ALL CATEGORY

Ustaz Bachtiar Nasir Kunjungi Rabithah Alam Islami

Mekah, FNN —Ketua Umum Jalinan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI)  Ustaz Bachtiar Nasir dan Sekretaris Jenderal JATTI, M. Irawan Taqwa mengunjungi Rabithah Alam Islami, di Makkah Al-Mukarramah, Ahad (17/7/2022).   Kunjungan tersebut dilakukan disela-sela kegiatan ibadah haji Ustaz Bachtiar Nasir (UBN) dan Irawan Taqwa. Mereka diterima Wakil Sekjen Rabithah Alam Islami, Dr. Abdurahman bin Abdillah Al-Zaid.  Pertemuan berlangsung hangat dan penuh keakraban. Apalagi Dr. Abdurrahman pernah bertugas di Jami\'ah Islamiyyah Madinah Al-Munawwarah, tempat dimana UBN menyelesaikan kuliah Syari\'ahnya.  Maka tegur sapa di awal pertemuan pun menjadi semacam temu kangen (reuni) antara dosen dan mahasiswanya. Jabatan yang diemban Dr. Abdurrahman pada tahun kelulusan UBN adalah sebagai kepala Biro Penerimaan Mahasiswa.  Kepada Wakil Sekjen Rabithah, UBN mengenalkan JATTI sebagai organisasi yang menghimpun para alumni Timur Tengah. Tidak kurang 17 Jami\'ah dari berbagai negara Timur Tengah bergabung dalam JATTI.  UBN juga menyampaikan kiprah para alumni Timur Tengah yang mendapatkan sambutan di tengah masyarakat. Para alumni terlibat aktif dalam memberikan pencerahan kepada umat. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengelola lembaga pendidikan, pondok pesantren dan ma\'had.  Agenda JATTI Selanjutnya UBN menjelaskan dua agenda utama JATTI. Pertama, bidang pendidikan tinggi, JATTI akan berperan aktif dalam  mencarikan program beasiswa hingga rencana membuat Perguruan Tinggi Islam bertaraf Internasional yang dikelola oleh JATTI. Kedua, di bidang ekonomi JATTI juga mencoba untuk menggali potensi serta mendorong terbangunnya kekuatan ekonomi umat melalui kiprah para alumninya di sektor ekonomi. Membangun sinergi ekonomi umat antar lembaga yang dikelola oleh para Alumni Timur Tengah. Wakil Sekjen Rabithah mengapresiasi kehadiran JATTI sebagai organisasi alumni yang turut menyemarakan syiar dakwah di bumi Indonesia. Dan turut bangga dengan kiprah alumni Timur Tengah di berbagai sektor yang memberikan kontribusi positif bagi umat dan juga bangsa Indonesia.  Dr. Abdurahman bin Abdillah Al-Zaid juga menyambut baik harapan JATTI menjadi organisasi yang tercatat di Rabithah Alam Islami. Sehingga dapat terlibat aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan Rabithah Alam Islami. Ikatan emosional sesama satu almamter Madinah Islamic University tampak sekali dalam obrolan mereka berdua. Wakil Sekjen bahkan menunjukkan kesungguhannya untuk membantu merealisasikan harapan JATTI itu kepada organisasi yang juga dikenal sebagai Liga Dunia Islam dan merupakan lembaga Islam nonpemerintah terbesar di dunia. Rabithah Alam Islami atau Liga Dunia Muslim didirikan pada Dzulhijah 1381 H / Mei 1962 di Makkah, Arab Saudi. Organisasi ini disponsori Raja Arab Saudi Raja Faisal bin Abdulazis. Terpilih sebagai Sekretaris Jenderal pertama Rabithah Alam Islami yaitu Syekh Muhammad Surur. Salah satu aktivitas pertama Liga Dunia Islam saat berdiri adalah mengawasi pembangunan Masjidil Haram.  Saat ini Sekjen terpilih adalah Syaikh Mohammed bin Abdul Karim Al-Issa, yang ketika hari Arafah 9 Dzulhijjah tahun ini menyampaikan khutbah Arafah.  Kunjungan Ketua Umum JATTI bersama Sekjen ke Rabithah Alam Islami ini merupakan kunjungan kerja pertama sejak terpilih pada Munas JATTI yang diselenggarakan pertengahan Juni 2022 lalu di Grand Cempaka Hotel Jakarta.  Turut hadir dalam kunjungan delegasi JATTI tersebut, Imanuddin Kamil, alumni Kulliyyah Da\'wah Islamiyyah Tripoli Libya (Kabid Media JATTI periode lalu) dan Zainurrofiq alumni Al-Azhar Kairo Mesir. (TG)

Istri Jenderal Polisi Merasa Diancam Siapa?

POLISI menembak polisi, yang mati ya polisi. Kejadiannya, di rumah polisi.  Hebatnya lagi, istri jenderal polisi malah minta perlindungan kepada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), bukan ke polisi. Kok ke LPSK? Bukan minta perlindungan ke polisi? Bukankah sebagai seorang istri polisi akan lebih aman, nyaman dan bahagia jika dilindungi polisi. Rakyat biasa saja lebih banyak meminta perlindungan (hukum) ke polisi kok. Betul, istri polisi bernama Putri Candrawati itu telah melaporkan kasus pelecehan yang diduga dilakukan Brigadir Polisi J atau Nofriansyah Joshua Hutabarat, yang sudah tewas dalam peristiwa tembak-menembak (?) dengan polisi itu ke Polres Jakarta Selatan. Laporan tentang dugaan pelecehan, bukan laporan tentang tembak-menembak yang menewaskan sang supir pribadi itu. Keterangan resmi polisi dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), J ditembak karena kepergok melecehkan istri Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo. Atas keterangan pelecehan itu, masih banyak tanda tanya. Sebab, keterangan polisi sebelumnya menyebutkan, Bharada E saat itu bertugas di rumah pejabat Polri itu. Saat bertugas itulah, E mendapati J memasuki rumah dinas yang berada di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. “Bharada E menegur dan saat itu. Yang bersangkutan (Brigadir J) mengacungkan senjata dan kemudian melakukan penembakan. Bharada E menghindar dan membalas tembakan terhadap Brigadir J. Akibat penembakan yang dilakukan Bharada J itu menyebabkan Brigadie J meninggal dunia,\" kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, di Jakarta, Senin, 11 Juli 2022. Menurut Ramadhan, peristiwa tembak-menembak itu terjadi Jum\'at, 8 Juli 2022 pukul 17.00 Joshua adalah supir pribadi sang istri jenderal. Sedangkan E adalah ajudan sang jenderal. Itu juga berdasarkan keterangan resmi dari Mabes Polri. Kembali ke istri jenderal yang meminta perlindungan ke LPSK. Ada apa dengan wanita tersehut? Betul, setiap orang berhak meminta perlindungan ke LPSK. Akan tetapi, seseorang meminta perlindungan dalam kasus saksi atas peristiwa yang dialami atau dilihat sendiri, dan akan mengancam keselamatannya. Minta perlindungan karena korban perkosaan, misalnya bisa dibenarkan, karena khawatir dengan tekanan dari pelaku (yang masih hidup) atau keluarga pelaku. Dalam kasus polisi tembak polisi ini, orang yang diduga melakukan pelecehan sudah dikuburkan. Takut sama siapa lagi? Keluarganya tidak perlu ditakutkan, karena mereka sudah melihat jenazah korban yang penuh penyiksaan. Kalau sang Putri minta perlindungan ke LPSK sebagai saksi, saksi buat siapa? Saksi buat pelaku pembunuhan sadis itukah? Atau saksi-saksian. Masyarakat wajar jika heran dengan peristiwa yang menggemparkan itu. Sebab, semakin hari semakin banyak misteri dalam kasus polisi tembak polisi itu. Apalagi, pihak keluarga Joshua dan pengacaranya bersuara nyaring dan keras atas kepergian orang yang mereka cintai itu. Keteguhan keluarga supaya membuka peti mayat polisi yang dikawal polisi dari Jakarta sampai Jambi itu, akhirnya membongkar banyak kejanggalan di tubuh jenazah J. Ada bekas siksaan dan jahitan yang tidak sesuai dengan keterangan Mabes Polri. Oleh karena itu, pengacara keluarga pun melaporkan tewasnya J ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim Polri), Senin 18 Juli 2022. Kamarudin Simanjuntak yang menjadi kuasa hukum keluarga J sudah terang-terangan menyebutkan J diduga terlebih dahulu disiksa baru ditembak. Siapa yang menyiksa? Tentu semua menunggu hasil tim khusus bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Semua menunggu hasil kerja tim secara jujur, termasuk melakukan kembali autopsi terhadap jenazah J. Hasilnya harus benar-benar bebas dari intervensi siapa pun. Jangan sampai anggota tim masuk angin, karena peristiwa \"tembak-menembak\" sesama anggota Bhayangkara yang penuh kejanggalan itu. Ya, penuh kejanggalan seperti diucapkan Menteri Koordinator Poltitik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. Bahkan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan, “Jangan mengejar tikus atau melindungi tikus lalu rumahnya yang dibakar, terbuka saja. Kan tata cara mengejar tikus itu sudah ada caranya, apalagi polisi sudah profesional,” kata Mahfud. Tentu semua paham apa yang dimakasud mantan Menteri Pertahanan di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu. Maksudnya, jangan merusak institusi Polri hanya karena melindungi seseorang. Nah, anggota tim khusus bekerjalah dengan jujur, sehingga kepercayaan rakyat kepada polisi semakin tinggi. Jangan sampai seperti olok-olok di medos yang menyebutkan, \"Polisi tembak polisi, yang mati CCTV (oleh polisi?). (*)

