ALL CATEGORY
Gubernur Riau Tinjau Laboratorium Produksi Ekstrak Ikan Gabus di Siak
Pekanbaru, FNN - Gubernur Riau Syamsuar melakukan peninjauan Laboratorium Inovasi Siak, PT Alam Siak Lestari di Kabupaten Siak sekaligus menyaksikan proses pengolahan ekstrak ikan gabus menjadi albumin yang berkhasiat untuk kesehatan. "Di kalangan masyarakat kita daging ikan gabus bisa sebagai obat penyembuh luka seperti persalinan maupun sunat," kata Syamsuar, ketika meninjau Laboratorium Inovasi Siak, PT Alam Siak Lestari, Selasa. Gubernur mengakui bahwa saat ia terpapar COVID-19 juga mengonsumsi albumin sebagai obat untuk pemulihan yang dikandung ikan gabus. "Jadi albumin ini banyak khasiatnya," kata Syamsuar yang juga didampingi Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau Mamun Murod. Peneliti muda Laboratorium Inovasi Siak, Aufa menjelaskan, pihaknya menggunakan teknologi distilasi uap suhu rendah untuk mengekstrak albumin dari ikan gabus ke dalam bentuk cair. Teknologi tersebut merupakan teknologi sederhana yang sengaja menggunakan teknologi sederhana agar masyarakat dapat terlibat dan menggunakan dengan mudah. "PT Alam Siak Lestari juga dibentuk sebagai perusahaan berbasis masyarakat dimana kepemilikan saham juga terbuka langsung bagi masyarakat," katanya. Ia menjelaskan, perusahaannya memanfaatkan lahan gambut untuk budi daya ikan gabus yang sesuai dengan visi Siak Hijau yakni untuk menerapkan prinsip kelestarian dan keberlanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam sebesar-besarnya bagi masyarakat. Visi Siak Hijau dijabarkan dalam Peraturan Bupati Siak 22/2018 tentang Siak Kabupaten Hijau. Aturan ini akan menjadi payung hukum bagi berbagai kebijakan pembangunan di Kabupaten Siak. Awalnya pihak perusahaan merancang kawasan ini hanya untuk mencegah kebakaran di lahan gambut. Namun, saat ini fokus pada budi daya ikan gabus di lahan konservasi gambut dan area sekat kanal. Sejumlah peneliti Laboratorium Inovasi Siak meyakini, bahwa kualitas ekosistem gambut yang terjaga bisa membuat perkembangan spesies ikan gabus lebih sehat, juga mengandung protein sangat tinggi, berdasarkan hasil riset awal PT Alam Siak Lestari. Untuk pengembangannya, para peneliti Laboratorium Inovasi Siak menggunakan teknologi produksi ikan gabus di kawasan gambut. Setelah itu diolah menjadi ekstrak albumin atau protein dalam ikan yang memiliki berbagai khasiat untuk kesehatan, mulai dari percepatan regenerasi sel hingga penyembuhan luka. (mth)
Bupati Aceh Barat Sebut Adat Adalah Identitas Bangsa yang Harus Dijaga
Meulaboh, FNN - Bupati Aceh Barat Haji Ramli MS menegaskan adat istiadat merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan, sebagai muruah suatu daerah di mata dunia. "Adat adalah identitas bangsa yang harus kita jaga bersama demi menjaga marwah (muruah) suatu daerah," kata Ramli MS saat melantik kepengurusan Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Barat di Meulaboh, Selasa. Ia mengatakan, pemerintah dan ulama, sama-sama mempunyai kewajiban untuk menjaga adat istiadat tersebut agar tetap sejalan dengan syariat islam dan ideologi Pancasila. Untuk itu, menurut dia, pemerintah daerah terus mendorong penguatan terhadap peranan MAA Kabupaten Aceh Barat dalam menjaga kelestarian budaya dan adat istiadat di tengah era modern saat ini. “Jangan sampai adat istiadat Aceh dianggap kuno oleh generasi millenial,” kata Ramli MS, menambahkan. Ia menegaskan peran Majelis Adat Aceh sangat dibutuhkan guna menumbuhkan kecintaan masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap budaya dan adat istiadat Aceh yang tetap berlandaskan pada nilai-nilai islami dan Pancasila. Menurutnya, adat dan budaya harus bisa menjadi perekat persatuan lintas generasi, sebagai salah satu bentuk penguatan terhadap jati diri bangsa. Ia juga menjelaskan bahwa adat istiadat Aceh sangat indentik dengan syariat Islam, selaras dengan semboyan “adat bak poteumeureuhom, hukom bak syiah kuala” yang mempunyai makna bahwa adat itu ada pada seorang pemimpin, sedangkan hukum ada pada ulama. (mth)
Letjen TNI Kiki Syahnakri : Pimpinan TNI Perlu Kearifan Tinggi Tangani Kasus Brigjen Junior
Jakarta, FNN - Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI AD PPAD) Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri mengimbau pimpinan TNI, khususnya pimpinan TNI AD harus bersikap bijak dalam menangani kasus Brigjen TNI Junior Tumilaar. Dalam penilaian Kiki, Inspektur Kodam XIII Merdeka Brigjen TNI Junior Tumilaar saat ini sedang menyuarakan kembali peran ideal dari TNI sebagai tentara pejuang, tentara rakyat, dan tentara nasional. “Saya mengimbau para petinggi TNI, para pimpinan TNI Angkatan Darat perlu kearifan yang sangat tinggi dalam menyelesaikan masalah ini,” ujar Kiki dalam wawancara yang ditayangkan oleh channel Hersubeno Point, FNN, Selasa 12 Oktober 2021. Brigjen Junior membetot perhatian publik karena mengirim surat terbuka kepada Kapolri. Dalam suratnya Junior mempersoalkan penahanan seorang warga yang tanahnya dirampas pengembang, dan pemanggilan seorang Babinsa oleh polisi karena membela rakyat itu. Junior kemudian diperiksa oleh Pomdam AD. Seperti dinyatakan oleh Komandan Puspom AD Letjen TNI Chandra W Sukotjo melanggar disiplin militer. Junior dinyatakan melanggar pasal 126 KUHPM yang ancaman hukumannya 5 tahun penjara, dan pasal 103 (1) KUHPM. Kiki mengingatkan kasus serupa pernah terjadi di Karawang, Jawa Barat. Saat