mengakibatkan pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp8,8 triliun. (mth/Antara)
Menperin Sampaikan 4 Hambatan Utama Perkembangan IKM Otomotif
Jakarta, FNN - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan empat masalah utama yang menghambat perkembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) otomotif terutama dalam upaya menjadi bagian dari rantai pasok lebih luas.Pertama ialah pendanaan yang belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari lembaga keuangan berdasarkan pertimbangan bankability, skala atau ukuran perusahaan, dan faktor belum tersedianya produk perbankan yang tepat.“Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan berdiskusi dengan MUFG (Mitsubishi UFJ Financial Group) untuk menjajaki kemungkinan adanya skema pembiayaan khususnya bagi IKM komponen otomotif,” ujarnya saat di Nagoya, Jepang, lewat keterangan resmi, Jakarta, Senin.Masalah kedua adalah kualitas dan skalabilitas produk yang dinilai perlu diselesaikan sendiri oleh para pelaku IKM.Untuk meningkatkan kualitas IKM, lanjutnya, Kemenperin memiliki banyak program seperti pendampingan pengembangan dan sertifikasi produk, implementasi teknologi 4.0, restrukturisasi mesin, layanan desain produk, pembangunan material center, serta dukungan promosi atau pameran.Pihaknya juga memiliki program pelatihan dan vokasi untuk membantu para pelaku IKM dalam hal penyediaan sumber daya manusia serta manajemen yang baik, termasuk balai-balai penyedia layanan dan bantuan terkait permesinan.Kemudian yaitu permasalahan pendampingan (mentorship) yang minim untuk membimbing IKM dalam produksi, manajemen, quality control, dan proses manufaktur lainnya.Menperin mengharapkan para pelaku IKM dapat memanfaatkan kegiatan forum bisnis dan business matching yang akan diselenggarakan pada Selasa (27/6) di Negeri Sakura guna melakukan pendalaman, menjelajahi peluang, dan membangun kerja sama dengan pelbagai perusahaan otomotif asal Jepang.Terakhir ialah masalah hubungan IKM dengan sektor otomotif di negara lain.“Persoalan ini akan dicari pemecahannya melalui forum bisnis pada hari Selasa yang difasilitasi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo dan melibatkan delegasi bisnis IKM komponen otomotif yang tergabung dalam Perkumpulan Industri Kecil dan Menengah Komponen Otomotif (PIKKO),” ucapnya.Dalam kesempatan tersebut, Menperin Agus Gumiwang melakukan pertemuan dengan delegasi bisnis IKM komponen otomotif dan Toyota Indonesia Diaspora Group.Agenda itu bertujuan bertujuan untuk ‘belanja masalah’ yang dihadapi oleh IKM komponen otomotif, khususnya PIKKO dalam upaya menjalin kerjasama dengan industri otomotif Jepang.Menperin Agus meyakini para pelaku IKM komponen otomotif mampu menjadi bagian dari rantai pasok industri otomotif mengingat peluang bagi produk komponen otomotif yang dibuat oleh IKM sangat besar dan terbuka lebar. Sehingga, diharapkan IKM di sektor itu dapat menunjukkan kapasitas dan kemampuan produksi sesuai kebutuhan industri otomotif Jepang.Menurut Menperin, IKM komponen otomotif harus proaktif menjalin hubungan yang baik dengan para pengusaha Jepang sekaligus membuktikan diri sebagai penyalur suku cadang otomotif paling kapabel dan andal di Asia.“Bisnis otomotif Jepang di negara-negara lain, khususnya di ASEAN, juga memberikan peluang bisnis yang lebih besar untuk komponen kendaraan yang murah namun berkualitas tinggi. Saya berharap para pelaku IKM komponen otomotif dapat menjajaki peluang untuk menjadi bagian dari supply chain autoparts mobil Jepang untuk negara-negara tersebut,” kata Agus. (mth/Antara)