Megawati Peringatkan Jokowi Agar Indonesia Tidak Seperti Sri Lanka

Catatan Politik Dari Malioboro  “Statement” Megawati membandingkan Indonesia dengan Sri Lanka adalah fenomena terakhir dari sikap dan pandangan Megawati terakhir yang penting untuk dicermati. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle PERINGATAN Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri terkait Indonesia dan Sri Lanka, kemarin, telah membantah tudingan Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan, yakni hanya orang gila yang membandingkan Indonesia dan Sri Lanka dalam hal kemungkinan buruk nasib Indonesia ke depan. Ini bisa jadi soal data, namun bisa jadi juga soal arah politik. Jika ini terkait data, kalangan politik meyakini bahwa Megawati mempunyai akses pada fakta riil perekonomian kita. Sebab, dia, selain mantan Presiden dan Ketua BRIN juga mempunyai kedekatan dengan Kepala Badan Intelijen (BIN) Budi Gunawan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sehingga, pasokan data kepadanya menjadi sangat presisi. Oleh karena itu, pernyataan Megawati yang merupakan “warning” pemerintah untuk berhati-hati agar tidak mengikuti nasib Sri Lanka, sebuah pernyataan berbasis data. Tapi apakah itu soal data? Sebagai politisi paling senior di Indonesia tentu kita bisa melihat perspektif alternatifnya. Ini bukan lagi soal data, melainkan Megawati telah melakukan manuver politik tingkat tinggi, yakni menyamakan “tune” dengan suara kaum oposisi yang telah mengaitkan bobroknya ekonomi dan politik kita itu mirip dengan ekonomi Sri Lanka. Pertama, statemen Megawati ini diberikan hampir bersamaan dengan soal isu penggalangan kepala desa se-Indonesia yang dilakukan di Ancol dua hari lalu. Isunya juga harusnya sama, tentang desa, Megawati berbicara di acara KKN (Kuliah Kerja Nyata) Universitas Pelangka Raya, Kalimantan, sedang rezim Jokowi di hadapan kepala desa. Namun, semua kita tahu bahwa mobilisasi kepala-kepala desa adalah sesuatu yang tidak lazim, mengingat: a) kepala desa adalah institusi paling bawah dalam pemerintahan, di mana jenjang hirarkis bertemu dengan pemerintah pusat berkali-kali sangatlah naif. b) telah terjadi preseden di mana pada pertemuan kepala desa se Indonesia sebelumnya, mereka mendeklarasikan Jokowi 3 periode. c) Gerakan Pro Jokowi di mana-mana masih berpolitik praktis, padahal selama ini semua timses presiden sebelum-sebelumnya membubarkan diri setelah calon presidennya menang. Kedua, Megawati ingin memperkuat spektrum politiknya ke depan, baik koalisi pemikiran maupun jejaring. Selama ini Megawati dipersepsikan membatasi diri atau mengisolasi atau bahkan ditinggalkan parpol koalisinya, sehingga isu yang berkembang Megawati dan partainya menjadi kelompok kecil, alias kelompok pas 20%. Dengan kesamaan “tune” politik dengan “oposisi”, jelas Megawati memperluas spektrum politik. Bagaimana Megawati bisa demikian? Secara historis tentu saja Megawati juga ingin memperlihatkan kembali bahwa Garis Sukarno bukanlah kelompok kecil dalam spektrum politik Indonesia. Ini artinya, dalam komunikasi politik, aliran Bung Karno tidak mungkin diisolasi. Sebab, sejak awal tema perjuangan ideologis Bung Karno itu adalah politik kebangsaan alias persatuan nasional. Sehingga, membandingkan dengan Airlangga Hartarto dengan poros KIB nya, atau Surya Paloh dengan manuver 3 kandidat Capres atau Jokowi yang ingin menunggangi kepresidenannya untuk terus bertahan atau mengarahkan, itu menjadi kecil jika Megawati sudah pada tahap mengepakkan sayapnya kembali. Memang tentu saja sikap canda Megawati soal ”Tukang Bakso” dan “Minyak Goreng” menjadi “big questions”. Apakah canda itu mempunyai maksud terselubung? Sebab, di era beberapa dekade yang lalu, “Mie Bakso” itu identik dengan produk bukan asli Indonesia. Begitu juga monopoli minyak goreng yang saat ini mayoritas dikuasai orang-orang keturunan. Jika makna canda itu mengarah pada nasionalisme kaum Marhaen, maka kita dapat menganalisis jalan pikiran Megawati lebih jauh lagi. Karena, sejarah hanya pernah mencatat sekali saja, yakni ketika Sukarno berkuasa, hanya Sukarno-lah presiden yang mengutamakan kaum Pribumi dengan politik Benteng serta pembatasan wilayah dagang kaum keturunan. Statement Megawati membandingkan Indonesia dengan Sri Lanka adalah fenomena terakhir dari sikap dan pandangan Megawati terakhir yang penting untuk dicermati. Di Indonesia ini hanya ada dua partai idelogis, PDIP dan PKS. Mencari persekongkolan ideologis berikutnya hanya mungkin dilakukan Megawati kepada kaum oposisi. Jika di akhir masa usianya Megawati kembali kepada jejak perjuangan bapaknya, maka Persatuan Nasional dan Keadilan Sosial akan lebih mudah tercapai, sebuah perjuangan rakyat semesta. (*)