terjadi sengketa antara sebuah perusahaan besar yang menguasai lahan dengan 200 orang penggarap. “Rakyat sudah menggarap puluhan tahun tanah itu. Menurut undang-undang rakyat berhak atas tanah itu,” tuturnya. Kodim Karawang turun tangan berpihak pada rakyat. Berkoordinasi dengan BPN. Langkah Komandan Kodim ini didukung oleh satuan di atasnya, bahkan sampai Mabes TNI. BPN tak pernah menerbitkan sertifikat untuk perusahaan ini. Malah sebaliknya menerbitkan sertifikat untuk penggarap. “Akhirnya lahan itu dibeli oleh perusahaan. Ini win-win solution,” tambah Kiki. Kasus di Karawang itu menurut Kiki menunjukkan bahwa TNI secara kelembagaan berpihak pada rakyat. Seperti kita ketahui kasus Brigjen Junior ini kemudian mengundang komentar dari Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Dia menyatakan apa yang dilakukan oleh Junior yang mengatasnamakan sebagai tentara rakyat adalah pemahaman yang salah. Soal inipun kemudian dipersoalkan oleh Kiki. Dia menilai Agus sesat pikir. Dalam penilaian Kiki, ada dua kesesatan berfikir dari Agus. Pertama, pernyataan Agus bahwa rakyat bukan punya TNI. Tapi punya Presiden. Kedua, soal kemanunggalan TNI dengan rakyat itu untuk perorangan. Bukan lembaga. Hal itu juga bertentangan dengan amanah UUD 4 pasal 27 (3) soal Bela Negara, dan pasal 30 (1) yang mengatur hak dan kewajiban setiap warga negara untuk keamanan negara. Selain itu dalam pasal 30 (2) tentang Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta. (end)
Yayasan Lngkungan Ajukan Uji Materi Undang-Undang Cipta Kerja
Banda Aceh, (FNN) - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja digugat kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini yang mengajukan gugatan uji materi adalah Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul Irfan mengatakan, uji materi dilakukan terhadap Pasal 22 Angka 5 UU tersebut terkait perubahan ketentuan Pasal 26 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. "Pasal dalam undang-undang tersebut mengatur ruang partisipasi publik dalam proses pembuatan analisa mengenai dampak lingkungan atau amdal," kata Badrul Irfan, di Banda Aceh, Selasa, 12 Oktober 2021. Menurut Badrul Irfan, Pasal 22 Angka 5 UU tersebut mengatur, dalam penyusunan amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat terkena dampak langsung. Padahal, Pasal 26 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengatur penyusunan amdal dilakukan melibatkan masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan, dan atau terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses analisa mengenai dampak lingkungan. Badrul Irfan mengatakan, dihapusnya hak partisipasi pemerhati lingkungan dan atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam amdal inilah menjadi alasan Yayasan HAkA mengajukan uji materi UUCK. Dikutip dari Antara, Badrul Irfan mengatakan pelibatan masyarakat pada proses amdal yang hanya terbatas pada masyarakat terdampak langsung dari suatu pembangunan, dikhawatirkan akan menurunkan kualitas dokumen yang seharusnya disusun secara kritis. Selain itu, pembatasan partisipasi tersebut juga menyebabkan pemerhati lingkungan ataupun masyarakat lainnya kehilangan hak memperjuangkan atau mempertahankan haknya terhadap lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana dijamin oleh Konstitusi. "Lingkungan yang baik dan sehat itu adalah hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi. Dihapusnya hak partisipasi pemerhati lingkungan pada proses amdal telah menyebabkan hilangnya hak konstitusional kami selaku lembaga pemerhati lingkungan," kata Badrun. (MD).
Mengapa Fadli Zon Mengusulkan Pembubaran Densus 88?
Oleh: Tjahja Gunawan CUITAN Fadli Zon di twitter tentang usulan agar Densus (Detasemen Khusus) 88 Antiteror Polri dibubarkan sudah dihapus sendiri oleh FZ. Namun, cuitan Politikus Partai Gerindra ini sudah terlanjur menimbulkan reaksi dan pro kontra dari berbagai kalangan di masyarakat terutama warganet. Mabes Polri sendiri langsung merespon pernyataan Fadli Zon tersebut. Melalui Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan pihaknya tidak ambil pusing dengan usulan anggota DPR-RI Fadli Zon itu. Menurut Ramadhan, pihaknya akan terus bekerja untuk menuntaskan permasalahan terorisme di Indonesia. "Prinsipnya kita tetap bekerja, kita tidak mendengar hal-hal terkait tersebut. Kita tetap melakukan upaya-upaya dalam hal pencegahan dan penegakkan terorisme di Indonesia," kata Ramadhan di Mabes Polri sebagaimana dikutip Tribune news di Jakarta, Senin (11/10/2021). Twitter pribadi @fadlizon, Fadli meretweet sebuah berita berjudul 'Densus 88 Klaim Taliban Menginspirasi Teroris Indonesia'."Narasi semacam ini tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamifobia. Dunia sdh berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas, tapi jgn dijadikan komoditas," tulis Fadli dalam cuitannya. Belum diketahui alasan FZ menghapus cuitannya di twitter. Yang jelas, pro kontra atas usulan Fadli Zon sudah merebak di tengah masyarakat terutama di kalangan warganet. Bahkan jaringan Radio Trijaya membahas khusus masalah tersebut dalam Program Trijaya Hot Topic Petang, hari Selasa (12/10/2021). Acara talk show tersebut berjudul "Pro Kontra Pembubaran Densus 88" dan menghadirkan dua narasumber. Pertama, Muhammad Syauqillah Ph.D, Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia dan Ketua BPET MUI. Nara sumber kedua, Haris Amir Falah, mantan narapidana teroris. Dalam flyer yang beredar di sejumlah grup WA, acara tersebut dipandu oleh Penyiar Radio Trijaya, Margi Syarief. Sikap agak santai menyikapi usulan Fadli Zon tersebut, ditunjukkan Kepala Densus 88 Antiteror Polri Irjen Martinus Hukom. Dia mengaku tidak mempermasalahkan pernyataan Fadli Zon yang meminta agar Densus 88 dibubarkan. "Buat kami, kami kerja saja. Dan kami tidak terganggu. Kami merasa bersyukur dan berterima kasih ada koreksi dari publik terhadap kami," ujar Kadensus 88 Antiteror, Martinus Hukom sebagaimana dikutip portal berita Media Indonesia, Senin (11/10). Menurutnya, kebebasan berbicara ialah bentuk sebuah demokrasi. Artinya, kata Martunis, kebebasan adalah bagian dari koreksi terhadap pihaknya dalam bekerja.Jika Presiden sebagai pimpinan lembaga negara boleh dikritisi tindakannya, maka hal itu pula berlaku untuk satuan khusus di bawahnya."Wong Presiden saja boleh dikritisi dalam demokrasi. Artinya, kami menerima itu sebagai suatu konsekuensi kita dalam sistem demokrasi," pungkasnya. Namun Martinus enggan berkomentar terkait dengan tudingan Fadli yang mengatakan bahwa Densus saat ini terlalu islamophobia. Densus 88 Anti Teror adalah satuan khusus milik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasukan ini khusus ditugaskan untuk menghancurkan setiap jenis tindak pidana terorisme di Indonesia. Satuan khusus kontraterorisme ini dirintis oleh Komjen. Pol. Gories Mere, salah satu tokoh berpengaruh di Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Flores, pelosok Timur Indonesia. Densus 88 diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Irjen. Pol. Firman Gani pada 26 Agustus 2004. Densus 88 AT Polri ini awalnya hanya beranggotakan 75 orang yang dipimpin waktu itu oleh AKBP Tito Karnavian yang pernah mendapat pelatihan khusus di beberapa negara. Tahun 2011, jumlah personil Densus 88 AT Polri sebanyak 337 orang. Lambang Densus 88 Anti Teror adalah Burung Hantu. Mereka dilatih secara profesional untuk menangani semua jenis aksi teror di Indonesia. Beberapa anggota Densus 88 direkrut dari Satuan Perlawanan Teror Pasukan Gegana Korps Brigade Mobile Kepolisian Negara Republik Indonesia. *** *) Wartawan senior FNN
Rakyat Ditipu Wakil Rakyat Diperkosa
By M Rizal Fadillah RAKYAT ditipu Wakil Rakyat diperkosa, kok bisa ? Bisa, jika rencana penggunaan dana APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung direalisasi. Disain untuk ini diawali dengan menunjuk "Duta Besar China" Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta Bandung menggeser peran Koordinator Airlangga Hartarto. Mengapa rakyat ditipu ? Karena sejak awal Presiden Jokowi mengkampanyekan bahwa proyek ini tidak sedikitpun akan didanai dari APBN tetapi dari obligasi konsorsium BUMN atau patungan. Investasi China adalah utama dengan skema kerjasama Business to Business (B to B). Akan tetapi setelah berjalan pembangunan dan mangkrak tiba-tiba terbit Perpres No 93 tahun 2021 yang membolehkan penggunaan dana APBN. Kejutan sekaligus melestarikan kebiasaan bohong Presiden ini adalah beban baru bagi negara. APBN harus mendapat persetujuan DPR. Meskipun DPR dapat menolak, akan tetapi akibat dari kooptasi Presiden atas Partai Politik maka persetujuan diperkirakan mudah untuk didapat. DPR dapat dipaksa karena anggota tidak berdaya. Perkosaan politik dilakukan dengan leluasa. Dengan alasan "daripada rugi" dan ,"gagal proyek" maka akhirnya dana APBN diduga terpaksa terkucurkan untuk menolong kebodohan. Biaya anggaran awal ditetapkan sebesar 86,5 Trilyun membengkak menjadi 114,2 Trilyun. Alasan pandemi atas mangkrak dan meningkatnya anggaran tidak mudah untuk diterima, audit harus dilakukan. Janji Kementrian BUMN bahwa dana APBN tidak akan diselewengkan butuh pembuktian. Sejak awal proyek ambisius Jokowi ini telah menimbulkan pro dan kontra. Kerjasama dengan China untuk kereta cepat jarak dekat dipertanyakan. Asumsi sukses diragukan. Apa yang terjadi jika nanti penumpang ternyata sepi. Analis memperkirakan selama 40 tahun PT KAI sebagai lokomotif perusahaan patungan akan merugi. Memang tidak habis pikir, kereta cepat dari Ibukota ke Bandung ini dibuat untuk kemudian Ibukota pindah ke Kalimantan. Nah, pembiayaan Ibukota baru yang konon menggunakan dana "kecil" APBN dipastikan bohong kembali. Kereta China yang awal hanya 86,5 Trilyun saja amblas apalagi Ibukota baru dengan anggaran sekitar 500 Trilyun. Di tengah dana negara yang cekak dan hutang menumpuk. Presiden Jokowi tidak boleh berspekulasi dalam proyek-proyek infrastruktur. Ambisi pribadi jangan didahulukan, apalagi dengan menipu rakyat dan memperkosa wakil rakyat. Untuk hal kecil saja seperti penjualan tol Cibitung Cilincing yang hanya 2,4 Trilyun membuat kerut dahi, padahal biaya konstruksi yang telah dikeluarkan adalah 10,8 Trilyun. Rugi 8,4 Trilyun. Jokowi memang jenius. Proyek Kereta Cepat di bawah pengelolaan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) bukan solusi tetapi beban. Pemerintahan Jokowi harus bertanggungjawab. Jika ternyata gagal bukan saja harus turun tetapi juga dihukum. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Junior Tumilaar, Prajurit Rakyat Sebenarnya