Jeruk Makan Jeruk

Oleh Sugeng Waras - Purnawirawan TNI AD  Kita semua harus paham, sadar dan cerdas bahwa saat ini situasi dan kondisi negara sedang terjadi persaingan cipta kondisi yang dilakukan oleh beberapa gelintir tokoh. Mereka merasa dirinya mampu maju dan berlaga di palagan Capres 2024. Dengan berbagai akal bulus yang dikemas dengan pemberian gratis berupa jabatan, uang recehan, kostum atau seragam golongan tertentu sebagai iming-iming untuk memperoleh simpati dan kepercayaan. Martabak itu enak, tidak ada makan siang gratis, badak betempur dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Itulah gambaran singkat tentang potret Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini. Jangan diartikan kesatuan sebagai kesatuan fisik berupa pulau besar dan ribuan bahkan puluhan ribu pulau pulau kecil belaka, karena bisa disalahkan oleh USA yang memang ujud negaranya nyaris berbentuk suatu pulau besar dan layak disebut United. Bahwa Indonesia adalah negara yang berbentuk kepulauan (archipilago) adalah negara yang kaya bangsa bangsa besar dan kecil, budaya, flora dan fauna baik diatas bumi serta kekayaan sumber daya alam di dalamnya. Itulah sebenarnya latar belakang dan motif yang meminatkan bangsa bangsa lain kepincut dan tertarik dengan Indonesia yang indah permai dan kaya raya bagi siapapun yang mampu mengelolanya. Namun semuanya hanya menjadi mala petaka bagi yang salah membawa, menjaga, memimpin, membangun, mengelola, membela dan memeliharanya. Contoh nyata adalah rezim sekarang! Rezim yang dipimpin  Presiden Joko Widodo beserta para menteri dan badan badan/lembaga lembaga tinggi negara seperti DPR, DPD, MPR, MK dan MA, yang sadar atau tidak sadar di bawah cengkeraman Oligarki, yang tidak paham bahwa makna KESATUAN dalam NKRI tidak hanya menyatukan fisik Kepulauan besar dan kecil semata, namun lebih utama kesatuan dalam arti KESATUAN atau MENYATUKAN JIWA RAGA yang bersatu, berdaulat, beradab dan bermartabat yang berkeadilan dan berkemakmuran, ayem tentrem kerto tur raharjo. Sekali lagi ini makna hakiki yang tidak dipahami oleh pemerintah tak terkecuali sebagian rakyat dan bangsa Indonesia. Allahu Akbar ! Alkah Maha besar ! Kita harus yakin manusia sebatas merencanakan, Tuhanlah yang memutuskan. Manusia punya skenario, Tuhan juga mempunyai skenario yang lebih besar dan luas yang tidak akan mampu dan bisa ditandingi manusia. Kejadian polisi menembak polisi yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo, isteri, sopir,  ajudan dan lain lain bisa kita katakan  jeruk makan jeruk ...kenapa? Sebagai akibat hukum atau undang-undang dan peraturan yang berimpiklasi Polisi sebagai penyidik tunggal menjadikan hilir hingga hulu larinya ke polisi, bahkan posisi dan kedudukan polisi di negara ini menjadi sangat hebat di mana TNI jauh, bak anak dan cucu, padahal keduanya mempunyai keseimbangan peran, fungsi dan tugas pokok terhadap negara. Oleh karenanya, siapapun presidenya bersegeralah mensetarakan kedudukan ini, jangan ditunda-tunda karena ini akan berpengaruh besar baik secara internal maupun eksternal TNI POLRI. Lebih saya kerucutkan kepada kepolisian. Selayaknya saya kembali mengulangi dan mengingatkan tentang Doktrin Polisi Tri Brata dan Catur Prasetya Polri perlu dievaluasi dan disempurnakan karena masih terkesan tidak lengkap dan tidak terukur secara subtansial. Tengoklah Tri Brata yang tidak menyuratkan Kejujuran serta Catur Prasetya yang tidak terukur dan tidak mungkin mampu dilakukan oleh seorang Bhayangkara negara. Maka tidak menyalahkan kepada masyarakat kebanyakan yang menelusur kembali dan mengait-kaitkan peristiwa  Ferdy Sambo yang justru mengepung rumah dan menyandra HP orang tua  Brigade J yang justru menjadi korban atau kena musibah.Penjelasan atau keterangan kepolisian yang berubah ubah, janggal, sulit diterima dan lucu. Layak disadari dan dipahami ketidakadilan penanganan perkara dan proses hukum dalam kasus kasus kerumunan yang dilakukan HRS, Munarman, HBS, Jokowi, anak Jokowi, para koruptor kakap, para buzzer dan influencer yang terkesan pandang bulu, keberpihakan dan tidak adil. Hendaknya dibenahi baik secara mental maupun atitude Polri yang tidak tepat dan keberpihakan dalam penanganan dan penyelesaian perkara. Tidak ada gading yang tidak retak, bagaimanapun kepolisian tetap menjadi harapan, tumpuan dan kebanggaan rakyat Indonesia. Sadar, evaluasi dan benahi institusi polsi demi bangsa dan negara Indonesia. Wait and See...! ( Bandung, 18 Juli 2022, Sugengwaras, pemerhati Pertahanan dan Keamanan NKRI )

Jiwa Juang Kita (1)

Oleh Ridwan Saidi Budayawan  CABE kini, dan esok 19/7/2022, lahir didorong rasa pilu membaca pernyataan seorang professor dari almamater saya yang undervalued semangat juang generasi bangsa yang gandrung perubahan, dan dibandingkannya pula dengan Srilanka. Saya ingat lagu tahun 1960-an: Pilu rasa hatiku Karena kecerdasan pergi jau Suatu malam tahun 1980-an di sebuah warung sate Tenabang, Machbub Djunaidi berkata, \"Wan, jaman revolusi gue belum balegh, gue bingung orang tua gue ngajak ngungsi ke Solo. Ngapain ngungsi?  Januari 1946 Jakarta diduduki lagi Belanda, Machbub  kemudian prakira 600 ribu orang Jakarta mengungsi. Berbanding total populasi Batavia en Ommelanden (sekitar) sensus 1930 yang 1.8 juta, dan native Betawi 60%. 600. 000 pengungsi itu banyak.  Rumah keluarga besar harus ada 1 unit keluarga yang jaga. Keluarga ayah jaga rumah. Orang-orang Betawi itu mengungsi a.l ke Bandung, Sukabumi, Purworejo, dan Solo. Mereka ditampung keluarga Betawi yang sudah menjadi warga setempat. Percakapan saya kemudian dengan keluarga yang mengungsi tentang alasan mengungsi, Kita gak mau dijajah lagi Kok musti mengungsi?  Kita gak suka sekota lagi sama penjajah. Dialog ini geestelijk menyentuh. Ini soal jiwa. Seorang profesor yang telah bersenyawa dengan pustaka, mungkin sulit menjiwai perasaan orang yang inginkan perubahan. Mereka yang mengungsi itu banyak yang tinggalkan pekerjaan, bahkan sampai tiga tahun. Pengungsi kembali Jakarta tahun 1949. Saya tidak mengerti bagaimana ekonomi mereka di masa pengungsian, dan bagaimana pula dengan keluarga yang menampung. Ini tidak akan terjadi tanpa jiwa juang. Jiwa juang = n. Tak terkira untuk membangun Indonesia kembali. Pintar itu soal raport dan diploma. Kecerdasan, kata Subchan ZE eks Wakil Ketua  MPRS, adalah soal himmah ilmu. \"Apa Mas himmah ilmu?\", tanyaku.  \"Ridwan, definisi tak selalu verba, tapi empirisme,\" jawab Subchan. (RSaidi).