Oleh Ady Amar *) AKSI heroik Brigjen Junior Tumilaar, meski hanya menulis surat terbuka pada Kapolri, ia menerima konsekuensi dicopot dari jabatannya selaku Inspektur Komando Daerah Militer (Kodam) XIII/Merdeka. Saat ini ia "dibantarkan" sebagai Staf Khusus KSAD. Karena aksinya itu ia dianggap melanggar disiplin militer dan hukum pidana militer. Sebagai militer aktif, aksi Brigjen Junior Tumilaar itu gegabah, sekalipun yang dilakukan itu hal manusiawi. Tetap ia dianggap melanggar, dan tidak mustahil diseret ke pengadilan militer. Dalam beberapa kesempatan wawancara di media, ia tetap lantang. Tidak sedikitpun ia gusar apalagi takut dengan ancaman hukuman yang menanti. Dengan terus tampil ke publik, itu hal yang sebenarnya tidak menguntungkan buatnya. Ia sampaikan, bahwa aksinya menulis surat terbuka pada Kapolri, itu hal yang sudah dipikirkannya. Ia sadar akan konsekuensi yang bakal diterima. Ia melakukan pembelaan pada Babinsa, yang melindungi seorang warga yang berurusan dengan perusahaan pengembang, menurutnya itu memang satu keharusan. Ari Tuheru, nama orang yang dilindungi Babinsa adalah orang kecil dan seorang yang buta huruf. Melihat itu, Brigjen Junior melakukan pendekatan sampai ke Kapolda Sulawesi Utara. Tapi tidak mendapat jawaban memadai. Maka surat terbuka dilayangkannya, dan geger. Surat terbuka pada Kapolri, yang ditulis tangan oleh Junior Tumilaar, itu viral. Aksinya itu dianggap indisipliner, dan ia sadari konsekuensi yang akan didapat, tapi ia tetap berasumsi bahwa tugas tentara adalah membela rakyat. Disitulah nuraninya berbicara, dan siap menjemput risiko yang menanti. Terkadang nurani mampu mengalahkan pertimbangan akan sanksi yang bakal diterima. Brigjen Junior Tumilaar karena aksinya itu akan menerima hukuman, dan ia siap menerimanya sebagai konsekuensi atas sikapnya. Setidaknya itu yang dikatakannya. Tapi bagi rakyat, terutama prajurit TNI, khususnya AD, ia justru jadi idola baru yang dibanggakan. Ia seolah menarik kesadaran yang hampir hilang, bahwa sejatinya tentara itu pembela rakyat. Hadir saat rakyat membutuhkan. Petang kemarin (9 Oktober), di sebuah stasiun televisi swasta yang mewawancarainya, ia tampak emosional saat menerangkan upayanya membela rakyat kecil melawan korporasi pengembang. Hingga pecah tangisnya segala, tentu bukan tangis ketakutan sang jenderal. Tapi emosi yang tak tertahankan menyebabkan tangisan itu pecah. Mengadilinya di Pengadilan Militer, jika kasus ini diteruskan, tidak mustahil akan menyedot emosi penuh haru masyarakat luas yang dampaknya sulit bisa diprediksi, khususnya dikalangan internal militer. Surat terbuka pada Kapolri, itu memang masuk kategori indisipliner, karena Brigjen Junior masih perwira militer aktif. Itu satu sebab. Tapi sebab lain dimunculkan, bahwa apa yang dilakukannya itu demi menjaga nama baik tentara, khususnya AD, untuk tetap membela dan membersamai rakyat. Itu yang melatarbelakangi tindakannya. Kasus ini akan jadi pelik, seolah pertarungan antara peraturan yang mesti diikuti dan membela kepentingan rakyat kecil, dan itu tuntutan nurani. Ini bagai pisau bermata dua. Prajurit Rakyat Junior Tumilaar dikenal sebagai jenderal yang amat sederhana. Di Bandung ia masih tinggal di rumah dinas AD di Geger Kalong, yang atap rumah dinas itu seperti sudah mau runtuh. Itu setidaknya yang disampaikan pengamat politik dan militer Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, dalam obrolan dengan jurnalis senior Hersubeno Arief, di Forum News Nerwork (FNN). Ada lagi yang menarik dari apa yang disampaikan Bung Selamat Ginting, itu tentang latar belakang kemiliteran tokoh satu ini. Jenjang kepangkatan dari Letkol dan Kolonel, itu butuh waktu 20 tahun, itu waktu yang panjang. Dan 17 tahun ia bertugas sebagai Guru di TNI AD. Para perwira setingkat Kolonel yang ada saat ini sebagian adalah murid-murid yang pernah diajar beliau. Junior melanglang setidaknya di 6 Kodam, itu yang menyebabkan ia kaya pengalaman teritorial, dan itu bersentuhan dengan rakyat. Saat ditanya, akan jadi apa ia setelah pensiun. Jawabnya, ingin jadi guru. Dan Junior Tumilaar ini memang intelek, punya pendidikan sampai program doktoral (S3), jurusan Hubungan Internasional, Universitas Pajajaran. Kuliah S3 nya sudah selesai, tapi untuk penelitian disertasi belum ia lakukan, itu karena ketiadaan biaya. Katanya, saya harus utamakan biaya kuliah anak-anak dulu. Begitu sederhananya jenderal satu ini, yang sepertinya itu hal mustahil masih ada di zaman penuh godaan ini. Melihat sosoknya dengan pengabdian lebih dari 30 tahun di militer, menjadi tampak tidak adil jika nasib harus menyeretnya ke terali besi. Ia disangkakan melakukan pelanggaran pada Pasal 126 dan Pasal 103 (ayat 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sedikitnya 4 tahun penjara, jika hanya Pasal 126 KUHPM, itu yang jadi acuan tuntutan. Brigjen Junior Tumilaar, dalam surat terbukanya pada Kapolri, mengingatkan bahwa sebagai prajurit ia adalah prajurit rakyat. Dan ia mengajak Kapolri juga sebagai pelindung rakyat, dan bukan pelindung para pengembang. Narasi dalam suratnya itu lugas-tegas. Sebenarnya apa yang disampaikannya itu bukan sesuatu. Menjadi sesuatu bahkan mencengangkan, karena itu disampaikan perwira militer aktif, dan secara terbuka. Waktu yang akan menentukan nasib Brigjen Junior Tumilaar itu. Ia akan "dimaafkan" atau justru diadili di Pengadilan Militer dan dipenjarakan. Tidak ada yang tahu sampai nasibnya diputuskan pada waktunya. Terkadang gelaran "pahlawan" diberikan sejarah pada saatnya, meski seseorang dianggap bersalah dan harus dipenjarakan. Wallahu a'lam. (*) *) Kolumnis
Pisahkan TNI dari Rakyat, Otak Agus Widjojo Kerasukan Paham Komunis.
GUBERNUR Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Agus Widjojo sedang kerasukan paham komunis. Bisa juga ia sedang kerasukan sistem pemerintahan di negara monarkhi atau kerajaan. Narasinya, rakyat itu punya presiden, bukan punya Tentara Nasional Indonesia (TNI) apalagi punya Panglima TNI, sangat menyakitkan tentara dan rakyat. Itu tidak lain karena ucapannya yang memelintir pemisahan antara TNI dengan rakyat. Purnawirawan berpangkat letnan jenderal itu memiliki pemahaman yang dangkal mengenai hubungan TNI dan rakyat. Dia tidak mengerti, sejak dahulu kalau rakyat itu menjadi pejuang dalam berusaha merebut kemerdekaan Indonesia. Agus Widjoyo pantas mendapat hujatan dari berbagai lapisan masyarakat, terutama TNI yang selama ini bahu-membahu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pun juga saling bahu-membahu merawat dan menjaga Bhinneka Tunggal Ika, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap satu kesatuan. Gubernur Lemhanas menyampaikan kata-kata nyeleneh. Hal itu dilakukannya setelah Brigadir Jenderal Junior Tumilaar, saat menjabat sebagai Inspektorat Komando Daerah Militer (Irdam) XII Merdeka mengirimkan surat kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), yang intinya membela Babinsa (Bintara Pembina Desa) yang dipanggil aparat Kepolisian Resor Kota (Polresta) Manado, Sulawesi Selatan. Itinya, Junior keberatan pihak kepolisian memanggil anggota Babinsa dalam kasus pelaporan lahan milik antara Ari Tahiru (penduduk setempat) dengan PT Ciputra Internasional. Junioar tidak rela anggota Babinsa dipanggil polisi. Nah, kembali ke narasi Agus yang menyebutkan, rakyat adalah milik presiden, bukan TNI apalagi panglima TNI, jelas sangat bertentagan dengan konsep-konsep kemanunggalan TNI dan rakyat. Menurut Agus, rakyat dan TNI itu hanya menyatu dalam perang. "Jadi awalnya adalah TNI kan ini lahir dari bangsa yang berjuang. Kita belum punya negara, jadi yang berjuang itu adalah rakyat, menyatu itu," kata Agus Widjojo seperti dalam tayangan channel Youtube Najwa Shihab. "Bahkan sebetulnya perjuangan merebut kemerdekaan itu adalah perjuangan politik. Sehingga terbagi-bagi atas laskar-laskar. Jadi ada laskar Hizbullah, Laskar Nasionalis, begitu kan. Itu dijadikan satu, jadi TNI. Jadi TNI dari sejak awal memang harus berdamai dengan politik, karena dia harus menyatukan politik," ujarnya. "Nah waktu perang, itu memang menyatu dengan rakyat, waktu perang. Prinsip perang gerilya kan, antara ikan dan air. Tetapi, setelah menjadi demokrasi setelah merdeka, rakyat itu punyanya presiden. Rakyat itu punyanya yang dipilih oleh rakyat, memenangkan Pilpres, Pemilu. Kepala daerah, presiden. Jadi rakyat itu lebih dekat dengan Bu Khofifah daripada dengan Panglima," lanjutnya. "Mengapa? Panglima TNI tidak pernah dipilih oleh rakyat, sehingga dia tidak punya hak untuk menjangkau rakyat. Juga kepada sumber daya sipil di masa damai, TNI itu tidak punya kewenangan. Itu adalah dwifungsi. Kalau dwifungsi karena dimanjakan oleh Pak Harto dan memang diberikan free range oleh Pak Harto karena sudah percaya, dijamin untuk mendukung kekuasaan Pak Harto maka dia diberikan free range," kata Agus Widjojo. "Sekarang enggak, rakyat itu punyanya presiden. Dan kalau dilihat aslinya, doktrin-doktrin kemanunggalan TNI-rakyat itu untuk prajurit, bukan untuk institusi. Jadi, artinya kalau rakyat even kalau sedang latihan haus minta air ya jangan bentak-bentak. Kalau misalnya mau periksa rumah penduduk jangan ditendang pintunya dirusak," jawab Agus Widjojo. Itulah antara lain kalimat-kalimat yang dikutip dalam wawancara antara Nazwa Shihab dengan Agus. Ia terus berusaha memisahkan TNI dengan rakyat. Padahal, sejak awal TNI itu berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Agus mengatakan, perjuangan merebut kemerdekaan adalah perjuangan politik. Dia lupa, dalam perjuangan itu ada perjuangan angkat senjata, perjuangan politik dan diplomasi. Akan tetapi, jika membaca sejarah, perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang dijajah Belanda dan Portugis selama 350 tahun, serta Jepang 3,5 tahun, jelas lebih banyak didominasi perjuangan fisik atau angkat senjata. Ingat perjuangan Tuanku Imam Bonjol, Sisingamangaraja XII yang bergelar Patuan Besar Tuanku Oppu Batu, Pangeran Diponegoro, Ahmad Pattimura, Fatahillah, dan sederet nama lainnya yang diabadikan menjadi Pahlawan Nasional. Kok Agus Widjojo sudah mulai pikun, sehingga melupakan sejarah perjuangan rakyat. Mungkin otaknya sudah kental dengan paham komunis dan kerajaan, sehingga semuanya milik presiden (di negara komunis) dan milik raja (di kerajaan). Apakah sebagai anak seorang Pahlawan Revolusi Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswodihardjo wajar memutar-balikkan sejarah dan fakta. Coba baca sejarah lagi. Sebelum merdeka, betul perjuangan dilakukan oleh pejuang-pejuang nasional, terutama ulama yang memimpin beberapa laskar. Nah, setelah merdeka, kemudian dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Inilah cikal bakal TN. Pada 5 Oktober 1945, BKR kemudian berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan selanjutnya diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Namanya, selalu menggunakan kata rakyat, sebelum akhirnya pada 3 Juni 1947, Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi. Sejarah kemudian mengubah TNI menjadi Angkatan Perang Republik Serikat (APRIS), seiring dengan berubahnya Indonesia menjadi negara federasi, Desember 1949 dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketika RIS dibubarkan 