Revolusi Akan Muncul Pada Saatnya

Kekuatan revolusi adalah bukan hanya mahasiswa tetapi lebih dominan oleh kaum buruh, pekerja, tani sebagai sokoguru kekuatan pokok revolusi. Sebagai pihak yang paling menderita selama ini. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih KALAU negara sudah menjadi anarchis - semua harus dibabad dulu - ganti yang baru (Plato). Terhadap kekuasaan yang telah berubah menjadi tirani dan otoriter tidak boleh ada kompromi dan tidak boleh ada jalan tengah. Rakyat bisa dihancurkan, tapi tidak bisa dikalahkan (Ernest Hemingway). A Prince whose character is thus marked by every act which may define a Tyrant, is unfit to be the ruler of a free people. (Seorang Pangeran yang karakternya ditandai oleh setiap tindakan yang dapat mendefinisikan seorang Tiran, tidak layak untuk menjadi penguasa rakyat bebas). Sinyal di atas sudah mulai muncul di Indonesia, sebagai pemantik munculnya people power atau revolusi. Munculnya revolusi itu tidak bisa dipercepat atau diperlambat. Kemunculan revolusinya tidak bisa dilepaskan dengan tahap perkembangan masyarakat dan hubungannya dengan sifat, sikap, kelola dan kebijakan penguasa. Pada kematangan nanti bahwa penguasa sudah full sebagai lawan masyarakat (rakyat) akibat penguasa tirani yang sewenang wenang dengan rakyat, embrio revolusi akan mulai terbentuk secara alami. Kawan dan lawan mulai terpetakan, rakyat sudah memposisikan diri sebagai lawan penguasa karena sikap penguasa yang selalu otoriter, tidak lagi mau mendengarkan suara rakyat. Tanda-tanda munculnya revolusi sudah dekat. Revolusi rakyat pada hakekatnya bukan hanya kemauan rakyat tetapi juga kelompok elit penguasapun mulai pecah dan gelisah, ini termasuk angkatan bersenjata mulai risau pada saat yang tepat pasti akan menyatu dengan rakyat, sebagai pemilik kedaulatan negara yang sah. Ketika rakyat diperlulakan sebagai budak, dihisap, dikekang kebebasannya, dan begitu mudah rakyat ditangkap hanya karena kritik atau beda pendapat dengan penguasa. Pada saat yang bersamaan akan muncul aturan, penguasa melahirkan UU tentang resiko penghinaan kepada penguasa sebagai alat atau legitimasi menangkap dan memenjarakan siapapun yang dikehendaki oleh penguasa. Musyawarah dengan penguasa tertutup, maka saat itulah muncul pilihan  diam disiksa atau melawan keluar dari penindasan. Hidup atau mati akan menggema sebagai slogan perlawanan. Gelombang revolusi pasti berupa kekuatan rakyat akan menjebol penguasa tirani, maka resikonya huru-hara, dan sangat besar kemungkinan jatuhnya korban yang mati. Revolusi tidak akan lahir tanpa munculnya pimpinan atau tokoh besar sebagai magnet pergerakan, negarawan, berpandangan jauh ke depan, dan memiliki kemampuan memimpin Revolusi sampai tuntas. Kekuatan revolusi adalah bukan hanya mahasiswa tetapi lebih dominan oleh kaum buruh, pekerja, tani sebagai sokoguru kekuatan pokok revolusi. Sebagai pihak yang paling menderita selama ini. Jadi, selama civil society terus dilemahkan, masyarakat dibelah, organisasi rakyat dibeli, mahasiswa dan akademisi dibungkam, spirit demokrasi dikerdilkan dengan cara memanipulasi kesadaran dan membunuh keberanian rakyat, di saat itulah revolusi akan menemukan momentumnya. Terlihat gejala reformasi yang akan muncul di Indonesia adalah tuntutan negara kembali ke rel konstitusi UUD 1945 asli dan Pancasila, setelah sekian dekade UUD ‘45 asli diubah oleh proses amandemen yang ugal-ugalan atas pesanan kekuatan luar yang sangat besar. Prof. Kaelan UGM mengatakan bahwa “elite penguasa telah memurtadkan bangsa ini dari Pancasila”. Adalah hak rakyat untuk mengubah atau menghentikan pemerintahan tirani, dan mengganti dengan pemerintahan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Karena, karakter pemimpin tirani tidak bisa diterima untuk memimpin bangsa yang merdeka. (*)

Selamat Datang Bapak dan Ibu Haji

Oleh M. Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Jamaah haji berangsur-angsur mulai kembali ke tanah air setelah berjuang keras melaksanakan ibadah memenuhi rukun Islam kelima di tanah suci. Do\'a sambutannya adalah semoga makbul dan mabrur. Dikabul segala permohonan kepada Allah SWT dan hajinya bermakna bagi kebaikan hidup di dunia dan akherat. Surga balasan-Nya.  Haji sebagai tahapan peningkatan keimanan dan kemusliman seseorang tentu harus mampu memperbaiki kekurangan dalam hal akidah dan ibadah kepada Allah. Akhlakul karimah. Perbuatan atau kebiasaan buruk yang dikerjakan sebelum berhaji kini hilang atau berubah. Bukti dari dosa-dosa yang telah diampuni.  Amal shaleh yang mungkin minim pada awalnya sepulang haji tentu lebih banyak dan lebih bermutu. Umat bahagia atas kehadiran haji-haji baru yang memberi manfaat pada tetangga dan lingkungan masyarakat. Bapak dan ibu haji yang bersiap menjadi pahlawan lingkungan serta gemar berkorban demi kemashlahatan.  Di samping hal di atas ada catatan penting yang dapat menjadi perhatian para \"alumni\" Tanah Suci sebagaimana yang tertuang dalam ayat Qur\'an Surat At Taubah 19 : \"Apakah yang memberi minum orang berhaji dan memakmurkan Masjidil Haram kamu samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berjihad di jalan Allah ? Mereka tidak sama di sisi Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim\". Amal memberi bantuan pada yang berhaji dan mengurus atau memakmurkan Masjidil Haram ternyata tidak cukup jika tidak dikaitkan dengan amal besar lain di sisi Allah yaitu Iman kepada Allah dan hari akhir serta jihad di jalan Allah. Keimanan tinggi kepada Allah dan meyakini bahwa hidup hakiki adalah nanti. Dengan segala ketetapan dan penghakiman-Nya.  Jihad adalah tuntutan amal tinggi bagi yang telah berhaji. Jihad di jalan Allah dalam segala bentuknya. Mengembangksn sungguh-sungguh agama, membela atas serangan dan penistaan, serta membangun barisan perjuangan yang kokoh. Mendamaikan perselisihan dan menjalin persaudaraan. Persaudaraan adalah tonggak kekuatan.  Haji yang berjihad siap membantu gerakan untuk menangkal Islamophobia. Islamophobia sebagai kebodohan, kezaliman, kemunafikan dan kekufuran. Islam yang rahmatan lil \'alamin difitnah negatif dan dibuat sebagai hantu yang menakutkan. Khas skenario jahat musuh-musuh Islam.  Di masa penjajahan dahulu sepulang ibadah, para haji bergabung dalam kelompok-kelompok perjuangan kemerdekaan. Mereka mendirikan organisasi keagamaan, pendidikan, dan politik. Muncul kesadaran akan perlunya membuktikan kembabruran haji melalui amal nyata dan mendesak yang sangat dibutuhkan rakyat dan bangsa.  Ayo para haji yang telah Allah beri kemampuan rizki, tenaga, dan kesempatan untuk segera berlomba-lomba berbuat baik di tanah air. Bangsa dan negara membutuhkan partisipasi dan kontribusi para haji untuk membangun dan membereskan negeri. Negeri yang nyatanya sedang dikuasai oleh kaum tirani dan oligarki.  Selamat datang kembali bapa dan ibu haji di tanah air. Makbul dan mabrur. Semoga Allah SWT memberkahi ibadah haji bapa dan ibu. Mabruk. Aamiin Yaa Mujibas Sailiin.  Bandung, 17 Juli 2022