17 Agustus 1950, maka APRIS pun berganti nama menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Tahun 1962, dilakukan penyatuan angkatan perang dengan kepolisian negara, sehingga menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Betul selama orde baru ada kesalahan dalam menerapkan Dwifungsi ABRI. Konsep yang diletakkan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution disalahgunakan oleh Jenderal Besar Seoharto guna melanggengkan kekuasaannya sebagai presiden. Akhirnya, Seoeharto dan Nasution yang sama-sama berhasil membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) bermusuhan. Akan tetapi, Dwifungsi tersebut berakhir seiring dengan jatuhnya Soeharto dari tampuk kepemimpinan Indonesia. ABRI dikembalikan menjadi TNI. Kemudian TNI pun dipisahkan dari Kepolisian RI. Kembali ke pernyataan Agus Widjojo itu. Jelas narasinya salah. Sekali lagi, rakyat adalah milik presiden adalah narasi yang bisa dikembangkan di negara komunis dan monarkhi. Bukankah sekarang ini sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat dan beberapa negara di kawasan Eropah justru mulai menerapkan perang grilya. Sebuah konsep perang yang ditulis Jenderal Abdul Haris Nasution dalam buku, “Perang Gerilya” yang sudah diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Perang gerilya adalah sebuah pertempuran yang ‘melibatkan’ rakyat. Rakyat biasanya memberikan bantuan dalam beberapa hal, seperti waktu perang kemerdekaan. Perang gerilya adalah sebuah taktik menyatukan tentara dengan rakyat. Banyak hal yang positif bersatunya TNI dengan rakyat. Di masa orde baru ada Abri Masuk Desa (AMD). Tentara bersama rakyat membangun fasilitas desa, misalnya membangun jalan, membangun irigasi, dan fasilitas lainnya. Sekarang, hal itu masih berlanjut dengan nama Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD). Baik AMD dan TMMD, sama-sama melibatkan personil dari Angkatan Darat, Angkatan Udaran dan Angkatan Laut. Sewaktu AMD, tentu dengan tambahan dari aparat kepolisian, karena masih menyatu dengan ABRI. Harus diakui, tidak selamanya Babinsa itu baik. Demikian juga aparat Pembinaan Masyarakat (Binmas) Polri. Babinsa dan Binmas sama-sama bisa disalahgunakan. Keduanya bisa dianggap memata-matai kegiatan rakyat, terutama mereka yang berada pada kubu oposisi. Tentu kita juga sepakat, kelakuan Babinsa di masa orde baru tidak diperlukan sekarang. Contoh kelakuan Babinsa yang sangat buruk dan mencederai umat Islam adalah ketika Sertu Hermanu, Babinsa di Kelurahan Koja Selatan, Tanjung Priok, Jakarta Utara, berpatroli di wilayahnya, pada 7 September 1984. Ia menemukan pamplet anti pemerintah di musala As Saadah. Ia kemudian menyambangi sang pengurus, dan meminta agar pamplet-pamflet tersebut disingkirkan. Dikabarkan, ia mencopot sendiri pamplet tersebut. Bahkan, isunya, ia menyiram dengan air got, dan tanpa membuka sepatu masuk ke musala itu. Peristiwa tersebut menyebabkan kerusuhan yang terkenal dengan Peristiwa Tanjung Priok yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia dan korban luka.
Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Untuk Siapa?
Oleh Edy Mulyadi *) SOAL kereta api cepat Jakarta-Bandung, (KCJB) pertanyaan pertama dan paling utama adalah; untuk siapakah sebenarnya kereta api cepat ini? Penguasa pasti menjawab, untuk rakyat. Tapi, pertanyaan berikutnya, rakyat yang mana? Atau, siapa rakyat yang dimaksud? Pak Dullah dan mpok Minah, tentu adalah rakyat. Joni, Siska, dan Rudy juga rakyat. Tapi pengusaha dan anggota DPR itu pun rakyat. Begitu juga dengan Luhut, Airlangga, dan Jokowi juga rakyat. Kendati tiga nama yang disebut terakhir itu juga pejabat. Bahkan Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia. Jadi, rakyat yang mana yang dimaksud? Sebagai rakyat, kira-kira bersediakah Anda (nanti, jika jadi beroperasi) naik kereta api cepat Jakarta-Bandung dengan membayar tiket seharga Rp 400.000? Wuih, mahal banget? Ya, memang. Mahal banget. Tapi kira-kira harga tiketnya memang pada kisaran angka itu. Ada yang bilang, harga itu normal dan wajar. Bukankah waktu tempuh bisa diperpendek? Jika lewat jalan tol biasa butuh sekitar 2,5 sampai 3 jam Jakarta-Bandung. Kelak, dengan KCJB waktunya kurang dari 40 menit, tepatnya 39 menit. Ok, sepertinya bagus. Tapi Anda belum memasukkan waktu tempuh dari rumah ke stasiun kereta, kan? Tolong hitung ulang dengan lebih teliti ya. Biaya membengkak, lagi Beberapa hari lalu kita baca berita, biaya investasi proyek kereta-api cepat ini membengkak, lagi. Lagi? Iya, lagi. Sebelumnya harga proyek KCJB juga naik US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 27,17 triliun dari proyeksi awal US$ 6,07 miliar menjadi Rp 113,9 triliun. Lalu Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI (Persero) Salusra Wijaya mengatakan, kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) naik sekitar US$ 1,9 miliar. Dalam hitungan rupiah, angkanya mencapai Rp 27 trilliun lebih. Dengan begitu, untuk sementara, nilai investasi proyek superambisius ini telah menyentuh US$ 8 miliar, atau setara Rp 114,24 triliun. Top markotop! Dengan biaya investasi sebesar itu, berapa harga tiket yang harus penumpang bayar? Tergantung dari berapa lama titik impas alias break event point (BEP) mau dicapai? Tentu saja, BEP pun akan sangat dipengaruhi berbagai biaya; mulai biaya pembangunan, biaya operasional (kalau jadi beroperasi), dan biaya lain-lain, termasuk aneka biaya siluman yang selalu saja ada pada setiap proyek. Saya termasuk beruntung ikut hadir pada rapat yang digelar Menko Perekonomian (waktu itu) Darmin Nasution. Hadir antara lain Menko Maritim Rizal Ramli, Menteri/Kepala Bappenas Sofyan A. Djalil, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro, dan sejumlah pejabat eselon satu dan eselon dua lintas kementerian. Rapat yang digelar sekitar pukul 19an WIB di kantor Darmin ini terbilang lumayan penting. Agendanya membahas dua proposal proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Supaya tidak repot, sebelumnya Bappenas sudah menyewa Boston Consulting Grup (BCG) untuk melalukan review atas kedua proposal tersebut. Kepada pejabat Bappenas yang duduk di sebelah, saya bertanya berapa fee BCG untuk pekerjaan ini. “US$ 150.000 untuk review selama dua pekan,” jawabnya. Wow! Menurut BCG, kedua proposal sama-sama punya kelemahan dan keunggulan. Poposal Jepang lebih mahal. Itu karena teknologi yang digunakan bisa dikatakan lebih unggul. Proposal Cina memang lebih murah, tapi tidak ada jaminan bahwa biaya akan berhenti sesuai nilai yang tercantum pada proposal. Singkat kata, BCG menyatakan proyek ini tidak feasible. Tidak layak. Terlalu mahal! Berapa pun tiket yang kelak akan dijual kepada penumpang, tetap tidak akan mampu mengembalikan investasi yang digelontorkan. Mau dijual Rp 100.000 atau Rp 200.000 (rapat digelar pada 2015) tidak akan menutup investasi dan biaya operasionalnya. Bandingkan, misalnya, dengan harga tiket travel Baraya saat itu untuk Jakarta-Bandung hanya Rp 40.000. Saya sempat ngobrol dengan Menko RR soal kedua proposal asal Jepang dan Cina, beberapa hari sebelum rapat di kantor Darmin. Sebagai Menko Maritim, dia sempat menerima perwakilan Jepang dan Cina, tentu saja secara terpisah. Oya, sebagai informasi saja, Kemenko Maritim saat itu mengkoordinasikan empat kementerian. Yaitu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pariwisata. Jadi, jangan heran kalau dia ikut cawe-cawe pada proyek KCJB. Sejak awal RR sudah mengingatkan ‘bahayanya’ menggandeng Cina. “Proposal Cina memang terlihat lebih murah. Tapi, di sana belum dijelaskan bagaimana biaya pembebasan lahan dan kemungkinan terjadinya cost overrun. Siapa yang akan tanggung. Kita mesti hati-hati,” ujarnya waktu itu. Dan, cost overrun alias tambahan biaya yang dikhawatirkan Rizal Ramli pun jadi kenyataan. Bukan hanya sekali, tapi berkali. Hingga akhirnya kita dengar, biayanya membengkak jadi Rp 114,24 triliun. Tidak pakai APBN Saya juga ingat, waktu rapat Menko Rizal Ramli mewanti-wanti bahwa tidak akan ada dana APBN yang disertakan. Menkeu Bambang Brojo bahkan berulang-ulang menyatakan tidak setuju menggunakan APBN, baik sebagian apalagi seluruhnya. Yang seru, Menhub Jonan berkali-kali menyatakan tidak setuju proyek ini. “Jakarta-Bandung sudah dilayani Kereta Parahiyangan. Ada beberapa maskapai yang terbang untuk rute ini. Begitu juga cukup banyak perusahaan travel yang mondar-mandir. Jadi untuk apa lagi kereta api cepat?” tukar Jonan, sengit. Menhub yang satu ini ternyata konsisten dengan sikapnya. Itu dibuktikan dengan ketidakhadirannya pada ground breaking proyek yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Jonan mbalelo? Mungkin saja. Uniknya, Rini malam itu terlihat ngotot. Dia mati-matian berusaha meyakinkan rapat, bahwa proyek kereta api cepat ini sangat penting, dibutuhkan rakyat, akan memperpendek waktu tempuh, bla bla bla... Begitu bernafsunya Rini, sampai-sampai Jonan bertanya, “kenapa ibu Rini begitu semangat?” Kalau tidak salah ingat, dia mengulanginya hingga 2-3 kali. Saya melihat Rizal Ramli senyum-senyum sendiri melihat ‘debat’ Jonan vs Rini. Saya tidak tahu, apa makna senyum-senyum ‘misterius’ tersebut. Namun belakangan, saya baru paham. Rini memang bisa disebut saat itu orang yang paling bertanggungjawab atas proyek ini. Saya katakan “saat itu” karena memang waktu itu belum muncul manusia super bernama Luhut Binsar Pandjaitan. Hehehe... Kalau tidak salah, Sofyan sempat bertanya, jika ternyata kelak konsorsium BUMN sebagai pemilik KCJB tak bisa membayar kewajiban kepada Cina, apa solusinya? Dengan enteng Rini menjawab, kita minta mereka duduk lagi untuk merestrukturisasi utang, termasuk penjadwalan ulang pembayarannya. Sebagai Menteri BUMN Rini Soemarno sempat menyampaikan pujian dan berterimakasih kepada China. Alasannya, Negara Tirai Bambu tersebut mau terlibata dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang digarap oleh PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC). Kembali senyum misterius Rizal Ramli. Juli silam, dia menulis, “Rini Soewandi jangan ngilang dong? Ada berita kick back-nya lho,” kata RR lewat akun Twitter pribadinya @RamliRizal, Sabtu (10/7/2021). Rini memang layak dimintai pertanggungjawabannya atas babak-belur dan ruwetnya proyek kereta api cepat ini. Apalagi, dia pernah bilang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung akan selesai 50% pada 2019 dan rampung pada 2021. Ngomong-ngomong soal kick back, saya pernah berhalusinasi (?). Jika benar ada uang pelumasnya, 1% saja, wuiiihhh.... Biaya awal pembangunan KCJB adalah US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,5 triliun. Jika --ini jika, lho-- ada kick back 1% saja, maka nilainya mencapai Rp865 miliar. Wuidihhh... Berapa kalau 2%, 5% dan seterusnya? Ah, sudahlah. Kalau pun ada, itu kan “rejeki” orang lain. Ganti Jagoan Bagaimana sekarang? Sepertinya KCJB terancam. Seperti bisa, kalau merasa kepepet, Jokowi akan mengeluarkan jurus pamungkas. Menugaskan jagoan andalannya, Luhut Binsar Pandjaitan. Lelaki yang oleh sebagian publik digelari Menko Atasi Segala Urusan (Menko