Antara Sri Mulyani dan Sri Lanka Hanya Perlu Satu Langkah

KONDISI ekonomi Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Sri Lanka. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah memberi sinyal terkait dengan keadaan ekonomi Indonesia. Atas krisis ekonomi dan politik berkepanjangan, akhirnya Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri, kemudian Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dilantik sebagai Plt Presiden atau pelaksana tugas presiden pada Jumat (15/7/2022). Wickremesinghe menggantikan Gotabaya Rajapaksa, Presiden Sri Lanka yang melarikan diri ke Maladewa kemudian Singapura. Sama seperti Gotabaya, Ranil Wickremesinghe juga didesak mundur oleh massa atas krisis Sri Lanka bangkrut. Akankah krisis Sri Lanka itu bisa merembet ke Indonesia? Wartawan senior FNN Hersubeno Arief membahasnya bersama pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Sabtu (16/7/2022). Petikannya: Dalam konten sebelumnya Anda membahas soal bahwa secara semantik Sri Mulyani dan Sri Lanka itu berdekatan. Tetapi, saya kira meskipun Anda bercanda, saya perhatikan Anda ini candanya nggak sekedar bercanda, ini ada soal yang serius saya kira. Iya, kan dalam sejarah ada yang disebut continous effect atau efek rumah kartu. Ya, betul dalam sejarah perubahan politik selalu disebut efek domino atau efek rumah kartu atau continous effect bahwa kesulitan di satu wilayah itu selalu berbekas pada ingatan publik di wilayah yang dekat. Sehingga, sebetulnya walaupun Indonesia mengatakan bahwa kami lebih bagus dari Sri Lanka, iya tapi kondisi-kondisi yang lain itu memang mirip dengan Sri Langka. Rajapaksa itu kan stabil betul politiknya karena dukungan mayoritas. Dia bahkan lebih mayoritas dari Jokowi. Toh, di ujungnya seluruh rakyat itu akhirnya minta dia turun dan bukan cuma dia yang diminta turun, orang yang harusnya menggantikannya pun diminta untuk turun. Jadi, satu paket politik itu ganti seluruh rezim. Itu sebetulnya yang saya membayangkan menteri-menteri apa nggak merasa bakal di-Sri Lanka-kan. Demikian juga Pak Jokowi. Sangat mungkin itu Rajapaksa itu ketemu dengan Pak Jokowi (di) Singapura. Bisa jadi kan? Jadi hal-hal yang semacam ini tetap kita bayangkan hal yang paling buruk, karena ada bara sosial yang betul-betul ditahan-tahan dalam masyarakat kita. Bayangkan misalnya seluruh kebijakan Jokowi itu berantakan. Apa yang disebut sebagai proyek harapan itu enggak ada. Indeks demokrasi memburuk, nanti ada disebut bahwa “saya baca pada kepemimpinan Pak Jokowi orang miskin berkurang”. Oh iya, pasti orang miskin berkurang. Tetapi disparitasnya tinggi. Itu intinya kan? Apalagi dianggap bahwa Bapak Jokowi berhasil turunkan orang miskin. Kan musti dibikin perbandingan dengan presiden sebelumnya. SBY mengurangi orang miskin 20%; Jokowi mengurangi orang miskin 20%; Itu bagaimana logikanya? Jadi tetap kemiskinan itu ada dan bukan sekedar di dalam perbandingan tapi secara riil, disparitas itu yang lebih penting untuk dihitung. Bukan sekadar jumlah orang miskin. Jumlah orang miskin banyak juga orang miskin yang hanya dipelihara oleh keluarganya. Tetapi disparitas naik terus. Jadi, ini yang sebetulnya paralel dengan apa yang terjadi di Sri Lanka. Kenaikan harga-harga, hutang yang akhirnya tidak bisa dibayar. Itu penyebab utamanya. Tapi, bagi rakyat Sri Lanka, yang dilihat adalah kebusukan politik. Dan kebusukan politik itu juga sama dengan yang di kita. Soal minyak goreng itu kebusukan politik. Soal macam-macam yang kita sering bahas bahwa kita punya kelebihan uang tapi nggak mau dibagi pada rakyat. Padahal, itu hasil dari bumi Indonesia, dari bumi kita yang diekspor. Tapi itu nggak kembali ke kita kan, ke rakyat. Jadi, paralel memang keadaan Sri Lanka dan keadaan di Sri Mulyani. Eh, sorry. Mungkin ini perlu saya update ya mengapa kita bicarakan ini, karena situasi pemburukan itu ternyata tidak hanya terjadi di kawasan Asia, karena kalau Sri Lanka ini kan Asia Selatan, kita Asia Tenggara berdekatan gitu. Tapi kan kita membaca krisis-krisis politik pemerintahan di nun jauh sana di Amerika, di Benua Amerika ya. Maksud saya ada Argentina yang menteri keuangannya mundur, kemudian kemarin Boris Johnson yang ledek-ledekan dengan Putin soal G20, ternyata dia lebih duluan mundur sehingga dipastikan dia tidak akan muncul di G20. Kemudian Mario Draghi dari Italia yang kemarin bilang bahwa dia dapat info dari Pak Jokowi bahwa Pak Putin tidak akan datang. Eh ternyata sekarang malah Mario Draghi sendiri tidak akan datang karena pemerintahannya juga jatuh. Nah, sekarang Rajapaksa itu kenapa menjadi semakin mendekat ke Indonesia karena dia terbang lari ke Singapura, mencari suaka di Singapura. Katanya begitu. Jadi ini menurut saya memang semacam warning saja bagi pemerintahan karena efek domino yang sudah semacam hukum besi dalam sejarah. Iya betul. Dan, yang lebih bahaya, ada psikologi publik. Jadi publik justru menunggu hal yang paralel itu terjadi di Indonesia. Lain kalau betul-betul pemerintah punya selain social safety net, juga ada semacam psychological safety net. Jadi, daya tahan psikoligis kita hilang sehingga seperti kasus polisi tembak polisi tiba-tiba menjadi viral dan semua orang menganggap bahwa ini masih ditransparankan. Nah, hal yang sama juga bisa pindah pada soal ekonomi itu. Semuanya musti transparan. Mana yang disebut sebagai oligarki? Mana janji Pak Jokowi? Dia akan memimpin sendiri upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi, terutama pangan dan energi. Itu nggak terjadi itu. Jadi, sebetulnya kalau kita melihat statistik makronya itu, ya di atas kertas masih rezim ini mengatakan, ya kami nggak seburuk Sri Lanka. Ya memang, tapi psikologinya sebetulnya sudah ketakutan. Tidak seburuk, artinya memang buruk juga tuh. Tinggal dua tiga langkah yang ngaco itu bisa jadi lebih buruk dari Sri Lanka. Jadi benar, continous effect itu, efek yang menular itu, terutama akan terjadi karena psikologi. Peristiwa ‘98 tersebut sebetulnya juga karena psikologi kan? Hal yang memang sebetulnya masih bisa diatasi, tapi karena publik sudah merasa wah Indonesia bahaya ini, ini bangsa yang berbahaya, pemerintah nggak bisa lagi dipercaya. Demikian juga 2008 itu, itu yang selalu disebut banjir psikologi manusia itu mendahului realitasnya. Jadi, kalau dibilang ekonomi memburuk itu secara psikologis manusia atau rakyat itu berupaya untuk memahami. Tapi pemahaman dia artinya nggak ada lagi harapan. Jadi sekali lagi, kalau sinyal harapan itu nggak ada maka pemburukan ekonomi itu justru akan lebih cepat dari perkiraan para ekonom, karena ini soal psikologi sosial. Saya kira ini Bu Sri Mulyani harus masuk ke wilayah itu, tidak lagi bicara soal angka-angka. Karena angka-angka itu sebenarnya kemudian bisa jadi kalau dari psikologi publik sudah berbeda menangkapnya itu yang ditangkap juga berbeda maksudnya. Jangan-jangan publik sekarang sudah memakai ilmu memahami Pak Jokowi untuk memahami Ibu Sri Mulyani. Jadi kalau Bu Sri Mulyani menyatakan aman, berarti itu tidak aman. Saya kira semuanya ini kesulitan untuk menerangkan keadaan, terutama dia musti membayangkan kebijakan Washington, World Bank, dan segala macam itu tetap diperlukan untuk menjadi sinyal kebijakan yang akan diambil. Kan enggak pernah Indonesia itu keluar dari semacam sinyal World Bank, IMF, ya itu kesulitannya. Tetapi, sinyal Sri Mulyani justru menerangkan bahwa kita memang sudah buruk, bersiap-siap untuk inflasi, bersiap-siap untuk menghadapi hal yang mungkin terjadi seperti diserang. Dan itu sudah diucapkan Sri Mulyani. Dan  kejujuran Sri Mulyani itu tidak diimbangi dengan kematangan etisnya. Kalau dia secara etis merasa bahwa kita harus menghadapi seperti Sri Lanka  itu artinya dia gagal untuk mempertahankan kebijakan fiskal yang masuk akal. Dia justru musti ikuti perdana menteri Inggris, PM Italia, atau rekannya di Argentina yang mengundurkan diri. Jadi, Ibu Sri Mulyani sebaiknya mengundurkan diri supaya orang merasa oke Sri Mulyani itu tahu keadaan. Karena itu dia perlihatkan pada publik bahwa memang Indonesia ada dalam kerapuhan, supaya adat semangat baru untuk memperbaiki kebijakan. Kenapa takut untuk mengatakan saya gagal, selesai kan? Dan Pak Jokowi juga mungkin merasa bahwa dia perlu sinyal jujur dari Sri Mulyani. Tetapi, sinyal jujur itu nggak bisa terungkap karena saya membayangkan bagaimana Sri Mulyani berdiskusi dengan Pak Jokowi tentang keadaan. Pak Jokowi nggak punya perasaan bahwa ada krisis karena dianggap bahwa nanti (bakalan) ada bigdata yang menyelamatkan dia. Nanti ada relawan yang masih akan mendukung dia. Nanti koalisi di DPR yang mendukung dia masih kuat, masih 80%. Ya itu sebetulnya palsu. Karena itu soal politik. Padahal di dasar politik terjadi kesulitan ekonomi. Kesulitan ekonomi selalu akan mendikte politik. Itu rumusnya di mana-mana. (Ida/mth)