ASU) ini kembali mendapat tugas baru sebagai Ketua Komite Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Surat tugasnya dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. Saya tidak tahu persis, apa pertimbangan Jokowi nekat meneruskan proyek ini. Dia bahkan tak segan-segan menjilat ludah sendiri. Lewat Perpres Nomor 93 Tahun 2021 Jokowi mengizinkan penggunaan dana APBN untuk membiayai KCJB. Padahal sebelumnya dia sudah menyatakan tidak akan menggunakan ABPN. Tapi, untuk urusan mencla-mencle alias tak konsisten, eks tukang mebel asal Solo ini kan memang jagonya. Yang jadi soal kini, apa makna dilibatkannya APBN dalam proyek KCJB? Bukankah review Boston Consulting Grup sejak awal menyatakan proyek ini tidak layak? Tidak ekonomis? Bukankah sebelumnya telah dideklarasikan, bahwa proyek ini murni business to business alias B to B? Hanya antar perusahaan, yaitu konsorisum empat BUMN dan perusahaan Cina? Rakyat harus mensubsidi? Satu hal yang pasti, suntikan APBN ke proyek kereta cepat bakal mengganggu efektivitas APBN bagi pembangunan. Bukankah keputusan Jokowi ini berdampat pada terjadinya pergeseran alokasi anggaran APBN 2022 yang telah ditentukan? Bukankah di saat pandemi, pemerintah fokus dan serius dengan alokasi untuk perlindungan sosial? Belum lagi alokasi anggaran dan belanja rutin lainnya, termasuk pembayaran pokok dan bunga utang. Nah, kira-kira pos anggaran mana yang bakal digeser? Pertanyaan lain, kalau KCJB adalah proyek bisnis, kenapa rakyat yang harus ikut menanggung? Dengan harga tiket minimal Rp 400.000 sekali jalan, siapakah kelak yang bakal menjadi penumpangnya? Rakyat yang mana? Kalangan menengah-atas? Berapa banyak dari mereka yang mau? Bukankah penumpang yang tak punya kendaraan sendiri juga harus membayar ongkos taksi dari dan ke stasiun kereta? Dengan jumlah penumpang yang pasti tidak banyak, sampai kapan titik impas bakal tercapai? Bagaimana jadinya kalau dalam operasionalnya terus dan terus merugi? Bukankah light rail transit (LRT) di Palembang yang babak-belur karena terus-terusan rugi bisa jadi pelajaran berharga? Pertanyaan sederhananya, kenapa proyek ini ngotot dan terus dipaksakan? Bukankah akhirnya jadi beban negara dan rakyat? Sebagai pembayar pajak, apakah Anda rela uangnya digunakan untuk mensubsidi kereta cepat? Kalau saya tidak. Tidaaaak! Tapi sebagai rakyat, kita bisa apa? Protes? Aksi demonstrasi? Emang ngaruh? Sudah bagus kalau tak diciduk dengan dalih melanggar UU ITE. Jokowi memang dikenal sangat ugal-ugalan dalam hal pembangunan infrastruktur. Jalan tol, bandara, dan pelabuhan dibangun dengan serampangan. Entah ada studi kelayakannya atau tidak. Faktanya berbagai proyek tadi akhirnya mubazir. Ada bandara Kertajati yang disulap jadi bengkel pesawat karena sepi penumpang. Ada pelabuhan yang tak punya akses jalan. Ada bendungan yang tak ada saluran irigasi. Atau, kalau pun ada studi kelayakannya, apakah mampu membatalkan syahwat membangun proyek? KCJB adalah contoh yang terang benderang. Boston Consulting Group sejak awal menyatakan proyek ini tidak layak. Tapi kenyataannya kan tetap saja menggelinding. Walau pun makin ke sini makin ngawur dan amburadul. Tapi Jokowi tak peduli dan tidak mau tahu. Dia terus saja sibuk dan membabi-buta mencari utangan. Padahal kalau mau jujur, infrastruktur yang dimaksud itu tak lebih dari bisnis. Bisnis bagi pemilik proyek, bagi RRC yang datang dengan utangan, tenaga kerja, dan bahan baku. Juga, bisnis bagi para pemburu rente. Termasuk bisnis buat pejabat yang getol mempromosikan dan sekaligus jadi makelar proyek. Anda tentu tahu siapa yang saya maksud, kan? (*) *) Wartawan senior FNN
Alumni SKPP Bentuk Komunitas Pengawas Partisipatif
Tanjungpinang, FNN - Badan Pengawas Pemilu Provinsi Kepulauan Riau mengarahkan alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) membentuk komunitas pengawas partisipatif. Anggota Bawaslu Kepri Indrawan di Tanjungpinang, Senin, mengatakan bahwa komunitas pengawas partisipatif kabupaten dan kota sudah terbentuk berdasarkan semangat dan keinginan para alumni SKPP untuk berpartisipasi meningkatkan pengawasan pemilu, ikut menciptakan pemilu yang jujur, adil, bersih dan berkualitas. "Kami mendorong agar program SKPP membuahkan hasil yang positif untuk pemilu. Oleh karena itu, kami mendorong kader atau alumni SKPP memberi kontribusi terhadap peningkatan kualitas pengawasan pemilu dengan membentuk organisasi baru," katanya. Indrawan menegaskan bahwa komunitas pengawas partisipatif bukan organisasi yang berada di bawah Bawaslu. Bawaslu juga tidak mengendalikan organisasi itu, kecuali memberi kontribusi pemikiran kepada para pengurus organisasi itu. Namun, organisasi itu dapat menjadi mitra Bawaslu dalam meningkatkan pengawasan. "Komunitas pengawas partisipatif berdiri independen tanpa intervensi Bawaslu," ujarnya. Indrawan mengemukakan bahw pengurus komunitas pengawas partisipatif sudah terbentuk di tujuh kabupaten/kota di Kepri. Para pengurus juga sudah mempersiapkan anggaran dasar dan rumah tangga untuk kepentingan akta notaris. Setelah terbentuk pengurus kabupaten/kota, dia mengatakan bahwa para pengurus membentuk Komunitas Pengawas Partisipatif Provinsi Kepri. Jumlah kader SKPP yang menjadi pengurus organisasi itu sekitar 300 orang, tersebar di kabupaten/kota. Mereka terdiri atas alumni SKPP gelombang I s.d. III sejak 2018 dilaksanakan oleh Bawaslu RI di Kepri sebanyak 100 orang dan 200 orang lainnya alumni tahun ini. "SKPP tahun ini diselenggarakan Badan Perencanaan Nasional di seluruh Indonesia," ucapnya.(sws)