Membunuh Kebenaran

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Kehidupan dunia memang tak memberi kemewahan pada yang menjaga kebenaran. Rasionalitas kerapkali menjadi alasan untuk memburu dan menikmati kesenangan. Persfektif hidup, melulu  dilakukan berorientasi materi demi  menjadi milik dan aset yang membanggakan.* *Bukan hanya ketidakadilan, bahkan dalam berpikir saja sudah menghadirkan keonaran, membiarkan kejahatan menyembelih kebenaran. Kadang banyak yang lupa bahwasanya disebut manusia jika hidupnya  memberi manfaat. Kata-kata dan perilaku  menjadi begitu terhormat dalam pandangan khalayak, meski  memiliki jiwa yang tersesat. Bangga pada status sosial dan harga diri yang berujung dipenjara oleh ambisi yang melekat. Harta, wanita dan jabatan terlalu kesohor meskipun kegilaan padanya rentan  membawa mudharat. Orang suci terlalu terhina karena hidup compang-camping dan miskin. Orang kaya begitu dimuliakan karena terbiasa mampu membeli semua, penuh percaya diri dan begitu yakin. Rakyat jelata memang hanya bisa pasrah, meskipun kata sehat dan selamat hanya bisa  diperoleh dari vaksin. Layaknya perang yang berkobar, menimbulkan kontroversi dan polemik internasional hanya  karena kebijakan seorang Putin. Kekuasaan memang tak akan pernah diwariskan pada kaum yang lemah dan tak berdaya. Rakyat hanya diciptakan Tuhan sebatas memelihara asa.  Pancasila, UUD 1945 dan NKRI seakan fana bahkan cenderung lebih terasa sebagai maksiat bagi bangsa. Begitu mudahnya dimanfaatkan secara terstruktur, sistematik, dan masif sebagai alat efektif bagi rezim untuk membunuh  kebenaran  di Indonesia. Munjul-Cibubur 17 Juli 2022.

Jika Mahkamah Konstitusi Penjaga Tirani Kekuasaan: Layakkah Dibubarkan?

Namun sebaik-baik mekanisme yang dibuat, jika demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menaungi, maka menjadi peluang bagi siapa pun yang berkuasa, termasuk hakim MK, untuk bertindak SSK (suka-suka kami). Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo I. PENGANTAR Tagar #WajibBubarkanMK menjadi trending topic di Twitter setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak belasan permohonan judicial review (JR) atau uji materi soal presidential threshold (PT) alias ambang batas pencalonan presiden 20% menjadi 0%. Sejumlah warganet dan tokoh menyoroti hal tersebut. Menurut Helmi Felis (pegiat media sosial), tagar ini merupakan strong message rakyat, wujud penegasan bahwa rakyat menghendaki MK dibubarkan. Bahkan masyarakat tak lagi memohon tapi memerintahkan rezim agar MK dibubarkan (wartaekonomi.co.id, 13/7/2022).  Kekeuh-nya MK meski telah digugat belasan kali memicu kecurigaan sebagian kalangan bahwa rezim saat ini diduga dikendalikan oleh oligarki. Ketua DPD RI, A.A. LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai, penolakan MK atas gugatan atas Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang PT 20% berarti MK sengaja memberi ruang kepada oligarki ekonomi untuk menyandera dan mengendalikan negara ini berpihak dan memihak kepentingan mereka. Sehingga sudah sepantasnya MK dibubarkan karena tak lagi menjaga negara dari kerusakan akibat produk perundangan yang merugikan rakyat dan menyebabkan kemiskinan struktural di negeri ini (pontas.id, 5/6/2022) Sebelumnya, Mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli menyebut pembubaran MK perlu dipertimbangkan setelah masa jabatan Presiden Joko Widodo berakhir. Pasalnya, MK tak lagi mampu menegakkan konstitusi. Bahkan justru menjadi penjaga tirani kekuasaan (fajar.co.id, 13/5/2022).  Jika MK tak lagi sebagai penjaga konstitusi (constitution guardian) tetapi telah berubah menjadi penjaga rezim dan lingkarannya, dus kemudian untuk apa dipertahankan? MK yang sebelumnya digadang-gadang sebagai pengawal konsep demokrasi pun realitasnya justru terbelenggu oleh oligarki. Pernyataan Peneliti MK, Nallom Kurniawan bahwa Indonesia adalah negeri demokrasi terbesar di dunia (detik.com, 10/10/2019) nampaknya tak relevan lagi. Tak dipungkiri, oligarki menjadi gaya rezim memerintah saat ini. Tepat bila Jefrey Winters menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia telah dikuasai oleh kelompok oligarki. Akibatnya sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya. Jadi sejatinya, hari ini negeri ini menganut demokrasi atau oligarki? Sampai kapan bangsa ini bertahan mengatakan bahwa demokrasi adalah harga mati? II. PERMASALAHAN Untuk menyelisik di balik seruan bubarkan MK, penulis mengajukan rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa pegiat HAM dan demokrasi merasa kecewa atas beberapa putusan MK terkait PT 20%? 2. Bagaimana dampak putusan MK yang dinilai menyimpangi tugas utamanya sebagai constitution guardian (penjaga konstitusi) terhadap marwah hakim dan kelembagaan MK? 3. Bagaimana solusi untuk menjaga marwah hakim dan kelembagaan MK sehingga tidak kehilangan orientasi dalam menjaga konstitusi? III. PEMBAHASAN A. Tak Lagi Penjaga Konstitusi, MK Menjadi Penjaga Rezim dan Oligarki Kini, para pegiat demokrasi dan HAM di negeri ini menggaungkan narasi bubarkan MK. Mereka melihat MK bukan lagi sebagai penjaga konstitusi tetapi telah berubah menjadi penjaga rezim dan oligarkinya. Mereka kecewa atas puluhan putusan MK yang menolak tuntutan pembatalan Pasal 222 UU Pemilu terkait PT 20%. Putusan MK sangat klasik, konvensional, dan cenderung menggunakan mantra hukum modern dengan dalil black letter law. Putusannya berputar dari tiga opsi: (1) NO (Niet Ontvankelijke Verklaard yang merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil), (2) tidak punya legal standing, (3) alasan open legal policy. Atas ketidakpuasan terhadap putusan yang berulang kali sama tersebut, para pencari keadilan akhirnya tidak percaya kepada majelis hakim MK bahkan menuntut agar MK dibubarkan. Rakyat masih ingat atas sikap MK yang menolak permohonan judicial review Perppu Ormas, disusul kekecewaan rakyat terhadap putusan MK tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, dan kini putusan MK menolak tuntutan atas pembatalan Pasal 222 UU Pemilu terkait PT 20%. Kita perlu prihatin karena terkesan MK telah kehilangan marwah, karena para hakim MK bertindak seperti hakim biasa yang tidak mau bahkan takut melakukan terobosan hukum bahkan terkungkung oleh bunyi-bunyi mantra peraturan yang jika diterapkan tidak akan menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people). Hukum sering menjadi sebuah mantra ajaib dapat dipakai oleh penguasa sebagai sarana melanggengkan kekuasaannya (status quo). Mantra ini bisa mengoyak siapa pun penghalang yang menghadang kekuasaan. Dengan dalih atas nama hukum, semua mulut yang terbuka bisa dibungkam, tangan yang membentang bisa diringkus, dan langkah kaki pun bisa dihentikan. Hukum dipakai sebagai tameng kekuasaan yang biasa disebut alat legitimasi kekuasaan. Oleh Brian Z. Tamanaha disebut sebagai the thinnest rule of law (ROL). Mantra ROL paling tipis ini akan lebih dahsyat ketika diilhami oleh ideologi yang diklaim sebagai sosok mulia laksana berhala yang hendak disembah-sembah lantaran dianggap sebagai kalimah suci yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Ideologi suci dan mantra ROL telah berkolaborasi menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. Akhirnya, misi negara hukum menjelma sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama black letter law. Bukan pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill), dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam human right dignity. Lompatan raksasa dari misi ROL yang tertinggi adalah tidak hanya sekadar berorientasi pada legitimacy dan human right dignity tetapi mewujudkan social welfare. Ini yang disebut sebagai the thickest rol. Hal ini tidak mungkin dicapai ketika jalan menuju negara hukum justru secara paksa dibelokkan (bifurkasi) ke arah negara kekuasaan. Jurang tengah menanti jatuhnya negara hukum saat pilar-pilar negara hukum mulai dirobohkan oleh penguasa yang hendak melanggengkan tampuk kepemimpinannya. Inilah kalau hukum itu bersifat represif, bukan responsif apalagi progresif. MK yang seharusnya bisa membaca hukum dengan moral (moral reading) ternyata sama dengan peradilan lainnya. Membaca hukum dengan kaca mata kuda. Mengagungkan cara berpikir secara automat mechanistic, yaitu mengandalkan bunyi UU sehingga hakim seolah hanya menjadi corong atau mulut UU (la bouche de la loi). Padahal sesuai UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa: hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Ditambah aspek transendental dalam irah-irahan putusan hakim yang berbunyi: demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Hal ini bermakna bahwa hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya berdasarkan bunyi-bunyi pasal UU, melainkan diberi hak berinovasi dalam menyelesaikan perkara. Di sini tampak relasi antara negara dan agama dalam penegakan hukum di Indonesia. Demikianlah bila hakim (MK) tak memiliki karakter braveness (berani) dan vigilante (jiwa pejuang), maka impossible akan melakukan terobosan. Ia akan cenderung mengutamakan zona nyaman dan menjalankan hukum sebagaimana bunyi teks UU. Jangan harap ia berani membaca konstitusi dengan menggunakan moral. Hingga di tangan hakim seperti ini, hukum justru tunduk di bawah kekuasaan. B. Dampak Putusan MK yang Menyimpang dari Tugas Penjaga Konstitusi terhadap Marwah Hakim dan Kelembagaan MK Saat Ketua MK Anwar Usman menyatakan diri di awal persidangan sengketa hasil Pilpres, bahwa beliau hanya takut kepada Allah, besar sekali harapan agar beliau lebih mengutamakan rasa keadilan daripada kepastian hukum (dalam state law). Mungkin sekarang beliau tetap merasa keputusannya telah on the track, merasa menghadirkan keadilan di tengah masyarakat karena fokus pada hasil perolehan suara Pilpres dengan menyatakan berkali-kali bahwa dalil pemohon tidak beralasan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat dibuktikan menurut hukum. Kalimat hanya takut kepada Allah seharusnya dimaknai bahwa seorang hakim harus punya braveness dan vigilante. Braveness untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman) ketikadihadapkan dilema dalam conflict of interest. Vigilante adalah karakter untuk menjadi mujahid yang mengutamakan pada pembelaan terhadap kebenaran, kejujuran dan keadilan, apa pun taruhannya. Lalu hendak dikemanakan kalimat hanya takut kepada Allah, sementara realitasnya takut pada sesama manusia yang berkuasa dan kekuasaannya manusia. Masihkah kita berharap para hakim ‘berjihad’ untuk menegakkan moralitas, khususnya keadilan dan kebenaran dalam berhukum? Mungkin putusannya itu memenuhi aspek legalitas, tetapi sebenarnya tidak legitimate karena patut diduga ‘cacat secara moral’. Putusan MK yang menyimpang dari tugasnya sebagai penjaga konstitusi, tentu akan berdampak terhadap marwah hakim dan kelembagaan MK. Dampak tersebut antara lain: 1. Marwah (kehormatan) lembaga dan hakim MK runtuh di mata publik. Ketika MK dipercaya sebagai penjaga konstitusi yang menjadi sarana pengaturan kepentingan dan pencapaian kesejahteraan rakyat tidak mampu memelihara independensinya, hingga justru memihak kepentingan rezim dan oligarki, maka sejatinya MK telah meruntuhkan marwahnya sendiri di hadapan publik. 2. Trust (kepercayaan) publik terhadap lembaga dan hakim MK kian ‘ndlosor.’ Fungsi MK adalah menjamin tidak ada produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi agar hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi juga terkawal. Jika UU atau salah satu bagiannya terbukti tak selaras dengan konstitusi (UUD ’45), maka produk hukum tersebut akan dibatalkan MK. Namun realitasnya, MK tetap menolak gugatan JR produk hukum yang isinya bertentangan dengan konstitusi seperti soal dana pandemi atas JR Pasal 27 UU No. 2 Tahun 2020, juga soal omnibus law UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bila fungsi tak berjalan, mungkinkah trust didapatkan? 3. Seruan pembubaran MK oleh rakyat. Sepertinya saat ini telah terjadi akumulasi distrust pada sebagian kalangan masyarakat. Sehingga mereka tak segan berteriak agar MK dibubarkan. MK dinilai bagian dari rezim. Penolakan gugatan JR PT 20% menjadi buktinya. Bukan satu dua gugatan, tapi belasan gugatan ditolak MK. Sementara PT 20% diduga sebagai cara politik licik rezim untuk terus berkuasa. UU kepentingan rezim lainnya juga sulit digoyahkan. Wajar jika publik khawatir cengkeraman kekuasaan terhadap MK. Apalagi Ketua MK sekarang menjadi adik ipar presiden. Meski berkilah akan tetap profesional, siapa yang percaya? Dulu saat teriak hanya takut kepada Allah saja, aroma kecurangan sangat terasa. Akibat pernikahan politis ini diduga kuat akan muncul conflict of interest. Jika rakyat kian sulit mempercayai independensinya, salahlah jika mereka menyerukan MK bubar? Demikianlah dampak putusan MK yang menyimpang dari tugas penjaga konstitusi terhadap marwah hakim dan kelembagaan MK. Tentu kita prihatin, lembaga peradilan seistimewa MK saja tak mampu independen dalam menjalankan fungsinya. Justru menjadi penjaga tirani kekuasaan dan seolah memfasilitasi terjadinya kejahatan politik melalui hukum yang berlaku di negeri ini.  C. Solusi Menjaga Marwah Hakim dan Kelembagaan MK agar Tidak Kehilangan Orientasi Menjaga Konstitusi Untuk merealisasikan misinya mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil, MK membutuhkan orang-orang yang memiliki integritas dan kualitas keilmuan yang tinggi. Selain itu, seluruh elemen yang ada di internal MK terutama para hakimnya harus mampu menjaga marwah dan kemuliaan lembaga ini agar dapat melahirkan putusan-putusan yang mencerminkan keadilan dan menjunjung kebenaran. Sekalipun secara hierarki kelembagaan, MK setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, tetapi jika dilihat dari tugas dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, maka menjaga marwah dan kewibawaan lembaga ini urgensinya melebihi dari lembaga-lembaga lainnya. Solusi menjaga marwah hakim dan kelembagaan MK agar tidak kehilangan orientasinya menjaga konstitusi antara lain: 1. Secara mendasar memahami bahwa seorang hakim adalah penegak keadilan. Tak hanya adil di mata publik, namun memiliki pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT atas apa yang diputuskannya. Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’: 135, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” 2. Memahami kembali bahwa posisi hakim MK haruslah seorang negarawan (Pasal 24C ayat 5 UUD 1945). Ini sesuatu yang tidak dipersyaratkan untuk jabatan publik lainnya, kecuali hanya untuk hakim MK. Persyaratan ini tentu bukan sesuatu yang berlebihan, mengingat tanggung jawab hakim MK dalam melakukan penafsiran konstitusi yang bukan sekadar secara gramatikal/tekstual, tetapi juga menggali nilai-nilai moral yang terkandung dalam konstitusi itu sendiri. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian, keluasan ilmu, dan kematangan jiwa. Bagi hakim negarawan, jabatan dipandang sebagai amanah dan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Maka ia tidak akan melakukan segala cara apalagi menghalalkan segala cara demi meraih jabatan-jabatan tertentu. 3. Sistem seleksi harus menjadi perhatian serius. Proses seleksi hakim MK merupakan pintu masuk utama untuk menjaring calon-calon yang berkualitas. Apabila di level ini terjadi penyimpangan dan intervensi politik, maka sulit mengharapkan calon hakim MK terpilih adalah seorang negarawan. 4. Standar etik para hakim MK harus menjadi perhatian utama. Hakim konstitusi bukanlah rakyat biasa yang bisa bertemu dengan semua orang. Mereka harus dijaga bersih dari tekanan dan berbagai tawaran curang dalam tugasnya. Dewan Etik MK harus bekerja lebih keras agar para hakim MK tidak bermain mata. Demikianlah beberapa solusi praktis untuk menjaga marwah hakim dan kelembagaan MK agar tidak kehilangan orientasinya menjaga konstitusi. Namun sebaik-baik mekanisme yang dibuat, jika demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menaungi, maka menjadi peluang bagi siapa pun yang berkuasa, termasuk hakim MK, untuk bertindak SSK (suka-suka kami). Sebagai aturan yang bersumber dari manusia yang penuh kelemahan, demokrasi memiliki cacat bawaan. Tak berdasar prinsip halal-haram, tapi mengadopsi paham kebebasan, manfaat, dan keuntungan materiil. Bila menghendaki terwujudnya sistem hukum berikut lembaga peradilan dan hakim yang berpihak pada kemaslahatan rakyat, hal itu akan terwujud nyata dalam sistem Islam yang menerapkan aturan Allah SWT secara kaffah. Individu yang terbina iman takwanya, masyarakat yang gemar beramar makruf nahi mungkar, serta keberadaan negara yang menerapkan hukum Islam, inilah pilar-pilar yang membawa manusia pada cita-cita kesejahteraan dan kebahagiaan, dunia dan akhirat. IV. PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas, penulis mengajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pegiat demokrasi dan HAM di negeri ini menggaungkan narasi bubarkan MK karena kecewa atas puluhan putusan MK yang menolak gugatan judicial review Pasal 222 UU Pemilu terkait presidential threshold 20%. Pun rakyat masih ingat atas sikap MK yang menolak permohonan JR Perppu Ormas, disusul kekecewaan terhadap putusan MK tentang UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Kita prihatin MK terkesan kehilangan marwah, karena para hakim MK bertindak seperti hakim biasa yang takut melakukan terobosan hukum dan terkungkung bunyi-bunyi mantra peraturan yang jika diterapkan tidak menghadirkan keadilan. Bila hakim (MK) tak memiliki karakter braveness (berani) dan vigilante (jiwa pejuang), maka impossible melakukan terobosan. Ia cenderung mengutamakan zona nyaman dan menjalankan hukum sebagaimana bunyi teks UU. Tidak berani membaca konstitusi dengan menggunakan moral, hingga di tangan hakim seperti ini, hukum justru tunduk di bawah kekuasaan. 2. Dampak putusan MK yang menyimpang dari tugas penjaga konstitusi terhadap marwah hakim dan kelembagaan MK antara lain: marwah (kehormatan) lembaga dan hakim MK runtuh di mata publik, trust (kepercayaan) publik terhadap lembaga dan hakim MK kian ‘ndlosor’, serta seruan pembubaran MK oleh rakyat. Tentu kita prihatin, lembaga peradilan seistimewa MK saja tak mampu independen dalam menjalankan fungsinya. Justru menjadi penjaga tirani kekuasaan dan seolah memfasilitasi terjadinya kejahatan politik melalui hukum yang berlaku di negeri ini. 3. Solusi menjaga marwah hakim dan kelembagaan MK agar tidak kehilangan orientasi menjaga konstitusi yaitu: secara mendasar memahami bahwa seorang hakim adalah penegak keadilan, memahami kembali bahwa posisi hakim MK haruslah seorang negarawan (Pasal 24C ayat 5 UUD 1945), sistem seleksi harus menjadi perhatian serius, serta standar etik para hakim MK harus menjadi perhatian utama. Namun sebaik-baik mekanisme yang dibuat, jika demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menaungi, maka menjadi peluang bagi siapa pun yang berkuasa, termasuk hakim MK, untuk bertindak SSK (suka-suka kami). Sebagai aturan yang bersumber dari manusia yang penuh kelemahan, demokrasi memiliki cacat bawaan. Bila menghendaki terwujudnya sistem hukum berikut lembaga peradilan dan hakim yang berpihak pada kemaslahatan rakyat, hal itu akan terwujud nyata dalam sistem Islam yang menerapkan aturan Allah SWT secara kaffah. (*)